Kamis, 06 Maret 2008

Hal Mustahak Perkara Musim Muntah

PERKARA musim muntah, jauh di Perancis sana, yang saya posting Sabtu, 16 Februari 2008, akhirnya terjawab sudah. Adik saya, yang mengabarkan musim aneh itu, menjelaskan dengan lugas. Kurang-lebihnya: rasa muntah yang dialami keluarganya, para tetangga, dan warga kota umumnya akibat mikro organisme yang bermutasi di musim-musim tertentu.

Di negara-negara empat musim, musim semi tiba setelah musim dingin yang membekukan segalanya. Bersama mencairnya salju, rumput dan bunga yang sebelumnya menguburkan biji, pepohonan yang menggugurkan daun, bahkan hewan-hewan yang berhibernasi, kembali terlihat di mana-mana.

Namun, bersamaan dengan itu, organisme yang tak terlihat dengan mata telanjang pun (makanya disebut micro organism) bisa berkembang dengan cepat.

Singkatnya, adik saya mengemukakan bahwa penyebab utama musim muntah itu adalah mutasi mikro organisme yang dengan kreatif menciptakan masalah bagi manusia. Ya, kalau di Indonesia mirip-mirip dengan musim (maaf) muntah-berak (muntaber) yang kerap mewabah saat kemarau tiba.

Aha, kalau begitu urusannya tidak jauh dari perkara kebersihan.

Memang benar, sebab menurut adik saya yang menjadi sahibul cerita, salah satu senjata ampuh menghindari cemaran mikro organisme adalah dengan mencuci tangan bersih-bersih; dan untuk anak-anak (utamanya yang berusia belia) dilarang keras menjilat sembarangan. Jangan menjilat jari tangan, mainan, meja, apalagi kursi, yang jelas sama sekali tidak bisa dijamin kebersihannya dari si mikro organisme sialan itu.

Ada dua hal penting dari penjelasan mustahak perkara penyakit muntah itu. Pertama, cuci tangan. Kedua, utamanya bagi anak-anak jangan suka menjilat sembarangan.

Saya nyaris terbahak membaca penekanannya tentang dua aspek penting itu. Sebab di Kota Kotamobagu musim politik yang mewabah saat ini penuh dengan praktek cuci tangan dan jilat-menjilat, yang akibatnya justru tidak langsung terhadap mereka yang berbuat, melainkan pada penonton dan orang banyak. Ibaratnya, seperti kata syair salah satu lagu dangdut populer, ‘’Orang lain yang berlabuh, aku yang tenggelam….’’ Orang lain yang berbuat, orang banyak yang menonton yang mual-mual dan ingin muntah.

Lihat saja, tiba-tiba para politikus dan sejumlah calon peserta ‘’Pilwako idol’’ tampak menjadi orang baik, murah hati, bersih, tanpa cacat –termasuk cacat korupsi--, dan yang tak kurang penting religius dan kuat iman. Tentu gampang disimpulkan bahwa mereka cuma ‘’cuci tangan’’ dari apa yang selama ini sudah dilakukan. Anehnya pula, cukup banyak orang (di barisan terdepan adalah para bala tentara tim sukses) yang percaya bahwa para ‘’aktor’’ itu memang manusia yang Rahmatan Lil Alamin.

Tak perlulah aib orang per orang diumbar, sebab manusia mana sih yang bebas aib? Tapi sebagai manusia biasa, harus diakui bahwa melihat Kota Kotamobagu saat ini (dan Bolaang Mongondow dalam skala yang lebih besar), rasanya dada makin tipis karena tak terhitung lagi berapa banyak kali harus diusap; dan perut makin tak kuat dengan obat maag yang mesti sering dikonsumsi untuk mengurangi rasa mual. Saya tidak tahu apakah perasaan itu menunjukkan kewarasan; atau justru ketidak-warasan.

Dan urusan melarang jilat-menjilat, di Kota Kotamobagu saat ini tak beda dengan menggarami laut. Cuma buang waktu, buang umur, dan bikin kering mulut. Begitu banyaknya periswa jilat-menjilat yang saya saksikan akhir-akhir ini, sampai-sampai tak terbayangkan lagi andai kata manifestasi akhirnya adalah penyakit, saya yakin yang diidap bukan hanya rasa muntah (seperti di Perancis sana) atau muntaber di musim kemarau di negeri ini.

Di balik itu, saya juga penasaran, kalau anak-anak usia belia dilarang menjilat aneka benda dan barang semata agar mereka tidak tercemar virus dan bakteri; maka alasan apa yang harus diajukan pada para tua Bangka agar mereka berhenti melakukan penjilatan, terutama ke pantat para politikus dan pejabat publik yang perilakunya jauh dari pantas dipanuti?

Atau mungkin sesekali saya juga perlu mempraktekkan ilmu jilat-menjilat itu. Ingin juga rasanya punya kursi empuk yang dihasilkan dari menabur omong kosong dan puja-puji.***