Sabtu, 16 Februari 2008

Kota Bukan Ini, Bukan Itu

SEORANG birokrat asal Bolmong yang berkarir di daerah lain mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota atau Wakil Walikota Kota Kotamobagu. Demi pencalonan itu, dengan percaya diri sang calon kandidat mengusung konsep ekonomi kerakyatan.

Melalui konsep itu, katanya (yang saya baca di edisi online satu harian yang terbit di Manado), Kota Kotamobagu akan dibangun demi kesejahteraan masyarakatnya.

Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive dari Jared Diamond (Peguin Books, 2005) yang ada di panggkuan saya nyaris jatuh membaca pernyataan itu. Masa depan orang banyak di Kota Kotamobagu diselamatkan dengan ekonomi kerakyatan? Dari mana pikiran ajaib itu mampir di kepala yang mulia calon kandidat? Apakah yang bersangkutan sekadar keseleo lidah? Latah ber-ekonomi kerakyat-an karena dua kata ini kedengaran keren dan kerap diucapkan di mana-mana? Sekadar jualan politik? Atau karena yang bersangkutan memang paham benar apa itu ekonomi kerakyatan?

Sederetan pertanyaan itu dengan segera membentuk geografi dan monografi Kota Kotamobagu di benak saya. Tersuruk di tengah lembah Bolaang Mongondow, tanpa lapangan terbang dan pelabuhan laut, kota yang baru seumur jangung ini hanya terdiri dari empat kecematan; tak lebih dari 30 kelurahan dan desa; dengan wilayah –yang meminjang istilah adik saya—‘’cukup untuk rute gerak jalan 17 Agustusan’’; dan berpenduduk cukup padat –berkisar kurang 150.000 jiwa.

Apa sumber ekonomi utama Kota Kotamobagu? Pertanian? Komoditasnya apa dan lahannya di mana? Usaha kecil dan menengah? Selain kacang goyang dan Kopi Kotamobagu, apakah ada usaha skala kecil-menengah lain yang bisa kita sebutkan? Jasa? Jasa apa?

Jadi, menurut hemat saya, yang mulia calon kandidat barangkali sekadar salah makan dan keracunan ikan lolosi saat diwawancarai wartawan. Sebab saya juga tidak yakin kalau yang bersangkutan paham apa itu konsep ekonomi kerakyatan.

Apakah pula ekonomi kerakyatan yang dimaksud adalah konsep ekonomi yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat (apapun bentuk praktisnya); atau konsep ekonomi yang bertumpu pada kemampuan dasar rakyat di satu wilayah tertentu, yang akan didorong dan dikembangkan hingga menjadi kekuatan utama penopang kesejahteraan mereka?

Asal bicara konsep ekonomi kerakyatan itu, menurut saya, sama ngawurnya dengan cita-cita yang dicanangkan Pjs Walikota Kota Kotamobagu beberapa waktu lalu, yang akan menjadikan kota ini sebagai kota pendidikan dan jasa. Dari berbagai sisi dan sudut, cita-cita itu bukan sekadar mimpi di siang bolong; tetapi lamunan yang keterlaluan.

Apa pra syarat sebuah kota, apalagi sekecil Kota kotamobagu, bisa didorong menjadi kota pendidikan dan jasa? Bukan sekadar infrastruktur, yang dengan kapital besar bisa segera dibangun dalam beberapa tahun ke depan; atau sumber daya manusia (SDM) yang bisa dibajak atau disediakan dengan mengirim sebanyak mungkin ‘’orang Kota’’ studi S2 dan S3. Ada hal yang lebih filosofis dan subtantif, yang bisa disederhanakan dengan pertanyaan: apakah kultural masyarakat Kota Kotamobagu secara historis menyiapkan dirinya untuk menjadikan kotanya kota pendidikan?

Pendidikan bukanlah sebuah proses belajar-mengajar saja; melainkan atmosfir utuh, yang mencakup dan melingkupi seluruh proses dan jejaringnya. Dengan SD kualitas kota kecil, SMP dan SMU yang kurang lebih sama; satu akademi swasta; dan dua Perguruan Tinggi (PT) swasta yang lebih sibuk bersikutat dengan dana operasional, apa yang diharapkan? Belum lagi pra syarat normatif lain sebagaimana yang lazim dibutuhkan oleh komunitas terdidik dan ingin terdidik semisal meseum, galeri, teater, laboratorium, dan tentu toko buku yang lengkap. Termasuk pula jaringan koneksi internet cepat, mengingat pendidikan dan teknologi di zaman ini adalah kembar siam yang tidak bisa dipisahkan lagi.

Mungkin Kota Kotamobagu memang bisa jadi kota pendidikan, tetapi di era entah kapan; pun di saat itu anggap saja Singapura sudah habis ditelan tsunami, Yogyakarta tidak ada lagi, atau yang paling terdekat Manado sudah menutup semua PT dan universitas yang ada.

Lalu kota jasa? Sekali lagi, jasa apa? Kalau kita bicara jasa yang paling cepat mampu membangkitkan ekonomi sebuah kota, maka jasa keuangan dan moneterlah itu. Berapa banyak bank yang ada di Kota Kotamobagu? Dengan jumlah uang berapa yang berputar? Kalau mau lebih disederhanakan lagi, apakah ada pakar ekonomi dan keuangan yang mau mengorbankan dirinya untuk datang ke Kota Kotamobagu untuk memulai karir dan usahanya?

Dengan ekonomi yang kurang lebih bertumpu hanya pada anggaran pemerintah (terutama gaji PNS dan proyek-proyek pemerintah), retail skala kecil, dan jasa transportasi rakyat (hitung saja berapa besar jumlah bentor yang beroperasi), sungguh dibutuhkan akal sehat dan kewarasan untuk membangun Kota Kotamobagu. Dua hal inilah yang tidak saya lihat hari-hari terakhir ini, di saat begitu banyak orang yang berkeinginan menjadi pemimpin di kota ini. Yang saya kuatir, alih-alih menjadi pemimpin, mereka yang sibuk menebar poster dan stiker bergambar sosok dengan jas atau jaket kulit mengkilap, hanya akan membawa masyarakat menjadi gerombolan pemimpi.

Galibnya pengkritik, bagaimana bila saya dikritik dan ditanyai konsep membangun Kota Kotamobagu? Tentu pengkritik yang baik harus punya solusi. Sayangnya saya tidak akan mengubar konsep dan solusi itu, mengingat ada budaya buruk lain yang berkembang di kalangan mereka yang menganggap dirinya layak jadi pemimpin di Bolaang Mongondow: meniru tanpa berpikir, yang hasilnya bahkan lebih buruk dari yang ditiru.

Buktinya, karena di Pilkada sebelumnya di permukaan poster, stiker, bagi-bagi hadiah dan uang, serta menyanyi di pesta pernikahan adalah cara kampanya yang dianggap efektif; semua calon kandidat di Pilwako Kota Kotamobagu kini beramai-ramai melakukan hal yang sama. Tanpa inovasi, modifikasi, atau sentuhan kreatif.

Apa iya kota ini harus dibangun dengan cara yang tidak kreatif, sementara modal terbesar peradaban manusia saat ini justru adalah kekayaan intelektual?***