Jumat, 15 Februari 2008

''Adat Dia' Ko Ada-Adat''

Ditulis pada 4 Oktober 2005, tulisan yang judul lengkapnya Mongondow Kontemporer, Sebuah Pertanggungjawaban:‘’Adat Dia’ Ko Ada-Adat’’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tanggapan Hatta L Sugeha terhadap tulisan Adab Politikus dan Birokrat Bolmong: ‘Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol’ di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

LENGKAP sudah comedy of error di Bolaang Mongondow (Bolmong) tatkala membaca ‘’tantangan’’ dari Hatta L Sugeha (Tantangan Buat Sdr Katamsi Ginano, Manado Pos (MP), Kamis, 29 dan Jumat, 30 September 2005). Tulisan dalam bentuk surat pembaca itu adalah respons terhadap tulisan Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol (MP, Kamis, 22 dan Jumat, 23 September 2005).

Surat pembaca yang ditutup dengan permintaan agar dengan jantan bertanggungjawab, menuntut saya untuk menulis tulisan ini. Supaya, sebagaimana para orangtua Mongondow selalu berkata: Bain dia’ mo poko’oya’ sin andon sinon’ tulug yo noketet bi’ (Agar tidak memalukan karena sudah dijadikan ayam jantan tapi malah berkotet).

Agar pertanggungjawaban ini mudah dipahami, sebagaimana yang juga dituntut oleh Jibran Sugeha –lengkap dengan ancaman ‘’Anda berhadapan dengan seluruh Keluarga Sugeha’’, lewat telp pada Senin pagi, 26 September 2005, saya akan mengikuti kronologi selayaknya yang ditulis dalam surat pembaca yang isinya –meminjam ujar-ujar Anak Baru Gede (ABG)-- ‘’seram kali’’ itu.

Raja, Boki’, dan Bua’

Pertama, siapakah Abraham Sugeha? Dia adalah Raja (Datu’, Tuang Raja) ke-21 yang memerintah 1880-1892; yang dalam semua versi sejarah Bolaang Mongondow disebut sebagai Raja Pononigad (raja antara atau caretaker). Tentang Raja Pononigad, penulis-penulis sejarah Bolmong dari yang paling tua seperti misionaris Belanda W. Dunnebier hingga yang kontemporer seperti Dr Hasyim Mokoginta, bersepakat demikian adanya.

Bahkan, Dunnebier yang hampir menjadi satu-satunya rujukan sejarah Bolmong tertulis, jelas menyebut Abraham Sugeha sebagai Raja Pononigad, yang salah satu versi sejarahnya menyebutkan beristrikan Inalot C Manoppo; dan sejarah yang lain mengungkapkan dia beristri Inalot C Manoppo dan Bulawan Manoppo. Apakah dia diangkat oleh Belanda atau atas pengakuan rakyat Bolaang Mongondow, bisa disimak dari banyak catatan sejarah, termasuk yang kini tersimpan di Belanda..

Apa prestasi besarnya saat memerintah? Itu yang justru harus dijawab, apalagi berkaitan dengan akan ditahbiskannya nama Abraham Sugeha sebagai nama Rumah Sakit Pemerintah di Bolmong menggantikan nama Datoe Binangkang.

Kedua, kontroversi apakah Hotinimbang seorang bua’ (putri bangsawan) atau boki’ (permasuri)? Orang Mongondow yang benar-benar Mongondow tentu bisa membedakan apa arti bua’ dan boki’ dengan baik. Tegasnya: perkara ini jelas dan terang-benderang: Hotinimbang Manoppo adalalah seorang Bua’, bukan Boki’.

Hotinimbang menyandang gelar bua’ karena dia adalah putri dari Raja Egenus Manoppo. Alangkah anehnya bila kemudian Bua’ Hotinimbang Manoppo diubah menjadi Boki’ Hotinimbang Manoppo. Apakah itu bukan pemelintiran sejarah yang dilakukan dengan sengaja?

Bagi saya, anak ‘’kemarin sore’’ yang ghirah belajar sejarah nenek moyangnya, pertanyaan terbesar adalah: Kalau demikian istri dari Raja Bolaang Mongondow yang mana dan keberapakah Boki Hotinimbang itu?

Hatta L Sugeha tentu lebih bisa mengungkapkan dengan baik. Bahkan mungkin lebih baik dari Bua’ Emmy C Waworoentoe-Manoppo, cucu Raja Bolaang Mongondow ke-23, Datuela Cornelis Manoppo; anak dari Raja ke 24, Laurens Manoppo; dan adik kandung dari raja ke-25, Henny Junus Cornelis Manoppo; yang saat ini masih hidup dan bermukim di Kobo. Mungkin pula lebih baik dari Dr Hasyim Mokoginta yang sudah menjabarkan sebagian sejarah para Raja Bolang Mongondow kontemporer dalam Bolaang Mongondow, Etnik, Budaya dan Perubahan (Yayasan Bogani Karya-Pemda Kabupaten Bolaang Mongondow, 1996).

Bobahasaan bo O’a-heran

Tentang bobahasaan bo o’a-heran (komunikasi dan tenggang rasa –saling menghargai), tentu menjadi salah satu pilar tradisi dan kebudayaan Mongondow. Tuduhan Hatta L Sugeha, bahwa: ‘’… kalimat-kalimat yang muncul dari tulisan Bung Katamsi Ginano yang mengaku orang Mongondow yang begitu luar biasa vulgar dan kasarnya, seakan tidak pernah dididik soal adat istiadat Bobahasaan bo’ O’aheran…’’, bagi saya sungguh menunjukkan siapa yang sesungguhnya tidak dididik menjadi ‘’beradat dan berbudaya’’.

Apakah ada bobahasaan ketika Lapangan Kotamobagu diubah menjadi Lapangan Boki Hotinimbang? Apakah pula ada bobahasaan ketika Taman Tilawatil Qur’an menjadi Taman Marlina? Dan yang terakhir RS Datoe Binangkang menjadi RS Abraham Sugeha? Tidak ada!

Apakah pula ada o’a-heran? Tidak! Bolaang Mongondow bukanlah milik satu marga atau klan; dan penamaan terhadap ‘’sesuatu’’ yang ada di atas bumi Mongondow bukanlah hak prerogatif seseorang; walau dia Bupati sekalipun, apalagi kalau itu dengan sengaja dilakukan untuk kultus individu terhadap orang-orang yang berada dalam satu garis darah.

Anak-temurun Mokoagow, Damopolii, Mokoginta, Manoppo, dan marga Mongondow yang lain berhak untuk mendapatkan kehormatan yang sama, dan disapakati secara budaya dan sosial berdasarkan indikator-indikator objektif. Dan itu sudah dibuktikan oleh bupati-bupati Bolmong sebelumnya. Mokoagow tidak mengubah nama apapun ketika dia menjabat sebagai Bupati; demikian pula dengan Dampolii; atau Paputungan; Mokoginta (padahal Mokoginta punya pahlawan nasional Jenderal Mokoginta).

Mereka menjunjung apa yang dengan bangga ditanamkan dalam diri setiap orang Mongondow yang sadar terhadap indentitas budaya dan sosialnya: Mo o’a-heran.

Para Nenek Moyang

Tantang terhadap saya juga berkenaan dengan kontribusi saya dan nenek moyang saya terhadap Mongondow. Kutipannya: ‘’… tapi maaf sampai saat ini Saya belum pernah mengetahui ataupun mendengar kontribusi serta prestasi apa yang sudah diberikan oleh sdr Katamsi Ginano dan leluhurnya terhadap masyarakat Bolaang mongondow.’’

Untuk perkara itu, dengan bangga saya mengungkapkan, kalau Abraham Sugeha membuat kontrak dengan Belanda; maka kakek saya Ginano Mokoagow (yang hidup semasa dengan Abraham Sugeha dan bermukim di Bilalang) dibuang ke Aceh karena melawan Belanda.

Alhamdulillah, kakek moyang saya memberikan contoh bagaimana menjadi orang Mongondow yang berani. Nenek moyang saya mungkin ‘’hanya’’ memberikan jiwa dan raganya untuk Mongondow. Tidak lebih dan tidak kurang! Dan itu sudah cukup bagi anak-temurunnya.

Siapa Ginano Mokoagow? Hatta L Sugeha tentu tidak tahu; dan itu menurut saya berkaitan dengan tinggi-rendahnya ‘’langit pengetahuan sejarahnya’’. Sekali pun demikian, bagi anak-temurun Ginano Mokoagow, namanya tak perlu diabadikan jadi nama lapangan (apalagi ditambahani gelar Datu’ atau Abo’ Ginano Mokoagow) misalnya. Kenangan dan penghormatan cukup dengan menjadikan namanya sebagai cabang marga Mokoagow.

Ginano Mokoagow menurunkan Sinalaan Ginano (yang menyandang nama itu karena lahir bersamaan dengan pembuangan ayahnya ke Aceh oleh Belanda), yang bagi sebagian besar orang Mongondow dikenal dengan nama Ki O’. Ki O’ adalah kakek saya, ayah dari ayah saya.

Bagi orang Mongondow, sumbangsih klan Mokoagow dan cabang-cabangnya seperti Mokodompit dan Manoppo dalam sejarah Bolaang Mongondow, bisa dengan mudah dibuktikan dari catatan sejarah dan jejak-jejaknya yang hingga hari ini masih ditemui di mana-mana.

Pejabat Publik dan Ruang Publik

Akan halnya ketersingungan mengapa penggantian nama RS Datoe Binangkang menjadi Abraham Sugeha mesti dipersoalkan; juga posisi bupati sebagai pemangku adat (Bobato) in Bolaang Mongondow; menurut hemat saya mempertegas bahwa beberapa orang di Bolmong yang kini berada di kursi kekuasaan justru dengan sadar memprivatisasi hajat hidup orang banyak sesuka-sukanya.

Siapa pun berhak mempertanyakan alasan penggantian nama itu, karena fasilitas itu adalah milik publik yang didanai dengan dana milik publik (lewat APBN atau APBD); bukan dari kantong bupati dan keluarganya. Lain soal kalau bupati sebagai pribadi membangun RS dengan duitnya (tentu saja bukan duit hasil korupsi).

Dengan membandingkan penggantian nama RS Datoe Binangkan dengan GOR Senayan menjadi Gelora Bung Karno, Ujungpandang jadi Makassar, atau RS Wenang jadi RS Kandow, menunjukkan pula betapa sempit cara pandang orang yang bersangkutan. Itu sama artinya dengan membandingkan buah kelapa dan onde-onde.

Sedang soal bupati sebagai bobato in Bolaang Mongondow, justru karena itulah dia harus dikritik dengan tajam. Bupati adalah pejabat publik; demikian pula dengan bobato yang juga adalah pemangku kepentingan publik. Bagaimana mungkin seseorang pejabat publik dan juga pemangku kepentingan publik (dalam konteks adat) dibiarkan melakukan pelanggaran adat dan adab yang serius, dan semua orang Mongondow mendiamkan? Pelekatan boki’ terhadap Hotinimbang yang hanya bua’ lebih dari sekadar pemutaran balikan sejarah. Itu adalah pelanggaran adat super serius yang hukumannya bahkan lebih dari hanya mengompat kon lipu’.

Apakah pula pantas seorang bobato in Bolaang Mongondow dibiarkan melecehkan Datoe Binangkang, yang namanya ‘’ditiadakan’’ begitu saja tanpa pemberitahuan; tanpa permintaan izin; hanya karena yang bersangkutan memiliki kuasa? Kuasa yang bahkan dengan sengaja menginjak-injak adat Mongondow yang mengedepankan musyawarah (dan karenanya kita mengenal bakid dan mo bakid).

Siapa Melecehkan Siapa

Olehnya, siapakah yang sesungguhnya mengamuk bagai banteng terluka? Saya kira, sebagai warga Indonesia dan orang Mongondow yang merdeka dan bebas –juga dididik beradat dan beradab oleh orangtua--, saya hanya mempertanyakan dan berpendapat. Masalahnya, kalau kemudian pertanyaan dan pendapat itu dianggap sebagai pelecahan (terhadap bupati dan keluarganya); tidakkah itu terbalik?

Sebab itu, saya tidak tersinggung terhadap ‘’tantangan’’ yang dilontarkan Hatta L Sugeha atas nama Keluarga Besar Sugeha. Yang saya tidak paham, ibarat jari telunjuk yang tertuding, yang bersangkutan sadar atau tidak justru menusukkan ke lobang hidung sendiri. Bukan saya yang mempertanyakan dan berpendapat yang harus digugat oleh Keluarga Besar Sugeha; tetapi Bupati Bolmong yang membawa-bawa nama keluarga dan memutar-balikkan sejarahnya, yang harus diseret ke depan pengadilan keluarga dan adat.

Dan saya juga harus mengingatkan pada saudara Hatta L Sugeha, bahwa yang bersangkutan dan yang dia atas namakan berhutang bukan hanya pada saya dan keluarga besar klan Mokoagow; tetapi juga pada seluruh rakyat Bolmong. Pertama, hutang untuk menjawab dan meluruskan sejarah Hotinimbang, apakah dia boki’ atau bua’? Kedua, sejarah Abraham Sugeha sebagai raja dan prestasinya; hingga ‘’dianggap’’ lebih besar dan layak dibanding Datoe Binangkan. Hutang ketiga, dan ini yang terpenting, permintaan maaf dan penjelasan seberapa besar dia paham siapa nenek moyang saya dan temurunnya.

Demi kehormatan masing-masing pihak, tiga hutang itu tentu harus dilunasi. Saya sendiri, kurang atau lebih, sudah mempertanggungjawabkan pertanyaan, pendapat, dan sikap saya dengan menulis tulisan ini.***