Jumat, 15 Februari 2008

''De'eman Tonga' Tarepak Bo Monarepak''

Ditulis pada 28 Oktober 2005, tulisan yang judul lengkapnya Tanggapan atas Tanggapan: ’'De’eman Tonga’ Tarepak Bo Monarepak’’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah lanjutan polemik dengan Hatta L Sugeha di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).


ARTIKEL Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine, Manado Post (MP), Rabu, 26 Oktober 2005, membuat saya menggeleng-nggeleng. Bukan karena serangan pribadi dari penulisnya; tapi sebab masalahnya makin jauh dari substansi yang sejak awal dikedepankan, yaitu: ruang publik yang diprivatisasi.

Terjebak atau menjebakkan diri membawa ruang publik ke wilayah pribadi tentu tidak akan saya layani.

Sejak awal, kritik saya terhadap perilaku birokrat dan politikus di Bolaang Mongondow (lewat artikel ‘’Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol’’ dan ‘’Adat Dia’ Ko Ada-adat’’) tidak berkaitan dengan pribadi seorang Bupati atau siapapun; melainkan Bupati dan siapapun sebagai pejabat publik yang memperlakukan ruang publik sesuka-sukanya, seakan-akan itu milik pribadi, keluarga, dan golongan.

Tiga contoh yang saya kemukakan, perubahan nama Lapangan Kotamobagu menjadi Lapangan Boki’ Hotinimbang; Taman Tilawatil Qur’an menjadi Taman Marlina; dan RS Datoe Binangkang menjadi RS Abraham Sugeha; adalah ruang publik. Demikian pula pelekatan Boki’ pada Bua’ Hotinimbang Manoppo, juga berkaitan dengan kepentingan publik, karena boki’ dan bua’ adalah pengakuan budaya yang tentu sungguh memalukan bila tempatnya diputar-balikkan. Atau, bahkan dengan sengaja diada-adakan.

Dan ada pula contoh paling baru, yaitu penggunaan kompleks Bobakidan sebagai kawasan pasar senggol; yang menunjukkan bukan hanya pemerintah Bolmong tidak memiliki konsep jelas, melainkan dengan sengaja menodai persepsi sosial-budaya yang melekat pada gedung tersebut. Bila Kompleks Gedung Bobakidan bisa diubah menjadi kawasan pasar; saya tidak heran bila Kantor Bupati pun lama-lama menjadi teater komedi dan Rumah Jabatan entah jadi apa?

Sebaliknya, Hatta Sugeha yang sejak awal menempatkan diri menjadi wakil Keluarga Sugeha, mensemena-menai saya dengan terus-menerus menyerang ruang pribadi saya (baca kembali ‘’Tantangan Buat Sdr Katamsi Ginano’’ dan ‘’Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine’’). Bukan cuma memberi gelar ajaib macam ‘’angkuh, tinggi hati, pongah dan sombong, merasa diri paling pinter, tau segala-segalanya, merasa paling benar, dan menganggap orang lain bodoh dan tidak mengerti apa-apa’’, tapi juga ancaman dan tantangan.

Pengibaratannya, bila pejabat publik (katakanlah Bupati) menginjak kepala orang, dia menjadi sah dengan alasan ‘’karena Bupati’’ dan karena kewenangan. Tapi bila yang diinjak balas mencubit, dipersalahkan karena melanggar adat, tatanan, tidak hormat, dan bisa jadi berakhir dengan tuduhan pidana dan kriminal. Lebih aneh lagi, yang gusar dan keberatan justru bukan sang pejabat publik, melainkan orang lain yang sama sekali di luar wilayah tersebut.

Tentu publik bisa menilai siapa yang sedang menyerang pribadi dan berniat merusak karakter seseorang. Akan halnya pertanyaan dan pendapat saya terhadap privatisasi ruang publik, sejauh ini tidak seorang pun yang saya seret menjadi suporter. Setiap warga negara, sendiri atau bersama-sama, berhak dan wajib mempertanyakan hajat hidup orang banyak.

Apabila ada tudingan kritik saya berkaitan dengan dekatnya suksesi Bupati dan Wakil Bupati Bolmong; tolong baca kembali MP dalam empat tahun terakhir. Kritik, dari yang sindiran sampai terang-terangan, sudah berulang kali saya tulis. Problemnya, barangkali, karena selama itu kritik saya dimaknai sebagai kritik terhadap pohon poke-poke (terong) belaka; bukan pada pejabat publik yang bertanggungjawab terhadap seluruh masyarakat Bolmong.

Apa yang Diperdebatkan?

Konteks kritik saya terhadap pilihan pelekatan nama Abraham Sugeha menggantikan Datoe Binangkang sebagai nama RS Pemerintah di Bolmong, sesungguhnya dikuatkan oleh Hatta Sugeha, bahwa: memang tidak ada alasan yang absah dan masuk akal, kecuali alasan pribadi pejabat publik yang sedang berkuasa.

Ditilik dari sudut mana pun, Abraham Sugeha adalah Raja Pononigad (asal kata dari ‘’sigad’’, yang berarti ‘’antara’’, ‘’batas’’, atau ‘’ganjal’’). Benar bahwa ‘’Pononigad’’ dan ‘’Pinonigad’’ berbeda arti; tetapi bagi orang Mongondow yang paham benar arti dua kata itu, mudah mahfum mengapa saya lebih memilih pononigad ketimbang pinonigad.

Artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine juga membenarkan posisi Abraham Sugeha sebagai ‘’Raja Antara’’ atau ‘’carateker’’; dengan mengungkapkan secara eksplisit bahwa penggantinya bukanlah anak temurunnya, melainkan anak temurun Manoppo yang sebelumnya berkuasa sebagai Raja Bolaang Mongondow.

Akan halnya penyebaran Islam di Bolmong, saya sarankan tampaknya pihak yang berpolemik dengan saya harus membaca dengan cermat sejarah Indonesia. Sebagai gambaran, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Palgrave, 2001) yang ditulis M. C. Ricklefs (buku ini adalah salah satu literatur utama dalam memahami sejarah Indonesia), menulis bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak 1200. Di Indonesia Timur, di banyak literatur (terutama berkaitan dengan kolonialisme dan pengkabaran Injil), disebutkan bahwa Kerajaan Bolmong sudah berdiri 1500-an dan bersentuhan dengan Ternate (yang Islam) pada 1600-an.

Sebagai penyebar Islam, Abraham Sugeha hanya salah satu dari banyak penyebar lain. Lagipula, puncak kejayaan penyebaran Islam di Bolmong, harus diakui, justru karena peran Sarikat Islam (SI) –ini dibuktikan dengan jejak-jejak sejarah organisasi ini yang masih tersebar di mana-mana di Bolmong.

Dengan kata lain, ada klaim-klaim sejarah Abraham Sugeha yang juga harus diverifikasi dengan serius agar sejalan dengan sejarah objektif di sekitarnya. Lain soal kalau sosoknya dijadikan sentral dan subyek utama. Bila itu yang diinginkan, saya tidak ambil pusing. Anak temurun Abraham Sugeha berhak dan wajib bangga terhadap leluhurnya; tapi tentu dengan tidak mengabaikan penghormatan terhadap pelaku sejarah yang lain; dan itu adalah keniscayaan bagi orang Mongondow yang paham mo o’aheran.

Sebab kalau semata perkara kebesaran sejarah, katakanlah dengan mengesampingkan Datoe Binangkang, mengapa bukan nama Tadohe yang dijadikan pengganti Datoe Binangkang. Bukankah sejarah Tudu in (Passi) Bakid sungguh besar dan menggetarkan; yang bukan hanya mengajari orang Bolmong bagaimana penghormatan antara pemimpin dan yang dipimpin sebagai dua subyek independen; tetapi juga memperlihatkan kearifan para pemimpin dalam mengemban amanah dan tanggungjawab.

Terhadap peran Belanda dalam proses pengangkatan raja-raja Bolmong, terutama di abad 19 dan 20, memang tidak terbantahkan. Sama tidak terbantahkan bahwa di zaman Abraham Sugeha-lah (karena perjanjiannya dengan Belanda) tentara Kerajaan Bolmong dilikuidasi. Itu artinya: sejak zaman Abraham Sugeha Kerajaan Bolmong tidak memiliki ‘’alat pembelaan diri’’ dan semata-mata100 persen tergantung pada Belanda.

Sejarah yang benar harus dipahami dengan jernih; dan diakui.

Perkara Bahasa

Saya terusik betul dengan frasa ‘’Hotinimbang: Apakah dia seorang Boki atau Bua? dalam buku W. Dunnebier tidak ditemukan seperti ketentuan yang dimaksud oleh Katamsi Ginano, tetapi dari keluarga dan beberapa penulis sejarah Kontemporer Bolaang Mongondow, bersepakat bahwa tidak ada perbedaan Boki’ ataupun Bua’.’’

Keterusikan saya karena frasa itu memperkuat fakta bahwa pelekatan boki’ pada Hotinimbang Manoppo memang sekadar klaim dan ‘’selera’’ keluarga dan (kalau benar) beberapa penulis sejarah kontemporer Bolmong (saya kasihan betul pada sejarawan itu, yang arti kata boki’ saja tidak tahu lalu berani-beraninya bicara tentang sejarah Bolmong yang lebih besar dan kompleks).

Harap dicatat bahwa Bahasa Mongondow hingga kini masih umum digunakan sebagai bahasa keseharian di Bolmong, selain Bahasa Indonesia dan Melayu Manado. Jadi bohong besar kalau boki’ dan bua’ adalah dua kata yang mirip dua sisi dari satu mata uang. Lagipula, Dunnebier memang tidak membahas kata boki’ dan bua’; tetapi dia juga membuat kamus Mongondow-Belanda yang mestinya bisa dibuka-buka kembali sebagai referensi, itu pun kalau kita tidak lagi mempercayai penutur asli yang jumlahnya puluhan ribu di Bolmong.

Mungkin lebih mudah bila saya mencontohkan bagaimana kayanya bahasa Mongondow. Orang Mongondow mengenal pipit (anak ayam), tulug (ayam jantan), dan manuk (ayam). Pipit adalah manuk; tetapi jelas bukan tulug. Tulug adalah manuk pula; tapi sudah bukan pipit. Sedangkan pipit dan tulug, tentu absah saja disebut manuk.

Nah, boki’ adalah permasuri, istri raja; sedangkan bua’ adalah putri bangsawan, bukan hanya raja tetapi keturunan dari bangsawan umumnya (demikian pula dengan abo’ untuk kaum lelaki). Seorang boki’ bisa jadi adalah bua’ pula; karena dia anak bangsawan yang diperistri oleh raja. Seorang bua’ belum tentu bisa menjadi boki’. Dan seorang boki’, yang bukan keturunan bangsawan, tentu saja bukan bua’.

Saya kira, duduk soal boki’ dan bua’ itu jelas belaka (sebab artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine juga sebenarnya sudah menggambarkan dengan baik, walau bertentangan dengan frasa dari alinea yang lain). Bila tidak juga, saya kira bahasa Mongondow yang pantas adalah: ‘’Tuntulan kabi’ in da’un in bango’ to goba’, yo aka nomom pungit yo pungit bi doman’’ (Walau diterangi dengan unggun daun kelapa satu kebun, bila sengaja digelapkan maka tetap saja gelap).

Pelekatan boki’ pada Hotinimbang Manoppo yang hanya bua’, jelas karang-karangan saja. Karangan yang dalam konteks adat Mongondow adalah pelanggaran kelas berat yang dapat disebut: moko oya’ sin dia’ don ko oya-oya’ (memalukan karena tak lagi memiliki malu).

Dalam konteks bahasa pula, saya ingin mengoreksi judul artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine, yang dalam tata bahasa Mongondow sungguh keliru besar. Kalimat yang seharusnya adalah: ‘’Ki Ine Dega’ In Dia’ Ko Adat’’. Tapi mengingat membedakan boki’ dan bua’ saja sulit, maka kesalahan fatal tata bahasa Mongondow itu kita maafkan saja. Sebab bisa jadi yang menulis artikel itu juga ghost writer yang berlatar bukan Mongondow.

Kembali ke Ruang Publik

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan tetap menagih hutang maaf Hatta Sugeha terhadap saya dan nenek moyang saya; karena ruang pribadi itu sudah dibawa ke depan publik; dan saya sudah menjawab lewat tulisan ‘’Adat Dia’ Ko Ada-adat’’. Pengakuan ketidaktahuan dari bersangkutan bukanlah permintaan maaf!

Juga, bahwa saya menolak berdialog langsung, karena substansi masalahnya bukanlah urusan Keluarga Sugeha dengan saya; tetapi urusan saya sebagai orang Mongondow dengan pejabat publik dan ruang publik di Mongondow. Dengan tetap menghormati semua pihak yang konsern, saya tegaskan: yang saya kritik adalah Bupati sebagai pejabat publik yang memprivatisasi kebijakan publik terhadap ruang publik.

Pangkal soal silsilah keluarga, termasuk siapa yang sukses menjadi ini-itu, saya hormati dengan absahkan saja. Toh, misalnya saja saya dengan bangga mencantumkan Nabi Adam sebagai kakek-moyang saya, dan Presiden Mesir almarhum Anwar Sadat adalah saudara jauh saya, tidak ada pula yang ambil pusing (walau pun paham Teori Darwin, bahwa manusia adalah makluk yang berevolusi dari monyet, saya lebih suka tetap menyakini sebagai keturunan Nabi Adam saja). Lain soal kalau Nabi Adam juga saya bawa-bawa sebagai ‘’cap’’ saat berurusan dengan kepentingan orang banyak. Keturunan Nabi Adam yang lain tentu amat pantas melayangkan komplein dan keberatan.

Berkenaan dengan kepentingan publik di Bolmong, maaf saja, Hatta Sugeha tentu bukan pihak yang kompeten; sebab dia bukan pejabat publik yang dimaksud. Sekadar bertemu atau minum kopi dan mempercakapkan tentang soal-soal keseharian, akan saya sambut hangat, apabila ada waktu dan kesempatan. Lagipula, kalau yang bersangkutan cermat membaca tulisan saya, seluruh masalah sudah terang-benderang; yang bahkan pendapat saya langsung atau tidak sudah pula dikuatkan oleh Hatta Sugeha.

Lain soal kalau Bupati Bolaang Mongondow dan jajarannya; atau DPRD Bolmong, yang meminta saya bertemu dan saling menumpahkan uneg-uneg agar Bolmong menjadi lebih baik di masa depan. Dengan senang hati saya akan melayani, tanpa perlu meminta honor duduk atau uang dengar dan bicara.

Syaratnya, tentu bukan sekadar monarepak (dari asal kata ‘’tarepak’’ --arti harfiahnya: tai –ampas—minyak kelapa--, yang dahulu dimaknai pula sebagai ‘’beromong kosong’’) belaka. Terlalu sayang dan sedih bila hajat hidup orang banyak dilayani hanya dengan omong kosong.***