Rabu, 31 Desember 2008

Ada Apa dengan MUI Sulut?

Ditulis pada 2 November 2008, tulisan yang judul lengkapnya Ada Apa dengan MUI Sulut? ini ditulis karena setelah menunggu sekian lama MUI Sulut belum juga mengeluarkan tanggapan berkaitan dengan sholat Id Bupati Bolmong, sebagaimana yang saya tanyakan lewat artikel Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di hadapan-Nya? yang dipublikasi Harian Posko Manado. Namun artikel Ada Apa dengan MUI Sulut? ini tak pernah diterbitkan oleh Harian Posko Manado.


DI TENGAH wilayah Afrika Barat, tepatnya di Brong Ahafo, Ghana, Sabtu (1 November 2008), saya menerima beberapa pesan pendek. Malam baru saja separuh terlewati. Perbedaan waktu membuat pesan pendek yang dikirim pagi atau siang hari dari Kotamobagu atau Manado, biasanya saya tarima saat tengah tertidur pulas.

Salah satu dari pesan pendek yang mengusik saya adalah ‘’pernyataan’’ bahwa Majelis Ulama (MUI) Sulut tampaknya tidak akan memberikan tanggapan –apalagi fatwa— terkait surat terbuka yang saya kirimkan beberapa waktu lalu. Membaca pesan itu, saya tersadar: Astaga! Ternyata Idul Fitri 1429 sudah satu bulan berlalu. Artinya, Sholat Id yang dilakukan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, yang saya pertanyakan boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, ke MUI Sulut juga telah sebulan berlalu.

Benar adanya bila surat terbuka saya, yang dipublikasi oleh Harian Posko, hingga kini tak jelas apakah bakal ditanggapi atau tidak. Yang saya tahu terakhir MUI Sulut masih mengundang semua ulama anggota Komisi Fatwa untuk berembuk (lagi). Itu pun, sebagaimana beberapa pernyataan dari anggota MUI Sulut yang juga dipublikasi Harian Posko, bukanlah fatwa yang akan dikeluarkan, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan secara terbuka, melainkan hanya tentang tata cara pelaksanaan sholat.

Mari kita kembalikan masalah pada proporsinya.

Pertama, saya menulis surat terbuka ke MUI Sulut dengan keyakinan bahwa sholat Id a la Bupati Bolmong adalah soal keagamaan yang menjadi wilayah MUI untuk berpendapat dan mewasiti. Mengapa ke MUI Sulut? Sebab MUI Bolmong –juga Departemen Agama dan institusi lain di Bolmong—sudah membiarkan hal itu berlangsung sejak Idul Fitri 1428.

Kedua, saya percaya bahwa MUI Sulut bisa menjadi institusi yang menjaga pemahaman dan praktek beragama (Islam) bagi pemeluknya di Sulut sebagaimana seharusnya; dengan mengedepankan kepentingan umat tanpa memperdulikan aspek-aspek yang bersifat politis. Artinya, mau yang membuat kekeliruan adalah Gubernur, Walikota, Bupati, atau rakyat kebanyakan; MUI dapat dengan tegas menyatakan yang keliru adalah keliru. Sebaliknya pula, kalau yang dilakukan benar, sekali pun itu oleh orang biasa yang bukan siapa-siapa, maka nyatakanlah benar adanya.

Ketiga, syarat, rukun, hukum, dan tata cara sholat, menurut saya adalah salah satu pelajaran paling dasar yang A-B-C-D-nya terang-benderang diketahui para pemeluk Islam, apalagi oleh ulama-ulama yang terpilih menjadi anggota MUI. Karenanya, sejak mula saya berkeyakinan bahwa hanya memerlukan sedikit waktu bagi MUI Sulut untuk berembuk dan bersikap. Entah fatwa, entah sekadar pernyataan, koreksi, atau himbauan, yang penting sesegera mungkin untuk menghindari dijadikannya masalah ini spekulasi dan fitnah beranak-pinak.

Nyatanya, dengan tidak kunjung jelasnya sikap MUI Sulut, bahkan hingga Syawal terlewati, saya jadi bertanya-tanya: Apa dengan MUI Sulut? Pertanyaan ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain:

Pertama, apakah masalah yang saya pertanyakan kualitasnya begitu sulit hingga memerlukan cermatan dan penelitian khusus yang memakan waktu lama? Kalau demikian adanya, mohon diinformasikan agar saya bisa mempermudah dengan mengirimkan surat yang sama ke MUI Pusat, NU, Muhammadiyah, dan ke sejumlah intitusi Islam lainnya, dan dengan demikian jawaban sederhana yang diharapkan dapat sesegera mungkin diketahui.

Kedua, apakah karena masalah yang saya perhadapkan melibatkan pejabat tinggi publik (untuk level provinsi jabatan Bupati jelas masuk di jajaran elit), lalu kemudian MUI Sulut menjadi ekstra hati-hati? Tapi bila demikian adanya, saya patut mempertanyakan independensi MUI Sulut. Lebih jauh lagi, bahkan mengingatkan bahwa para ulama –termasuk guru mengaji saya—mengajarkan: Menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, di depan penguasa (apalagi dia lalim) adalah salah satu bentuk jihad.

Sejalan dengan itu, dengan mengulur-ulur waktu, saya menangkap kesan bahwa MUI Sulut membiarkan masyarakat berspekulasi dan menghakimi Bupati Bolmong (dan juga saya sebagai orang yang mengangkat masalah), sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan persepsi keagamaannya masing-masing. Padahal bila dengan segera MUI Sulut menyampaikan sikapnya, benar atau salah bukanlah masalah: Yang terpenting adalah ada jawaban yang jelas. Toh tidak ada sanksi atau hukuman yang diminta, sebab diterima atau tidaknya ibadah seseorang atau satu kaum, pada akhirnya menjadi hak mutlak Allah Yang Maha Tinggi. Manusia hanya berikhtiar semampu dan sekuat yang dia bisa.

Bila saya yang ternyata keliru, maka saya akan meminta maaf dan sebagai pemeluk Islam akan belajar lebih keras lagi memahami ajaran dan tata cara ibadah dalam Islam.

Ketiga, apakah karena hanya seorang anggota masyarakat biasanya yang menyampaikan konsernnya lalu MUI Sulut merasa hal itu bukan prioritas? Namun, dengan demikian saya juga boleh menanyakan lagi, kemanakah ajaran bersikap adil, tidak membeda-bedakan manusia berdasar pangkat, kedudukan, bahkan warna kulit dan usia, yang selama ini dijunjung oleh pemeluk Islam; dan terutama tiap saat diingatkan kembali oleh para ulama?

Sikap adil yang dimaksudkan bahkan bukan hanya terhadap saya sebagai anggota masyarakat biasa, yang bahkan sudah memanen berbagai fitnah dan spekulasi karena dianggap hanya mencari-cari persoalan dengan Bupati Bolmong (termasuk pula pertanyaan dan tuduhan bahwa saya ditunggangi kepentingan dan kelompok tertentu). Melainkan juga terhadap Bupati Bolmong yang seharusnya dijaga kehormatan dan ibadahnya dengan nasihat yang benar oleh para ulama. Dan, yang lebih utama, masyarakat yang selama ini menjadikan umarah (pemerintah) dan ulama sebagai panduan bagi kehidupan kesehariannya.

Keempat (dan yang paling menguatirkan saya), apakah bagi MUI Sulut sholat Id yang dipraktekkan Bupati Bolmong hanyalah kreativitas menginterpretasikan kegembiraan dan syukur Idul Fitri; juga penghormatan terhadap pejabat publik; dan karenanya tidak usah dipersoalkan lebih jauh. Biarkanlah perlahan terlupa atau menjadi dark number dalam ingatan masyarakat.

Dengan berbaik sangka saya mengharapkan (dan berkeyakinan) MUI Sulut dapat sesegera mungkin menyatakan pendapatnya; dalam bentuk apa pun. Dan mengingat masalah yang saya tanyakan berkaitan dengan pejabat publik, di lakukan di tengah publik, dengan melibatkan publik, maka selayaknya apa pun jawaban dari MUI Sulut harus diketahui secara terbuka agar konklusinya jelas dan tuntas bagi orang ramai.

Namun, bila ada keraguan menyatakan sikap sebab alasan di luar masalah boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, dari sisi murni ajaran Islam; semisal pertimbangan stabilitas, nama baik, atau apa pun itu, mohon MUI Sulut menyampaikan secara terbuka pula. Dengan demikian saya dan siapa pun yang tetap berkeinginan mendapat jawaban yang jelas dan tuntas, tidak berharap-harap dan menunggu terlampau lama tapi mungkin bisa menanyakan institusi lain seminal MUI Pusat atau bahkan ke Pusat Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo.***

Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya?

Ditulis pada 13 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya? ini ditulis masih berkaitan dengan tulisan Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a yang dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Artikel ini diterbitkan Harian Posko Manado, hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


HANYA pada Allah Maha Tinggi dan Maha Besar kita berserah diri.

Surat terbuka ini, yang ditujukan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut, bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lewat Harian Tribun Totabuan (Selasa, 7 Oktober 2008), saya sudah menulis hal senada yang ditujukan pada seluruh masyarakat Bolaang Mongondow (Bolmong).

Agar tak menjadi fitnah dan spekulasi, yang beranak-pinak fitnah dan spekulasi pula --seperti tuduhan memecah-belah; dan demi mendudukkan yang benar adalah benar, yang keliru adalah keliru, dalam perkara agama (Islam) --menurut hemat saya-- pihak yang seharusnya dimintai sikap di Sulut tak lain MUI. Apalagi perkara yang dihadapkan ini bukanlah hal rumit yang memerlukan pendalaman syariah, fiqih, dan hukum-hukum Islam ‘’tingkat tinggi’’. Masalah yang diperhadapkan ini hanyalah soal syarat dan rukun yang harus dipatuhi setiap pemeluk Islam dalam menjalankan salah satu kewajiban mendasarnya, yaitu sholat.

MUI Sulut yang terhormat, perkara yang saya maksudkan itu berkaitan dengan fakta yang dipublikasi lewat foto di Harian Manado Post, Jumat (3 Oktober 2008); kemudian juga oleh Tribun Totabuan pada Rabu (8 Oktober 2008). Di foto tersebut tampak Bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha-Siahaan, saat menunaikan sholat Id di halaman Kantor Bupati Bolmong, duduk di atas panggung dengan lindungan kanopi, dipayungi seorang ajudan berpakaian kerja resmi, terpisah dari makmum yang lain.

Di foto yang dipublikasi Manado Post terlihat Bupati tersenyum lebar.

Sepintas tidak ada yang penting dari apa yang disajikan foto tersebut, juga kebenaran bahwa sholat di tempat tersendiri, terpisah dari makmum yang lain, yang dilakukan Bupati Bolmong di sholat Id Idul Fitri 1429 itu ternyata sudah berlangsung sejak Idul Fitri 1428 lalu. Tapi bila untuk kebanyakan orang hal tersebut tidak perlu mendapat perhatian, bagi saya justru masalah yang tidak main-main pentingnya.

Dibolehkankah seorang makmum sholat berjamaah terpisah di tengah makmum yang lain? Terpisah yang dimaksud adalah duduk sendiri di atas tempat yang dibuat khusus, lebih tinggi dari lantai yang diduduki makmum yang lain, di lindungi dengan kanopi, hingga membentuk ruang yang memisahkan dengan jamaah yang lain. Kalau dari syarat dan rukun sholat praktek ini dibolehkan, maka masih adakah artinya ‘’rapatkan dan luruskan shaf demi kesempurnaan sholat’’ yang selalu diserukan di tiap sholat berjamaah?

Sepengetahuan saya yang sangat terbatas, bahkan Nabi Muhammad SAW yang menjadi penuntun dan panutan tak pernah mengistimewakan diri, hingga perlu disediakan sebuah tempat khusus, mihrab, untuknya saat sholat berjamaah.

Apakah yang dilakukan Bupati Bolmong itu dapat dikategorikan sebagai kesombongan di hadapan manusia dan juga Allah Yang Maha Besar? Yang Dia sudah ingatkan bahwa yang mendonggakkan kepalanya di atas bumi Allah ini –untuk menunjukkan kesombongan--, hanyalah keledai.

Demikian pula, hukum dan aturan apakah yang bisa kita gunakan sebagai penakar adanya seorang ajudan yang memayungi Bupati selama melakukan sholat Id? Bila sang ajudan adalah pemeluk Islam, dan meninggalkan sholat Id karena tugasnya, sedangkan dia sama sekali tidak berhalangan dan tugas itu tidaklah berkaitan dengan hidup-mati seseorang, bukankah penugasan itu adalah kesemena-menaan yang justru amat sangat ditentang oleh ajaran Islam?

Namun, yang membuat saya gemetar sesungguhnya bukanlah perilaku Bupati Bolmong pribadi; melainkan dampaknya bagi umat Islam di Bolmong secara kolektif, khususnya yang melaksanakan sholat Id bersama Bupati. Bukankah Islam mengajarkan bila melihat kemungkaran, kesalahan, atau kekeliruan, wajib bagi setiap pemeluk Islam untuk melarang dengan tangannya (atau tindakan). Bila dengan tangan (atau tindakan) tak kuasa, maka dengan mulut. Bila tidak dengan mulut, maka berdoalah; tetapi itu sama artinya dengan selemah-lemahnya iman.

Yang menjadi soal adalah, sejak sholat Id Idul Fitri 1428 lalu Bupati Bolmong sudah mempraktekkan ‘’makmum eksklusif’’ dan tak ada satu pun sesama pemeluk Islam yang ada di tempat itu –bahkan imam sholat—yang mengingatkan dengan tindakan, kata-kata, atau bahkan doa –kemudian pindah sholat ke tempat lain. Menurut hemat saya –tanpa sama sekali menyombongkan diri merampas hak Allah untuk menilai umatnya—dengan tidak ada sesiapa pun yang melakukan apa-apa untuk mengoreksi, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang-orang yang sholat Id berjamaah saat itu bahkan lebih dari hanya selemah-lemahnya iman.

MUI Sulut yang saya hormati, dari sejak masa kanak saya mendapat pelajaran dari para uztad, imam, guru agama, dan mereka yang lebih memahami Islam, bahwa ada golongan manusia yang layak mendapat sebutan ‘’munafik’’ dan ‘’mendustai agamanya’’. Apakah orang-orang yang seharusnya mengingatkan, menyarankan, atau bahkan melarang seorang pejabat publik dan panutan sosial seperti Bupati melakukan kekeliruan mendasar berkaitan dengan ritual keagamaannya; yang memilih diam hanya karena takut kehilangan jabatan, kuasa atau kedekatan dengan kekuasan, masuk dalam kategori mereka yang munafik dan mendustai agama?

Terhadap orang-orang munafik dan mendustai agama itu, apakah yang harus kita lakukan?

Di atas semua pertanyaan itu, tidakkah yang dilakukan oleh Bupati Bolmong itu adalah pelecehan terhadap ajaran Islam? Bila itu pelecehan, apakah tindakan yang pantas dilakukan oleh umat Islam, juga lembaga-lembaga agama seperti MUI, NU, Muhammadiyah, atau SI?

Bila akhirnya yang dilakukan Bupati Bolmong hanyalah dianggap kreativitas dan kepantasan karena kedudukannya; maka bolehkah di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang saya juga membuat panggung berlindung kanopi sendiri untuk ayah dan ibu saya? Bukankah Islam yang mulia ini mengajarkan betapa tinggi kedudukan kedua orangtua setelah Nabi? Dan bukankah amat pantas bagi setiap orang untuk menyediakan tempat terbaik bagi orang-orang yang dihormatinya?

Begitu pula, bila apa yang dilakukan oleh Bupati Bolmong tidak melanggar syarat dan rukun sholat berjamaah; boleh pulakah saya menyediakan panggung berlindung kanopi sendiri buat anak-anak yatim-piatu serta para dhuafa di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang? Bukankah melindungi dan mengistimewakan anak yatim-piatu serta kaum dhuafa ganjarannya adalah kasih sayang dan sorga dari Allah Yang Maha Penyayang?

Walau, tentu saja, bila semua orang diperbolehkan menafsirkan syarat dan rukun sholat semaunya, saya bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya tempat sholat Id dengan berbagai panggung dan kanopi. Lalu apa bedanya dengan pasar malam atau pameran pembangunan yang digelar setiap 17 Agustus.

Demikianlah, dengan surat terbuka ini saya memohonkan pengajaran dan petunjuk mana yang benar, mana yang salah, dari MUI Sulut, agar umat Islam di Bolmong umumnya mampu menghidarkan diri dari kekeliruan yang berujung kemurkaan-Nya.***

Kamis, 25 Desember 2008

Ironi Dusta di Bolmong

Ditulis pada 8 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Ironi Dusta di Bolmong ini ditulis sebagai tanggapan atas tanggapan Kabag Humas Pemkab Bolmong terhadap artikel Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a yang dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Namun artikel ini tidak diterbitkan oleh Harian Tribun Totabuan.


APA yang lucu –sekaligus maha serius-- dari dusta?

Sekali Anda berdusta, maka Anda akan terus-menerus berdusta untuk menutupi dusta sebelumnya. Dan itulah yang dilakukan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, berkenaan dengan apa yang dilakukan Bupati Bolmong pada saat sholat Id Idul Fitri 1429 di halaman Kantor Bupati.

Menanggapi surat terbuka saya di Tribun Totabuan (Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a, Selasa, 7 Oktober 2008), alih-alih menjernihkan duduk-soalnya, Kabag Humas justru menambah daftar masalah dengan dusta yang terus-terang. Atau, kalau ingin memperhalus, bolehlah disebut sebagai ‘’manipulasi yang tidak elegan’’.

Menjawab surat terbuka saya, lewat Tribun Totabuan, Rabu, 8 Oktober 2008 (Fasa: Bukan Panggung Atau Kanopi Tapi Hanya Hiasan Kubah), Kabag Humas Pemkab Bolmong paling tidak menyatakan lima hal: Pertama, apa yang saya sampaikan harus diluruskan dan diklarifikasi, karena tidak tepat dan jauh dari kenyataan. Kedua, tempat Bupati duduk saat sholat Id bukanlah panggung dinaungi kanopi; melainkan hiasan kubah. Ketiga, Bupati tidak duduk terpisah, tetapi ada di shaf pertama perempuan. Keempat, jangan menerima informasi apapun dengan buruk sangka, melainkan dikaji dan diteliti lebih dahulu sebelum disikapi. Dan kelima, jangan hanya mengkritik, tatapi harus ada solusi konstruktif untuk membangun Bolmong yang sejahtera.

Simpulan dari pelurusan dan klarifikasi Kabag Humas, bila disederhanakan adalah, saya keliru, mencari-cari masalah saja, tidak mengkaji dan meneliti pokok-soal yang dikritik, serta tidak punya solusi kontruktif. Lucunya, di bawah berita yang memuat pernyataan Kabag Humas, Tribun Totabuan memasang foto Bupati Bolmong saat sholat Id; bahkan bukan hanya di atas panggung dinaungi kanopi, tetapi juga dipayungi oleh ajudan dengan busana kerja resmi.

Tahulah kita semua siapa yang sebenarnya keliru, bahkan berdusta.

Saudara Yahya Fasa, saya amat bersimpati pada Anda dan pekerjaan Anda, yang begitu pentingnya sampai membuat Anda ‘’tega’’ dan bersedia mengingkari aqidah dan keyakinan agama sendiri. Foto yang dipajang Manado Post --kemudian juga Tribun Totabuan—serta kesaksian puluhan orang yang sholat bersama Bupati, tegas menyatakan bahwa Bupati sholat di atas panggung di bawah lindungan kanopi –tambahannya: dipayungi pula oleh ajudan yang juga tertangkap kamera fotografer Manado Post dan Tribun Totabuan. Lalu Anda masih menyatakan saya, foto-foto itu, dan para saksi mata seluruhnya keliru?

Mari saya ingatkan bahwa sepengetahuan saya saudara Yahya Fasa selain dikenal sebagai uztad, telah pula berhaji dan menyandang gelar Haji. Tentu dia tahu bahwa sholat berjamaah punya syarat dan rukun yang harus ditaati oleh setiap pemeluk Islam.

Karenanya, saya justru ingin bertanya pada saudara Yahya Fasa: Apakah areal tersendiri yang khusus dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah tempat makmum yang lain duduk bukan panggung namanya? Apakah pula atap yang melindungi tempat itu namanya bukan kanopi? Dan apakah Bupati berada dalam satu shaf dengan makmum perempuan yang lain bila jarak kiri-kanannya cukup jauh, sehingga jangankan bersentuhan bahu, ujung mukena pun sama sekali tidak?

Apakah Bupati Bolmong begitu tinggi kedudukannya di hadapan makmum yang lain hingga harus diekslusifkan seperti itu? Takutkah yang bersangkutan bersentuhan dengan rakyat biasa, dan kemudian tertulari ‘’penyakit rakyat biasa’’? Atau Bupati Bolmong takut ketinggian kedudukannya berkurang karena menular ke makmum yang rakyat biasa?

Tegasnya: Dengan fakta seperti itu, apakah sholat Bupati Bolmong sesuai dengan syarat dan rukun sholat berjamaah?

Saya haqul yakin saudara Yahya Fasa tahu persis apa itu ‘’memisahkan diri’’ atau mufaroqah saat sholat berjamaah; yang dilakukan apabila makmum ragu atau tidak percaya pada imam yang sedang memimpin. Memisahkan diri dan melaksanakan sholat terpisah dari imam dan jamaah yang lain, dibolehkan tetapi dengan syarat-syarat yang ketat.

Yang dilakukan Bupati Bolmong saat sholat Id itu jelas bukan mufaroqah. Bahkan saya ingin tahu apakah mufaroqah dibolehkan atau tidak untuk sholat Id?

Akan halnya ajudan yang memayungi Bupati Bolmong, bagi saya menjadi bukti lain kesombongan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Bila sang ajudan adalah pemeluk Islam, apakah dia memayungi sampai sholat Id selesai? Subhanallah, dengan kata lain dia terpaksa tidak menunaikan sholat Id. Dan kalau ini benar, sungguh jauh dari beradab, sebab budak sekali pun memiliki hak yang sama dengan tuannya saat waktu bersujud kehadapan-Nya tiba.

Sejujurnya, semakin memikirkan apa yang dilakukan Bupati Bolmong saat sholat Id itu, saya kian takut. Yang terus-menerus berkelindang di kepala adalah sejumlah pelajaran dasar Islam yang saya serap sejak masa kanak. Salah satu yang tak lekang –Insya Allah akan terus menjagakan kewarasan saya— adalah perintah bila melihat kemungkaran, kesalahan, atau kekeliruan, wajib bagi setiap pemeluk Islam untuk melarang dengan tangannya (atau tindakan). Bila dengan tangan (atau tindakan) tak kuasa, maka dengan mulut. Bila tidak dengan mulut, maka berdoalah; tetapi itu sama artinya dengan selemah-lemahnya iman.

Dalam konteks kekeliruan –untuk tidak mengatakan kesengajaan menyombongkan diri di hadapan sesama manusia dan pada Allah Yang Maha Besar—yang dilakukan Bupati Bolmong; dengan tak ada satu pun sesama pemeluk Islam –bahkan imam sholat—yang mengingatkan dengan tindakan, kata-kata, atau bahkan doa –kemudian pindah sholat ke tempat lain—; saya kuatir sholat Id di halaman Kantor Bupati Bolmong itu sia-sia belaka. Menurut hemat saya –tanpa sama sekali menyombongkan diri merampas hak Allah untuk menilai umatnya—dengan tidak ada sesiapa pun yang melakukan apa-apa untuk mengoreksi Bupati, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang-orang yang sholat berjamaah saat itu bahkan lebih dari hanya selemah-lemahnya iman.

Kalau hanya sholat Id Bupati yang tidak diterima Allah Yang Maha Pemaaf, saya tidak ambil pusing. Tapi bagaimana dengan ratusan orang lain, yang mungkin sama sekali tidak sadar atau terpaksa menutup mulut sebab berbagai alasan dan ketakutan?

Saya ingin menegaskan kembali, kritik dan koreksi yang saya sampaikan pada Bupati Bolmong, dan juga orang-orang di sekitarnya, menjadi bagian dari apa yang diajarkan oleh Islam. Saya tidak cukup punya kuasa melarang dengan tindakan, hanya punya suara. Dan saya akan terus bersuara, sebab dengan demikian saya tidak mendustai masyarakat Bolmong umumnya, khususnya para pemeluk Islam, dan yang lebih penting lagi tidak mendustai ajaran Islam.

Membenar-benarkan satu perilaku yang dalam agama sudah jelas syarat, rukun, dan hukumnya, tidak beda dengan mendustai agama. Dan bila yang menjadi penyeru pendustaan terhadap agama itu adalah orang-orang yang seharusnya menjadi panutan dan penuntun, saya hanya bisa ber-istigfar memohon ampun pada Allah Yang Maha Tahu.

Agar tidak hanya sekadar mengkritik, sekaligus menjawab tantangan solusi konstruktif dari Kabag Humas, menurut hemat saya Bupati Bolmong cukup melakukan hal sederhana yang tidak menggores harga dirinya di depan rakyat: Sujud mohon ampun pada Allah yang Maha Tinggi, meminta maaf pada masyarakat karena memberikan contoh yang keliru, dan tidak lagi mengulang hal yang sama di masa mendatang.

Untuk para penasehat, pembisik, dan para pemuja yang mendorong, menyarankan, atau bahkan memfasilitasi Bupati Bolmong mengekspresikan kesombongan di hadapan sesama manusia dan bahkan Allah SWT, terserah Bupati Bolmong mau diapakan. Yang jelas, saya pribadi sudah memaafkan dengan tulus. Mereka lebih pantas dikasihani ketimbang dibenci.***

Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a

Ditulis pada 5 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


TABI bo tanob ko’i monimu komintan kon Mongondow.

Surat terbuka ini ditulis didahului istigfar berkali-kali dan mohon ampun pada Allah Yang Maha Tinggi. Andai ada salah, keliru, alpa, dan khilaf di dalamnya, semata karena sebagai manusia biasa saya hanya mahluk bodoh, dhoif, dan lemah. Mahluk yang tak lebih dari setitik debu di hadapan-Nya.

Hanya kepada-Nya seluruh takut dihaturkan; bukan pada manusia. Apalagi hanya Bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha-Siahaan.

Saya menulis surat ini dengan amarah menggelegak seorang pemeluk Islam –yang sejujurnya masih amat jauh dari taat— dan orang Mongondow yang terluka hati dan jiwanya. Terlampau lama rasanya kebanyakan orang Mongondow mendiamkan atau menutup mata dari segala yang dilakukan Bupati sebagai pribadi maupun pejabat publik. Tapi tidak untuk peristiwa yang melukai lebih dari sekadar harga diri manusia.

Foto yang dipublikasi Harian Manado Post, Jumat (3 Oktober 2008), di mana Bupati menunaikan sholat Idhul Fitri 1429 di atas panggung dengan lindungan kanopi di halaman Kantor Bupati Bolmong, terpisah dari makmum yang lain, sungguh sesuatu yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Sulit dianggap kekhilafan atau sekadar ketidak-tahuan awam terhadap agama. Bagi saya, apa yang dilakukan Bupati Bolmong ini bukan hanya melecehkan agama; tetapi deklarasi kesombongan diri di hadapan Allah Yang Maha Besar.

Senyum lebar Bupati Bolmong yang ditangkap kamera fotografer Manado Post melahirkan tanda-tanya besar di benak saya: Masih adakah alim ulama, uztad, atau yang mengerti agama Islam di Bolmong saat ini? Kalau masih ada, mengapa tidak ada satu pun yang membuka mulut, menyampaikan pada Bupati, bahwa sholat berjamaah punya syarat dan rukun yang tidak bisa diterjemahkan dan dibengkokkan seenak perut, sebagaimana para politikus menerjemahkan dan membengkokkan Perda atau undang-undang sesukanya. Bahwa sebagai makmun, seorang Imam Besar dari Al Azhar atau Presiden sekali pun, tidak berbeda dengan makmun yang lain.

Kemanakah organisasi-organisasi keagamaan Islam yang hiruk-pikuk menganjurkan ketaatan beragama, yang dengan lantang mengkhotbahkan bahwa Islam adalah agama orang-orang yang saling mengingatkan di jalan Allah? Masih ada Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU, Remaja Mesjid, sekadar kelompok pengajian, atau bahkan Front Pembela Islam (FPI) –terakhir dengan gagah berani diproklamirkan di Kotamobagu demi menegakkan syariat Islam-- di Bolmong?

Bila mereka semua masih ada, mengapa pelecehan terhadap syarat dan rukun dasar ibadah seperti sholat (menurut cerita yang saya dapatkan sudah berlangsung sejak Idul Fitri dan Idul Adha tahun silam, namun baru kali ini terbukti dari foto yang dirilis Manado Post), dibiarkan begitu saja? Apakah para pemimpin agama dan cerdik-pandainya di Bolmong sudah lebih takut pada Bupati ketimbang pada ajaran agama, tuntunan Nabi, dan Allah-nya?

Apakah pernyataan yang setiap kali saya dengar dari para imam saat sholat berjamaah untuk ‘’merapatkan dan meluruskan shaf demi kesempurnaan sholat’’ hanya berlaku untuk makmum yang rakyat biasa? Tidak untuk Bupati karena derajatnya lebih tinggi dari rakyatnya atau bahkan Nabi Besar Muhamad Rasulullah --yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah mengistimewakan dirinya dengan membangun mihrab atau panggung sholat sendiri.

Sejarah Islam yang diajarkan sejak saya masih kanak hingga usia yang sudah lewat 40 tahun ini, dengan tegas dan jelas menggambarkan betapa rendah-hatinya Muhammad Rasulullah, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di lantai yang sama di semua mesjid dan makmum di mana dia sholat berjamaah. Begitu pula para khalifah, imam besar, para pemikir dan pemimpin Islam yang menjadi legenda peradaban –semisal Khalifah Harun Al Rasyid yang menjadikan Baghdad pusat pengetahuan dunia di zamannya atau Salahudin Al Ayubi yang mengembalikan harga diri Islam di Yerusalem.

Sejauh yang saya tahu, Muhammad Rasullah dan orang-orang besar yang jadi panutan peradaban Islam hanya berdiri di tempat yang berbeda saat mereka menjadi iman; tapi tidak ketika berada di tempat makmum. Mereka ada di tengah, duduk beradu paha, berdiri beradu pundak, dengan sesama makmum yang lain.

Bukankah Allah Yang Maha Mengetahui sudah menyatakan bahwa yang berbeda di hadapan-Nya hanyalah keimanan; bukan pangkat, bukan kedudukan, bukan kekayaan. Dan adalah hak-Nya menentukan tingkat ketinggian keimanan umatnya. Bukan klaim, apalagi hanya oleh Bupati Bupati yang tidak berbeda dengan saya yang bodoh, dhoif, dan lemah ini di hadapan Kebesaran-Nya.

Mengingat apa yang dilakukan Bupati Bolmong bukan yang pertama kali, saya benar-benar geram dengan orang-orang yang paham ajaran Islam yang ada di sekitarnya –bahkan Kabag Humas pun seingat saya disapa dengan panggilan ‘’uztad’’--, yang membabi-buta menghambakan diri, termasuk membenarkan pembengkokkan ajaran agama. Begitu takutkah orang-orang itu sehingga ajaran dan tuntunan agamanya pun diabaikan begitu saja?

Subhanallah! Benar atau salah apa yang dilakukan oleh manusia, penilaiannnya adalah hak mutlak Allah SWT. Tapi Islam sebagai ajaran dan tuntunan mengajarkan kewajiban pribadi (fardu ain) dan kewajiban sosial (fardu kifayah). Kewajiban pribadi adalah urusan manusia dengan Penciptanya; akan halnya kewajiban sosial adalah urusan manusia dengan manusia, sekaligus dengan Penciptanya. Mengingatkan Bupati yang membengkokkan aturan agamanya bukan hanya kewajiban antara manusia dengan sesamanya, tetapi juga antara manusia dengan Penciptanya.

Mereka yang dengan bangga menyandang panggilan ‘’kiai’’, ‘’uztad’’, atau ‘’imam’’, tahu persis bahwa bila tak ada satu pun umat Islam yang menggerakkan hati dan dirinya saat dituntut harus menegakkan fardu kifayah, maka laknat yang dijatuhkan Yang Maha Kuasa bukan hanya ditujukan pada orang per orang. Dengan kata lain, bila tak ada satu pun yang membuka mulut mengingatkan Bupati Bolmong, maka kita tahu bersama bahwa ancaman laknat dari Allah SWT bukan hanya ditujukan pada yang bersangkutan, tetapi pada seluruh masyarakat Bolmong.

Dengan surat terbuka ini saya mengingatkan Bupati Bolmong; dan berdoa semoga Allah membuka pintu ampunannya.

Saya sungguh serius mendoakan Bupati Bolmong, apalagi kabar terakhir yang saya terima menyatakan bahwa yang bersangkutan ‘’menolak’’ pula bersilahturrahmi dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur, Hamdan Datunsolang, dan jajarannya (termasuk Raja Bintauna dan Raja Kaidipang) yang datang berkunjung pada Jumat, 3 Oktober 2008, di Rumah Jabatan, Bukit Ilongkow. Lebih tiga jam Bupati Bolmut dan rombongan menunggu Bupati Bolmong yang tak kunjung keluar menemui tamunya, sebelumnya akhirnya mereka meninggalkan tempat.

Tak ada yang bisa menduga seberapa dalam hati manusia. Namun, dengan menempatkan diri di posisi Hamdan Datunsolang, saya bisa merasakan betapa sakitnya tidak dihormati seperti itu; bahkan sekadar menunjukkan wajah, berjabat tangan, kemudian balik kanan dengan alasan sakit kepala, kurang sehat, atau apa kek.

Ayah saya mengajarkan: Tidaklah lengkap hubungan manusia dengan Penciptanya bila hubungannya dengan sesama tidak lengkap. Dan bahwa tamu adalah rahmat. Mengabaikan tamu bukan hanya menyombongkan diri di hadapan mereka, tetapi juga di hadapan-Nya.

Semoga Allah Maha Besar mengampuni kita semua.***

Sabtu, 06 Desember 2008

Mencemaskan ‘’Bola Salju’’ Kemarahan

Ditulis pada 28 September 2008, tulisan yang judul lengkapnya Mencemaskan ''Bola Salju'' Kemarahan ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali. Tulisan ini juga merupakan kelanjutan dari tulisan Anggota Bathil di DPR Bolmong.


DI PERJALAN pulang setelah seharian babak-belur dilumat pekerjaan kantor, Kamis (18 September 2008), saya menerima telepon dari Kotamobagu. Yang menelepon adalah salah seorang kerabat marga Mokoagow. Di latar, saya mendengar keramaian percakapan.

Tidak perlu menduga-duga. Panggilan telepon yang saya terima malam itu masih berkaitan dengan ‘’musibah’’ pengusiran Wabup Sehan Mokoagow dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan Bolmong, satu pekan sebelumnya (Kamis, 11 September 2008); yang disusul mosi pemakzulan yang dimotori Fraksi Partai Golkar (PG).

Haji Mustofa Mokoagow, salah satu ‘’yang dituakan’’ di kalangan keluarga besar Mokoagow –bukan hanya karena usianya sudah menginjak 72 tahun--, hanya ingin menanyakan pendapat saya (sungguh satu kehormatan besar bagi saya yang masih berusia muda dimintai pendapat), bahwa: ‘’Apakah pantas permintaan maaf untuk ‘musibah’ yang dialami Wabup cukup disampaikan di media massa?’’

Saya membutuhkan lebih dari satu-dua jenak untuk mencernah pertanyaan itu. Seketika di benak saya berkelabat pepatah anonim yang mengatakan, ‘’One moment of patience may ward off disaster; one moment of impatience may ruin a whole life.’’ Sedikit kesabaran mungkin dapat mengeliminasi bencana; sedikit ketidaksabaran mungkin akan merusak seluruh hidup.

Saya tahu –dan memang diberitahu—, Rabu (17 September 2008), Harian Tribun Totabuan memuat permintaan maaf Wakil Ketua DPR Bolmong, Herson Mayulu –yang menjadi penggerak pengusiran dan mosi pemakzulan--, pada Wabup Sehan Mokoagow. Apakah permintaan maaf itu cukup? Apalagi setelah empat wakil marga Mokoagow secara resmi datang ke DPR Bolmong dan mengadatkan indo’i-an terhadap empat orang (Ketua DPR, Soenardi Soemantha, Wakil Ketua DPR, Herson Mayulu, dan dua anggota DPR lain, Toni Datu dan Yusuf Mo’oduto) yang memimpin perlakukan nista terhadap Wabup; sebagai pribadi dan sebagai pejabat publik?

Ekspresi Tinggi Hati

Setelah merenung beberapa jenak, saya menjawab pertanyaan tak mudah dari Haji Mustofa Mokoagow, bahwa: Menurut hemat saya, permintaan maaf itu bukan hanya tidak sungguh-sungguh, tapi juga menunjukkan ekspresi tinggi hati Herson Mayulu yang memang memandang rendah Wabup dan marga Mokoagow –yang suka atau tidak sekarang turun gelanggang membela Wabup Mokoagow.

Pendapat itu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, di Harian Tribun Totabuan (Sabtu, 13 September 2008, Herson: Saya Tersinggung Disebut Asal Malontok), Herson Mayulu sudah mengemukakan musabab pengusiran dan mosi pemakzulan Wabup tak lain karena persoalan pribadi. Bukan karena jabatan yang melekat pada Sehan Mokoagow sebagai Wabup Bolmong.

Bila seorang Wakil Ketua DPR boleh ‘’menganiaya’’ seseorang, bahkan dengan jabatan Wabup, apakah keluarganya tidak pantas tersinggung dan meradang? Sebagai pemimpin dan panutan masyarakat, Wabup Sehan Mokoagow selayaknya menunjukkan sikap arif dengan membuka pintu maaf. Sebaliknya, marga Mokoagow yang berakar hingga jauh ke belakang, ke Loloda Mokoagow, juga tidak pantas bersikap keterlaluan. Namun, meminta maaf hanya lewat media massa bukankah juga sikap yang sungguh tak patut?

Saya harus mengingatkan bahwa selama ini alasan ‘’adat’’ menjadi salah satu andalan DPR Bolmong, terutama tiap kali memberi aneka gelar terhadap Bupati Bolmong. Dalam konteks ‘’musibah’’ yang menimpa Wabup Sehan Mokoagow, bukankah sangat beradat dan bermartabat –sekaligus menunjukkan pemahaman etika dan norma masyarakat Mogondow, kerendahan hati, dan kesungguhan— bila permintaan maaf itu disampaikan langsung ke Wabup Sehan Mokoagow.

Bukan sesuatu yang mengada-ada, bahkan akan diterima dengan penuh penghormatan, bila Herson Mayulu datang dan mengetuk rumah Wabup Mokoagow dan menyampaikan permintaan maafnya? Bukankah ‘’musibah’’ yang dialami Wabup berakar dari masalah pribadi Herson Mayulu, yang sesungguhnya memalukan bila diumbar ke tengah masyarakat Bolmong?

Memahami adab dan adat Mongondow, bahkan sebelum menutup telepon malam itu, saya sudah gemetar. Dari impresi yang saya tangkap, permintaan maaf Herson Mayulu yang hanya lewat media massa, bukannya menjadi penyejuk, justru bagai menambah panas api yang sedang bergolak dalam sekam.

Mungkin impresi itu berlebihan. Namun dengan tiba-tiba saling berkontak dan berkumpulnya anak-temurun Mokoagow, yang bahkan dalam waktu dekat akan meresmikan Sekretariat Keluarga Besar Mokoagow –kabar terakhir akan diresmikan di Bungko--, menjadi petanda yang mestinya menunjukkan bahwa setiap pelanggaran norma sosial dan masyarakat harus dibayar oleh pelakunya dengan harga yang tak murah.

Berpolitik Tanpa Berpikir

Apa pelajaran penting yang dipetik khalayak ramai, khususnya masyarakat Bolmong dari rangkaian peristiwa yang menimpa Wabup? Stanley Bing, penulis 100 Bullshit Job …And How to Get Them (HarperCollins, 2006), menggambarkan para politikus dengan menukil Napoleon Bonaparte, bahwa, ‘’In politics, stupidity is not a handicap.’’ Benar, bagi para politikus –salah satu profesi ‘’bullshit’’ menurut Stanley Bing--, terutama di Bolmong, apa yang diingatkan oleh Napoleon tepat mengenai sasaran.

Sesungguhnya, ada dua cara pandang terhadap peristiwa yang dialami Wabup Bolmong tersebut. Pertama, hukum positif (tata Negara dan aturan-aturan lainnya, terutama berkaitan dengan tanggungjawab, wewenang, dan hak DPR). Kedua, hukum sosial yang berlaku normatif, yaitu etika dan budaya yang berlaku umum.

Pelanggaran profesional apa yang dilakukan oleh Wabup hingga dia layak diperlakukan dengan kasar dan tidak beradab oleh DPR Bolmong? Mengusir dan mengusulkan pemakzulan seorang pejabat publik dapat dilakukan, tetapi dengan dasar yang teramat kuat; dan terbukti yang bersangkutan melanggar hukum-hukum yang mengatur tanggungjawab yang diemban dan hak yang menyertainya sebagai pejabat publik. Kalau tidak, boleh dibilang DPR ekspresi sombong dan sekadar kalap belaka.

Hampir semua anggota DPR Bolmong tak terbebas dari ‘’dosa’’ sombong dan kalap itu. Mereka yang menjadi inisiator pengusiran dan mosi pemakzulan tak berbeda dengan anggota lain yang tidak melakukan upaya apapun; kecuali satu-dua orang seperti Jemmy Tjia yang menolak meneken mosi pemakzulan, atau juru bicara Fraksi PAN, Syamsudin Akub, yang menolak pengusiran Wabup dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan.

Sejalan dengan itu, pelanggaran hukum sosial apa yang dilakukan oleh Wabup hingga secara sosial dia layak mendapat hukuman sejahat pengusiran sebagaimana yang dilakukan oleh anggota DPR Bolmong, padahal yang bersangkutan diundang resmi hadir di gedung yang terhormat itu? Kalau semata hanya karena menyebut Herson Mayulu sebagai anggota DPR (dan DPR umumnya) asal malontok, saya kira alasan yang bukan hanya kekanak-kanakkan, tapi menunjukkan rendahnya ketinggian langit berpikir anggota DPR Bolmong.

Alasan ketersinggungan Herson Mayulu, yang memang dikenal tinggi hati, bukan sebab dia merasa tidak asal malontok; melainkan karena Wabup dengan tepat menunjukkan bahwa kualitas Wakil Ketua DPR Bolmong memang cuma sebatas asal malontok.

Namun titik krusial masalahnya justru tidak berhenti pada keluarnya Wabup dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan atau mosi pemakzulan dari DPR; tetapi pada solidaritas sosial berdasarkan budaya Mongondow. Tidakkah terlintas di benak Soenardi Soemantha, Herson Mayulu, Yusuf Mooduto, atau Tony Datu, bahwa dengan membawa masalah ketersinggungan pribadi ke ruang publik bisa berarti mereka dengan terbuka menantang publik melakukan hal yang sama? Tidakkah mereka sadar bahwa menghina Wabup dalam konteks pribadi, padahal kapasitasnya adalah pejabat publik, sama artinya dengan mengundang relasi pribadinya (kerabat, kawan, sanak-keluarga) ikut campur?

Dengan kata lain, dalam budaya Mongondow, adalah benar dan absah bila Keluarga Mokoagow dan cabang-cabangnya kini memutuskan untuk menjadikan orang-orang tersebut sebagai musuh bersama: dicoret sebagai warga Mongondow dan diusir. Yang paling ringan tidak perlu diundang ke hajat apapun; tidak perlu dihadiri hajatnya; dan bahkan bila mereka hadir di kedukaan sekali pun, adalah wajib hukumnya untuk diusir.

Dari sisi budaya Mongondow, apa yang dilakukan oleh DPR Bolmong terhadap Wabup adalah provokasi yang mengancam lebih dari stabilitas sosial. Untunglah situasinya terjadi pada bulan Ramadhan, di mana orang-orang yang lebih waras dan sabar mampu menahan diri.

Keruntuhan Wibawa Partai?

Fakta lain yang menyertai ‘’musibah’’ yang dialami Wabup Sehan Mokoagow adalah bukti gagalnya Partai Golkar Bolmong menjaga kewibawaannya. Pengusiran dan mosi pemakzulan Wabup yang dimotori Fraksi PG, jelas menjadi sikap PG sebagai partai. Anak SD pun tahu bahwa fraksi di DPR adalah perpanjangan tangan partai. Ketua PG Bolmong sekaligus adalah Bupati Bolmong; dan partai inilah yang mengusung Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati dan Wabub.

Hampir mustahil aksi yang dilakukan Fraksi PG tidak diketahui oleh Ketua PG. Apalagi, masyarakat tahu persis bagaimana berkuasanya Ketua PG yang juga Bupati, bahkan hingga anggota DPR seperti Herson Mayulu bisa menebalkan muka dan menyatakan akan membela Bupati sekali pun dengan nyawa sebagai taruhan.

Lalu di manakah wibawa PG sebagai fraksi yang mengontrol Fraksi PG di DPR Bolmong? Apakah wibawa partai yang menguasai kursi terbanyak ini diletakkan di pundak orang-orang yang bertindak seenaknya atas nama ketersinggungan pribadi satu orang?

Kalau jawabannya ‘’tidak’’, artinya Ketua DPR dan Wakilnya yang berasal dari PG; juga anggota Fraksi PG DPR Bolmong, dengan gilang-gemilang sukses ‘’mengentuti’’ Ketua PG yang juga Bupati Bolmong; sekaligus juga melepeh Bupati dan Wabup yang justru mereka dukung mati-matian di Pilkada.

Partai yang menghormati konstituennya, yang dijalankan secara modern dan profesional, semestinya mengambil tindakan tegas dengan memecat anggota DPR-nya yang bertingkah bukan hanya memalukan; tetapi menginjak-nginjak wibawa dan harga diri partai.

Lain soal kalau ternyata Ketua PG dan jajarannya memang merestui tindakan yang dilakukan Fraksi PG terhadap Wabup. Hanya saja, komplikasinya adalah wajar bila masyarakat juga berhak ‘’mengentuti’’ Ketua PG Bolmong dan jajarannya. Politik yang mereka praktekkan benar-benar dangkal dan amatiran.

Anarki Masyarakat

Di luar silang pendapat dan kecaman yang kini diam-diam masih menggelora di tengah orang ramai –terutama di kalangan marga Mokoagow-- terhadap apa yang dialami Wabup Bolmong, termasuk yang tersalurkan di media massa, aparat yang berwenang terhadap keamanan dan stabilitas semestinya sudah meningkatkan kewaspadan. Menurut hemat saya, kasus ini tidak akan berhenti sampai pada ketidak-puasan terpendam; tetapi berpotensi menjadi tindakan yang boleh jadi anarki.

Sudah menjadi rahasia umum, yang dipercakapkan di mana-mana, sejumlah orang di DPR Bolmong bukan hanya senang main kuasa, tetapi nyaris tak tersentuh tangan hukum; termasuk hukuman sosial. Sebagai pribadi, orang-orang yang berada di garda depan ‘’musibah’’ yang dialami Wabup telah lama diketahui terlibat macam-macam kasus: mulai dari Kredit Usaha Tani (KUT) yang sekarang mulai ditelusuri kembali oleh kejaksaan, gemar gonta-ganti istri, tukang bohong dan menyalah-gunakan kekuasaan, hingga judi –tertangkap tangan pula.

Masyarakat, sesabar apa pun, berpotensi lepas kendali; apalagi bila terus-menerus menyaksikan ketidak-adilan merajalela. Repotnya lagi, bila pada akhirnya masyarakat melakukan upaya sendiri dalam menuntut keadilan –dalam pengertian sangat normatif--, institusi berwenang pasti akan tersudut. Alasannya sederhana: bila tindakan anggota DPR di Bolmong, baik sebagai institusi maupun pribadi, tak dijangkau tangan hukum; mengapa masyarakat harus?

Mengutip Bang Napi dari tayangan berita kriminal salah satu stasiun televisi, nasihat untuk para anggota DPR Bolmong dan institusi yang berwenang terhadap keamanan dan stabilitas, adalah: Waspada… Waspadalah!***

Anggota Bathil di DPR Bolmong!

Ditulis pada 12 September 2008, tulisan yang judul lengkapnya Anggota Bathil di DPR Bolmong ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


PANAS nian ‘’balas pantun’’ antara Wakil Bupati Bolaang Mongondow (Wabup Bolmong), Sehang Mokoagow, dan Wakil Ketua DPR, Herson Mayulu. Tensi tinggi hubungan keduanya (yang sekarang merembet menjadi anggota DPR Bolmong, utamanya PG, melawan Wabup) mewarnai hampir semua media massa cetak Sulut dalam dua pekan terakhir.

Muasal saling serang dan kecam antara keduanya adalah dugaan ‘’memblenya’’ PAD Bolmong, yang menurut Mayulu tak lain kesalahan Wakil Bupati yang tidak mengerti dan melaksanakan tugas dengan baik. Sebab itu, Wabup Mokoagow mundur. Reaksi Wabup tak kurang pedas, yang menyuruh Mayulu membaca aturan sebelum buka mulut, supaya tak kelihatan ‘’asal malontok’’ semata,

Saya kira berkaitan dengan serangan yang dimotori Mayulu terhadap Wabup Mokoagow; yang harusnya tahu diri adalah Herson Mayulu. Penanggungjawab utama pemerintahan dan birokrasi di Bolmong adalah Bupati, Marlina Moha-Siahaan, bukan Sehang Mokoagow yang hanya Wakil. Karenanya, bila ada yang salah, keliru, miring, atau bengkok, yang pertama dimintai tanggungjawab adalah Bupati, bukan Wakil Bupati. Kecuali kalau yang meminta pertanggungjawab sejenis anggota DPR yang bengkok pengetahuan dan cara berfikir seperti Mayulu.

Menurut hemat saya, karena Mayulu tak punya nyali menegur, menjewer, atau menyuruh mundur Bupati Bolmong yang tidak becus mengurusi bawahannya, termasuk Wabup; maka yang ‘’dianiaya’’ adalah Wabup yang memang punya posisi tawar sangat rendah (bukan pimpinan Parpol, punya koneksi politik ‘’wah’’, atau saudara pejabat ‘’anu’’ yang lebih tinggi pangkat dan pengaruhnya). Perilaku yang sungguh bathil.

Negeri Semak-Belukar

Di luar silang-pendapatnya dengan Wabup Mokoagow, saya pribadi sudah hampir tiga pekan terakhir menyimpan keinginan menuntut Herson Mayulu mempertanggungjawabkan ‘’satu perkara’’ yang juga berkaitan dengan kebathilan mulut besarnya yang asal ‘’malontok’’. Keinginan itu bermula pada Jumat malam (22 Agustus 2008), saat saya menerima pesan singkat (short massage) berisi pertanyaan: ‘’Apa maksud Anda menyatakan Pinolosian adalah negeri semak-belukar?’’

Pesan singkat itu mungkin salah tujuan. Sejauh ingatan saya, yang sama sekali belum pikun, saya tidak pernah menulis, menyatakan, atau mengomentari Pinolosian seperti itu.
Namun, sepanjang Sabtu (23 Agustus 2008), pesan bernada sama –beberapa diantaranya bahkan lebih ‘’galak’’— dari orang-orang berbeda, menyusul saya terima. Makin memeras ingatan, saya semakin heran dan penasaran: Apakah pernyataan itu pernah saya sampaikan, sadar atau tidak, mabuk atau sedang waras, serius atau sekadar bercanda?

Keheranan dan rasa penasaran saya baru terjawab tatkala seorang kawan menelepon dan sembari tertawa-tawa menceritakan bahwa di hadapan 160 pegawai negeri sipil (PNS) peserta Pelatihan Pra Jabatan PNS Bolmong di SKB Gogagoman, Kamis (21 Agustus 2008), saat menyampaikan materi ‘’Etika Organisasi Pemerintah’’, anggota DPR Bolmong, Herson Mayulu, menyatakan (kurang lebih) bahwa, ‘’Menurut Katamsi Ginano, Pinolosian adalah negeri semak-belukar….’’

Kawan itu mendengar dari beberapa peserta Pelatihan Pra Jabatan, yang tidak mengenal saya, tapi ingin tahu kapan dan di mana saya pernah melontarkan ‘’sinisme’’ itu. Hanya memerlukan beberapa panggilan telepon pada beberapa orang yang dengan takut (bahkan ada yang memohon ‘’tolong jangan dipersoalkan karena akan berdampak pada kami’’), saya mendapat konfirmasi bahwa Mayulu memang mengemukakan bahwa ‘’Pinolosian adalah negeri semak-belukar’’ tak lain pernyataan dari Katamsi Ginano.

Kapan, di mana, dan dalam kesempatan apa pernyataan yang dikutip itu pernah saya sampaikan? Bahkan hingga pegal menggali-gali memori, saya gagal menemukan pernah menulis atau mengucapkan kalimat yang dikutip Mayulu itu.

Pernyataan Perang

Apa motif saudara Mayulu membawa-bawa nama saya? Sekadar keseleo lidah? Cuma bumbu agar peserta Pra Jabatan tidak menggantuk? Atau fitnah karena ada yang belum selesai antara kami berdua?

Telah berbilang tahun saya dan yang bersangkutan tidak bertemu atau saling menelepon. Memang terakhir ada polemik berkaitan dengan patung berhias gambar Bupati Bolmong, Oktober 2007, yang melibatkan saya dan segerombolan orang –antaranya Herson Mayulu. Kita semua tahu seperti apa akhir polemik itu.

Filsuf Inggris yang menjadi salah satu tokoh perintis Zaman Pencerahan, John Locke (1632-1704), mendefinisikan ‘’Keadaan perang adalah keadaan permusuhan dan penghancuran.’’ Fitnah tentang saya yang disampaikan Mayulu di hadapan 160 peserta Pelatihan Pra Jabatan PNS Bolmong itu, dapat diterjemahkan sebagai bentuk permusuhan dengan tujuan menghancurkan saya. Merusak kehormatan dan harga diri saya.

Lain halnya bila saya memang benar pernah menuliskan atau mengucapkan pernyataan itu. Saya harus mampu bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan.

Apa yang semestinya saya lakukan? Terhadap keadaan permusuhan dan penghancuran, kata John Locke, ‘’Adil dan masuk akallah bahwa saya harus mempunyai hak untuk menghancurkan apa yang mengancam akan menghancurkan saya.’’

Menjijikkan

Perlukah saya membawa fitnah yang dilontarkan Mayulu itu ke ruang publik, untuk membela diri, misalnya? Atau untuk entertain ego sekadar ‘’unjuk jago’’?

Secara pribadi, saya sebetulnya tidak ambil peduli dengan dicatutnya nama saya oleh Mayulu. Namun dalam konteks yang lebih luas, isu ini menjadi penting karena dapat menjadi bukti bagaimana gemarnya orang-orang tertentu di Bolmong merusak orang lain dengan fitnah, kasak-kusuk, dan segala jenis ocehan busuk di belakang punggung.

Boleh jadi dan patut dicurigai cukup banyak orang yang dengan diam-diam telah disengsarakan dengan modus sama; tanpa pernah tahu-menahu, apalagi membela diri. Dalam konteks ini, saya lebih memilih ‘’praduga bersalah’’ ketimbang ‘’praduga tidak bersalah’’.

Lebih buruk lagi, Herson Mayulu adalah tokoh publik; anggota DPR yang terhormat; dengan kedudukan penting di partai politik yang berkuasa di Bolmong; dan sosok yang –suka atau tidak-- memiliki pengaruh di tengah komunitasnya. Apa yang disampaikan –benar atau salah— sangat mungkin diterima sebagai sesuatu yang memang benar adanya. Lagipula, masak sih tokoh yang seharusnya jadi panutan punya kegemaran dusta dan fitnah?

Nyatanya, saya mengalami pencatutan sekaligus fitnah dari saudara yang semestinya terhormat itu. Dan itu menjijikkan, kendati saya tahu persis bahwa kebanyakan politikus belumlah ‘’khatam’’ kalau tidak pernah berdusta, menciptakan konflik, memecah-belah demi kepentingan sendiri, atau bahkan mengkreasi fitnah. Bagi umumnya politikus dengan moral dan etika alas sandal, tujuan adalah hal terpenting, apa dan bagaimana pun caranya.

Paham tidak berarti toleran. Bisa dibayangkan apa dampak yang harus ditanggung seorang kepala dinas, misalnya, kalau ada politikus elit partai dan DPR seperti Herson Mayulu membisikkan ‘’fitnah’’ pada Bupati? Katakanlah, bisikan beracun itu mengatakan, ‘’Si A tidak loyal dan suka mengatai-ngatai Anda sebagai Bupati yang tidak kompeten.’’

Bahkan bila kisikan seperti itu sebenarnya hanya bumbu percakapan politik, yang sifatnya lebih spekulatif ketimbang empirik, dengan kebanyakan elit politik yang gemar merasa benar sendiri dan sempurna lahir-bathin –utamanya di Bolmong--, saya yakin sang kepala dinas tak akan bertahan lama di kursinya. Nasibnya boleh jadi tak lebih baik dibanding balon besar yang disundut dengan puntung rokoh.

Patut Diludahi

Maka masyarakat memang harus tahu siapa sesungguhnya sosok yang mereka tokohkan. Apakah politikus dengan standar moral dan etika yang pantas dipanuti; atau cuma kelas tukang fitnah, kasak-kusuk, dan gossip, yang lebih banyak membawa kesengsaraan ketimbang manfaat bagi khalayak luas.

Dengan tahu ‘’tokoh’’ macam apa anggota DPR yang terhormat seperti Herson Mayulu, saya kira masyarakat yang waras tahu persis kualitas orang sejenis ini hanya cocok diperlakukan sebagai badut. Sama sekali tak pantas dipilih jadi anggota DPR; apalagi nara sumber ‘’Etika Organisasi Pemerintah’’. Inginkah kita para birokrat yang seharusnya menjadi ‘’penerang’’ untuk orang banyak justru dipandu cuma jadi tukang fitnah dan spekulasi.

Bagi saya pribadi, mengingat fitnah itu disampaikan di ruang publik, di tengah para pelayan masyarakat, apabila saudara Herson Mayulu tidak meminta maaf di ruang publik pula, maka yang bersangkutan memang berniat sungguh-sungguh mengobarkan perang. Tanpa takut dan segan saya menyatakan: Bila bertemu, kapan dan di mana saja, saya akan ludahi wajahnya! Dan bila ingin ‘’perang’’ fisik, saya yakin, percaya, dan senang hati, sungguh-sungguh ingin menjotos wajahnya.

Sudah terlampau banyak kerusakan yang diakibatkan orang seperti yang bersangkutan di tanah kelahiran saya.***

Sabtu, 22 November 2008

Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong ini pernah dipublikasi di Harian Manado Post pada Selasa, 20 November 2007 dan Rabu, 21 November 2007.


HAMPIR sepekan setelah Idul Fitri, 1 Syawal 1428 H, seorang ustad (arti harfiahnya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia –KUBI—adalah guru, tapi umum memaknai sebagai ‘’orang yang memahami agama (Islam) lebih dari kalangan awam’’) berceramah di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu –yang baru saja dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Di hadapan orang ramai Pak Ustad tiba-tiba melontarkan kritik terhadap salah satu ucapan selamat Idul Fitri yang dipajang di kain rentang di beberapa bagian kota.

Ucapan Idul Fitri itu kurang lebih berbunyi: ‘’Selamat Idul Fitri 1 Syawal1428 H. Mohon maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat.’’

Sayalah yang memasang kain rentang tersebut.

Satu kalimat, apalagi yang berkaitan dengan peristiwa keagamaan sakral (bagi umat Islam), tentu bukan perkara main-main. Penodaan agama bukan hanya tindak pidana, tetapi bisa jadi pengingkaran terhadap Allah SWT. Dan saya, dengan segala keterbatasan sebagai pemeluk Islam, gemetar membayangkan dianggap menista Tuhan, Rasul, dan agama sendiri.

Masalahnya, adakah bagian permintaan maaf itu yang salah dari sisi syariat Islam? Bukankah manusia adalah ciptaan yang sempurna dalam pengertian fisik, akal, dan nafsu; yang diperintahkan menjadi khalifah di muka bumi; tetapi sekaligus juga terus-menerus membawa potensi kerusakan. Agama (mana pun, terutama agama-agama langit) mengajarkan bahwa setiap saat, setiap detik, manusia bisa melakukan kesalahan; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak. Sebaliknya manusia juga berpotensi melakukan kesalehan dan kebaikan setiap saat, setiap detik; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak.

Pak Ustad yang mulia itu tentu lebih hafal isi Al Qur’an dan hadits ketimbang saya. Lebih paham pula bahwa meminta maaf karena menyadari manusia yang mudah tergelincir dan salah, adalah lebih baik dibanding sudah pasti salah tetapi enggan meminta maaf seperti yang kita saksikan di Bolmong umumnya.

Sebagai manusia yang menyadari kelemahan, saya merasa wajib meminta maaf untuk perbuatan (yang disengaja atau tidak, disadari atau tidak) di masa datang. Nabi Besar Muhammad SAW pun, yang dijamin ke-maksum-annya tetap meminta ampun pada Allah SWT dan sesama manusia.

Berapa banyak politikus dan birokrat, yang mengurus hajat hidup orang banyak, yang –menurut kitab suci—pasti diminta pertanggungjawabannya, yang bersedia meminta maaf? Padahal di keseharian mereka bukan hanya melakukan kesalahan dengan berbohong, mencuri, dan menelikung hak publik secara tidak sengaja; melainkan melakukan dengan sadar dan berjamaah.

Padahal pula ada tiga kata paling sakti dalam peradaban manusia yang tidak sulit diucapkan, juga dipraktekkan, dengan tulus: Tolong (dalam bahasa Inggris ’’please’’, bukan ’’help’’), maaf, dan terima kasih. Berapa seringkah kita mendengar tiga kata ini datang dari para pemimpin, birokrat, dan politisi, yang saat ini memimpin rejim pemerintahan, birokrasi, dan politik di Bolmong?

Mungkin ada dua kata yang sering kita dengar: ’’tolong’’, di saat para pemimpin dan politikus membutuhkan suara warga untuk memilih mereka menjadi bupati, wakil bupati, atau anggota DPR. Dan ’’terima kasih’’, karena rakyat tidak menjungkalkan mereka dari kursi, kendati terbukti gagal amanah dan hanya memperkaya diri dan keluarga dengan menjarah sebanyak-banyaknya dengan segala cara.

Pernahkah Pak Ustad mendengar para pemimpin daerah di Bolmong meminta maaf atas kebijakan konyol yang mereka ambil, yang akhirnya hanya membuang-buang uang rakyat? Apakah Pak Ustad pernah mendengar anggota DPR meminta maaf karena gagal mengawasi pemerintah dan mesin birokrasinya? Adakah pejabat publik yang meminta maaf dan mundur hanya karena terbukti mengelembungkan anggaran sebesar 1,1 juta yen (setara Rp 90 juta –hanya Rp 90 juta!) sebagaimana yang dilakukan Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang, Takehiko Endo, September 2007 lalu. Saat mundur Endo baru menduduki jabatannya kurang dari dua pekan dan skandal yang melibatnya terjadi pada 1999.

Betapa maaf adalah harga diri membuat Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang sebelum Endo, Toshikatsu Matsuako, pada 28 Mei 2007 lalu harakiri karena malu akibat terkuaknya skandal pembukuan di kementeriannya. Bahkan Perdana Menteri Shinzo Abe pun akhirnya mundur dari jabatan setelah serangkaian skandal keuangan mencuat di bawah pemerintahannya. Skandal yang sesungguhnya berakar dari pemerintahan sebelumnya.

Maka saya tidak habis pikir dan mengerti kenapa permintaan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat, bisa jadi persoalan? Tidakkah Pak Ustad yang terhormat melihat bahwa ada pasal yang lebih gawat yang sedang berlangsung di Bolmong, yang sungguh-sungguh membutuhkan konsern bersama, terutama oleh kalangan arif-bijaksana.

Harian Manado Post, Kamis, 25 Oktober 2007 (APBD 2006 se-Sulut Bermasalah: Hasil Temuan BPK, Manado 48 M Keluar Tanpa SPM, MaMi Tomohon Ditemukan), misalnya, khusus untuk Bolmong mengungkapkan ada miliaran rupiah dana APBD yang tak jelas penggunaannya. Di halaman lain, di hari yang sama (BPK Beber Temuan di Bolmong: Diduga Terjadi Penyimpangan), secara spesifik disebutkan untuk APBD 2005-2006 BPK menemukan tak kurang dari 21 kasus penyimpangan.

Sepintas temuan BPK yang dibeber media hanya deretan angka. Tapi tidakkah kita menyadari bahwa setiap angka itu berarti berkaitan dengan hak rakyat, yang mestinya dikelola dengan sangat hati-hati dan penuh tanggungjawab?

Selang lima hari, Harian Manado Post, Selasa, 30 Oktober 2007 (7.142 Rumah Tangga Miskin Terima PKH: November Dipastikan Cair) merilis lagi berita yang menyatakan 7.142 rumah tangga di Bolmong, BolmongUtara, dan Kota Kotamobagu masuk kategori Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM); dan karenanya harus disentuh Program Keluarga Harapan (PKH).

Di harian lain, Komentar (Selasa, 30 Oktober 2007), merilis berita Pendapatan Rp 455 Miliar, belanja Rp 463 Miliar: Empat Fraksi Setuju Bahas APBD 2008. Tak jelas benar rinciannya, kecuali disebutkan sepintas bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) diproyeksi sekitar lebih sedikit dari Rp 11 miliar.

Dari sebuah lembaga yang aktif memantau penyusunan anggaran daerah di Bolmong, saya mendapat informasi bahwa anggaran untuk pos pendidikan yang diproyeksikan di 2008 turun dari sekitar Rp 40 miliar-an menjadi hanya sekitar Rp 25 miliar-an. Penyebab turunnya anggaran tersebut karena dipindahkannya sekitar Rp 17 miliar-an (yang biasanya dialokasikan untuk Persibom) ke pos Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).

Semoga informasi itu bias dan tak akurat. Sebab bila benar adanya, sungguh mengiriskan hati, karena selain anggaran pendidikan yang dipangkas demi sepakbola; proyeksi PAD ternyata sebagian besar (sekitar Rp 2 miliar-an) berasal dari sektor kesehatan. Dan proyeksi ini ternyata bukan hanya untuk 2008. PAD untuk 2007, yang diproyeksi sekitar Rp 9 miliar-an, pemasukan terbesarnya juga berasal dari sektor kesehatan.

Kenyataan itu membuat saya mengurut dada.

Di pekan yang sama, Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, yang dengan predikat cum laude meraih gelar doktor di UGM pada Sabtu, 27 Oktober 2007, lewat disertasi berjudul ’’Signifikansi Peran Daerah’’, menegaskan: ’’Kinerja seorang kepala daerah minimal harus mampu meningkatkan perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan.’’

Temuan BPK, angka RTSM, perbandingan pendapatan dan pengeluaran APBD Bolmong, dan pos-pos anggarannya, mencerminkan tak ada satu indikator pun yang disampaikan Fadel, yang didekati oleh rezim yang berkuasa di Bolmong. Memangkas sepertiga anggaran pendidikan untuk sepakbola, menunjukkan komitmen seperti apa yang mereka letakkan. Demikian pula, dengan PAD terbesar dari sektor kesehatan, tak beda dengan memeras orang sakit sampai kering-kerontang. Sudah sakit, sengsara pula karena dibebani target PAD.

Khusus angka RTSM yang mendapat bantuan, sungguh mengiriskan. Di saat media mempublikasi mobil dinas baru para kepala dinas, fasilitas DPR, bahkan juga patung senilai Rp 500 juta yang ditegakkan di pusat kota Kotamobagu; angka RTSM itu hanya memiliki satu arti: ada yang foya-foya dan ada yang kembang-kempis hampir kehabisan nafas.

Temuan BPK akhirnya menegaskan semua kabar buruk itu: ada yang salah! Bahkan sekali pun kalau itu baru dugaan, 21 temuan –dengan kilah bahwa sekadar administratif saja—lebih dari cukup bagi masyarakat untuk mempertanyakan profesionalisme, kompetensi, dan pemihakan rezim pemerintahan, politik, dan birokrasi yang sedang berkuasa di Bolmong.

Administrasi yang sudah menjadi ’’makanan’’ sehari-hari kalangan birokrat; dengan kebijakan dan instruksi dari para pemimpinnya; dan kontrol politik dari lembaga legislatif saja bisa sangat amburadul; tidak mengherankan bila rezim ini tak memiliki strategi terhadap kesejahteraan orang banyak.

Pertanyaan terpentingnya: Adakah pemimpin, politikus, atau birokrat di Bolmong yang sudah minta maaf pada orang banyak atas kondisi centeng-perenang itu? Adakah ustad atau pemuka agama yang berdiri di podium, di tengah ribuan hadirin dan hadirat, mengecam para pemimpin yang tak kompeten, korup, dan hanya memikirkan diri sendiri?

Sayangnya tidak! Padahal umat Islam percaya bahwa mengingatkan pemimpin yang lalim dan lupa diri adalah salah satu bentuk jihad. Mungkin karena kuman di seberang lautan lebih mudah dilihat oleh mereka yang menggunakan kacamata setebal pantat botol, ketimbang gajah yang sedang menari-nari di pelupuk.***

Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan (Komentar untuk Salim Landjar) ini pernah dipublikasi di Harian Komentar pada Sabtu, 17 November 2007; Senin, 19 November 2007; dan Selasa, 20 November 2007.


’Apa yang tak tersembuhkan harus terus dipikul.’’
(Antonio Skarmeta, Il Postino, Miramax Book, 1995)

LEBIH tiga tahun lampau di Bolmong beredar t-shirt bertuliskan ’’seburuk-buruk pekerjaan adalah menjilat Bupati’’. Tulisan di t-shirt ini tak hanya membetot atensi banyak orang yang berbondong mengenakan; tapi mengundang kemarahan sejumlah pihak (entah dengan alasan apa). Bahkan juga ikut campurnya Polres Bolmong menyelidik asal muasalnya –termasuk ‘’menginterogasi’’ pemakainya (yang ajaibnya entah dengan alasan apa pula).

Saat itu, akhir 2004, Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan sudah memasuki tiga tahun masa pemerintahan. Dan makin nyata memimpin Bolmong seperti apa; di kelilingi orang-orang seperti apa.

Tulisan Salim Landjar di Harian Komentar , Kamis (8/11) dan Jumat (9/11) November 2007 (Mengomentari Sukses APP: Antara Kecerdikan Bunda MMS dan Kecerdasan BKG), adalah contoh terkini ‘’orang-orang seperti apa’’ yang ada di sekitar Bupati Bolmong. Bahkan juga kebudayaan berpikir macam apa yang mewabah di daerah ini.

Menjilat, sebagaimana pepatah yang dikutip Antonio Skarmeta, mungkin memang sudah jadi penyakit yang harus dipikul generasi Bolmong cukup lama. Bahkan bagi kebanyakan mereka yang terlanjur mengidap, bisa jadi tak pernah tersembuhkan lagi.

Sebagai obyek yang dikupas-tuntas oleh tulisan Landjar, kendati malas menanggapi (sebab tong aspal, dengan difinisi apa pun, tetaplah tong aspal) dan juga karena capek tertawa, terpaksa harus saya respons. Paling tidak agar yang bersangkutan bisa punya gambaran mana fakta dan mana imajinasi; sekali pun saya pasimis Landjar bisa membedakan keduanya dengan baik.

Pertama, hanya dengan membaca dua aline pertama, bisa disimpulkan penulis artikel itu bukanlah Salim Landjar. Penulis yang sesungguhnya terbiasa menulis, paling tidak sejenis liputan berita. Namun, penggunaan kata, alur kalimat, serta logikanya yang tidak linier, menunjukkan sang penulis hanya pantas mendapat angka paling tinggi 3,5 dari skor 10. Kalau dia wartawan, pasti wartawan yang sangat buruk. Cuma bisa menulis berita penuh puja-puji dan kutipan yang dimanipulasi. Kalau dia penulis fiksi, paling jauh, ya, cerita mesum picisan.

Kedua, saya kagum dengan klaimnya sebagai pemerhati, bahkan pengamat, kritik-kritik yang saya lontarkan—yang seluruhnya dipublikasi di Harian Manado Post dan terakhir Posko-- ke pemerintah, birokrat, dan politikus (bukan Marlina Moha-Siahaan pribadi) di Bolmong. Pembaca yang mengikuti isu-isu yang dirujuk, tahu persis tidak ada perang pena. Yang ada adalah kritik dibalas dengan serangan pribadi terhadap pengkritik. Lagipula, bagaimana mungkin kelinci perang melawan gajah?

Lebih tepatnya, sejumlah orang berperang dengan kuntilanak yang mereka ciptakan di satu sisi; dan saya mengomentari kengawuran mereka (sambil tertawa-tawa) di sisi lain.

Kekaguman lain adalah keluangan waktu yang dimiliki penulis di belakang Landjar dan pentingnya memperhatikan dan mengamati Katamsi Ginano; melebihi kepentingan memperhatikan dan mengamati fakta-fakta sosial, ekonomi, dan budaya di Bolmong. Bahwa, misalnya, berkaitan dengan isu-isu yang mengemuka: Boki Hotinimbang hanya bu’a; Abraham Sugeha hanya raja antara; dan boki kolano inta nolintak kon totabuan adalah gelar karangan yang bisa berarti ’’banci’’; juga patung berhias gambar Bupati Bolmong adalah proyek (yang konon bernilai Rp 500 juta) yang pendiriannya di luar akal sehat.

Memperhatikan dan mengamati ’’cara berpikir’’ Katamsi Ginano juga lebih penting dari ‘’centang-perenangnya’’ pembangunan di Bolmong, termasuk APBD-nya yang sungguh ‘’ajaib’’. Lebih penting dari memperhatikan dan menganalisis perbandingan penggunaan anggaran negara, milik orang banyak, untuk mobil dinas birokrat dan DPR dengan subsidi terhadap rumah tangga sangat miskin (RTSM). Lebih penting dari, misalnya, memperhatikan dan mengamati bahwa anggaran pemeliharaan mobil dinas Bupati bisa senilai Rp 900 juta sementara subsidi harga obat untuk kalangan tidak mampu hanya Rp 8 juta.

Mengagumkan pula bahwa yang habis-habisan ditelisik hanyalah soal ’’kecerdasan’’ Katamsi Ginano. Lalu mana kecerdikan MMS? Apakah yang dimaksud cerdik adalah mengerahkan polisi untuk mengusut t-shirt olok-olok; memobilisasi orang-orang yang menulis serangan pribadi dan bukan substansi; konferensi pers dari petinggi partai untuk menyerang pribadi; hingga gertakan dan ancaman fisik? Kalau itu disebut cerdik, seperti apa yang namanya bodoh?

Kalau saya ikut menyerang pribadi, misalnya mempersoalkan hidung pesek versus hidung mancung hasil operasi plastik, mungkinkah bisa masuk kategori cerdik?

Penulis di belakang tulisan Landjar sungguh-sungguh minim refensi hingga terlalu jauh meracau, mencampur-aduk kebodohan dan kebebalan yang dibungkus penyalahgunaan kekuasan; dengan kecerdasan strategi publikasi atau sejenisnya. Sama dengan pengandaian komentator tidak perlu ditanggapi oleh yang dikomentari. Pikiran kok disamakan dengan kontes sepakbola?

Komentator yang masuk di tengah lalu-lintas ide yang sedang diwacanakan adalah juga ’’pemain’’. Berkilah bahwa mengomentari ’’pemain’’ lain adalah buang energi, jelas alasan yang tidak genah.

Namun, di atas semua itu, saya kagum karena penulis dengan lugas menunjuk hidung Hatta Sugeha, ZA Lantong, Yahya Fasa, Herson Mayulu, Sumardiah Modeong, Bachruddin Marto, hingga Jenli Taturu sebagai ’’penjilat’’ Bupati Bolmong. Pun bahwa anggota DPR Bolmong lebih suka bergosip saat sidang daripada membahas nasib rakyat. Saya panasaran, apa reaksi orang-orang ini nantinya, ya?

Ketiga, bahwa kritik saya membantu mempublikasikan kekonyolan pemerintah dan politikus Bolmong. Wah, di antara semua analisis ngawur, ini yang cukup mendekati kebenaran. Buktinya di Pilkada lalu MMS kalah di tiga dari empat kecamatan yang kini masuk Kota Kotamobagu. Artinya, di komunitas terdidik dan membaca koran, publik tahu persis sikap yang harus diambil. Bahkan sekali pun setahun sebelum Pilkada saya sama sekali berhenti menulis di media massa di Sulut.

Sayang, analisis itu dikacaukan dengan pernyataan bahwa kritik-kritik yang saya sampaikan tidak mendapat dukungan. Penulis di belakang Landjar perlu menelepon Harian Manado Post dan Posko untuk mendapat data akurat. Setahu saya, dua harian ini, tempat polemik antara saya dan pro Bupati Bolmong dilakukan, berupaya mengikuti standar etika umum: yang diserang bukan kritik atau ide saya, tetapi saya pribadi, maka sayalah yang harus menjawab. Tidak perlu dukungan pihak lain, yang secara pribadi sama sekali tidak terkait.

Lagipula dalam perkara tulis-menulis dan tukar ide, tidak ada urusan dukung-mendukung. Ini bukan kampanye pemilihan RT, kepala desa, atau bupati dan walikota. Sekali pun saya dengan gampang meminta para sahabat untuk menulis dukungan (dan mereka dengan gratis dan senang hati melakukan); atau yang terburuk meminjam nama orang lain seperti nama Salim Landjar, misalnya.

Keempat, penulis di belakang Landjar juga terjebak pada manipulasi dan khayalannya sendiri, terutama sejarah Abraham Sugeha; dikaitkan dengan tokoh-tokoh Bolmong seperti Oe. N. Mokoagow, J. A. Damopolii, Jenderal Mokoginta, atau sederet nama lain yang disebutkan dalam tulisannya. Polemik saya dengan saudara Hatta Sugeha (yang dilakukan di Harian Manado Post) berkenaan dengan penggantian nama RS Datoe Binangkang tidak pernah mengkonklusi bahwa tokoh-tokoh itu adalah anak-temurun (langsung) Abraham Sugeha.

Dari bintang dan planet mana penulis di belakang Landjar memetik khayalan itu?

Yang tertulis dan terdokumentasi saja dimanipulasi; apalagi yang tidak. Namun, saya tidak heran, sebab tampaknya para pro Bupati Bolmong memang punya kecenderungan yang sama: gemar berhalusinasi.

Kelima, geli rasanya membaca ajakan mempopuler singkatan nama saya. Ajakan itu dapat ditafsir sebagai ejekan, atau bisa pula pujian –yang rasanya terlampau berlebihan hingga terjerambab menjadi penjilatan. Saya tidak butuh popularitas; sebagaimana kebanyakan pejabat publik dan politikus saat ini yang kian gemar menyingkat nama agar ’’aneh’’ dan keren’’ serta memajang poster wajahnya di banyak tempat, sekadar supaya merasa populer. Lagipula inisial ’’KG’’ bukanlah hal baru; sebab saya sudah menggunakan bertahun-tahun yang lalu saat masih menjadi jurnalis. Hingga, meminjam kalimat ’’anak baru gede’’: ’’Ke mana aja ente?’’

Yang terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan pernyataan Samuel Johnson yang dinukil Thomas A Stewart (Intellectual Capital: The New Wealth of Organizations, Doubleday, 1997), yang mengemukakan: ’’Pengetahuan ada dua macam. Kita sudah tahu subyeknya, atau kita tahu di mana kita mendapat informasi tentang subyek itu’’.

Saya tahu siapa Bupati Bolmong; orang-orang di sekitarnya; termasuk Salim Landjar dan penulis di belakangnya. Dan saya juga tahu di mana mendapatkan informasi tentang mereka.***

Sabtu, 15 November 2008

Fitnah dan Penjilatan Berjamaah

Ditulis pada 29 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Fitnah dan Penjilatan Berjamaah (Masih tentang Pantung Berhias Gambar Bupati Bolmong) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


MENAKJUBKAN betul kekerasan hati (kalau bukan kebebalan) beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolaang Mongondow (Bolmong), yang membabi-buta mencakar bayangan yang mereka ciptakan. Termasuk oleh Bachruddin Marto (Isu Patung, Politik ’’Kacang Tore’’) yang dipublikasi Posko, Senin 29 Oktober 2007, menanggapi isu patung berhias gambar Bupati yang sudah bergulir lebih sepekan.

Siapa pun yang melontarkan kritik –entah itu gondoruwo, liliput, atau bahkan mahluk Mars--, asal ada kata ’’Bupati Bolmong’’, pasti adalah musuh politik dan sosial. Pantas dikeroyok dan diserang secara pribadi. Tidak peduli kritik yang dilontarkan bahkan tidak ditujukan pada Bupati.

Maka, membaca tanggapan Marto di Posko, setelah terbahak-bahak –menyenangkan betul menonton para badut bermunculan--, saya harus berpikir keras: Apakah saya yang dungu atau memang kebanyakan mereka yang mengaku tokoh di Bolmong mengalami problem dengan fungsi otaknya?

Mungkin sahabat saya, dr Taufik Pasiak, yang sudah bertahun-tahun melakukan studi tentang otak perlu menelisik, disfungsi otak macam apa yang sedang terjadi di kalangan beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolmong, yang tampaknya mengalami kesulitan membedakan kritik terhadap pejabat dan kebijakan publik; dan penyerangan pribadi. Wabah apa yang menyerang otak mereka hingga sudah tak bisa membedakan mana akar, pokok, dan daun.

Marto, sebagaimana beberapa orang lain yang menanggapi kritik saya, sama sekali tidak menyentuh subtansi. Yang diutak-atik adalah saya sebagai pribadi; yang kali ini bahkan ditambahi lagi dengan fitnah.

Baiklah, tanggapan Saudara Marto –yang mengaku tokoh pemuda (saya yakin ini hanya perasaan dan klaim yang bersangkutan)--, bersedia saya tanggapi lagi –sekali pun saya sungguh-sungguh paham mustahil mengajari bebek agar tak berkoek dan membebek. Sekali pun sejumlah orang juga menelepon agar saya tak usah menanggapi beo; sebab cuma buang energi dan kontra produktif.

Pertama, analogi ’’kacang tore’’ tentu teori yang entah diraup dari mana. Tolong belajar tentang analogi dulu, deh. Siapa yang peduli pada orang yang makan kacang tore dan berbunyi ’’krak krak krak’’? Yang jadi problem adalah kalau makan kacang tore tanpa bunyi ’’krak krak krak’’; artinya saudara Marto tentu ompong total. Kalau pun bunyi ’’kacang tore’’ saya mampir di kuping Anda, jangan sirik dong. Siapa suruh Anda ompong total?

Kedua, kalau ancaman dan sikap emosional dianggap wajar, ya, sudah. Apa mau dikata, kita memang beda peradaban dan beda ’’langit’’. Kritik yang ditanggapi dengan ancaman dan sikap emosional, secara sosiologis dan antropologis (mudah-mudahan dua kata ini tidak terlalu berat bagi Marto) menunjukkan di level mana orang atau komunitas tersebut berada.

Dengan kewajaran sedemikian itu maka absah pula perilaku totaliter yang makin jadi budaya di Bolmong, terutama di kalangan elitnya. Hanya saja, jangan sampai burung dara menjadi pengancam elang; atau ikan cupang menantang kelahi hiu macan.

Ketiga, analogi lebah yang dikemukan justru memperjelas kritik saya sejak awal; bahwa jangan-jangan Bupati Bolmong hanya dikerumuni para ’’yes mam’’ yang melantunkan puja-puji dan kidung sorga. Lebah adalah salah satu jenis hewan terbaik dalam soal loyalitas; tetapi tentu dengan kapasitas otak lebah yang hanya seperjuta sekian kapasitas otak manusia.

Lebah bertindak berdasar insting (Marto bisa menonton pelajaran tentang lebah lebih lengkap di National Geographic Channel atau Discovery Channel). Manusia berdasar akal dan pikiran,juga hati kecil. Mendudukkan kelas manusia hanya setara lebah, betul-betul cara berpikir yang bukan hanya ceroboh tetapi juga batil.

Keempat, konsep tentang loyalitas yang saya kenal, bahkan dalam terminologi agama, bukanlah patuh tanpa mikir. Membela sesuatu, apalagi pengkultusan individu dengan membuta-tuli, tak berbeda dengan menjilat, bahkan juga pemberhalaan (Marto perlu membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia --KUBI-- agar tahu apa beda kata ’’berhala’’; ’’memberhalakan’’; dan ’’pemberhalaan’’).

Dalam konteks itu, saya ingin mengulang kembali (mirip mengajari anak ’’play group’’ membedakan permen coklat dan batangan coklat), bahwa yang saya kritik adalah pengkultusan; pemberhalaan. Dengan kata lain: orang seperti Andalah yang saya tuju, bukan Bupati Bolmong.

Saya juga ingin bertanya, sudahkah pernah saudara Marto (yang setahu saya saat ini PNS di Bolmong) bekerja di perusahaan; dan sudah berapa kalikah pindah perusahaan, hingga merasa pantas mengajari saya apa itu loyalitas di dunia kerja profesional? Loyalitas, bagi kami, adalah kepatuhan pada profesi, etika, norma, sistem, aturan, dan standar-standar baku lainnya. Di dunia saya, pemimpin yang tak kompeten, tanpa perlu dikritik bagai menghardik keledai, akan terpental dengan sendirinya.

Kelima, salah satu problem dari loyalitas membabi-buta adalah pembenaran yang keterlaluan, termasuk dengan fitnah. Dan itu ditujukkan oleh Marto dengan fitnah bahwa saya hanya melontarkan kritik setiap kali musim Pilkada datang. Bung, saya bukan seperti Anda yang tiap kali cerewet di depan publik (termasuk di media), selalu ada maunya, sebagaimana yang Anda tunjukkan saat meng-komplein Kapolres Bolmong beberapa waktu lalu. Yang juga keterlaluan adalah klaim bahwa saya pernah menanggapi tulisan yang bersangkutan, dengan tujuan pembunuhan karakter.

Imajinasi Marto sungguh kaya. Begitu kayanya sampai-sampai sulit bagi saya menyimpulkan yang bersangkutan hanya meracau agar dianggap penting –dan sudah membela pemimpin yang dipuja-pujinya setengah mati-- atau mengingau karena demam tinggi.

Seingat saya, saya pernah menulis tentang sekelompok orang yang mengatas-namakan satu kelompok massa, yang petantang-petenteng seolah-olah yang paling berjasa terhadap negeri ini pada Agustus 2005. Artinya, lebih satu tahun sebelum Pilkada berlangsung di Bolmong. Dan kalau Anda tak paham isinya, mari saya beritahu: tulisan itu, yang bertajuk ’’Kami Bukan KBA Kasiang’’, itu bukan sekadar sindiran, tapi ejekan untuk ikan cupang yang bertingkah seolah-olah hiu macan. Dan setahu saya ikan cupang itu adalah Anda.

Saya juga hakul yakin satu tahun sebelum Pilkda Bolmong berlangsung saya sama sekali tidak menulis di media massa di Sulut. Sama halnya dengan isu patung berhias gambar Bupati yang kini mengemuka. Saya tidak menulis karena menjelang Pilkada Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara. Jangankan Pilkada, anggota DPR Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara saja belum dilantik. Jadi apa relevansinya?

Sepanjang track record saya, rasanya belum pernah saya menjadi ’’antek’’ atau anjing penjaga yang menggonggong hanya karena diperintah tuannya.

Jangan karena mata Anda yang picek lalu pelukis potret Anda yang dihukum mati.

Keenam, untuk apa saya perlu aktualisasi diri di Bolmong, di tempat saya lahir dan dibesarkan? Popularitas, sebagaimana yang saya rasakan sejak lama, lebih banyak merepotkan ketimbang menenangkan. Lagipula saya bukan jenis orang yang senang dijilat dengan puja-puji; apalagi oleh orang-orang yang lidahnya bercabang dan bersuara mendesis. Berjamaah pula.

Kritik saya terhadap Bolmong adalah bagian dari tanggung jawab warga negara, yang lahir di Bolmong. Tidak lebih dan tidak kurang.

Kalau soal mencalonkan diri sebagai Walikota Kota Kotamobagu, siapa yang boleh melarang. Saya orang Mongondow! Mereka yang bukan orang Mongondow saja dipersilahkan dengan sopan dan penuh hormat, apalagi saya. Dengan cara apa saya menarik simpati masyarakat, tentu tak perlu penasehat semacam Marto yang pasti lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Yang terakhir, karena Anda mengutip ustad, saya juga ingin mengutip kiai saya, yang mengatakan: ’’Lebih baik jadi orang benar, pintar, dan berani; daripada hanya jadi orang benar tapi tidak pintar; atau orang pintar tapi tidak benar; apalagi sudah tidak pintar, tidak benar, berani pula’’.***

Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul

Ditulis pada 25 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul (Catatan atas Kritik Terhadap Patung Bergambar Bupati) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


GUNCANGLAH sesemakan, Anda akan tahu mahluk seperti apa yang berhamburan keluar. Boleh jadi yang berserabutan burung atau kupu-kupu, bisa pula ular dan biawak, atau cuma semut, laba-laba, dan kecoak.

Kritik saya terhadap patung berhias gambar Bupati Bolmong, kurang-lebih, bagai menguncang sesemakan. Apalagi sebagaimana yang dimuat Posko, Kamis 25 Oktober 2007 (Dianggap Menghina Bupati: FKPPI Bolmong Tetapkan Ginano sebagai ’’TO’’), komentar, kecaman (juga ancaman) yang berhamburan sama sekali lepas dari konteks dan subtansi isu, tetapi sudah menyerang pribadi.

Reaksi pertama saya saat mengetahui kecaman (dan terutama ancaman) yang menyerang pribadi itu adalah terbahak-bahak. Saya patut berterima kasih pada mereka yang telah berkomentar. Anda membuat hari saya lebih cerah dengan lelucon segar. Dan memang begitulah kelakuan beberapa elit Bolmong: kekanak-kanakan, emosional, dan keluar konteks.

Saya harus mengingatkan lagi: tolong baca dengan hati-hati apa yang saya tuliskan di Posko, Senin, 22 Oktober 2007 (Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong) berkenaan dengan pendirian patung berhias gambar (bukan relief –kecuali memang di Bolmong sudah tak ada lagi yang dapat membedakan gambar dan relief) Bupati. Di manakah klausal penghinaan terhadap Bupati adanya? Lain soal kalau Anda tidak membaca tulisan itu, tetapi hanya mendengarkan dari bisik-bisik dan spekulasi. Atau Anda adalah kelompok yang saya sebut ’’segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga’’.

Yang saya kritik adalah kepatutan yang seharusnya secara normatif tidak perlu diperdebatkan lagi.

Terhadap penyerangan terhadap saya pribadi, galibnya kata-kata, layak pula dibalas dengan kata-kata. Tentu dimulai dengan saudara Herson Mayulu yang menghina saya (eksplisit) sebagai ’’bukan apa-apa’’ dan menantang untuk kembali ke Bolmong melakukan sesuatu.

Komentar yang layak disampaikan terhadap pernyataan itu adalah: Memangnya saudara Herson Mayulu ada apa-apanya? Saat saya jadi ’’langganan’’ dimintai keterangan oleh aparat keamanan di zaman Orba, setahu saya saudara Herson adalah PNS yang ’’baik’’, yang kemudian bersulih profesi menjadi anggota DPR Bolmong. Itu saja. Prestasi lain? Bagi saya, cukup dijawab dengan senyum lebar.

Akan halnya saya? Sesekali cobalah browsing dengan Google atau Yahoo. Nama saya tak kurang tercatat di 498 entry. Sedangkan Anda hanya 9 entry, itu pun seluruhnya berita di koran lokal yang menyebutkan nama Anda sepintas saja.

Dengan teknologi Internet Anda juga akan tahu sedikit rekam jejak saya, yang bukan hanya untuk Mongondow, tetapi untuk negeri ini. Mungkin amat sangat sedikit, tetapi tentu masih jauh lebih banyak daripada sekadar cerewet di kampung halaman, mirip katak yang menganggap rumah tempurungnya sebagai jagad utama.

Kalau kemudian saya di tantang kembali ke Bolmong untuk melakukan sesuatu, bagaimana kalau saya tantang Herson Mayulu untuk keluar dari ’’tempurungnya’’ ke lapangan global di luar sini? Apa yang Anda bisa di dunia yang menurut Friedman ’’telah menjadi datar’’? Tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya adalah pemain global di bidang saya, yang dibuktikan dengan mampu survive di level bukan hanya provinsi atau nasional.

Saudara Herson, tegasnya saya mau bilang: Andalah yang tidak ada apa-apanya. Termasuk tidak bisa membedakan mana ubun-ubun dan dengkul. Wong yang saya kritik patung berhias gambar Bupati, yang Anda hantam adalah pribadi saya.

Saya tertawa sampai menetaskan airmata ketika tiba dialinea dari Sumardiah Modeong yang menuduh saya ’’tidak pintar tetapi gila’’. Orang gila seharusnya di RSJ; tidak perlu ditanggapi, apalagi oleh Bendahara PG Bolmong.

Apa relevansi kritik saya terhadap tuduhan gila? Modeong boleh bersyukur: saya sama sekali tidak berminat mengadukan tuduhan gila ini sebagai pencemaran nama baik. Toh, orang banyak tahu, di tengah ketidak-warasan, yang waras-lah yang justru dianggap menyimpang.

Kecaman (dan ancaman) yang tak kurang lucunya disampaikan oleh Jendli Taturu yang menyatakan saya sebagai ’’TO’’ FKPPI.

Saudara Jendli, bertahun-tahun lamanya –sejak akhir 1980-an, saya mengenal amat sangat baik salah seorang pendiri FKPPI, almarhum Yoseano Waas. Dari dialah saya mendapatkan buku sejarah berdirinya FKPPI dan banyak inside story di belakang riwayat organisasi ini. Saya respek terhadap FKPPI; dan karenanya heran mengapa tidak-tiba ada orang yang berani-beraninya menyeret organisasi ini memperhadapkan dengan saya, hanya karena persoalan sepele: kritik terhadap patung berhias gambar Bupati?

Begitu hebatnyakah dampak kritikan saya terhadap stabilitas negeri ini hingga nama besar FKPPI harus dibawa-bawa?

Sepengetahuan saya FKPPI tidak punya kebijakan menjadi organisasi yang mengancam warga negara yang tidak merongrong Pancasila, UUD 45, dan kemaslahatan hidup orang banyak. FKPPI belum pula mengambil alih tugas polisi, tentara, jaksa, atau Badan Intelejen Negara (BIN), yang memang berhak menetapkan seseorang sebagai ’’TO’’.

Maka saya percaya ancaman itu hanya datang dari Jendli Taturu, bukan dari FKPPI. Dan karena ancaman patut diwaspadai, tentu saya sungguh-sungguh harus berhati-hati. Termasuk melapor ke polisi sebagai aparat yang berwenang menangani segala sesuatu yang mengancam keselamatan seorang warga negara. Sebaliknya, saudara Jendli juga patut berhati-hati, sebab kaki mudah terantuk di batu, kepala gampang terbentur, dan badan mungkin saja tanpa sengaja tersenggol.

Pengalaman saya di beberapa wilayah yang pernah membara oleh perang (saya hadir secara fisik di tempat-tempat seperti itu), mengajarkan bahwa setiap orang punya teman. Teman yang tak hanya berkawan karena sekadar jabatan, uang, atau pengaruh. Dan hanya mereka yang telah berjalan sangat jauhlah yang memiliki teman terbanyak. Sudahkah Jendli Taturu berjalan sejauh saya dan berteman sebanyak yang saya punya?

Terakhir, untuk saudara Kuji Moha. Terima kasih atas kearifan Anda. Namun saya harus mengoreksi bahwa telah menjadi tugas seorang Bupati, sebagai pejabat publik, untuk mengayomi masyarakatnya. Dan tugas publik itu mestinya tidak dicampur adukkan dengan menjadikan area publik sebagai wilayah pribadi.

Sebagai warga Mongondow saya senang diayomi oleh pejabat publik yang benar; sebaliknya saya juga tak segan mengkritik siapa pun pejabat publik yang bengkok, termasuk bengkok logika. Namun kalau kritik warga masyarakat dianggap sebagai kenakalan dan harus dicubit, bagaimana dengan kelakuan pejabat publik yang di luar kepatutan? Harus dianggap apa oleh masyarakat dan sang pejabat harus diperlakukan seperti apa?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan apresiasi pada penjelasan mengapa patung berhias gambar Bupati itu harus dibangun, yang juga dipublikasi Posko (Jadi Polemik: Asisten III Luruskan Soal Lukisan Bupati). Bahwa penjelasan itu amat sangat terlambat dan tidak menjawab substansi kritik yang saya sampaikan, adalah soal lain yang bisa diperdebatkan nanti.***

Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong

Ditulis pada 21 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko pada Kamis, 25 Oktober 2007.


MENGKRITIK patung berhias gambar Bupati, di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) –induk--, ternyata perkara gawat. Tak kurang dari Kepala Hubungan Masyarakat (Kahumas) Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, bahkan harus memberikan tanggapan (Soal Lukisan Butet, Posko, 20 Oktober 2007).

Biar urusan patung dan gambar itu tidak berketiak ular –terutama sebab tanggapan Kahumas Pemkab Bolmong--, saya ingin menjelaskan subtansi kritik saya yang dimuat Posko, 19 Oktober 2007, adalah:

Pertama, patung sebagai bagian dari lanskap sebuah kota (di negara-negara dan kota yang sudah makmur) tidaklah perlu diperdebatkan eksistensinya. Tapi di Bolmong, apalagi menghiasi fondasinya dengan gambar Bupati (bukan ornamen), tentu konyol dan mungkin baru pertama di seantero jagad.

Apa relevansinya dengan pembangunan di Bolmong? Di saat jalan-jalan hancur dan berlobang, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pertanian jauh dari sempurna, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya miliran rupiah, membuang ratusan juta untuk sebuah patung berhias gambar Bupati sungguh logika yang sulit dicerna.

Kedua, dengan meletakkan gambar Bupati di fasilitas publik yang permanen, tak beda dengan menyandingkan Bupati dengan artis-artis yang berpose untuk iklan sabun, pasta gigi, atau obat anti bau badan.

Ketiga, bila alasannya agar warga mengingat sejarah dan jasa-jasanya (walau difinisi jasa ini masih dengan tanda tanya besar), apa tidak lebih baik ditulis saja dalam bentuk buku? Bukankah buku lebih edukatif, cerdas, dan bermartabat?

Keempat, patung dan gambar itu dibangun di areal publik, dengan uang Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Wajar belaka kalau masyarakat mempertanyakan peruntukkan, biaya, dan pertanggungjawaban normatif lainnya. Sebab kalau bukan dengan APBD, lalu mengapa dibangun di areal publik?

Masyarakat tentu tak akan cerewet bila patung dan gambar itu dibangun di halaman rumah pribadi Bupati dengan uang dari kantongnya sendiri. Mau sebesar kandang gajah kek, seukuran layar lebar bioskop kek, siapa peduli. Paling-paling orang hanya akan mempergunjingkan kesehatan jiwanya.

Alasan bahwa di kota-kota yang lain juga ada patung tokoh, tidaklah serta merta membenarkan logika bengkok yang sedang berlangsung di Bolmong. Patung Sam Ratulangi tidak dibangun oleh Sam Ratulangi sendiri. Atau mau lebih ekstrim lagi, Presiden Soekarno adalah tokoh yang paling banyak membangun patung di Indonesia, tetapi tidak satu pun patung tentang dirinya.

Akan halnya Presiden Soeharto yang berkuasa di negeri ini tak kurang dari 30 tahun, setahu saya tidak pernah memerintahkan pembuatan patung pribadinya. Kalau pun ada relief yang menggambarkan Soeharto, seperti di Monumen Adipura Kencana di Kota Manado, saya sepenuhnya yakin: itu bukan permintaan Soeharto, tetapi apresiasi dan kreativitas Pemkab Kota Manado.

Tokoh yang membangun patung pribadi di saat berkuasa, semisal Saddam Husein, tak lebih dan tak kurang: patungnya dihancurkan sesaat setelah kekuasaannya berakhir.

Karena substansi seperti itulah saya tak habis kagum dengan Kahumas (sekaligus juru bicara Bupati Bolmong). Alih-alih menjelaskan alasan pendirian patung berhias gambar Bupati itu, Kahumas justru merembet ke persoalan mempertanyakan (kurang lebihnya) apa yang saya perbuat untuk Bolmong.

Saudara Kahumas, tugas Anda adalah menjelaskan kebijakan pemerintahan dan pembangunan serta relevansi di Bolmong. Untuk tugas yang satu ini saja Anda belepotan, apalagi memasuki areal yang lain.

Apa yang saya lakukan sebagai warga negara yang lahir di Bolmong adalah menaati undang-undang dan aturan lainnya, termasuk membayar pajak. Saya kira, sebagai warga negara, saya memenuhi kriteria warga yang baik (saya sudah bertahun-tahun memiliki NPWP pribadi dan saya tidak yakin Kahumas Pemkab Bolmong punya itu). Selebihnya, bukan urusan Kahumas mempertanyakan apa yang saya perbuat untuk masyarakat saya.

Saya justru ingin menanyakan (sebagai bagian dari hak warga negara), selain memperpanjang-panjang lidah ke atasan, apa yang sudah diperbuat oleh Kahumas (dan juga saudara Irwan Thalib) terhadap Bolmong? Bukankah sebagai abdi masyarakat dan pelayan publik, saudara Kahumas wajib mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan untuk orang banyak. Anda digaji oleh negara. Saya tidak!

Saya memperhatikan setiap kali ada yang melontarkan kritik –salah satu hak hakiki warga negara adalah mengkritik pemerintahnya—di Bolmong, kata kunci yang dilontarkan kalangan birokrat dan politisi adalah: ’’Jangan hanya mengkritik, tetapi harus berbuat.’’ Kalimat ini seolah-olah menunjukkan bahwa hanya merekalah yang melakukan segala-galanya; dan orang banyak cuma makan, tidur, dan bicara saja.

Apalagi kemudian diimbuhi ’’isu ini jangan dipolemikkan’’. Apa yang salah dari polemik? Menguji sebuah kebijakan publik dengan polemik dan perdebatan adalah cara sehat di tengah masyarakat demokratis yang beradab. Pemerintah dan politikus bukanlah sumber kebenaran utama; bahkan merekalah justru yang harus sangat dikritisi karena mengurusi hajat hidup orang banyak atas biaya orang banyak pula.

Menghimbau orang banyak jangan mempolemikkan sebuah isu publik –apalagi soal patung berhias gambar Bupati-- adalah sikap narsis dan menunjukkan bahwa siapa pun itu (dengan segala maaf dan hormat) hanya bertujuan menjilat. Namun, memahami Bolmong kontemporer membuat saya sama sekali tak heran: apa yang diharapkan dari pemimpin yang hanya suka mendengarkan suara dan melihat wajahnya sendiri, kecuali segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga?***

Sabtu, 26 April 2008

Berpolitik Tanpa Investasi Politik (II)

PERNYATAAN Ketua DPW PAN Sulut yang tidak akan menanda-tangani pencalonan Walikota dan Wakil Walikota KK bila bukan Djelantik Mokodompit dan Hamdi Paputungan, sungguh berlawanan dengan tiga konsern di atas. Mendadak, saya merasa kecewa pada PAN Sulut. Bukan kekecewaan seperti ditolak cewek yang ditaksir; tapi sejenis nelangsa karena ada harapan yang mati sebelum tumbuh.

Harapan seperti apa? PAN KK, yang memiliki satu fraksi utuh di DPR KK, seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan tak hanya mencalonkan calon Walikota dan Wakil Walikota tanpa berkoalisi dengan partai lain. Di atas target jangka pendek ‘’sepele’’ itu, partai ini harusnya mampu mencontohkan ‘’gaya politik baru’’ yang lebih segar --sebagaimana yang sudah dilakukan dengan mengumumkan kandidatnya beberapa waktu lalu--; sekaligus mengedepankan kader-kader sendiri sebagai investasi politik jangka panjang.

Apakah pernyataan saya ini kontrakdiktif dengan sikap saya di posting sebelumnya yang memuji langkah DPD PAN KK?

Tidak! Bahwa PAN KK sebelumnya mengumumkan calonnya dengan memasukkan nama-nama politikus (termasuk dari partai lain), birokrat, dan tokoh independen, sebagai langkah strategis yang menunjukkan kebesaran jiwa kadernya; harus dipisahkan dengan langkah strategis lain berkaitan dengan keberlangsungan hidup partai ini untuk jangka panjang. Menurut hemat saya, dalam konteks strategi jangka panjang itu pula, pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN sebagaimana yang saya baca (sekali lagi bila pernyataan itu demikian adanya, bukan keseleo lidah atau salah kutip), menunjukkan bahwa visi ke depan partai ini di Sulut memang bukan disiapkan untuk para pemenang. Cuma sekadar partai yang puas menjadi partai (tentu saja tingkatnya kelas 2 saja), dengan kader-kader yang puas mendapat ‘’remah-remah’’ politik dan kekuasaan (serta uang) yang mengikutinya.

Pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN itu pada akhirnya harus diterjemahkan bukan lagi kebesaran jiwa; tetapi inferioritas berpolitik.

Pertama, dua calon yang mendapatkan jaminan penuh Ketua DPW adalah kader PG. Djelantik Mokodompit adalah anggota DPR RI dari PG, sedangkan Hamdi Paputungan adalah salah satu pengurus teras DPD I PG Sulut. Dengan logika politik paling sederhana, bila akhirnya mereka terpilih, kendati ada ‘’ancaman pemecatan’’ karena keluar dari garis partai, kita semua tahu di ujung hari PG akan berkompromi. Ini sudah terbukti dengan tetap duduknya Djelantik Mokodompit (yang dicalonkan PAN dan beberapa partai lain) sebagai anggota DPR RI setelah kalah melawan Marlina Moha-Siahaan dalam Pilkada Bolmong beberapa waktu lalu.

Kalah saja tetap dimaafkan, apalagi menang. Skenario terburuk, kalau PAN tetap mengusung Djelantik Mokodompit-Hamdi Paputunga dan mereka kalah, tidak ada problem politik apa-apa buat PG, yang bisa saja dengan segera dan ‘’darah dingin’’ memecat keduanya dari partai. Konsekwensi terbesar justru berada di sisi PAN KK khususnya dan PAN Sulut, yang menjadi pecundang untuk target jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Kedua, kalau pun PAN Sulut harus bersikap pragmatis karena tidak memiliki kader yang layak dicalonkan sebagai Walikota; mengapa calon Wakil Walikotanya bukan kader, atau minimal simpatisan PAN, yang untuk jangka panjang memang serius berkomitmen bergabung dan membesarkan partai ini?

Ketiga, sadarkah Ketua DPW PAN Sulut bahwa dengan ‘’terburu-buru’’ mencalonkan dua kandidat itu, sama artinya dengan meniadakan investasi politik yang sudah mulai ditanam dengan serius oleh sebagian besar kader PAN di KK saat ini? Ini juga menunjukkan betapa PAN sebenarnya tidak menganggap kader-kadernya punya capaian apa-apa di KK. Termasuk satu fraksi di DPR KK adalah nothing belaka.

Keempat, mengapa pragmatisme Ketua DPW cuma setengah hati dengan mencalonkan kader PG sebagai Walikota dan Wakil Walikota? Mengapa tidak sepenuh hati saja dengan membangun koalisasi antara PG KK dan PAN KK?

Pada akhirnya, saya menulis posting ini dengan kecintaan pada orang-orang muda yang saat ini sedang membangun karir politiknya di PAN KK khususnya dan PAN Sulut umumnya. Jangan sampai hanya karena keputusan terburu-buru lalu mind set para kader ini berubah menjadi: Memang lebih baik bergabung ke PG sekali pun mulai dari level cacing, toh di saat ada kompetisi untuk jabatan politik, partai-partai ‘’kelas 2’’ (termasuk PAN) akan berebut dan menjadikan sang cacing ular besar.***