Kamis, 06 Maret 2008

Pergelaran Gelar di Negeri Dongeng

Ditulis pada 22 Mei 2007, tulisan yang judul lengkapnya Pergelaran Gelar di Negeri Dongeng (Tanggapan atas Makna Gelar Kebesaran Adat ‘Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’) ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Hi Zainal Lantong, Makna Kebesaran Adat 'Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan', di harian yang sama pada 21-22 Mei 2007.


BUNGGAH hati ini membaca tulisan Hi Zainal A Lantong, Makna Gelar Kebesaran Adat ‘Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’ (Manado Post, 21-22 Mei 2007). Orang tua, yang telah bernaik haji pula dan duduk sebagai Sekretaris Umum Lembaga Adat Bolmong, Ketua AMABOM, dan anggota Dewan AMAN, tentu lebih dari layak dipercaya tutur dan tindaknya.

Itu sebabnya saya ingin berterima kasih sebesar-besarnya karena tulisan itu dengan gamblang sudah menegaskan bahwa: gelar (katanya) adat Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan yang dianugerahkan pada Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Marlina Moha-Siahaan, memang hanya pergelaran, tontonan wisata berlatar budaya.

Yang telah saya tuliskan di Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda (Manado Post, Rabu 16 Mei 2007), sudah dibenarkan.

Bila saya memaknai pergelaran itu sebagai tragi-komedi; sedang pihak lain, terutama Bupati, DPR, dan Lembaga Adat Bolmong bersikukuh itu teater serius, apa yang salah? Penonton layak menyimpulkan apa yang dia saksikan, apalagi bila latar kisah yang dipentaskan terang-benderang dipapar oleh para sutradara di belakangnya.

Tidak pula ada darah yang perlu tumpah karena orang ramai mengomentari satu pergelaran. Sutradara dan aktor serta aktris yang terlibat-lah yang harus merasa malu bila lakon yang menurut mereka serius, justru dimaknai sebagai tragi-komedi. Artinya, dalam segala aspek, mereka gagal meyakinkan penonton.

Cuma Atraksi Wisata

Gelar (katanya) adat untuk Bupati Bolmong itu bermula dari undangan rapat yang dipandu Kepala Dinas Pariwisata Bolmong, Dondo F Mokoginta, SH. Apa hubungannya Dinas Pariwisata dengan gelar adat, kecuali untuk konsumsi wisata budaya?

Kalau Dinas Pariwisata sudah mengurusi penganugerahan gelar yang berkaitan dengan budaya tinggi dan serius sebagaimana gelar ‘’boki’’; dan dianggap sesuatu yang sungguh-sungguh; artinya masyarakat Bolmong memang telah hidup di negeri dongeng. Bisa jadi besok-lusa Dinas Pekerjaan Umum akan lebih sibuk mengurusi sepak bola, Kantor Agama mengeluarkan fatwa konstruksi jalan raya, dan Dinas Sosial mengelolah rumah sakit.

Kekacauan itu boleh terjadi di lakon komedi (namanya juga lucu-lucuan) atau di negeri dongeng. Tidak bagi komunitas yang hajat-hidupnya diurus dengan jujur dan bermarabat.

Kita tahu bersama apa itu kejujuran; tapi apa itu martabat?

Di The Remains of The Day (1989) yang memenangkan Booker Prize, penulis Kazuo Ishiguro menggambarkan dengan baik apa yang dimaksud dengan ‘’martabat’’, yaitu: ‘’berkaitan dengan kemampuan seorang untuk tidak menanggalkan sosoknya (terutama profesionalisme) demi sosok pribadinya dengan sedikit provokasi’’.

Dengan kata lain, martabat tidak akan digadaikan hanya karena private need. Seorang birokrat yang bermartabat tidak menanggalkan kritik dan koreksinya ke Bupati hanya karena takut dicopot dari jabatan. Politikus profesional tidak akan memanjangkan lidah hanya karena takut di-Pergantian Antar Waktu-kan dari DPR. Seorang tokoh adat tidak akan menjual budaya luhur etnis atau sub-etnisnya hanya karena iming-iming uang atau ‘’permen’’ kekuasaan.

Martabat itulah yang tidak saya lihat ketika orang-orang berbondong menjerumuskan Bupati Bolmong menjadi tokoh komedi. Andai orang-orang di sekitar Bupati paham bagaimana menjaga citra Bupati sebagai tokoh utama di Bolmong, mereka mestinya mampu memberi pertimbangan, koreksi, dan kritik yang rasional.

Alih-alih dimaksudkan sebagai penghormatan, gelar (katanya) adat ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ sebagai padanan ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’ ke Bupati Bolmong justru jadi penghinaan, yang harus dipertanggungjawabkan oleh para pemberi (termasuk mereka yang mengklaim diri tokoh-tokoh adat pemberi gelar).

Dengan sepenuh hormat, saya sangat maklum bahwa di bawah rezim yang ‘’berlangit pendek’’, tiran, feodalistik, dan keras kepala, beda pendapat hukumnya bisa haram mu’akad. Namun tutup mulut dan pasrah semata-mata karena ketergantungan pada jabatan atau privilege dekat dengan Bupati, menurut saya, adalah tindakan yang sangat di luar akal sehat.

Akal sehat itulah yang mendorong saya untuk mengkritik, bahkan dengan mempertaruhkan imbasnya terhadap sejumlah keluarga dekat, termasuk adik saya (seorang PNS yang bisa setiap saat ditendang ke hutan rimba di luar sana oleh kekuasaan politik dan birokrasi), yang justru mungkin sama sekali berbeda sikap dan pandangan. Bukan rahasia lagi, di Bolmong yang berbeda pendapat dengan para elit politik dan birokrasi, bisa dianggap sebagai musuh lahir-bathin.

Mengacaukan Pengertian

Berkaitan dengan budaya, adat-istiadat, dan tradisi di Bolmong, terus-terang saya kecewa dengan para orang tua yang terlalu bersemangat membengkokkan logika, hanya untuk membenarkan kesalahan fatal yang mereka perbuat.

Sekali lagi saya ingin mengulang (walau pun saya sudah menuliskan sebelumnya di Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda, bahwa adat adalah hukum yang mengatur tata laku dan tata hidup. Dan gelar atau pernak-perniknya ‘’cuma’’ urusan tradisi. Masak untuk definisi sepele seperti ini saya harus mengajari para orang tua?

Pun, apakah saya harus mengajari bahwa hasil Seminar Adat Daerah Bolmong yang dilaksanakan pada 29-31 Juli 1997 bukanlah undang-undang yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Bolmong. Seminar hanya melahirkan rekomendasi, bukan kesepakatan publik. Orang boleh mengiyakan, boleh pula mempersetankan.

Seberapa tebal sekali pun rekomendasi seminar yang dicontohkan meliputi aspek adat perkawinan, aspek adat pakaian adat, aspek adat penjemputan tamu dan penobatan pejabat, serta aspek adat pemakaman, dia belum diputuskan sebagai panduan tunggal. Pernikahan, misalnya, bagi adat Mongondow hukumnya jelas: pihak laki-laki harus dengan sebaik-baiknya meminta anak perempuan pihak wanita. Soal mempelai menikah dengan pakaian apa, dipestakan di mana, siapa yang boleh pidato atau tidak, tidak diatur dalam wilayah yang disebut ‘’adat’’.

Kekacaun seperti itu pula yang terjadi ketika arti gelar yang disandangkan ke Bupati Bolmong dipaparkan dengan gagah berani; sekaligus membuat saya menyimpulkan bahwa orang-orang di Lembaga Adat Bolmong (sebagai pemberi gelar) mengigau saja.

Saya ingin menegaskan bahwa semua orang Mongondow yang masih bertutur dengan bahasa ibu tahu bahasa Mongondow tertentu hanya memiliki arti tertentu pula bila berdiri sendiri; tetapi multi tafsir ketika dilekatkan dengan kata yang lain; atau dengan konteks yang lain.

‘’Boki’’ dalam bahasa Mongondow dalam konteks strata sosial tidak akan pernah berarti ganda, misalnya ‘’permasuri’’ dan ‘’bunda’’. Pengertiannya tunggal: permasuri. Demikian pula dengan ‘’kolano’’ yang artinya ‘’dia laki-laki’’, yang sesungguhnya adalah sapaan dari seorang Permasuri terhadap suaminya –yang tak lain Tuang Raja atau Datu’—dan sapaan dari seorang Ibu terhadap anak laki-lakinya yang telah diangkat menjadi raja.

Sebaliknya, dalam konteks yang lain, ‘’boki’’ berarti terbelah. Misalnya, ketika orang Mongondow menyebut pisang yang terbelah secara alamiah dengan ‘’no boki’’. Akan halnya ‘’kolano’’, sesungguhnya penutur bahasa Mongondo, terutama di Passi dan Lolayan, agak enggan menggunakan kata berbau ‘’lano’’ yang berarti sangat bertendensi seksual; walau tergantung pada imbuhan apa yang ada di depannya. ‘’Kolano’’ dalam konteks strata sosial, tentu berarti sapaan untuk Raja dari Permasuri atau Ibu Kandungnya. Di luar itu, yang paling dikenal adalah ‘’molano’’ yang artinya ‘’sedap’’.

Dari mana Lembaga Adat Mongondow memungut pengertian kata ‘’kolano’’ menjadi bupati? Di zaman kekuasaan kerajaan, di mana Bolaang Mongondow adalah sebuah negeri, penguasa wilayah di bawah Raja adalah panggulu. Artinya, kurang lebih, dengan model pemerintahan Indonesia saat ini, bupati tak kurang dan tak lebih hanyalah setingkat panggulu.

Gelar ‘’Boki Kolano’’ jelas karangan yang keterlaluan. Sebab artinya tak lain: ‘’Istri raja yang laki-laki’’. Atau dalam bahasa yang terang-benderang berarti penerima gelar tersebut adalah seorang waria (wanita-pria atau she-male).

Sama kelirunya dengan peletakkan kata ‘’Totabuan’’ yang berarti sangat beragam: ‘’tanah kelahiran, tempat bermukin, daerah yang didatangi dan dimukimi’’; dan sama sekali tidak berhubungan dengan Kerajaan Bolaang Mongondow. Totabuan bagi budaya Mongondow bisa berarti di mana saja, tidak dengan Bolaang Mongondow yang berarti tunggal: wilayah yang pernah berada dalam cakupan kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow.

Untuk kekeliruan kedua ini, saya maafkan saja. Tentu ‘’Totabuan’’ yang dimaksud bukanlah Bolaang Mongondow; tetapi sebuah tempat di negeri dongeng. Ya, namanya juga lakon. Yang tidak saya terima adalah karena gelar itu mengatas namakan masyarakat Bomong. Lain lain soal kalau tegas-tegas dinyatakan bahwa gelar ini versi Lembaga Adat Bolmong versi di A, B, dan C.

Pembenaran bahwa istri dari mantan Bupati Bolmong Oe. N. Mokoagow pernah diberi gelar ‘’boki’’, juga tidak valid digunakan sebagai alasan. Siapa pun yang cermat mengikuti dan mencatat sejarah Bolmong kontemporer tahu persis kontreversial yang diakibatkan oleh pemberian gelar itu.

Kontroversi itulah yang kini berulang. Bedanya, pengulangan ini terjadi karena sejumlah orang dengan pandirnya lupa belajar dan berkaca pada sejarah.

Berkaitan dengan itu pula, saya ingin bertanya dari mana dongeng bahwa Bua’ Silagondo pernah diberi gelar ‘’boki’’ dipungut? Silagondo adalah tokoh yang kemudian dikenal sebagai Bua’ Silagondo. Kalau Lembaga Adat Bolmong mau menabalkan ‘’boki’’, tentu yang dimaksud Silagondo yang lain.

Bila orang-orang tua di Lembaga Adat Bolmong mau berendah hati, saya sarankan temuilah anak Raja (yang juga adik Raja terakhir Bolmong), H Emmy Manoppo-Waworoentoe, yang kini bermukim di Poyowa Besar. Bua’ Emmy bukan hanya masih menyimpan memori sejarah budaya, adat-istiadat dan tradisi Bolmong; tetapi juga manuskrip-manuskrip tua yang bisa membuktikan betapa kelirunya gelar ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ dalam perspektif budaya Mongondow.

Lagipula, yang sangat mengherankan saya, ada apa dengan kata ‘’boki’’ hingga ada pihak yang sangat ingin menggunakan kata ini di depan namanya? Obsesi feodalistik yang ingin dipuaskan atau bukti ketidak-tahuan terhadap budaya, adat-istiadat, dan tradisi? Atau untuk menggambarkan ‘’terbelah’’ secara alamiah sebagaimana frasa ‘’no boki’’ untuk pisang yang terbelah?

Pencabutan Gelar

Dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan Bupati Bolmong saat ini, terutama praktek politik oligarki dan feodalistik yang dijalankan selama kepemimpinannya. Tetapi saya tidak akan pernah tega untuk tidak memberitahu Bupati, bahwa gelar yang disandangnya, dalam perspektif budaya Mongondow, sungguh keliru dan justru menodai kehormatannya sebagai tokoh dan pejabat publik.

Sebagaimana pula gelar ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’ yang dipetik entah dari mana oleh DPR Bolmong, yang sama sekali tidak punya pijakan rasional. Apakah Bupati Marlina Moha-Siahaan memiliki kualitas setangguh Bupati Oe. N. Mokoagow yang membuka daerah-daerah terisolasi di pelosok Bolmong nyaris dengan tangannya sendiri (cukup banyak orang-orang tua yang masih bisa bersaksi bagaimana Bupati Mokoagow bekerja bersama rakyat, bahkan berhari-hari tidur di hutan, saat merintis jalan ke wilayah terisolir seperti Pindol)? Atau sekeras-kepala Bupati J. A. Damopolii yang mewariskan banyak sekali fasilitas publik seperti Mesjid Jami’ atau Stadion Gelora Ambang, –yang ironisnya justru makin kumuh dan paria di bawah kepemimpinan Bupati Marlina Moha-Siahaan?

Apa solusi dari silang-sangkarut gelar yang dianugerahkan pada Bupati Bolmong itu? Sederhana: Lembaga Adat dan DPR Bolmong harus mencabut gelar –‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’-- dan mengumumkan permintaan maaf pada seluruh masyarakat Bolmong. Ini pun kalau penganugerahan gelar itu dianggap sebagai satu hal yang serius, dan bukan lakon teater wisata budaya.

Bila hal ini tidak dilakukan, Lembaga Adat dan DPR tidak saja melanggar kepatutan, melainkan juga hukum adat dan adab yang dianut masyarakat Bolmong.

Hukuman terhadap pelanggaran hukum adat ini, bila masyarakat benar-benar ingin menegakkan dengan konsisten, sungguh-sungguh menggerikan: yang paling ringan adalah mogompat kon lipu’ dengan segala konsekuensinya; beramai-ramai diusir keluar dari Bolmong; atau yang terberat, dimakan sumpah-sumpah tua yang dipercaya masih makbul di atas bumi Bolmong.

Mengingat jenis hukuman ketiga itu, sekadar mengingatkan (dan dengan penuh hormat pada para orang tua, budaya, adat-istiadat, dan tradisi di Bolmong), bila gelar irasional itu tidak segera dicabut, saya menyarankan sebaiknya anggota Lembaga Adat dan DPR Bolmong bergegaslah melaksanakan mintahang –doa mohon keselamatan. Agar mereka punya pengharapan mendapat ketenangan dan diridhoi.***