Rabu, 19 Desember 2007

Kami Bukan KBA ‘’Kasiang’’

Ditulis pada 10 Agustus 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Isinya berkaitan dengan dua tulisan yang di harian yang sama sebelumnya, yang mengupas, mengomentari, menganalisis sebuah peristiwa yang terjadi di Kotamobagu (sekarang, setelah dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow pada 2007, menjadi Kota Kotamobagu).


MENARIK benar mengikuti persahutan antara Hairil Paputungan (‘’Kentut Persibom’’, Manado Post, 8 Agustus 2005) dan Bachruddin Marto (‘’KBA Ala Hairil’’, Manado Post, 10 Agustus 2007), terutama karena subtansinya yang melebar dan meluber ke mana-mana.

Muasal dari ‘’pingpong’’ wacana antara keduanya adalah perilaku banal sekelompok orang yang merusak Kantor Biro Manado Post di Bolmong; dan karena ada sekelompok orang yang peduli (katakanlah itu kebetulan berasal dari Keluarga Besar ABRI –KBA), yang sebab peduli kemudian menggelar pertemuan –disebut dengan gagah sebagai ‘’rapat’’—di Polres dan merilis pernyataan. Substansinya kurang lebih demikian; bumbunya yang mungkin terlampau pedas, atau mungkin ada yang tak perlu tetapi terlanjur diikutkan.

Substansi masalahnya terang-benderang sudah: yang merusak Kantor Biro Manado Post (dan belakangan rumah Ketua PKS Bolmong) jelas makluk primitif, hanya cocok untuk meseum. Akan halnya konsern dari banyak pihak, justru adalah bentuk solidaritas sosial yang mestinya dilestarikan.

Nah, pokok soalnya kemudian adalah mengapa menyerempet KBA?

Hairil Paputungan mungkin terlampau ekstrim dalam simpulannya, hingga terpeleset ‘’menguburkan KBA’’ bersama Orde Baru. Karenanya, saya sependapat dengan Bachruddin Marto untuk musabab itu.

Namun, Bachruddin juga, menurut hemat saya, terpeleset bahkan terlampau jauh hingga seolah-olah tanpa KBA negeri ini tak pernah merdeka. Seolah-olah hanya tentara dan polisi-lah kaum yang berjuang, memikul bedil, hingga negara ini bisa dimerdekakan. Saya kutipkan pernyataannya: ‘’Bukankah kemerdekaan ini lahir karena KBA (Keluarga Besar ABRI) yang sekarang TNI-Polri.’’

Klaim itu tentu saja ‘’so talebe-lebe’’, sebab sejarah tidak mengatakan seperti itu. Akan kita taruh di mana para orang berpendidikan yang berjuang di jalur politik, para pedagang yang membantu membiayai revolusi, para petani yang menyediakan logistik, atau para gerilyawan revolusi yang sama sekali tidak berlatar militer? Mereka yang jumlahnya lebih besar dan banyak, tetapi tak populis karena belum ada –atau tak pernah terpikirkan-- organisasi Keluarga Besar Politikus; Keluarga Besar Pedagang; bahkan juga Keluarga Besar Petani atau Keluarga Besar Peternak Itik yang juga menyumbang hampir segala-galanya untuk kemerdekaan, yang menghidup-hidupkan romantisme ‘’perjuangannya di zaman pergolakan’’.

Harus diingatkan pula bahwa klaim itu bisa seperti ‘’menepuk air di dulang tepercik di wajah sendiri’’, karena hampir tidak ada satu organisasi pun (termasuk KBA) yang tidak pernah menyatakan kebulatan tekad mendukung Soeharto di masa keemasannya. Apa itu harus dipertanggungjawabkan juga saat ini? Di titik ini, saya setuju dengan Hairil, bahwa KBA dalam perspektif Orde Baru memang seharusnya sudah lama dikuburkan.

‘’Penguburan’’ itu dilakukan agar cara-cara Orde Baru seperti abuse of power (penyalah-gunaan kekuasaan) atau abuse of relationship (penyalah-gunaan hubungan) tidak lagi dilestarikan. Seperti apa jenis penyalahgunaan itu? Rapat oleh organisasi anak polisi di Kantor Polres, misalnya, bukankah bisa diterjemahkan sebagai abuse of relationship? Sebab organisasi anak peternak ayam atau organisasi anak pedagang kangkung tentu amat sangat sulit mendapatkan kesempatan yang sama. Jangankan rapat di Polres, mendekati Polres saja saya yakin sudah bikin tengkuk merinding (jujur saja: siapa yang sudi berurusan dengan polisi dengan sukarela bahkan demi SIM atau Surat Keterangan Kelakuan Baik sekalipun?)

Akhirnya, siapapun yang peduli terhadap apapun tentu harus diapresiasi dengan baik. Tetapi peduli dengan tatacara berlebihan, apalagi dengan klaim karena kami adalah anak serdadu atau anak polisi, yang sudah rapat di Kodim dan Polres sebelum memberi pernyataan, tentu juga terlampau berlebihan. Terlebih bila membawa-bawa nama Surya Paloh, Yoseano Waas, Edwin Kawilarang dan lain-lain, seakan-akan dengan mereka tersinggung maka langit di atas negeri ini akan runtuh besok pagi.***