Sabtu, 29 Maret 2008

Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu (I)

Posting ini ditulis untuk menjawab beberapa hal penting berkaitan dengan artikel tanggapan dan email-email Kurniawan S Basol berkaitan dengan posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu. Sebagai catatan: Cukup banyak teman, kenalan, dan kerabat, yang mengirim SMS atau menelepon agar saya tidak menjadikan Saudara Kurniawan S Basol satu faktor penting, dengan menanggapi apa yang dia tuliskan. Namun, bagi saya, menanggapi yang bersangkutan harus dilakukan dengan niat baik agar dia tidak ''tersesat'' lebih jauh dengan kebenaran versinya sendiri, yang tanpa landasan dan argumen kokoh.

BANYAK anak muda, dengan berbagai alasan –-terutama sikap dan kebrilianan otaknya-- yang saya kagumi. Beberapa di antara mereka adalah orang Mongondow.

Dengan alasan berbeda, daftar itu bertambah lagi pekan lalu, tepatnya Minggu, 23 Maret 2008, saat membaca email dari Kurniawan S Basol. Terus-terang, saya kagum pada kegagah-beraniannya berkilah dan membenarkan kedunguan yang dibuat. Saya jarang menemukan ada orang yang sekukuh dia mempertahankan pendapat yang keliru se keliru-kelirunya, terutama bagi kalangan yang bersekolah dengan benar.

Sempat terlintas di kepala, jangan-jangan saya berbalas email dengan orang yang ‘’agak kurang genap’’. Namun, dengan berpikir positif, saya kembali merespons si Kurniawan S Basol –-yang calon sarjana-- ini, agar yang bersangkutan lebih tekun belajar supaya tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dikucurkan orangtuanya. Bukankah sungguh memalukan bila sudah jauh-jauh disekolahkan ke Makassar dan hasilnya cuma otak yang cupet.

Saya akan menuliskan satu per satu –-dengan sejelas-jelasnya—hal-hal sederhana yang tampaknya sungguh sulit dipahami oleh sang calon sarjana ini.

Perkara Substansi

Musabab saling tanggap antara saya dan Kurniawan S Basol adalah tanggapannya atas posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu, yang dimuat di Radar Bolmong, Edisi II, Minggu I Maret 2008 (Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”). Artikel itu kemudian saya komentari dengan posting Kodok Itu Bernama Kurniawan S Basol, yang kemudian dimuat lagi oleh Radar Bolmong (sampai hari ini saya belum memegang edisi tercetaknya).

Lewat email, Kurniawan menanggapi posting itu. Dan yang bisa disimpulkan adalah: Menurut sang calon sarjana ini, saya sama sekali tidak paham substansi yang dia sampaikan lewat Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!” Sebab, menurut email-nya (saya kutipkan): ‘’Semuanya perlu di telaah secara substansial. bukan kata–perkata’’.

Baiklah. Ada sejumlah hal subtantif yang sudah saya sampaikan di posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu. Pertama, kebanyakan pejabat dan mereka yang mengaku tokoh (terutama dengan syawat politik tinggi), gemar bicara tanpa mikir. Contohnya, ya, membangun ekonomi Kota Kotamobagu dengan konsep ekonomi kerakyatan; pun menjadikan kota dengan empat kecamatan yang tersuruk di lembah Mongondow ini sebagai kota pendidikan dan jasa. Kedua, kerena bicara tanpa mikir itulah (apalagi membaca), maka jelas tidak ada telaah memadai terhadap apa yang disampaikan. Itu bukan sekadar ngelantur, tetapi mimpi yang keterlaluan. Dan ketiga, kebanyakan kita di Mongondow, karena terlampau ‘’mendewa-dewakan’’ orang –akibat ikatan kekerabatan atau semata karena segan tanpa alasan— membiarkan begitu saja kengawuran itu berlangsung, padahal hajat hidup kita semua terkait langsung.

Lalu, apa substansi yang ingin disampaikan oleh Kurniawan S Basol lewat tanggapannya, Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”?

Pertama, menghina saya dengan mengganti nama saya seenak berok neneknya sendiri dari Katamsi Ginano menjadi ‘’Komedian Kasino’’. Saya ulangi lagi, dengan dasar argumentasi apa saya diperlakukan seperti itu? Blog saya jelas mencantumkan identitas, begitu pula Radar Bolmong yang memuat tulisan itu. Dan siapa pun yang menanggapi, tahu persis yang bahwa yang menulis adalah saya.

Kedua, sang calon sarjana kini ini boleh membaca lagi tulisannya, yang sudah saya posting-kan di blog ini (saya mengetik kembali tulisannya dengan ember di samping kiri karena tak kuat menahan rasa muntah –ampun, betapa amburadulnya bahasa Indonesia tuan calon sarjana ini). Selain mengutip-ngutip dan memelintir beberapa bagian tulisan saya, apa yang ingin Anda katakan saudara Kurniawan S Basol? Teori atau sanggahan? Kita lihat nanti di bagian lain tulisan ini.

Simpulan saya, kata ‘’substansi’’ ini tampaknya baru mulai dikenal oleh tuan calon sarjana ini. Seperti bayi yang baru kenal kata ‘’Papa’’ dan ‘’Mama’’; dia sungguh tergila-gila menggunakannya, sekali pun tidak tahu persis kapan dan di mana penggunaan tepatnya. Tengok saja, di depan seorang bayi yang baru belajar bicara, semua yang laki-laki dipanggil ‘’Papa’’ dan semua perempuan disapa ‘’Mama’’, sampai matanya benar-benar terbuka dan bisa membedakan yang mana Papa dan Mama-nya; dan yang mana Papa dan Mama-nya orang lain.

Kurniawan S Basol, dengan artikel Anda yang bahasa Indonesia tidak karu-karuan, apa sebenarnya yang ingin ada sampaikan? Sebagaimana yang sudah saya tuliskan, kalau Anda paham apa itu subtansi, maka: ‘’Tuliskan substansi yang Anda maksudkan dengan dua kalimat sederhana, sebagaimana yang galib dilakukan orang-orang yang tingkat kecerdasannya terukur.’’ Tidak perlu mengutip-ngutip dan memelintir kalimat yang saya tuliskan. Percayalah, saya lebih tahu apa yang saya maksudkan; dan saya yakin begitu terang-benderannya hingga anak SMP pun tahu apa maksudnya.

Calon Walikota Kota Kotamobagu

Di tulisan tanggapan maupun email-nya tuan calon sarjana ini berulang-kali menyitir ‘’kandidat calon walikota’’. Eksplisit dan implisit yang bersangkutan menyatakan saya sama dengan beberapa orang yang syawat politiknya sedang di puncak, yang kini sedang narsis mengklaim diri mereka sebagai ‘’yang pantas dipilih’’ lewat baliho, poster, selebaran, fans club, bahkan pemberitaan di media massa yang dibayar.

Tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu sama sekali tidak mengklaim, mencantumkan, atau menempatkan diri saya sebagai kandidat calon walikota Kota Kotamobagu. Dalam konteks tulisan saya, dari mana tuan calon sarjana menyimpulkan bahwa saya adalah kandidat?

Yang terpenting lagi, apakah sudah ada kandidat calon walikota Kota Kotamobagu saat ini? Kecuali beberapa politikus, birokrat, dan pengusaha yang ge-er, setahu saya sampai saat ini belum ada satu pun yang pantas disebut kandidat calon walikota; sebab belum ada satu pun partai politik yang secara resmi menyebutkan nama.

Maka, tuan calon sarjana, pergilah ke dokter dan periksa darah, jangan-jangan Anda mengindap malaria dan apa yang Anda tuliskan adalah halusinasi akibat demam tinggi.***