Rabu, 19 Desember 2007

Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir

Ditulis pada 14 Agustus 2005, tulisan yang judul lengkapnya Tanggapan atas Tanggapan Pemberitaan Korupsi Bolmong: Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan Wakil Ketua DPR Bolaang Mongondow, Syamsuddin Kudji Moha (Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan: Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) yang dimuat di harian yang sama.


BERNARD BERELSON tidak sedang mengingau ketika menulis Content Analysis in Communication Researc (The Free Press, New York) pada 1952. Para analis media yang menggunakan content analysis (analisis isi) sebagai alat bedah tahu persis A-B-C-D teori ini. Pengecualiannya tentu adalah mereka yang sok tahu belaka; atau sok paham content analysis.

Apa kata Berelson tentang content analysis? Lewat definisi klasik yang dia bakukan lebih 30 tahun silam, Berelson bilang: ‘’Content analysis is a research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of communication.’’ Harap dicatat, ada empat varibel terpenting yang dikemukakan Berelson, yaitu objective, systematic, quantitative, dan manifest content.

Supaya ‘’makluk’’ content analysis ini bisa lebih dimengerti, tentu akar sejarahnya pun perlu dipahami. Adalah Harold Lasswell sesungguhnya yang pertama mengintroduksi metodologi ini pada 1927 untuk melakukan studi terhadap propaganda. Dan sebagai metodologi, penggunaannya untuk pendekatan studi tumbuh pesat setelah itu, terutama untuk mengukur pesan-pesan yang dikomunikasikan dalam film (pada 1930-an) dan kemudian teve (1950-an, sejak teve mulai diperkenalkan sebagai media komunikasi dan ruang publik).

Berelson tidak sendirian dalam mendefinisikan apa yang disebut sebagai content analysis. Dalam perkembangannya lebih selusin pakar telah merumuskan definisi dengan isi yang kurang lebih sama. Tidak mengherankan bila Kimberley A. Neuendrof (penulis The Content Analysis Guidebook, Thausand Oak, 2002) mengemukakan: ‘’Content analysis is the primary massage-centred methodology.’’ Serta L. Yale dan M. C. Gill (1988) serta D. Riffed dan A. Freitag (1997) yang kemudian menambahkan, ‘’In the field of mass communication research, content analysis has been the fastest-growing technique over the past 20 years or so.’’

Lobang Hitam Kekeliruan

Memahami content analysis dan penggunaannya membuat saya terkejut-kejut membaca Ombudsman Harian Manado Post, Kamis 11 Agustus 2005, Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong), yang ditulis oleh Pimpinan –tidak disebutkan Ketua, Wakil Ketua, atau apa, tetapi pokoknya ‘’pimpinan’’-- DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, Syamsuddin Kudji Moha.

Keterkejutan pertama karena isu yang ditanggapi adalah tentang tiga (hanya tiga) pemberitaan tentang korupsi di Bolmong, yang didekati dengan pemahaman jurnalistik. Kejutan kedua, karena dalam bangun tulisan disebutkan bahwa pemberitaan itu dianalisis dengan menggunakan content analysis. Keterkejutan ketiga karena tulisan itu implisit mewakili sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Keterkejutan keempat, sebab tulisan itu justru –mengutip tulisannya sendiri—menggandung ‘’contradictio in terminus et contradictio substantio’’ karena dengan sendirinya ‘’membenarkan’’ isu yang diangkat Manado Post.

Serial terkejut-kejut itu masih berlanjut setelah saya melakukan analisis terhadap ide, struktur tulisan, pilihan bahasa, bahkan penggunaan titik-koma (lengkap dengan kesalahan-kesalahan fundamentalnya). Dari analisis itu saya menyimpulkan: tulisan tersebut dikerjakan oleh ghost writer yang bukan saja kelewat sok tahu, tapi juga menjerumuskan ‘’pemilik nama yang dicantumkan sebagai penulis’’ ke dalam lobang hitam kekeliruan yang luar biasa fatalnya.

Lucunya, ibarat burung onta, penulis sebenarnya hanya menyembunyikan kepalanya, tetapi tubuh dan pantat terang-benderang menuding langit. Saran saya: keluarkan kepala dan mari mendudukkan masalah pada porsinya agar diskursus dan perbaikan media –sebaik yang diharapkan oleh konsumen media—menjadi sehat dan bermartabat.

Agar yang gelap jadi terang dan terang tidak digelap-gelapkan, di tulisan ini saya sekaligus menjawab banyak pesan pendek (SMS) dan telepon yang diterima hari itu berkaitan dengan tulisan tersebut. Umumnya pesan pendek dan telepon yang saya terima menanyakan: Siapakah ghost writer tulisan itu? Bahkan cukup banyak –maaf sebesar-besarnya— yang menyebut nama Reiner Ointoe. Jawaban saya: dengan keyakinan 100 persen, ghost writer-nya bukan Reiner Ointoe. Reiner tidak cukup naïf untuk berkeliru se-keliru-kelirunya, apalagi dengan metodologi yang sudah berumur 78 tahun seperti content analysis.

Saya tahu siapa ghost writer-nya, tetapi etika pribadi melarang saya membuka ke hadapan publik. Karenanya, mari kita lanjutkan saja tanggapan terhadap tulisan Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong).

Pertama, harus ditegaskan: sebab content analysis mensyaratkan kuantitas, maka tanggapan terhadap tiga berita di Manado Post dengan metodologi tersebut yang menyimpulkan bahwa ada ‘’upaya pembunuhan karakter terhadap Bupati Bolmong’’, jelas kengawuran teoritis yang berdampak pula pada kengawuran pikir dan hasilnya.

Bagaimana bila tiga pemberitaan itu dibandingkan dengan pemberitaan Manado Post selama enam bulan terakhir berkaitan dengan Bupati Bolmong, yang biasanya dipenuhi puja-puji dan kutipan pernyatan ‘’positif’’? Saya yakin analis profesional dan objektif akan menemukan fakta yang sama sekali berbeda. Bahkan, bila tiga berita itu yang disandingkan sebagai satu rangkaian utuh, awam pun mudah menemukan bahwa pernyataan Bupati Bolmong mendapat porsi cukup dominan.

Kedua, tulisan tanggapan itu menyebutkan Manado Post gagal menjaga sisi emotif wartawannya hingga terlalu menggebu dan bersemangat dalam menulis kasus korupsi yang diduga terjadi di Bolmong, yang tercermin dalam pemilihan kata yang digunakan. Apa dasar tanggapan ini? Sekadar satu-dua kata yang memang bombastis atau satu-dua kalimat yang hiperbolik?

Pertanyaan itu patut dikemukakan sebab contoh yang digunakan sebagaimana yang ada di alinea keenam tulisan Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) justru adalah pemelintiran logika berita. Dengan kata lain, setiap alinea dari satu berita dianggap lepas satu dengan yang lain.

Sebaliknya, yang terbaca dari tulisan tersebut justru penulisnya-lah yang gagal menjaga sisi emotifnya hingga tidak saja menggunakan kata dan kalimat bombastis, tapi juga sangat reaktif dan emosional. Mau bukti? Contoh paling gampangnya adalah frasa ‘’Bupati jelas menyatakan tidak gentar dengan dugaan itu, tetapi citra negatif jelas harus saya luruskan. Kini saya minta Manado Post bertanggungjawab untuk itu lewat mekanisme ombudsman lewat penempatan tulisan ini.’’

Tidakkah frasa itu bombastis dan emosional? Sebagai pembaca, orang per orang tentu punya saran, kritik, dan kemarahan terhadap apa yang disajikan media massa. Tapi memaksa permintaan pertanggungjawaban jurnalistik dengan dasar yang lemah bukankah juga amat kelewatan? Bahkan Dewan Pers pun tidak melakukan pemaksaan, sebab itu adalah wilayah milik pengadilan dan para hakim.

Itu sebabnya saya harus mengkritik keras Manado Post yang meloloskan tulisan tersebut dan memperlakukan ‘’seolah-olah’’ sebagai hak jawab. Begitu rendahnya-kah standar jurnalistik Manado Post sampai-sampai yang tidak layak pun harus dilayak-layakkan?

Ketiga, ghost writer yang menulis tanggapan itu juga tidak mampu membedakan mana syarat berita (5W + 1H), elemen jurnalisme (sebagai anutan para wartawan), dan pesan dalam berita.

Secara umum syarat berita sudah dipenuhi oleh Manado Post. Termasuk kredibilitas sumber. Bagi yang paham benar jurnalistik tentu tahu bahwa yang disebut sumber dalam konteks pemberitaan tersebut bukan hanya Denny Mokodompit atau Rizal Damopolii, tetapi dokumen yang menyertai pernyataan mereka. Bila Denny dan Rizal dianggap tidak kredibel, tetapi dokumen sebagai pembuktian adanya kasus korupsi lengkap dan kredibel, buat apa media takut memberitakan?

Kesalahan Manado Post mungkin hanyalah pada ilustrasi foto yang menyertai dua dari tiga pemberitaannya. Namun, itu pun bisa terbantahkan mengingat elemen-elemen jurnalisme yang umum dianut menyepakati dibolehkannya pengertian implisit dalam media massa.

Agar pembaca tidak bingung, elemen jurnalisme yang saya kemukakan adalah yang diformulasi oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect) yang diterbitkan pertama kali oleh Crown Publisher, New York, pada 2001. Kovach dan Rosenstiel mengemukakan: 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2) Loyalitas pertama jurnalis kepada warga. 3) Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4) Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5) Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik, dan relevan. 8)Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Apakah pencantuman foto Bupati Bolmong dan Persibom relevan? Saya menjawab: ya! Relevan sebagai ‘’pesan berita’’ bahwa yang bertanggungjawab dalam seluruh proses birokrasi dan politik di Bolmong adalah Bupati; dan bahwa korupsi itu menyentuh semua elemen, termasuk Persibom.

Namun, Bupati dan Persibom tentu tidak boleh pula disemena-menai. Karena Manado Post awalnya abai dalam menjaga beritanya komprehensif dan proposional, dua pihak ini amat sangat berhak melakukan komplein. Syaratnya: Yang harus melakukan adalah Bupati sendiri dan Persibom! Ini baru praktek yang benar.

Keempat, ada dua hal substantif yang mestinya dijawab oleh siapa saja yang mengaku menganalisis media atau pemberitaannya. Yaitu, mana yang lebih penting, cara menyampaikan satu isu atau isunya sendiri? Dan, dalam konteks tanggapan terhadap pemberitaan Manado Post, apakah ada atau tidak korupsi sebagaimana yang didugakan?

Dua substansi pokok itu tidak saya temukan dalam tanggapan tersebut, sekali pun mata sudah capek membaca alinea per alinea. Isu yang dikemukakan Manado Post dengan mengutip sumbernya adalah korupsi! Dengan penyampaikan yang sungguh membuat hati panas buat beberapa orang. Tetapi memperdebatkan cara penyampaian ketimbang isunya sendiri jelas-jelas buang umur belaka.

Dan kelima, tulisan tanggapan pemberitaan itu juga ‘’mencurigai’’ aktor-aktor di Manado Post memiliki agenda tertentu berkenaan dengan pemberitaan kasus korupsi di Bolmong. Tudingan ini bisa jadi benar, bisa pula tidak.

Tapi bila dilakukan analisis terhadap konteks tulisan tanggapan pemberitaan itu, saya juga berkesimpulan bahwa sang ghost writer punya agenda tertentu yang bahkan lebih dari sekadar kritik terhadap media. Agendanya bisa saja pembunuhan karakter terhadap Syamsuddin Kudji Moha dan juga Bupati Bolmong.

Dengan menulis tanggapan berdasar teori ngawur, publik yang paham duduk soal tentu mudah memandang remeh salah seorang Pimpinan DPRD Bolmong itu. Dan dengan memposisikan salah satu Pimpinan DPRD Bolmong sebagai pembela Bupati, bukankah menunjukkan bahwa Bupati Bolmong tidak memiliki staf yang kapabel. Lebih celaka lagi kalau masyarakat sampai pada penilaian bahwa orang-orang di sekitar Bupati memang bermaksud ‘’mencelakakan’’ posisinya sebagai Bupati.

Bila tulisan tanggapan itu dimaksudkan sebagai perjernihan, maka yang terjadi sebaliknya. Isu sesungguhnya bukan saja makin keruh, tetapi tulisan itu membuat wajah Syamsuddin Kudji Moha sebagai salah seorang Pimpinan DPRD Bolmong jadi coreng- moreng; sekaligus juga memperburuk citra Bupati.

Sebagai orang yang mengenal keduanya secara pribadi –walau bagaimana pun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mereka adalah orang-orang yang saat ini memimpin Bolmong--, saya hanya bisa bersedih dan menyesal.

Konklusi

Mengkritik media adalah keniscayaan bagi para pembacanya. Pembaca yang kritis mendorong media menjadi profesional dan memenuhi hak serta kewajibannya sebagai ruang publik. Namun, sebaliknya, kritik yang jauh dari proposional dan objektif juga bisa menjerumuskan media pada perang opini tak perlu yang bisa berujung pada pembodohan massal.

Sebab itu, menurut hemat saya, mari kita abaikan saja tulisan atas nama Syamsuddin Kudji Moha yang sudah terlanjur dipublikasikan itu. Secara pribadi, terhadap yang bersangkutan –dengan rasa hormat yang dalam—saya mengajurkan: Bila sang ghost writer adalah staf, penasihat, atau sekadar tukang bisik, sebaiknya yang bersangkutan ditendang sejauh mungkin. Tulisannya bukan hanya menjerumuskan, tetapi dari sisi pencitraan dan komunikasikan dengan masyarakat, sungguh sesat dan menyesatkan.***