Kamis, 06 Maret 2008

Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda

Ditulis pada 12 Mei 2008, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


TERTAWA konon bisa membuat seseorang panjang umur.

Kalau Anda cukup punya sense of humor, mau memahami konteks lokal, dan ingin tertawa tak putus-putus, maka datanglah ke Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Saya jamin akan sangat menggairahkan. Tidak kalah dengan komedi konyol Mr Bean yang dimainkan Rowan Atkinson.

Bedanya, di Bolmong komedinya boleh dibilang high level-high tension karena aktor-aktor dan artisnya tak lain para politikus lokal papan atas dan orang-orang tua yang harusnya dipanuti sebab kebijakan dan kebijaksanaanya. Mereka yang mestinya jadi mercu suar bagi akal sehat dan kewarasan.

Salah satu contoh renyah adalah pentas komedi pengukuhan gelar (katanya) adat ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ pada Bupati Bolmong, Marlina Moha Siahaan, oleh (katanya lagi) Lembaga Adat Bolmong yang dihelat di Lapangan Kotamobagu, Rabu, 9 Mei 2007. Dalam perspektif orang Mongondow yang hanya sedikit memahami adat, tradisi, dan budaya Mongondow, acara itu sungguh mampu membuat saya terbahak-bahak. Apalagi setelah tahu siapa yang memberi anugerah; pun bagaimana DPR menyiapkan pula SK untuk gelar yang lain, ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’. Seram sekali!

Apanya yang lucu?

Pertama, gelar ‘’boki’’ yang dianugerahkan. Orang Mongondow yang masih menggunakan bahasa Mongondow di kesehariannya tahu persis ‘’boki’’ berarti permasuri atau istri raja. Dengan memberi gelar ‘’boki’’ maka secara otomatis mendudukkan suami sang penerima gelar sebagai ‘’tuang raja’’. Artinya, otomatis pula sesungguhnya yang berkuasa adalah ‘’Raja Syamsudin K Moha’’ yang dikenal umum sebagai suami Bupati Bolmong.

Dalam sejarah Bolmong setahu saya yang berkuasa adalah ‘’raja’’, bukan ‘’ratu’’; karena budaya Mongondow, dalam konteks kerajaan, bersifat patriaki. Untuk itu selamat untuk ‘’tuang raja’’ yang menerima daulat berkuasa! Tanpa ‘’tuang raja’’, ‘’boki’’ ibarat sandal tanpa pasangan.

Logika keliru ‘’gelar adat’’ itu mengingatkan saya pada pemberian gelar berbahasa Mongondow yang pernah dilakukan pada salah seorang tokoh penting di Sulut. Lucunya, setelah penganugerahan dilakukan barulah para pemberi sadar bahwa gelar tersebut galibnya diberikan pada sangadi (kepala desa). Agar tak menjadi aib, jalan keluarnya gelar tersebut diimbuhi kata baru yang berarti ‘’besar’’.

Andai yang menerima paham kebudayaan Mongondow, pasti tersinggung berat, sebab tetap saja artinya hanya berubah dari ‘’kepala desa’’ menjadi ‘’kepala desa besar’’.

Kejadian itu sama lucunya dengan penamaan Lapangan Kotamobagu (yang hingga kini tanpa malu belum juga dikoreksi) menjadi Boki Hotinimbang. Orang Mongondow tahu bahwa Hotinimbang bukanlah ‘’boki’’, melainkan dipaksa-paksakan menjadi ‘’boki’’ dengan kemauan dan keputusan politik dari mereka yang merasa sedang berkuasa.

Kedua, Lembaga Adat Bolmong. Ini institusi apa? Siapa yang memilih dan memutuskan bahwa orang-orang yang duduk di dalamnya adalah penjaga ‘’aturan-aturan, moral, dan etika’’ Mongondow? Saya yakin tidak ada satu pun surat atau kesepakatan yang mentahbiskan orang-orang itu sebagai representasi orang Mongondow dalam urusan peradatan, kecuali bahwa mereka ge-er dan merasa penting saja.

Tokoh adat, bagi orang Mongondow, selalu berasal dari pengakuan yang didapat bukan karena penunjukkan, melainkan proses panjang yang diuji dari kebijakan dan kebijaksaan. Tokoh adat adalah pengakuan tanpa suara. Tanpa sertifikat dan pelembagaan. Termasuk tidak diangkat dengan SK Bupati atau SK DPR. Dan, tidak berhak memberi gelar semacam ‘’boki’’.

Bahwa kemudian ada sekelompok orang yang merasa mengerti adat, mengklaim sebagai ‘’tokoh adat’’ --karena politisasi terhadap segala hal--, saya tidak ambil pusing. Tapi tolong untuk tidak mengatas-namakan orang Mongondow, apalagi untuk sesuatu yang amat sangat keliru.

Terlebih lembaga tersebut ternyata diketuai Bupati Bolmong sendiri, sang penerima gelar. Narsis betul.

Lagipula keturunan Raja Bolmong terakhir masihlah ada. Dari aspek tradisi dan budaya Mongondow, sebagai bentuk penghormatan terhadap adat mo o-aheran, pernahkah mereka ditanyai –atau minimal diinformasikan?

Ketiga, apa itu adat, tradisi, dan budaya? Tampaknya orang-orang di Lembaga Adat Bolmong mesti mengundang mahasiswa Bolmong yang studi ilmu sosial agar mereka paham apa itu adat, tradisi, dan budaya. Ini agar mereka sadar bahwa feodalisme sudah berakhir berpuluh tahun yang lalu (dan yang mengakhiri justru Raja terakhir yang dengan sukarela melepaskan hak istimewa yang diberikan oleh tradisi dan kebudayaan Mongondow). Dan bahwa gelar ‘’boki’’ atau ‘’bua’’ adalah produk budaya, tradisi yang melembaga, dan bukan adat.

Adat Mongondow yang sesungguhnya adalah menghormati kepantasan, tahu malu, tahu diri, tahu tempat, dan nilai-nilai luhur sejenis. Gelar ‘’boki’’ di zaman ketika keturunan Raja pun sudah tidak petantang-petenteng dengan darah birunya, sungguh diluar kepantasan dan hanya patut diapresiasi sebagai lakon komedi.

Yang saya takutkan –dan ini bukan dengan niat tidak beradat--, jangan-jangan yang disebut sebagai Lembaga Adat Bolmong hanya sekumpulan orang yang sedang mengingau.

Keempat, (dan ini tak kalah gawat) DPR Bolmong turut pula mengarang gelar ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’, lengkap dengan SK-nya. Rupanya para anggota DPR itu terlalu banyak menonton sinetron dan infotaiment yang banyak ditaburi bunda-bundaan --termasuk Bunda Dorce-- hingga perlu menambah satu bunda lagi di Indonesia.

Bunda memang kata yang imajinatif ketika dilekatkan pada Bunda Maria (Ibunda Nabi Isa –Yesus Kristus dalam kepercayaan Kristen) atau Bunda Teresa yang kerja sosialnya di India menjadi salah satu ekspresi kemanusiaan terbesar di abad 20. Bupati Bolmong tentu tidak sekelas dan setanding dua wanita luar biasa ini. Maka rasionalisasi satu-satunya adalah ‘’Bunda Pembaharuan Pembangunan Totabuan’’ kurang lebih sama dengan Bunda Dorce.

Coba, apa fakta yang bisa diajukan oleh DPR hingga gelar ajaib itu perlu dilegitimasi secara politik lewat SK? Apa capaian monumental dari Bupati Bolmong saat ini, kecuali memberi nama lapangan, tugu, dan menghabiskan miliaran rupiah untuk Persibom? Apa yang diperbaharui di Bolmong selama enam tahun terakhir? Kalau jalan-jalan penuh lobang, sekolah banyak yang reot dan kekurangan guru, Puskesmas-Puskesmas kumuh dan mengundang iba, dianggap sebagai pembaharu pembangunan, kenapa tidak sekalian DPR Bolmong juga memberi gelar pada Flinstone?

Kecuali kalau ukurannya adalah rumah para politikus dan pejabat yang makin mentereng serta mobil dinas mengkilap. Atau DPR Bolmong sedang ingin mengganti mobil baru dan mendapat tambahan tunjangan, seperti modus biasa yang selalu dimainkan bila sedang ‘’ada maunya’’?

Bila pemekaran yang dijadikan tolak ukur, mestinya Presiden RI dan Mendagri yang lebih pantas diberi anugerah. Toh bukan Bupati yang menanda-tangani SK pemekaran. Jangan lupa pula ‘’tragedi map kuning’’ yang pernah menjadi pengganjal upaya pemekaran yang sudah diinisiasi oleh banyak tokoh, termasuk oleh Bupati-Bupati terdahulu.

Apakah terpikirkan oleh para anggota DPR bila satu saat Bupati Bolmong ternyata pernah khilaf lalu diserat ke meja hijau, apakah gelarnya bakal direvisi?

Begitulah, saya bangga menjadi orang Mongondow karena orang-orang yang seharusnya jadi panutan dengan sekurela berperan sebagai badut. Kita pun boleh terbahak-bahak tanpa takut ancaman itu-itung (menguning seperti kunyit, menghitam bagai arang) atau sumpah-sumpah tua sejenis.

Bukankah belum ada hukum dan adat di Bolmong yang melarang orang tertawa?***