Rabu, 19 Desember 2007

Mael Fans Club

Ditulis pada 16September 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


ADA kerinduan laten tiap kali menginjakkan kaki di Kotamobagu dan membayangkan masa SMP, dulu.

Ketika itu hampir setiap pagi saya menelusuri Jalan Amal-Adampe Dolot hingga Biga-lalu belok kanan, ke SMP Negeri 1 Kotamobagu. Hampir sepanjang rute ini, di kawasan Kelurahan Mongolaing, pohon-pohon sirsak memayungi jalanan.

Tak banyak papan reklame dan kain rentang (spanduk) yang kini justru pikuk dan melelahkan mata. Udara masih diharumi daun sirsak; dan makin wangi tatkala musim berputiknya tiba. Samar-samar menyebar aroma segar.

Kerinduan adalah nostalgi yang basah. Dan makin berarti hari-hari ini sebab pohon-pohon sirsak itu sudah lama ditumbangkan. Kini hampir seluruh ruas jalan di Kotamobagu berhias macam-macam reklame: rokok, cat, susu, kopi, makanan kecil, pembalut wanita, dan bahkan kelompok penggemar (fans club) tokoh politik.

Masa lalu tampaknya tak punya tempat lagi. Lagipula, siapa yang butuh? Toh kenangan tak bisa memberi makan, apalagi kursi politik, jabatan birokrasi, atau rumah mewah dan duit melimpah?

Kenangan tak bisa dipajang untuk gagah-gagahan. Kenangan tak pula bisa dicetak di papan besar; dibangunkan Posko; atau dicantumkan penuh warna di t-shirt agar seluruh rakyat awas dan mencatat.

Tapi tetap saja dia datang membadai, begitu saja, ketika menyaksikan di hampir seluruh ruas jalan di Kotamobagu (dan sekarang menular hingga ke pelosok) bagai jamur tumbuh reklame fans club. Beberapa dilengkapi Posko.

Menyaksikan itu, yang terbayang di benak adalah beberapa teman di masa kecil yang bersama-sama diajari seorang Paman, bahwa obatog (ulat sagu) panggang adalah makanan lezat dan bergizi tinggi. Pengetahuan itu melahirkan ‘’klub pemburu obatog’’ yang beranggota beberapa anak; yang akhirnya kapok karena sering kena rotan di pantat akibat pulang menjelang magrib berlumur lumpur.

Klub yang benar-benar ‘’fans club’’ barulah terasa di akhir masa SD dan SMP begitu mengenal bacaan Lima Sekawan, Sapta Siaga, Tintin, serta Asterix dan Obelix. Sadar atau tidak, bersama kawan-kawan seusia kami bergabung dalam ‘’Enid Blyton Fans Club’’, ‘’Tintin Fans Club’’, dan ‘’Asterix dan Obelix Fans Club’’. Sekadar keisengan tanpa sadar, semata karena kagum pada Enid Blyton, juga pada Tintin (yang bisa ke bulan), serta Asterix dan Obelix yang mau bertualang ke penjuru bumi dengan syarat ‘’ada Romawi yang bisa dikepruk dan celeng panggang’’.

Klub dan fans club galib belaka, bahkan yang paling aneh sekali pun (misalnya Klub Penyayang Bunga Tai Ayam atau Boomer –ini nama anjing-- Fans Club). Tapi fans club untuk tokoh politik hingga ke kampung di pelosok, apalagi hanya sekelas Bupati, benar-benar di luar akal sehat. Tapi fenomena di luar akal sehat ini pula yang saya saksikan bertebaran di Kotamobagu hingga ke pelosok; yang ditandai dengan papan besar dan mencolok –mirip reklame produk pembalut wanita.

Petanda apakah itu? Latah-latahan, epigon buruk dari teknik menjual yang sukses sebelumnya (dibuktikan oleh SBY-Kalla), atau petanda bahwa evolusi kesadaran manusia (di Bolmong) justru tidak menuju proses yang sempurna? Apalagi sang tokoh yang ber-fans club itu tidaklah istimewa dan memiliki kelebihan (minimal karya riil) agar yang bersangkutan layak dipatronkan.

Bisa dibayangkan bila tokoh-tokoh politik dan birokrasi di Bolmong ramai-ramai menggagas fans club pula; bahkan hingga ke tingkat sangadi dan tokoh adat di kampung? Berapa banyak papan dan Posko yang akan berdiri? Berapa banyak pula psikolog dan psikiater yang harus praktek di Bolmong, karena pasti para pengidap sakit jiwa bisa ditemukan dengan mudah?

Saya sendiri lebih suka bergabung di Mael Fans Club. Paling tidak Mael sudah terbukti tak pernah korupsi dan menyalahgunakan jabatan!***