Selasa, 11 Maret 2008

Kodok Itu Bernama Kurniawan S Basol

MINGGU malam, 9 Maret 2008, saya, beberapa sahabat, dan sejumlah kerabat larut dalam bual-bual hangat. Dari cerita tentang ikan teri segar hingga perkembangan politik muktahir di Kota Kotamobagu.

Maklum yang berkumpul adalah orang Mongondow, yang umumnya lahir, besar dan bermukim --atau paling tidak orangtuanya masih bermukim-- di Kota Kotamobagu. Apapun yang terkait dengan tempat kelahiran dan rumah orangtua, selalu jadi topik yang bagai tak putus dipercakapkan.

Menjelang tengah malam ngalor-ngidul itu diintrupsi kedatangan salah seorang sepupu yang baru tiba dari Kotamobagu; yang sambil cengengesan meletakkan Radar Bolmong, Edisi II, Minggu Pertama Maret 2008. ‘’Ada tulisan yang harus dibaca,’’ katanya dengan senyum lebar yang menurut difinisi umum orang Manado sangat kentara ‘’setengah ba terek’’.

Ternyata yang harus dibaca adalah tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’ (judul tulisan ini saya kutipkan sebagaimana aslinya, termasuk jumlah titik-titik, tanda tanya, dan tanda serunya), yang ditulis Kurniawan S Basol. O, rupanya tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu yang di-upload di blog ini pada Sabtu, 16 Februari 2008, yang ‘’konon’’ (sebab saya tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri) dipublikasi dalam bentuk cetak di Edisi I Radar Bolmong.

Agar diketahui umum, saya tidak keberatan tulisan itu dipublikasi oleh Radar Bolmong. Apalagi kalau isinya kemudian bisa menjadi jalan masuk bagi diskusi yang lebih luas dan bernas.

Setelah Radar Bolmong Edisi II, Minggu Pertama Maret 2008 itu berpindah-pindah tangan, di mana saya cermati para pembacanya tampak sengsara dengan kerutan di kening dan gelengan kepala, akhirnya tiba juga di tangan saya. Terus-terang, saya memerlukan hampir 20 menit untuk membaca artikel pendek itu, hingga sampai lima kali diulang, untuk coba memahami pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Saya gagal memahami apa maksud artikel itu. Sahabat dan kerabat yang ada di sekitar saya, yang beberapa di antaranya adalah mantan wartawan dan penulis yang khatam, juga berterus-terang tak paham apa isinya.

Bagi saya sendiri, satu-satunya simpulan yang paling masuk akal adalah: sang penulis, Kurniawan S Basol, dengan segala kegoblokannya (saya akan menguraikan mengapa saya menyebut goblok, bukan bodoh) punya satu niatan saja, yaitu menghina isi kepalanya sendiri.

Walau tulisan itu jelas mengomentari tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu, tapi karena nama saya sama sekali tidak disebut (melainkan diganti dengan ‘’Komedian Kasino’’), buat apa saya ambil peduli dengan tersinggung atau marah? Kalau pun ada semacam ‘’rasa’’, tidak lebih dari geli dan kasihan. Apalagi saya paham arti kalimat ‘’stupidity has no limit’’ (kegoblokan memang tak ada batasnya).

Mari kita uraikan betapa dasyatnya ketololan yang diumbar dengan gagah-berani itu.

Dari penjudulan, Kota Yang Bagaimana….? Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’, jelas penulisnya tidak paham bahasa Indonesia dan tata bahasanya (kalau yang bersangkutan seorang sarjana, maka jelas sekolahnya sia-sia belaka). Judul itu jauh dari tata bahasa Indonesia yang baik dan benar --padahal bahasa yang benar sudah menjadi indikator awal cara berfikir seseorang.

Pertama, apa fungsi titik-titik di akhir satu kalimat dan berapa banyak jumlahnya sebelum ditutup dengan tanda baca yang lain? Orang yang belajar bahasa dengan benar tahu persis bahwa titik-titik menunjukkan kalimat yang tidak selesai; yang seharusnya jumlahnya tidak boleh lebih dari tiga sebelum ditutup dengan tanda baca yang lain (semisal tanda Tanya).

Kedua, anak kalimat Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’ keliru sekeliru-kelirunya karena seharusnya kata ‘’jika’’ tidak diikuti dengan koma. Pula, untuk apa ada dua titik dan lima tanda seru setelah kata ‘’itu’’? Perkara titik-titik, tengok lagi penjelasan di atas, sedangkan tanda seru, penulis yang waras cukup membubuhkan satu tanda seru untuk menegaskan; sebab mau berapa biji tanda seru pun, artinya hanya satu: penegasan.

Ketiga, jika sang penulis cukup paham bahasa Indonesia dan tata kalimatnya; dan memiliki kemampuan berpikir linier, maka judul yang benar semestinya Kota yang Bagaimana, Jika Bukan Ini, Bukan Itu? Atau, alternatif yang lain, Jika Bukan Ini, Bukan Itu, Lalu Kota yang Bagaimana?

Nah, dengan judul yang bagai benang basah dan kusut itu, apa yang diharapkan dari isi artikelnya sendiri? Apalagi satu-satunya yang disampaikan oleh penulis dengan terang-benderang adalah penghinaan terhadap saya dengan sebutan ‘’komedian kasino’’, yang entah dengan alasan apa. Bagi saya yang punya kegemaran mengejek orang, setiap ejekan harus punya pijakan yang kuat; dan juga nilai-nilai yang lebih dari sekadar ingin mengejek, apalagi menghina.

Dengan berbaik sangka, saya kira Kurniawan S Basol dengan artikelnya yang hanya dia sendiri yang paham apa maksudnya, menjadi contoh kedua betapa berbahayanya otak yang keracunan karena salah makan; atau bahkan salah belajar dan baca buku. Atau jangan-jangan yang bersangkutan memang menulis sambil mimpi dan mengigau?

Yang menyedihkan saya, Kurniawan S Basol bisa pula menjadi salah satu contoh dari sikap kebanyakan orang (Mongondow) yang seperti kodok di bawah tempurung. Menganggap seolah-olah tempurung kelapa yang dia pilih untuk didiaminya adalah dunia luas; di mana segalanya sempurna lahir-bathin. Yang dengan demikian tidak perlu mempertimbangkan apa pun yang ada di luar tempurungnya, walau itu adalah deru bolduzer yang dengan mudah meluluh-lantakkan tempurung dan segala isinya.

Bahkan, dengan memahami perilaku kodok, lebih celaka lagi, yang bersangkutan sudah terjebak menjadi boiled frog (kodok yang mati direbus). Anda tidak percaya? Tangkaplah seekor kodok, taruh dalam panci berisi air, dan rebuslah. Bersama dengan naiknya temperatur air, suhu tubuh sang kodok yang berdarah dingin akan terus-menerus mengikuti kenaikan temperatur itu, hingga tanpa sadar dia telah matang terebus.

Orang Mongondow di Kota Kotamobagu yang tidak kuatir dengan kondisi kotanya saat ini, tak beda dengan sang kodok yang mati perlahan-lahan di air yang tengah direbus. Dan kodok yang jadi contoh ideal itu salah satunya terbukti bernama Kurniawan S Basol.***