Sabtu, 03 Januari 2009

Contoh Sempurna Bunuh Diri dengan Pisau Sendiri

Ditulis pada 17 November 2008, tulisan yang judul lengkapnya Contoh Sempurna Bunuh Diri dengan Pisau Sendiri ini ditulis menanggapi artikel Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah dari Pitres Sombowadile yang dipublikasi Harian Tribun Totabuan, Rabu, 5 November 2008. Tulisan ini sejalan dengan artikel dari Suhendro Boroma di harian yang sama, Makmum VIP, Kamis, 6 November 2008; yang tampaknya membuat Harian Tribun Totabuan tidak pernah menerbitkannya.


BAGI yang mengabaikan, kalimat ‘’the difference between genius and stupidity is that genius has its limits’’ hanya sekadar kata-kata. Pitres Sombowadile, yang sepengetahuan saya cukup fasih berbahasa Inggris, tahu persis maksud ‘’beda antara jenius dan kebodohan adalah jenius memiliki batas’’.

Saya memang ingin memulai tanggapan terhadap tulisan Pitres Sombowadile di Harian Tribun Totabuan, Rabu (5 November 2008), Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah, dengan kalimat tersebut. Tentu yang dimaksud dengan jenius bukanlah saya; tetapi soal kebodohan, pembaca akan menemukan konklusinya dalam tulisan ini.

Paling tidak ada empat cacat bawaan parah dari (katanya) bedahan terhadap tulisan saya di Tribun Totabuan (judul tepatnya –sesuai yang saya tuliskan-- Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a) dan di Harian Posko (Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya?).

Pertama, Pitres Sombowadile memasuki wilayah yang tidak dia kuasai, yang secara fundamental lebih dari sekadar urusan jurnalistik, yaitu syarat, rukun, dan hukum sholat berjamaah; dan substansi hakiki Islam sebagai agama yang mengusung keadilan dan kerendah-hatian –terhadap sesama manusia, terlebih Allah Yang Maha Tinggi. Kedua, bahwa tulisan saya adalah produk jurnalistik yang secara serampangan disamakan dengan news, feature, atau investigative report. Ketiga, asumsi bahwa saya hanya mendasarkan tulisan pada satu foto semata. Dan keempat, bahwa foto hanyalah pelengkap sebuah tulisan.

Pembaca, kalau Anda ‘’merasa’’ saya tidak sistimatik, dimaafkanlah. Saya terpaksa mengikuti alur logika dan tulisan Pitres Sombowadile yang memang selalu tidak linier.


Praduga Bersalah

Adalah jumud dan sesat bila mengabaikan pemahaman tentang sholat berjamah dalam konteks tulisan saya di Harian Tribun Totabuan, juga Harian Posko. Sholat, baik sendiri maupun berjamaah, adalah salah satu pelajaran paling dasar dalam Islam. Tulisan Suhendro Boroma, Makmum VIP (Tribun Totabuan, Kamis, 6 November 2008), cukup jelas menggambarkan aspek ini. Yang ingin saya tambahkan, dengan cara pandang dan logika apapun, sepotong foto sekali pun --yang memperlihatkan ada mihrab dengan tinggi yang berbeda dengan tempat duduk makmum yang lain, serta ajudan yang memayungi— yang dijepret sebelum atau setelah sholat, simpulannya tetap: ada perlakuan istimewa yang berlebihan, yang ditolak oleh ajaran Islam secara universal.

Sangatlah tidak masuk akal bila sebelum khatib membacakan khotbah sekelompok orang mesti jeda sejenak dan beramai-ramai mengusung mihrab –kecuali kalau memang mereka benar-benar kurang pekerjaan dan kesibukan--, khusus untuk Bupati Bolmong, agar yang bersangkutan bisa nyaman dan tenteram. Jelas dan tegas (dan belum dibantah hingga kini): Sejak awal sholat Bupati telah didudukkan di dalam mihrab, yang walau pun berada sejajar dengan shaf, tetapi secara fundamental terpisah. Siapa pun yang ingin berbantah lebih jauh, tolong jawab satu (saja) pertanyaan sederhana ini: Apakah pundak dan kelingking Bupati Bolmong dimungkinkan bersentuhan dengan jamaah perempuan yang lain bila tinggi tempat sholat saja sudah berbeda?

Jadi, saudara Pitres Sombowadile, kilahan bahwa Anda tidak ingin masuk pada soal tata cara sholat berjamaah karena saya telah pula menyerahkan ke MUI Sulut, sekadar bunga-bunga yang tidak perlu. Yang benar, pemeluk Islam tahu persis apa yang dipraktekkan di sholat Id yang saya pertanyakan adalah keliru. Akan halnya mengapa saya ‘’mempertanyakan’’ secara terbuka pada MUI Sulut, lebih sebagai pengingat bahwa mereka tidak boleh abai menjalankan fungsi dan tugas ulama sebagai salah satu pilar penjaga praktek beragama (Islam) sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Sunnah Rasul.

Bengkok logika berikut adalah penyamaan tulisan saya dengan produk jurnalistik umumnya yang sifatnya news, feature, atau investigative report. Tulisan saya digolongkan sebagai by line analysis yang harus dinilai dengan metodologi berbeda. Urusan metodologinya, saya yakin masih jadi ‘’belantara’’ yang belum dikuasai Pitres Sombowadile, yang bahkan keliru (atau manipulatif) saat mengutip Bill Kovach dan Tom Rosenstiel.

Tentang sembilan elemen jurnalistik yang diintroduksi Kovach dan Rosentiel, saya teringat Harian Manado Post, Kamis 11 Agustus 2005, menurunkan artikel Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) yang ditulis oleh Syamsuddin Kudji Moha. Ketika itu saya menulis tanggapan bertajuk Tangggapan atas Tanggapan Pemberitaan Korupsi Bolmong: Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir.

Dalam tulisan itu saya menyatakan seyakin-yakinnya bahwa Syamsuddin Kudji Moha bukanlah penulis artikel yang penuh kesesatan teori itu. Bahwa penulisnya adalah ghost writer yang bagai burung onta; berusaha menyembunyikan kepala tetapi pantatnya menjulang menunjuk langit. Hari ini para pembaca bisa menyimpulkan siapa burung onta dungu yang saya maksudkan itu.

Kembali pada formula Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Sembilan elemen jurnalistik yang dimaksud diulas dalam buku The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (Crown Publisher, New York, 2001). Di buku ini secara lengkap Kovach dan Rosenstiel mengemukakan, bahwa: 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2) Loyalitas pertama jurnalis kepada warga. 3) Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4) Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5) Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik, dan relevan. 8)Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Mengutip salah satu elemen saja, yaitu disiplin verifikasi, jelas ngawur dan asal-asalan. Apalagi dengan ‘’firman’’ bahwa seorang wartawan atau jurnalis harus memulai tulisannya dengan praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Justru karena jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan sebagaimana elemen kelima, maka dia mestinya memperlakukan kekuasaan dengan praduga bersalah (presumption of guilty) –terutama di negeri seperti Indonesia yang penjaranya kian banyak dijubeli orang-orang yang pernah memegang kekuasaan. Dan sebab yang saya kritik adalah perilaku Bupati Bolmong sebagai penguasa, bukan Marlina Moha-Siahaan sebagai pribadi. Karenanya perlu verifikasi yang komprehensif agar apa yang ditulis benar, lengkap, proporsional, dan indenpen; terlepas dari apakah produk akhirnya menjadi kritik atau pujian terhadap kekuasaan.

Bertitah bahwa hanya ada satu titik tolak dalam jurnalistik, yaitu praduga tidak bersalah, sudah kelewat usang bagi jurnalisme modern. Dan untuk orang yang mengaku sebagai konsultan media, yang bersangkutan dan pengetahuan usangnya hanya layak ditendang masuk tong sampah.

Cacat berikut adalah asumsi bahwa saya hanya mendasarkan tulisan pada satu foto semata. ‘’Assumption is a mother of all f**k up’’ atau –secara bebas saya terjemahkan-- ‘’asumsi (terutama yang serampangan) adalah induk aneka kekeliruan’’. Begitu bodoh dan nekadnyakah saya sampai mempertaruhkan reputasi dengan referensi satu buah foto?

Foto yang dimuat Harian Manado Post –saya hampir yakin fotografernya sendiri tidak menduga akan berdampak besar— adalah fakta publik yang harus diverifikasi. Pakar digital dari MIT, Nicholas Negroponte, lewat Being Digital (Knopf, 1995) menggambarkan di zaman komputer dan teknologi tinggi ini, mendapatkan kelengkapan informasi terhadap satu isu atau subyek bisa dilakukan hanya dalam hitungan menit.

Negroponte benar. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, kurang dari satu jam setelah Harian Tribun Totabuan beredar, saya sudah mendapatkan copy lengkap artikel Tulisan Katamsi, Caption Foto yang Gegabah. Padahal di saat yang sama saya berada ribuan kilometer dari Kotamobagu, di salah satu kota di jantung Afrika.

Saya tahu persis bahwa kelengkapan informasi adalah mutlak hukumnya, dan karenanya sebelum menulis saya bahkan menggali informasi lain (termasuk saksi mata dan rekaman video) yang memperlihatkan Bupati Bolmong sejak tiba hingga memulai sholat Id; dan setelah sholat Id hingga selesai khotbah Idul Fitri.

Lebih ke belakang lagi, saat pertama kali tahu bahwa Bupati Bolmong sholat Id dengan tata cara yang tak lazim pada 2007 lalu (Idul Fitri 1428), saya bukan hanya mendengar kasak-kusuk orang membicarakan, namun masih sempat melihat mihrab yang digunakan. Tetapi karena belum masuk ke ruang publik yang lebih luas, saya menahan diri untuk tidak mempertanyakan secara terbuka; sambil berharap ada yang mengingatkan Bupati –minimal orang-orang yang menjadi lingkaran terdekatnya.

Pertanyaan kemudian: Apakah sebelum membedah dan mendadah tulisan saya yang bersangkutan telah menggali seluruh kelengkapan informasinya; atau hanya berdasar keterangan Humas Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, yang jelas bias dan disumiri kepentingan loyalitasnya sebagai bawahan? Tampaknya tidak. Musababnya lebih karena yang bersangkutan memang sekadar ingin menyerang saya; bukan mengungkap isu yang jadi pokok-soal secara komprehensif.

Yang terakhir, foto hanya sekadar pelengkap sebuah tulisan, sungguh pernyataan yang memalukan dari seorang yang mengklaim diri konsultan media. Dari mana teori ini dipungut? Dari halaman rumah neneknyakah?

Tulisan Suhendro Boroma telah dengan gamblang membeberkan betapa cideranya pengetahuan jurnalistik Pitres Sombowadile. Foto sebagai sebuah berita mandiri sudah menjadi pengetahuan paling dasar jurnalis pemula sekali pun; yang bahkan membuat beberapa media terkemuka –majalah Life atau National Geographic, misalnya— sejak kelahirannya telah menjadikan foto setara dengan liputan dalam bentuk tulis.

Foto Biksu yang membakar diri memprotes Perang Vietnam atau bocah perempuan yang berlari telanjang sesaat setelah lolos dari bom pembakar; aktivis mahasiswa yang menghadang tank di Tiananmen Square; burung nazar yang menunggu seorang bocah yang paria merenggang nyawa di tengah kecamuk perang di Afrika –yang begitu tragisnya hingga sang fotografer bahkan bunuh diri sepulang dari reportasenya; lebih dari sekadar ‘’menjelaskan’’ dibanding seribu kata yang dituliskan seorang pewarta tulis.

Motif Utama?

Pertanyaan kemudian: Apa motif utama ditulisnya artikel penuh keliru dan asumsi seenaknya itu? Mari kita urai satu persatu:

Pertama, sebagai non Islam, Pitres Sombowadile tentu tidak memiliki kepentingan apapun, kecuali motif jurnalistik (yang akan saya bahas berikutnya). Lain soal kalau yang bersangkutan memang ingin mengobarkan masalahnya melewati ‘’batas api’’ –yang saya sendiri sungguh takut melangkah melewatinya. Problemnya, menurut hemat saya, lewat tulisan itu dia justru dengan sengaja melewati batas tersebut.

Kedua, bila kepentingannya berkaitan dengan hajat hidup orang Mongondow, saya mesti mengingatkan bahwa: Jangankan orang Mongondow, memegang Kartu Tanda Penduduk (KTP) salah satu kabupaten atau kota di Bolmong saja yang bersangkutan hampir pasti tidak.

Ketiga, bila motifnya berkaitan dengan perkara jurnalistik, tidakkah keliru mempersoalkan seorang Katamsi Ginano? Seharusnya yang dipermasalahkan adalah mengapa media massa memuat tulisan tersebut, bila memang secara jurnalistik cacat dan tidak memenuhi syarat? Apakah begitu luar biasanya seorang penulis hingga Harian Tribun Totabuan merisikokan berbagai konsekwensi hanya karena satu tulisan yang secara substansial ngawur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan?

Pun, kalau memang motifnya adalah jurnalisme yang benar, etis, dan sesuai kaidah, tidak adakah perkara lebih gawat dan mendesak yang secara normatif amat penting dikritisi? Misalnya bagaimana media massa dan para pihak yang terlibat di dalamnya meng-cover kasus-kasus yang melibatkan orang banyak seperti korupsi, penyalah-gunaan jabatan, atau kontrol terhadap praktek politik dan birokrasi di Sulut? Bukankah lebih masuk akal dan penting mengkritisi liputan media terhadap kebijakan Gubernur Sulut, sepak terjang Parpol besar dan berkuasa seperti Partai Golkar dan PDI Perjuangan, atau tingkah-pola Bupati dan Walikota serta DPR, ketimbang urusan yang tergolong kasus khusus seperti sholat Id a la Bupati Bolmong?

Suka atau tidak, saya hanya punya konklusi, sejak awal Pitres Sombowadile memang menyimpan motif jahat dalam tulisannya (kecuali kalau yang bersangkutan begitu bodohnya hingga sengaja menjerumuskan diri). Dan simpulan ini mengingatkan pada sejumlah pesan pendek (short messages services --SMS) yang membanjiri telepon genggam saya berkaitan dengan isu sholat Id Bupati Bolmong, yang menghimbau: ‘’Mohon jangan terpancing dengan upaya memecah belah dari oknum-oknum tidak bertanggungjawab.’’ Juga pesan lain yang menyatakan: ‘’Jangan sampai dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengail di air keruh.’’

Dengan tulisan ini, saya sekaligus ingin menjawab: Saya menyayangi Bupati Bolmong sebagai pemimpin yang dipilih oleh masyarakatnya; dan karenanya saya ingin menolong dengan menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Akan halnya mereka yang mencoba mencari dalih membenar-benarkan sesuatu yang keliru, saya yakin adalah oknum pemecah belah dan para pengail di air keruh.

Sungguh di saat seperti ini saya amat bersimpati terhadap Bupati Bolmong. Mereka yang berada di sekitarnya, yang hanya memanjang-manjangkan lidah dengan puja-puji, adalah orang-orang yang memang terencana, terstruktur, dan berniat mencelakakan Bupati –dan ini sudah saya peringatkan sejak lama.***