Sabtu, 29 Maret 2008

Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu (II)

Etika

Kelemahan kebanyakan anak muda yang hanya punya modal ‘’nekad’’, seperti tuan calon sarjana, adalah buta –-ini penghalusan dari ‘’tidak punya’’— etika. Aspek etika ini penting untuk mengelaborasi nama ‘’Komedian Kasino’’ yang disematkan ke saya.

Tuan Kodok (paling tidak sampai bagian ini saya masih menamai Kurniawan S Basol sebagai ‘’kodok’’), apakah Anda belajar etika sejak di TK sampai Perguruan Tinggi? Kalau Anda belajar tentang etika, maka Anda paham dan tahu persis bahwa untuk sampai pada putusan me-label-i saya sebagai ‘’Komedia Kasino’’, Anda harus membangun landasan dan argumen yang kokoh. Mana landasan dan argumen itu di tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”?

Lain soal kalau yang Anda gunakan etika jalanan. Saya tentu akan dengan senang hati menerima kesepakatan untuk menggunakan etika jalanan; di mana siapa yang paling ‘’kuat’’ dan ‘’berkuasa’’ boleh mensemena-menai yang lebih ‘’lemah’’ dan ‘’tidak punya kuasa’’. Saya hanya mengingatkan, saya paham dan mempraktekkan etika yang beradab; tetapi juga tidak asing dengan etika jalanan.

Pilihan Anda untuk menggunakan model etika yang mana? Saya selalu dengan senang hati menerima pilihan yang Anda sodorkan. Tentu, agar beradab, saya perlu memberi catatan: Etika jalanan berakibat sungguh menyakitkan! Dan saya yakin Anda tidak akan kuat menanggungnya.
Kalau label yang Anda sematkan semata-mata karena Anda mau ‘’sok jago’’, saya maafkan saja. Saya mahfum, orang muda, apalagi dengan status mahasiswa, sering merasa besar kepala sebelum lulus dan mulai melongo karena bingung melihat pasar tenaga kerja yang dipenuhi antrean jutaan orang.

Di sisi lain, saya sadar se sadar-sadarnya bahwa tulisan saya sangat menyakitkan banyak pihak. Terutama mereka yang sudah menikmati gelar-gelar yang saya sematkan sesuka saya. Tapi, apakah pihak-pihak yang sakit hati itu bisa membantah dengan landasan dan argumen yang rasional? Masalahnya tidak, karena mereka memang pantas mendapatkan gelar dan sebutan itu.

Teori, Konsep, dan Implementasinya

Di tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!” tuan calon sarjana juga mencampur-adukkan perkara teori, konsep, dan implementasinya. Kekacauan pengertian yang dituliskan itu, hampir membuat saya menyimpulkan tuan calon sarjana kita yang sekolah jauh-jauh ke Makassar ini pasti lebih banyak nongkrong main PS, jalan-jalan di Losari, atau ngelamun di tempat kost, ketimbang baca bahan kuliah dan literatur.

Teori mengatakan, kota seperti Kota Kotamobagu harus dibangun dengan pendekatan khusus, mengingat posisi geografis, jumlah penduduk, dan infrastruktur yang menopangnya. Kalau Anda masih mempertanyakan dari mana teori ini, kumpulkan saja literatur tentang perencanaan kota; atau datanglah ke Jurusan Perencanaan Kota di Universitas Hasanuddin, mereka pasti bisa memberi penjelasan yang memuaskan.

Berdasarkan teori seperti itu, harusnya dilahirkan konsep yang paling rasional, kokoh, dan dapat diuji; yang dipilih sebagai cara membangun Kota Kotamobagu menjadi wilayah yang secara ekonomi, sosial, dan budaya berkelanjutan. Untuk melahirkan konsep yang ideal itu, diperlukan lebih dari sekadar pidato atau asumsi. Siapa pun perencananya harus mengumpulkan seluruh data dan aspek yang saling terkait di Kota Kotamobagu, merumuskan, menguji dengan asumsi-asumsi, dan akhirnya melahirkan konsep yang utuh.

Bagaimana menguji konsep itu? Ah, masak Anda yang calon sarjana tidak tahu metode ilmiah? Masak pula Anda tidak tahu bahwa teramat banyak contoh sukses dan gagal dari pembangunan kawasan yang ada di seluruh permukaan bumi ini? Tapi kalau Anda tidak tahu pun, saya tidak heran. Kodok di bawan tempurung memang hanya kenal dunianya sendiri, kan?

Kalau Anda tidak buta dan tuli, hasil dari konsep yang hanya dipetik dari angan-angan seperti yang kebanyakan dikampanyekan oleh para birokrat dan politikus di Mongondow, sudah jelas terpapar saat ini. Kalau kita semua, orang Mongondow, mau jujur, hasilnya adalah sebuah wilayah yang dibangun tambal-sulam, tanpa panduan (orang pintar menyebutkan sebagai blue print) yang jelas.

Bahasa yang Baik dan Benar

Yang menarik dari tanggapan tuan calon sarjana adalah bersikukuhnya yang bersangkutan soal bahasa. Baiklah, saya akan mengajari Anda sekali lagi, sebab tampaknya Anda benar-benar miskin bacaan hingga bahasa Indonesia yang baik dan benar saja tidak becus.

Ada dua hal. Pertama, saya ingin menegaskan lagi, Anda benar-benar dungu yang percaya diri. Tanda seru (!) sebagai penegasan, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak digunakan lebih dari satu. Kalau Anda ingin menegaskan tiga kali, dalam bahasa tertulis, bukan menggunakan tiga tanda seru (!!!), malainkan mengulang tiga kali frasa yang ingin ditegaskan. Misalnya, kalau Anda ingin menegaskan kata ‘’cukup’’ tiga kali, maka yang ditulis bukan ‘’Cukup!!!”; tetapi, misalnya, ‘’Cukup…, cukup…, cukup!’’ Atau boleh juga, ‘’Cukup! Cukup! Cukup!”

Kalau Anda tidak paham juga, pergilah ke perpustakaan kampus atau toko buku, dan bacalah buku-buku tentang berbahasa Indonesia atau menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kedua, berkaitan dengan kata tolol dan goblok, di mana saya kutipkan pepatah Inggris yang mengatakan ‘’stupidity has no limit’’. Kalau Anda ingin memperdebatkan arti dan kaedah bahasanya, sebaiknya Anda buka kamus dan literatur bahasa Inggris. Bagi saya, itu masih kalimat yang terlalu sopan untuk Anda. Sebab saya belum menggunakan kata dummy, idiot, atau bahkan yang lebih kasar lagi untuk menggambarkan diri Anda.

Akhirnya: Ternyata Bukan Kodok, Tapi Berudu

Maka tibalah kita pada akhir posting ini. Terus-terang, setelah membaca kembali tulisan sang calon sarjana, serta dua email-nya, saya sungguh menyesal hanya me-labeli-i Kurniawan S Basol sebagai ‘’kodok’’. Sebab, sesungguhnya kodok yang rumah tempurungnya telah dibantu disingkap bisa lebih baik ketimbang sang calon sarjana kita ini.

Setelah dipikir-pikir, saya memutuskan untuk menurunkan derajat berpikirnya hanya sekelas berudu. Dan tuan calon sarjana, kalau Anda belajar bahasa Indonesia, ada pepatah yang mengatakan ‘’besar berudu di kubangan, besar buaya di lautan’’. Sesekali berkacalah, kalau sekadar berudu yang masih berada di kubangan, jangan coba-coba menjiwit buaya yang lagi tidur di muara.

Bagi buaya, kubangan cuma cukup untuk mencuci cakarnya.

Mari kita tutup posting ini dengan senyum lebar a la buaya dan tawa renyah: he he he….***