Sabtu, 16 Februari 2008

Musim Politik pun Tiba

EMAIL itu tiba subuh hari ini, Sabtu, 16 Februari 2008. Dan menjadi email pertama yang menerobos BlackBerry saya di pagi yang dingin. Pengirimnya, adik ketiga yang kini berkeluarga, bekerja, dan bermukim di Perancis.

Bagi khalayak di luar perkakak-beradikkan kami, isi email-nya tentu sama sekali tak berguna. Tidak pula ada relevansinya dengan sosio-ekonomi-politik kontemporer; apalagi hajat hidup orang banyak. Sebab isinya cuma tukar-kisah dan rindu-merindui antar keluarga. Sejauh apapun dia dan keluarga Perancis-nya (adik saya menikah dengan perempuan Perancis dan kini mereka punya dua anak hasil kolaborasi Mongondow-Perancis –yang artinya: putih, bermata coklat-kebiruan, rambut pirang, dan Alhamdulillah berhidung Mongondow yang mirip tomat), kabar kecil selalu menjadi pembicaraan panjang-pendek.

Kali ini cerita yang dipertukarkan adalah musim muntah. Apakah gerangan? Apa orang di Perancis, khususnya di kota tempat mereka bermukim, tak punya hobi lain hingga muntah dijadikan musim? Bukankah lebih baik kalau ada musim makan-makan; musim ketawa; musim banyak duit; atau sejenisnya, ketimbang musim muntah; apalagi musim tidak punya duit. Kesengsaraanlah yang terbayang-bayang.

Apa musabab musim aneh itu, entahlah, karena saya masih menunggu email berikutnya yang berisi penjelasan scientific dan mustahak dari perkara musim muntah ini. Yang jelas menurut email-nya, mereka anak-beranak, para tetangga, dan orang sekota, tidak asing dengan musim muntah ini di bulan-bulan tertentu.

Namun, email itu menyadarkan saya pada satu musim yang sekarang sedang berlangsung di Kota Kotamobagu: musim politik; yang dimanifestasikan lewat tim sukses, spanduk, poster, stiker, lagu, pidato, pos komando (Posko), dan fans club; yang celakanya bagi orang-orang tertentu diiringi komplikasi berat seperti terkaget-kaget, mudah naik darah, rasa muntah, sakit mata, sakit kepala, dan gatal-gatal yang tak terpetakan.

Begitu hebatnya fenomena seperti spanduk, stiker, dan Posko, sampai-sampai hanya sekitar lima tempatlah yang mungkin tidak dijamah oleh alat kampanye politik ini: patung di taman samping BRI, mesjid, gereja, pura (setahu saya ada satu pura di Jalan Amal), dan kuburan. Bahkan patung Bogani di Kotabangon pun sudah dilekati stiker para politikus dan mereka yang merasa pantas jadi calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu.

Saya ikut menyumbang musim ini lewat meng-iyakan beberapa spanduk berkaitan dengan Pilwakot Kota Kotamobagu. Untunglah, setelah istigfar, saya sadar untuk tidak membuat orang lain sengsara karena ke-ge er-an saya ikut-ikutan meramaikan musim politik di Kota Kotamobagu. Maka, dengan kesadaran penuh, saya memutuskan meminta adik-adik dan sedulur berhenti membuat spanduk; apalagi poster, stiker, Posko, atau fans club. Malu rasanya merasa penting di saat semua orang merasa lebih penting, lebih mampu, mampuni, ganteng, gagah, cerdas, dan kapabel.

Walau, sesungguhnya dibanding semua yang punya perasaan itu; rasanya saya tidak kurang penting –paling tidak untuk sanak-kerabat dan kawan-kawan--, mampu (toh saya bukan pemain kandang), mampuni (bisalah diuji dengan debat serta fit and proper test), ganteng (setidaknya saya masih muda dan sedang segar-segarnya), gagah (cobalah foto saya disandingkan dengan Brad Pitt, kurang lebih sama gagahnya); cerdas (yang satu ini, percayalah, hanya perasaan dan klaim pribadi), dan tentu kapabel (memimpin masyarakat Kota Kotamobagu yang umumnya terdidik, tidak membutuhkan lebih dari niat baik, kejujuran, dan tim yang solid).

Ge er (lengkapnya gede rasa, yang artinya ‘’perasaan penting semata’’) boleh-boleh saja, tetapi ke-ge er-an tentu harus dikontrol dengan kesadaran dan rasa malu.

Namun, kesadaran dan rasa malu itu pulalah yang membuat saya tergolong orang yang terkena komplikasi terkaget-kaget, mudah naik darah, rasa muntah, sakit mata, sakit kepala, dan gatal-gatal. Saya terkaget-kaget melihat begitu banyak orang yang merasa pantas, mampu, dan harus jadi calon Walikota dan Wawali. Yang dengan gagah berani maju (lengkap dengan menyebar SMS untuk dukungan), tanpa menakar apakah keinginan itu pantas dan patut.

Saya jadi mudah naik darah, karena spanduk, poster, stiker, poster dan segala pernak-pernik musim politik itu berisi kalimat dan gambar yang rasanya aneh dan ajaib. Apa lucunya melihat para politikus dengan aneka pose terpampang di mana-mana? Saya merasa ingin muntah karena klaim-klaim yang bersiliweran sesungguhnya jauh dari konteks keinginan membangun Kota Kotamobagu. Sebaliknya, menunjukkan bahwa sejumlah orang yang ge er itu memang mengejar kursi semata.

Dan segala spanduk, poster, dan stiker, ya Allah, benar-benar menyakiti mata. Demikian pula, lagu-lagu dan pidato yang dikumandangkan –bahkan di upacara kematian— sungguh membuat kepala berdenyut-denyut. Pun, akibat dari bersemangatnya pada calon kandidat, tim sukses, fans club, dan simpatisan, membuat tak cukup rasanya hanya menggaruk kepala, dada, tangan, atau kaki.

Rupa-rupa sengsara itu sungguh menyakitkan.

Itu sebabnya, mungkin memang lebih baik musim muntah saja seperti yang dialami adik saya; ketimbang musim politik seperti di Kota Kotamobagu saat ini. Terus-terang, diam-diam saya iri padanya.***