Rabu, 31 Desember 2008

Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya?

Ditulis pada 13 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di Hadapan-Nya? ini ditulis masih berkaitan dengan tulisan Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a yang dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Artikel ini diterbitkan Harian Posko Manado, hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


HANYA pada Allah Maha Tinggi dan Maha Besar kita berserah diri.

Surat terbuka ini, yang ditujukan pada Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulut, bukanlah yang pertama. Sebelumnya, lewat Harian Tribun Totabuan (Selasa, 7 Oktober 2008), saya sudah menulis hal senada yang ditujukan pada seluruh masyarakat Bolaang Mongondow (Bolmong).

Agar tak menjadi fitnah dan spekulasi, yang beranak-pinak fitnah dan spekulasi pula --seperti tuduhan memecah-belah; dan demi mendudukkan yang benar adalah benar, yang keliru adalah keliru, dalam perkara agama (Islam) --menurut hemat saya-- pihak yang seharusnya dimintai sikap di Sulut tak lain MUI. Apalagi perkara yang dihadapkan ini bukanlah hal rumit yang memerlukan pendalaman syariah, fiqih, dan hukum-hukum Islam ‘’tingkat tinggi’’. Masalah yang diperhadapkan ini hanyalah soal syarat dan rukun yang harus dipatuhi setiap pemeluk Islam dalam menjalankan salah satu kewajiban mendasarnya, yaitu sholat.

MUI Sulut yang terhormat, perkara yang saya maksudkan itu berkaitan dengan fakta yang dipublikasi lewat foto di Harian Manado Post, Jumat (3 Oktober 2008); kemudian juga oleh Tribun Totabuan pada Rabu (8 Oktober 2008). Di foto tersebut tampak Bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha-Siahaan, saat menunaikan sholat Id di halaman Kantor Bupati Bolmong, duduk di atas panggung dengan lindungan kanopi, dipayungi seorang ajudan berpakaian kerja resmi, terpisah dari makmum yang lain.

Di foto yang dipublikasi Manado Post terlihat Bupati tersenyum lebar.

Sepintas tidak ada yang penting dari apa yang disajikan foto tersebut, juga kebenaran bahwa sholat di tempat tersendiri, terpisah dari makmum yang lain, yang dilakukan Bupati Bolmong di sholat Id Idul Fitri 1429 itu ternyata sudah berlangsung sejak Idul Fitri 1428 lalu. Tapi bila untuk kebanyakan orang hal tersebut tidak perlu mendapat perhatian, bagi saya justru masalah yang tidak main-main pentingnya.

Dibolehkankah seorang makmum sholat berjamaah terpisah di tengah makmum yang lain? Terpisah yang dimaksud adalah duduk sendiri di atas tempat yang dibuat khusus, lebih tinggi dari lantai yang diduduki makmum yang lain, di lindungi dengan kanopi, hingga membentuk ruang yang memisahkan dengan jamaah yang lain. Kalau dari syarat dan rukun sholat praktek ini dibolehkan, maka masih adakah artinya ‘’rapatkan dan luruskan shaf demi kesempurnaan sholat’’ yang selalu diserukan di tiap sholat berjamaah?

Sepengetahuan saya yang sangat terbatas, bahkan Nabi Muhammad SAW yang menjadi penuntun dan panutan tak pernah mengistimewakan diri, hingga perlu disediakan sebuah tempat khusus, mihrab, untuknya saat sholat berjamaah.

Apakah yang dilakukan Bupati Bolmong itu dapat dikategorikan sebagai kesombongan di hadapan manusia dan juga Allah Yang Maha Besar? Yang Dia sudah ingatkan bahwa yang mendonggakkan kepalanya di atas bumi Allah ini –untuk menunjukkan kesombongan--, hanyalah keledai.

Demikian pula, hukum dan aturan apakah yang bisa kita gunakan sebagai penakar adanya seorang ajudan yang memayungi Bupati selama melakukan sholat Id? Bila sang ajudan adalah pemeluk Islam, dan meninggalkan sholat Id karena tugasnya, sedangkan dia sama sekali tidak berhalangan dan tugas itu tidaklah berkaitan dengan hidup-mati seseorang, bukankah penugasan itu adalah kesemena-menaan yang justru amat sangat ditentang oleh ajaran Islam?

Namun, yang membuat saya gemetar sesungguhnya bukanlah perilaku Bupati Bolmong pribadi; melainkan dampaknya bagi umat Islam di Bolmong secara kolektif, khususnya yang melaksanakan sholat Id bersama Bupati. Bukankah Islam mengajarkan bila melihat kemungkaran, kesalahan, atau kekeliruan, wajib bagi setiap pemeluk Islam untuk melarang dengan tangannya (atau tindakan). Bila dengan tangan (atau tindakan) tak kuasa, maka dengan mulut. Bila tidak dengan mulut, maka berdoalah; tetapi itu sama artinya dengan selemah-lemahnya iman.

Yang menjadi soal adalah, sejak sholat Id Idul Fitri 1428 lalu Bupati Bolmong sudah mempraktekkan ‘’makmum eksklusif’’ dan tak ada satu pun sesama pemeluk Islam yang ada di tempat itu –bahkan imam sholat—yang mengingatkan dengan tindakan, kata-kata, atau bahkan doa –kemudian pindah sholat ke tempat lain. Menurut hemat saya –tanpa sama sekali menyombongkan diri merampas hak Allah untuk menilai umatnya—dengan tidak ada sesiapa pun yang melakukan apa-apa untuk mengoreksi, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang-orang yang sholat Id berjamaah saat itu bahkan lebih dari hanya selemah-lemahnya iman.

MUI Sulut yang saya hormati, dari sejak masa kanak saya mendapat pelajaran dari para uztad, imam, guru agama, dan mereka yang lebih memahami Islam, bahwa ada golongan manusia yang layak mendapat sebutan ‘’munafik’’ dan ‘’mendustai agamanya’’. Apakah orang-orang yang seharusnya mengingatkan, menyarankan, atau bahkan melarang seorang pejabat publik dan panutan sosial seperti Bupati melakukan kekeliruan mendasar berkaitan dengan ritual keagamaannya; yang memilih diam hanya karena takut kehilangan jabatan, kuasa atau kedekatan dengan kekuasan, masuk dalam kategori mereka yang munafik dan mendustai agama?

Terhadap orang-orang munafik dan mendustai agama itu, apakah yang harus kita lakukan?

Di atas semua pertanyaan itu, tidakkah yang dilakukan oleh Bupati Bolmong itu adalah pelecehan terhadap ajaran Islam? Bila itu pelecehan, apakah tindakan yang pantas dilakukan oleh umat Islam, juga lembaga-lembaga agama seperti MUI, NU, Muhammadiyah, atau SI?

Bila akhirnya yang dilakukan Bupati Bolmong hanyalah dianggap kreativitas dan kepantasan karena kedudukannya; maka bolehkah di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang saya juga membuat panggung berlindung kanopi sendiri untuk ayah dan ibu saya? Bukankah Islam yang mulia ini mengajarkan betapa tinggi kedudukan kedua orangtua setelah Nabi? Dan bukankah amat pantas bagi setiap orang untuk menyediakan tempat terbaik bagi orang-orang yang dihormatinya?

Begitu pula, bila apa yang dilakukan oleh Bupati Bolmong tidak melanggar syarat dan rukun sholat berjamaah; boleh pulakah saya menyediakan panggung berlindung kanopi sendiri buat anak-anak yatim-piatu serta para dhuafa di sholat Id Idul Fitri 1430 mendatang? Bukankah melindungi dan mengistimewakan anak yatim-piatu serta kaum dhuafa ganjarannya adalah kasih sayang dan sorga dari Allah Yang Maha Penyayang?

Walau, tentu saja, bila semua orang diperbolehkan menafsirkan syarat dan rukun sholat semaunya, saya bisa membayangkan betapa hiruk-pikuknya tempat sholat Id dengan berbagai panggung dan kanopi. Lalu apa bedanya dengan pasar malam atau pameran pembangunan yang digelar setiap 17 Agustus.

Demikianlah, dengan surat terbuka ini saya memohonkan pengajaran dan petunjuk mana yang benar, mana yang salah, dari MUI Sulut, agar umat Islam di Bolmong umumnya mampu menghidarkan diri dari kekeliruan yang berujung kemurkaan-Nya.***