Sabtu, 03 Januari 2009

Contoh Sempurna Bunuh Diri dengan Pisau Sendiri

Ditulis pada 17 November 2008, tulisan yang judul lengkapnya Contoh Sempurna Bunuh Diri dengan Pisau Sendiri ini ditulis menanggapi artikel Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah dari Pitres Sombowadile yang dipublikasi Harian Tribun Totabuan, Rabu, 5 November 2008. Tulisan ini sejalan dengan artikel dari Suhendro Boroma di harian yang sama, Makmum VIP, Kamis, 6 November 2008; yang tampaknya membuat Harian Tribun Totabuan tidak pernah menerbitkannya.


BAGI yang mengabaikan, kalimat ‘’the difference between genius and stupidity is that genius has its limits’’ hanya sekadar kata-kata. Pitres Sombowadile, yang sepengetahuan saya cukup fasih berbahasa Inggris, tahu persis maksud ‘’beda antara jenius dan kebodohan adalah jenius memiliki batas’’.

Saya memang ingin memulai tanggapan terhadap tulisan Pitres Sombowadile di Harian Tribun Totabuan, Rabu (5 November 2008), Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah, dengan kalimat tersebut. Tentu yang dimaksud dengan jenius bukanlah saya; tetapi soal kebodohan, pembaca akan menemukan konklusinya dalam tulisan ini.

Paling tidak ada empat cacat bawaan parah dari (katanya) bedahan terhadap tulisan saya di Tribun Totabuan (judul tepatnya –sesuai yang saya tuliskan-- Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a) dan di Harian Posko (Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya?).

Pertama, Pitres Sombowadile memasuki wilayah yang tidak dia kuasai, yang secara fundamental lebih dari sekadar urusan jurnalistik, yaitu syarat, rukun, dan hukum sholat berjamaah; dan substansi hakiki Islam sebagai agama yang mengusung keadilan dan kerendah-hatian –terhadap sesama manusia, terlebih Allah Yang Maha Tinggi. Kedua, bahwa tulisan saya adalah produk jurnalistik yang secara serampangan disamakan dengan news, feature, atau investigative report. Ketiga, asumsi bahwa saya hanya mendasarkan tulisan pada satu foto semata. Dan keempat, bahwa foto hanyalah pelengkap sebuah tulisan.

Pembaca, kalau Anda ‘’merasa’’ saya tidak sistimatik, dimaafkanlah. Saya terpaksa mengikuti alur logika dan tulisan Pitres Sombowadile yang memang selalu tidak linier.


Praduga Bersalah

Adalah jumud dan sesat bila mengabaikan pemahaman tentang sholat berjamah dalam konteks tulisan saya di Harian Tribun Totabuan, juga Harian Posko. Sholat, baik sendiri maupun berjamaah, adalah salah satu pelajaran paling dasar dalam Islam. Tulisan Suhendro Boroma, Makmum VIP (Tribun Totabuan, Kamis, 6 November 2008), cukup jelas menggambarkan aspek ini. Yang ingin saya tambahkan, dengan cara pandang dan logika apapun, sepotong foto sekali pun --yang memperlihatkan ada mihrab dengan tinggi yang berbeda dengan tempat duduk makmum yang lain, serta ajudan yang memayungi— yang dijepret sebelum atau setelah sholat, simpulannya tetap: ada perlakuan istimewa yang berlebihan, yang ditolak oleh ajaran Islam secara universal.

Sangatlah tidak masuk akal bila sebelum khatib membacakan khotbah sekelompok orang mesti jeda sejenak dan beramai-ramai mengusung mihrab –kecuali kalau memang mereka benar-benar kurang pekerjaan dan kesibukan--, khusus untuk Bupati Bolmong, agar yang bersangkutan bisa nyaman dan tenteram. Jelas dan tegas (dan belum dibantah hingga kini): Sejak awal sholat Bupati telah didudukkan di dalam mihrab, yang walau pun berada sejajar dengan shaf, tetapi secara fundamental terpisah. Siapa pun yang ingin berbantah lebih jauh, tolong jawab satu (saja) pertanyaan sederhana ini: Apakah pundak dan kelingking Bupati Bolmong dimungkinkan bersentuhan dengan jamaah perempuan yang lain bila tinggi tempat sholat saja sudah berbeda?

Jadi, saudara Pitres Sombowadile, kilahan bahwa Anda tidak ingin masuk pada soal tata cara sholat berjamaah karena saya telah pula menyerahkan ke MUI Sulut, sekadar bunga-bunga yang tidak perlu. Yang benar, pemeluk Islam tahu persis apa yang dipraktekkan di sholat Id yang saya pertanyakan adalah keliru. Akan halnya mengapa saya ‘’mempertanyakan’’ secara terbuka pada MUI Sulut, lebih sebagai pengingat bahwa mereka tidak boleh abai menjalankan fungsi dan tugas ulama sebagai salah satu pilar penjaga praktek beragama (Islam) sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Bengkok logika berikut adalah penyamaan tulisan saya dengan produk jurnalistik umumnya yang sifatnya news, feature, atau investigative report. Tulisan saya digolongkan sebagai by line analysis yang harus dinilai dengan metodologi berbeda. Urusan metodologinya, saya yakin masih jadi ‘’belantara’’ yang belum dikuasai Pitres Sombowadile, yang bahkan keliru (atau manipulatif) saat mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Tentang sembilan elemen jurnalistik yang diintroduksi Kovach dan Rosentiel, saya teringat Harian Manado Post, Kamis 11 Agustus 2005, menurunkan artikel Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) yang ditulis oleh Syamsuddin Kudji Moha. Ketika itu saya menulis tanggapan bertajuk Tangggapan atas Tanggapan Pemberitaan Korupsi Bolmong: Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir.

Dalam tulisan itu saya menyatakan seyakin-yakinnya bahwa Syamsuddin Kudji Moha bukanlah penulis artikel yang penuh kesesatan teori itu. Bahwa penulisnya adalah ghost writer yang bagai burung onta; berusaha menyembunyikan kepala tetapi pantatnya menjulang menunjuk langit. Hari ini para pembaca bisa menyimpulkan siapa burung onta dungu yang saya maksudkan itu.

Kembali pada formula Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan elemen jurnalistik yang dimaksud diulas dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (Crown Publisher, New York, 2001). Di buku ini secara lengkap Kovach dan Rosenstiel mengemukakan, bahwa: 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2) Loyalitas pertama jurnalis kepada warga. 3) Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4) Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5) Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik, dan relevan. 8)Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Mengutip salah satu elemen saja, yaitu disiplin verifikasi, jelas ngawur dan asal-asalan. Apalagi dengan ‘’firman’’ bahwa seorang wartawan atau jurnalis harus memulai tulisannya dengan praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Justru karena jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan sebagaimana elemen kelima, maka dia mestinya memperlakukan kekuasaan dengan praduga bersalah (presumption of guilty) –terutama di negeri seperti Indonesia yang penjaranya kian banyak dijubeli orang-orang yang pernah memegang kekuasaan. Dan sebab yang saya kritik adalah perilaku Bupati Bolmong sebagai penguasa, bukan Marlina Moha-Siahaan sebagai pribadi. Karenanya perlu verifikasi yang komprehensif agar apa yang ditulis benar, lengkap, proporsional, dan indenpen; terlepas dari apakah produk akhirnya menjadi kritik atau pujian terhadap kekuasaan.

Bertitah bahwa hanya ada satu titik tolak dalam jurnalistik, yaitu praduga tidak bersalah, sudah kelewat usang bagi jurnalisme modern. Dan untuk orang yang mengaku sebagai konsultan media, yang bersangkutan dan pengetahuan usangnya hanya layak ditendang masuk tong sampah.

Cacat berikut adalah asumsi bahwa saya hanya mendasarkan tulisan pada satu foto semata. ‘’Assumption is a mother of all f**k up’’ atau –secara bebas saya terjemahkan-- ‘’asumsi (terutama yang serampangan) adalah induk aneka kekeliruan’’. Begitu bodoh dan nekadnyakah saya sampai mempertaruhkan reputasi dengan referensi satu buah foto?

Foto yang dimuat Harian Manado Post –saya hampir yakin fotografernya sendiri tidak menduga akan berdampak besar— adalah fakta publik yang harus diverifikasi. Pakar digital dari MIT, Nicholas Negroponte, lewat Being Digital (Knopf, 1995) menggambarkan di zaman komputer dan teknologi tinggi ini, mendapatkan kelengkapan informasi terhadap satu isu atau subyek bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit.

Negroponte benar. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, kurang dari satu jam setelah Harian Tribun Totabuan beredar, saya sudah mendapatkan copy lengkap artikel Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah. Padahal di saat yang sama saya berada ribuan kilometer dari Kotamobagu, di salah satu kota di jantung Afrika.

Saya tahu persis bahwa kelengkapan informasi adalah mutlak hukumnya, dan karenanya sebelum menulis saya bahkan menggali informasi lain (termasuk saksi mata dan rekaman video) yang memperlihatkan Bupati Bolmong sejak tiba hingga memulai sholat Id; dan setelah sholat Id hingga selesai khotbah Idul Fitri.

Lebih ke belakang lagi, saat pertama kali tahu bahwa Bupati Bolmong sholat Id dengan tata cara yang tak lazim pada 2007 lalu (Idul Fitri 1428), saya bukan hanya mendengar kasak-kusuk orang membicarakan, namun masih sempat melihat mihrab yang digunakan. Tetapi karena belum masuk ke ruang publik yang lebih luas, saya menahan diri untuk tidak mempertanyakan secara terbuka; sambil berharap ada yang mengingatkan Bupati –minimal orang-orang yang menjadi lingkaran terdekatnya.

Pertanyaan kemudian: Apakah sebelum membedah dan mendadah tulisan saya yang bersangkutan telah menggali seluruh kelengkapan informasinya; atau hanya berdasar keterangan Humas Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, yang jelas bias dan disumiri kepentingan loyalitasnya sebagai bawahan? Tampaknya tidak. Musababnya lebih karena yang bersangkutan memang sekadar ingin menyerang saya; bukan mengungkap isu yang jadi pokok-soal secara komprehensif.

Yang terakhir, foto hanya sekadar pelengkap sebuah tulisan, sungguh pernyataan yang memalukan dari seorang yang mengklaim diri konsultan media. Dari mana teori ini dipungut? Dari halaman rumah neneknyakah?

Tulisan Suhendro Boroma telah dengan gamblang membeberkan betapa cideranya pengetahuan jurnalistik Pitres Sombowadile. Foto sebagai sebuah berita mandiri sudah menjadi pengetahuan paling dasar jurnalis pemula sekali pun; yang bahkan membuat beberapa media terkemuka –majalah Life atau National Geographic, misalnya— sejak kelahirannya telah menjadikan foto setara dengan liputan dalam bentuk tulis.

Foto Biksu yang membakar diri memprotes Perang Vietnam atau bocah perempuan yang berlari telanjang sesaat setelah lolos dari bom pembakar; aktivis mahasiswa yang menghadang tank di Tiananmen Square; burung nazar yang menunggu seorang bocah yang paria merenggang nyawa di tengah kecamuk perang di Afrika –yang begitu tragisnya hingga sang fotografer bahkan bunuh diri sepulang dari reportasenya; lebih dari sekadar ‘’menjelaskan’’ dibanding seribu kata yang dituliskan seorang pewarta tulis.

Motif Utama?

Pertanyaan kemudian: Apa motif utama ditulisnya artikel penuh keliru dan asumsi seenaknya itu? Mari kita urai satu persatu:

Pertama, sebagai non Islam, Pitres Sombowadile tentu tidak memiliki kepentingan apapun, kecuali motif jurnalistik (yang akan saya bahas berikutnya). Lain soal kalau yang bersangkutan memang ingin mengobarkan masalahnya melewati ‘’batas api’’ –yang saya sendiri sungguh takut melangkah melewatinya. Problemnya, menurut hemat saya, lewat tulisan itu dia justru dengan sengaja melewati batas tersebut.

Kedua, bila kepentingannya berkaitan dengan hajat hidup orang Mongondow, saya mesti mengingatkan bahwa: Jangankan orang Mongondow, memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) salah satu kabupaten atau kota di Bolmong saja yang bersangkutan hampir pasti tidak.

Ketiga, bila motifnya berkaitan dengan perkara jurnalistik, tidakkah keliru mempersoalkan seorang Katamsi Ginano? Seharusnya yang dipermasalahkan adalah mengapa media massa memuat tulisan tersebut, bila memang secara jurnalistik cacat dan tidak memenuhi syarat? Apakah begitu luar biasanya seorang penulis hingga Harian Tribun Totabuan merisikokan berbagai konsekwensi hanya karena satu tulisan yang secara substansial ngawur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan?

Pun, kalau memang motifnya adalah jurnalisme yang benar, etis, dan sesuai kaidah, tidak adakah perkara lebih gawat dan mendesak yang secara normatif amat penting dikritisi? Misalnya bagaimana media massa dan para pihak yang terlibat di dalamnya meng-cover kasus-kasus yang melibatkan orang banyak seperti korupsi, penyalah-gunaan jabatan, atau kontrol terhadap praktek politik dan birokrasi di Sulut? Bukankah lebih masuk akal dan penting mengkritisi liputan media terhadap kebijakan Gubernur Sulut, sepak terjang Parpol besar dan berkuasa seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan, atau tingkah-pola Bupati dan Walikota serta DPR, ketimbang urusan yang tergolong kasus khusus seperti sholat Id a la Bupati Bolmong?

Suka atau tidak, saya hanya punya konklusi, sejak awal Pitres Sombowadile memang menyimpan motif jahat dalam tulisannya (kecuali kalau yang bersangkutan begitu bodohnya hingga sengaja menjerumuskan diri). Dan simpulan ini mengingatkan pada sejumlah pesan pendek (short messages services --SMS) yang membanjiri telepon genggam saya berkaitan dengan isu sholat Id Bupati Bolmong, yang menghimbau: ‘’Mohon jangan terpancing dengan upaya memecah belah dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab.’’ Juga pesan lain yang menyatakan: ‘’Jangan sampai dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengail di air keruh.’’

Dengan tulisan ini, saya sekaligus ingin menjawab: Saya menyayangi Bupati Bolmong sebagai pemimpin yang dipilih oleh masyarakatnya; dan karenanya saya ingin menolong dengan menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Akan halnya mereka yang mencoba mencari dalih membenar-benarkan sesuatu yang keliru, saya yakin adalah oknum pemecah belah dan para pengail di air keruh.

Sungguh di saat seperti ini saya amat bersimpati terhadap Bupati Bolmong. Mereka yang berada di sekitarnya, yang hanya memanjang-manjangkan lidah dengan puja-puji, adalah orang-orang yang memang terencana, terstruktur, dan berniat mencelakakan Bupati –dan ini sudah saya peringatkan sejak lama.***

Rabu, 31 Desember 2008

Ada Apa dengan MUI Sulut?

Ditulis pada 2 November 2008, tulisan yang judul lengkapnya Ada Apa dengan MUI Sulut? ini ditulis karena setelah menunggu sekian lama MUI Sulut belum juga mengeluarkan tanggapan berkaitan dengan sholat Id Bupati Bolmong, sebagaimana yang saya tanyakan lewat artikel Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di hadapan-Nya? yang dipublikasi Harian Posko Manado. Namun artikel Ada Apa dengan MUI Sulut? ini tak pernah diterbitkan oleh Harian Posko Manado.


DI TENGAH wilayah Afrika Barat, tepatnya di Brong Ahafo, Ghana, Sabtu (1 November 2008), saya menerima beberapa pesan pendek. Malam baru saja separuh terlewati. Perbedaan waktu membuat pesan pendek yang dikirim pagi atau siang hari dari Kotamobagu atau Manado, biasanya saya tarima saat tengah tertidur pulas.

Salah satu dari pesan pendek yang mengusik saya adalah ‘’pernyataan’’ bahwa Majelis Ulama (MUI) Sulut tampaknya tidak akan memberikan tanggapan –apalagi fatwa— terkait surat terbuka yang saya kirimkan beberapa waktu lalu. Membaca pesan itu, saya tersadar: Astaga! Ternyata Idul Fitri 1429 sudah satu bulan berlalu. Artinya, Sholat Id yang dilakukan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, yang saya pertanyakan boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, ke MUI Sulut juga telah sebulan berlalu.

Benar adanya bila surat terbuka saya, yang dipublikasi oleh Harian Posko, hingga kini tak jelas apakah bakal ditanggapi atau tidak. Yang saya tahu terakhir MUI Sulut masih mengundang semua ulama anggota Komisi Fatwa untuk berembuk (lagi). Itu pun, sebagaimana beberapa pernyataan dari anggota MUI Sulut yang juga dipublikasi Harian Posko, bukanlah fatwa yang akan dikeluarkan, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan secara terbuka, melainkan hanya tentang tata cara pelaksanaan sholat.

Mari kita kembalikan masalah pada proporsinya.

Pertama, saya menulis surat terbuka ke MUI Sulut dengan keyakinan bahwa sholat Id a la Bupati Bolmong adalah soal keagamaan yang menjadi wilayah MUI untuk berpendapat dan mewasiti. Mengapa ke MUI Sulut? Sebab MUI Bolmong –juga Departemen Agama dan institusi lain di Bolmong—sudah membiarkan hal itu berlangsung sejak Idul Fitri 1428.

Kedua, saya percaya bahwa MUI Sulut bisa menjadi institusi yang menjaga pemahaman dan praktek beragama (Islam) bagi pemeluknya di Sulut sebagaimana seharusnya; dengan mengedepankan kepentingan umat tanpa memperdulikan aspek-aspek yang bersifat politis. Artinya, mau yang membuat kekeliruan adalah Gubernur, Walikota, Bupati, atau rakyat kebanyakan; MUI dapat dengan tegas menyatakan yang keliru adalah keliru. Sebaliknya pula, kalau yang dilakukan benar, sekali pun itu oleh orang biasa yang bukan siapa-siapa, maka nyatakanlah benar adanya.

Ketiga, syarat, rukun, hukum, dan tata cara sholat, menurut saya adalah salah satu pelajaran paling dasar yang A-B-C-D-nya terang-benderang diketahui para pemeluk Islam, apalagi oleh ulama-ulama yang terpilih menjadi anggota MUI. Karenanya, sejak mula saya berkeyakinan bahwa hanya memerlukan sedikit waktu bagi MUI Sulut untuk berembuk dan bersikap. Entah fatwa, entah sekadar pernyataan, koreksi, atau himbauan, yang penting sesegera mungkin untuk menghindari dijadikannya masalah ini spekulasi dan fitnah beranak-pinak.

Nyatanya, dengan tidak kunjung jelasnya sikap MUI Sulut, bahkan hingga Syawal terlewati, saya jadi bertanya-tanya: Apa dengan MUI Sulut? Pertanyaan ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain:

Pertama, apakah masalah yang saya pertanyakan kualitasnya begitu sulit hingga memerlukan cermatan dan penelitian khusus yang memakan waktu lama? Kalau demikian adanya, mohon diinformasikan agar saya bisa mempermudah dengan mengirimkan surat yang sama ke MUI Pusat, NU, Muhammadiyah, dan ke sejumlah intitusi Islam lainnya, dan dengan demikian jawaban sederhana yang diharapkan dapat sesegera mungkin diketahui.

Kedua, apakah karena masalah yang saya perhadapkan melibatkan pejabat tinggi publik (untuk level provinsi jabatan Bupati jelas masuk di jajaran elit), lalu kemudian MUI Sulut menjadi ekstra hati-hati? Tapi bila demikian adanya, saya patut mempertanyakan independensi MUI Sulut. Lebih jauh lagi, bahkan mengingatkan bahwa para ulama –termasuk guru mengaji saya—mengajarkan: Menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, di depan penguasa (apalagi dia lalim) adalah salah satu bentuk jihad.

Sejalan dengan itu, dengan mengulur-ulur waktu, saya menangkap kesan bahwa MUI Sulut membiarkan masyarakat berspekulasi dan menghakimi Bupati Bolmong (dan juga saya sebagai orang yang mengangkat masalah), sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan persepsi keagamaannya masing-masing. Padahal bila dengan segera MUI Sulut menyampaikan sikapnya, benar atau salah bukanlah masalah: Yang terpenting adalah ada jawaban yang jelas. Toh tidak ada sanksi atau hukuman yang diminta, sebab diterima atau tidaknya ibadah seseorang atau satu kaum, pada akhirnya menjadi hak mutlak Allah Yang Maha Tinggi. Manusia hanya berikhtiar semampu dan sekuat yang dia bisa.

Bila saya yang ternyata keliru, maka saya akan meminta maaf dan sebagai pemeluk Islam akan belajar lebih keras lagi memahami ajaran dan tata cara ibadah dalam Islam.

Ketiga, apakah karena hanya seorang anggota masyarakat biasanya yang menyampaikan konsernnya lalu MUI Sulut merasa hal itu bukan prioritas? Namun, dengan demikian saya juga boleh menanyakan lagi, kemanakah ajaran bersikap adil, tidak membeda-bedakan manusia berdasar pangkat, kedudukan, bahkan warna kulit dan usia, yang selama ini dijunjung oleh pemeluk Islam; dan terutama tiap saat diingatkan kembali oleh para ulama?

Sikap adil yang dimaksudkan bahkan bukan hanya terhadap saya sebagai anggota masyarakat biasa, yang bahkan sudah memanen berbagai fitnah dan spekulasi karena dianggap hanya mencari-cari persoalan dengan Bupati Bolmong (termasuk pula pertanyaan dan tuduhan bahwa saya ditunggangi kepentingan dan kelompok tertentu). Melainkan juga terhadap Bupati Bolmong yang seharusnya dijaga kehormatan dan ibadahnya dengan nasihat yang benar oleh para ulama. Dan, yang lebih utama, masyarakat yang selama ini menjadikan umarah (pemerintah) dan ulama sebagai panduan bagi kehidupan kesehariannya.

Keempat (dan yang paling menguatirkan saya), apakah bagi MUI Sulut sholat Id yang dipraktekkan Bupati Bolmong hanyalah kreativitas menginterpretasikan kegembiraan dan syukur Idul Fitri; juga penghormatan terhadap pejabat publik; dan karenanya tidak usah dipersoalkan lebih jauh. Biarkanlah perlahan terlupa atau menjadi dark number dalam ingatan masyarakat.

Dengan berbaik sangka saya mengharapkan (dan berkeyakinan) MUI Sulut dapat sesegera mungkin menyatakan pendapatnya; dalam bentuk apa pun. Dan mengingat masalah yang saya tanyakan berkaitan dengan pejabat publik, di lakukan di tengah publik, dengan melibatkan publik, maka selayaknya apa pun jawaban dari MUI Sulut harus diketahui secara terbuka agar konklusinya jelas dan tuntas bagi orang ramai.

Namun, bila ada keraguan menyatakan sikap sebab alasan di luar masalah boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, dari sisi murni ajaran Islam; semisal pertimbangan stabilitas, nama baik, atau apa pun itu, mohon MUI Sulut menyampaikan secara terbuka pula. Dengan demikian saya dan siapa pun yang tetap berkeinginan mendapat jawaban yang jelas dan tuntas, tidak berharap-harap dan menunggu terlampau lama tapi mungkin bisa menanyakan institusi lain seminal MUI Pusat atau bahkan ke Pusat Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo.***

Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya?

Ditulis pada 13 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya? ini ditulis masih berkaitan dengan tulisan Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a yang dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Artikel ini diterbitkan Harian Posko Manado, hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


HANYA pada Allah Maha Tinggi dan Maha Besar kita berserah diri.

Surat terbuka ini, yang ditujukan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut, bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lewat Harian Tribun Totabuan (Selasa, 7 Oktober 2008), saya sudah menulis hal senada yang ditujukan pada seluruh masyarakat Bolaang Mongondow (Bolmong).

Agar tak menjadi fitnah dan spekulasi, yang beranak-pinak fitnah dan spekulasi pula --seperti tuduhan memecah-belah; dan demi mendudukkan yang benar adalah benar, yang keliru adalah keliru, dalam perkara agama (Islam) --menurut hemat saya-- pihak yang seharusnya dimintai sikap di Sulut tak lain MUI. Apalagi perkara yang dihadapkan ini bukanlah hal rumit yang memerlukan pendalaman syariah, fiqih, dan hukum-hukum Islam ‘’tingkat tinggi’’. Masalah yang diperhadapkan ini hanyalah soal syarat dan rukun yang harus dipatuhi setiap pemeluk Islam dalam menjalankan salah satu kewajiban mendasarnya, yaitu sholat.

MUI Sulut yang terhormat, perkara yang saya maksudkan itu berkaitan dengan fakta yang dipublikasi lewat foto di Harian Manado Post, Jumat (3 Oktober 2008); kemudian juga oleh Tribun Totabuan pada Rabu (8 Oktober 2008). Di foto tersebut tampak Bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha-Siahaan, saat menunaikan sholat Id di halaman Kantor Bupati Bolmong, duduk di atas panggung dengan lindungan kanopi, dipayungi seorang ajudan berpakaian kerja resmi, terpisah dari makmum yang lain.

Di foto yang dipublikasi Manado Post terlihat Bupati tersenyum lebar.

Sepintas tidak ada yang penting dari apa yang disajikan foto tersebut, juga kebenaran bahwa sholat di tempat tersendiri, terpisah dari makmum yang lain, yang dilakukan Bupati Bolmong di sholat Id Idul Fitri 1429 itu ternyata sudah berlangsung sejak Idul Fitri 1428 lalu. Tapi bila untuk kebanyakan orang hal tersebut tidak perlu mendapat perhatian, bagi saya justru masalah yang tidak main-main pentingnya.

Dibolehkankah seorang makmum sholat berjamaah terpisah di tengah makmum yang lain? Terpisah yang dimaksud adalah duduk sendiri di atas tempat yang dibuat khusus, lebih tinggi dari lantai yang diduduki makmum yang lain, di lindungi dengan kanopi, hingga membentuk ruang yang memisahkan dengan jamaah yang lain. Kalau dari syarat dan rukun sholat praktek ini dibolehkan, maka masih adakah artinya ‘’rapatkan dan luruskan shaf demi kesempurnaan sholat’’ yang selalu diserukan di tiap sholat berjamaah?

Sepengetahuan saya yang sangat terbatas, bahkan Nabi Muhammad SAW yang menjadi penuntun dan panutan tak pernah mengistimewakan diri, hingga perlu disediakan sebuah tempat khusus, mihrab, untuknya saat sholat berjamaah.

Apakah yang dilakukan Bupati Bolmong itu dapat dikategorikan sebagai kesombongan di hadapan manusia dan juga Allah Yang Maha Besar? Yang Dia sudah ingatkan bahwa yang mendonggakkan kepalanya di atas bumi Allah ini –untuk menunjukkan kesombongan--, hanyalah keledai.

Demikian pula, hukum dan aturan apakah yang bisa kita gunakan sebagai penakar adanya seorang ajudan yang memayungi Bupati selama melakukan sholat Id? Bila sang ajudan adalah pemeluk Islam, dan meninggalkan sholat Id karena tugasnya, sedangkan dia sama sekali tidak berhalangan dan tugas itu tidaklah berkaitan dengan hidup-mati seseorang, bukankah penugasan itu adalah kesemena-menaan yang justru amat sangat ditentang oleh ajaran Islam?

Namun, yang membuat saya gemetar sesungguhnya bukanlah perilaku Bupati Bolmong pribadi; melainkan dampaknya bagi umat Islam di Bolmong secara kolektif, khususnya yang melaksanakan sholat Id bersama Bupati. Bukankah Islam mengajarkan bila melihat kemungkaran, kesalahan, atau kekeliruan, wajib bagi setiap pemeluk Islam untuk melarang dengan tangannya (atau tindakan). Bila dengan tangan (atau tindakan) tak kuasa, maka dengan mulut. Bila tidak dengan mulut, maka berdoalah; tetapi itu sama artinya dengan selemah-lemahnya iman.

Yang menjadi soal adalah, sejak sholat Id Idul Fitri 1428 lalu Bupati Bolmong sudah mempraktekkan ‘’makmum eksklusif’’ dan tak ada satu pun sesama pemeluk Islam yang ada di tempat itu –bahkan imam sholat—yang mengingatkan dengan tindakan, kata-kata, atau bahkan doa –kemudian pindah sholat ke tempat lain. Menurut hemat saya –tanpa sama sekali menyombongkan diri merampas hak Allah untuk menilai umatnya—dengan tidak ada sesiapa pun yang melakukan apa-apa untuk mengoreksi, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang-orang yang sholat Id berjamaah saat itu bahkan lebih dari hanya selemah-lemahnya iman.

MUI Sulut yang saya hormati, dari sejak masa kanak saya mendapat pelajaran dari para uztad, imam, guru agama, dan mereka yang lebih memahami Islam, bahwa ada golongan manusia yang layak mendapat sebutan ‘’munafik’’ dan ‘’mendustai agamanya’’. Apakah orang-orang yang seharusnya mengingatkan, menyarankan, atau bahkan melarang seorang pejabat publik dan panutan sosial seperti Bupati melakukan kekeliruan mendasar berkaitan dengan ritual keagamaannya; yang memilih diam hanya karena takut kehilangan jabatan, kuasa atau kedekatan dengan kekuasan, masuk dalam kategori mereka yang munafik dan mendustai agama?

Terhadap orang-orang munafik dan mendustai agama itu, apakah yang harus kita lakukan?

Di atas semua pertanyaan itu, tidakkah yang dilakukan oleh Bupati Bolmong itu adalah pelecehan terhadap ajaran Islam? Bila itu pelecehan, apakah tindakan yang pantas dilakukan oleh umat Islam, juga lembaga-lembaga agama seperti MUI, NU, Muhammadiyah, atau SI?

Bila akhirnya yang dilakukan Bupati Bolmong hanyalah dianggap kreativitas dan kepantasan karena kedudukannya; maka bolehkah di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang saya juga membuat panggung berlindung kanopi sendiri untuk ayah dan ibu saya? Bukankah Islam yang mulia ini mengajarkan betapa tinggi kedudukan kedua orangtua setelah Nabi? Dan bukankah amat pantas bagi setiap orang untuk menyediakan tempat terbaik bagi orang-orang yang dihormatinya?

Begitu pula, bila apa yang dilakukan oleh Bupati Bolmong tidak melanggar syarat dan rukun sholat berjamaah; boleh pulakah saya menyediakan panggung berlindung kanopi sendiri buat anak-anak yatim-piatu serta para dhuafa di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang? Bukankah melindungi dan mengistimewakan anak yatim-piatu serta kaum dhuafa ganjarannya adalah kasih sayang dan sorga dari Allah Yang Maha Penyayang?

Walau, tentu saja, bila semua orang diperbolehkan menafsirkan syarat dan rukun sholat semaunya, saya bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya tempat sholat Id dengan berbagai panggung dan kanopi. Lalu apa bedanya dengan pasar malam atau pameran pembangunan yang digelar setiap 17 Agustus.

Demikianlah, dengan surat terbuka ini saya memohonkan pengajaran dan petunjuk mana yang benar, mana yang salah, dari MUI Sulut, agar umat Islam di Bolmong umumnya mampu menghidarkan diri dari kekeliruan yang berujung kemurkaan-Nya.***