Sabtu, 06 Desember 2008

Mencemaskan ‘’Bola Salju’’ Kemarahan

Ditulis pada 28 September 2008, tulisan yang judul lengkapnya Mencemaskan ''Bola Salju'' Kemarahan ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali. Tulisan ini juga merupakan kelanjutan dari tulisan Anggota Bathil di DPR Bolmong.


DI PERJALAN pulang setelah seharian babak-belur dilumat pekerjaan kantor, Kamis (18 September 2008), saya menerima telepon dari Kotamobagu. Yang menelepon adalah salah seorang kerabat marga Mokoagow. Di latar, saya mendengar keramaian percakapan.

Tidak perlu menduga-duga. Panggilan telepon yang saya terima malam itu masih berkaitan dengan ‘’musibah’’ pengusiran Wabup Sehan Mokoagow dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan Bolmong, satu pekan sebelumnya (Kamis, 11 September 2008); yang disusul mosi pemakzulan yang dimotori Fraksi Partai Golkar (PG).

Haji Mustofa Mokoagow, salah satu ‘’yang dituakan’’ di kalangan keluarga besar Mokoagow –bukan hanya karena usianya sudah menginjak 72 tahun--, hanya ingin menanyakan pendapat saya (sungguh satu kehormatan besar bagi saya yang masih berusia muda dimintai pendapat), bahwa: ‘’Apakah pantas permintaan maaf untuk ‘musibah’ yang dialami Wabup cukup disampaikan di media massa?’’

Saya membutuhkan lebih dari satu-dua jenak untuk mencernah pertanyaan itu. Seketika di benak saya berkelabat pepatah anonim yang mengatakan, ‘’One moment of patience may ward off disaster; one moment of impatience may ruin a whole life.’’ Sedikit kesabaran mungkin dapat mengeliminasi bencana; sedikit ketidaksabaran mungkin akan merusak seluruh hidup.

Saya tahu –dan memang diberitahu—, Rabu (17 September 2008), Harian Tribun Totabuan memuat permintaan maaf Wakil Ketua DPR Bolmong, Herson Mayulu –yang menjadi penggerak pengusiran dan mosi pemakzulan--, pada Wabup Sehan Mokoagow. Apakah permintaan maaf itu cukup? Apalagi setelah empat wakil marga Mokoagow secara resmi datang ke DPR Bolmong dan mengadatkan indo’i-an terhadap empat orang (Ketua DPR, Soenardi Soemantha, Wakil Ketua DPR, Herson Mayulu, dan dua anggota DPR lain, Toni Datu dan Yusuf Mo’oduto) yang memimpin perlakukan nista terhadap Wabup; sebagai pribadi dan sebagai pejabat publik?

Ekspresi Tinggi Hati

Setelah merenung beberapa jenak, saya menjawab pertanyaan tak mudah dari Haji Mustofa Mokoagow, bahwa: Menurut hemat saya, permintaan maaf itu bukan hanya tidak sungguh-sungguh, tapi juga menunjukkan ekspresi tinggi hati Herson Mayulu yang memang memandang rendah Wabup dan marga Mokoagow –yang suka atau tidak sekarang turun gelanggang membela Wabup Mokoagow.

Pendapat itu bukan tanpa alasan. Sebelumnya, di Harian Tribun Totabuan (Sabtu, 13 September 2008, Herson: Saya Tersinggung Disebut Asal Malontok), Herson Mayulu sudah mengemukakan musabab pengusiran dan mosi pemakzulan Wabup tak lain karena persoalan pribadi. Bukan karena jabatan yang melekat pada Sehan Mokoagow sebagai Wabup Bolmong.

Bila seorang Wakil Ketua DPR boleh ‘’menganiaya’’ seseorang, bahkan dengan jabatan Wabup, apakah keluarganya tidak pantas tersinggung dan meradang? Sebagai pemimpin dan panutan masyarakat, Wabup Sehan Mokoagow selayaknya menunjukkan sikap arif dengan membuka pintu maaf. Sebaliknya, marga Mokoagow yang berakar hingga jauh ke belakang, ke Loloda Mokoagow, juga tidak pantas bersikap keterlaluan. Namun, meminta maaf hanya lewat media massa bukankah juga sikap yang sungguh tak patut?

Saya harus mengingatkan bahwa selama ini alasan ‘’adat’’ menjadi salah satu andalan DPR Bolmong, terutama tiap kali memberi aneka gelar terhadap Bupati Bolmong. Dalam konteks ‘’musibah’’ yang menimpa Wabup Sehan Mokoagow, bukankah sangat beradat dan bermartabat –sekaligus menunjukkan pemahaman etika dan norma masyarakat Mogondow, kerendahan hati, dan kesungguhan— bila permintaan maaf itu disampaikan langsung ke Wabup Sehan Mokoagow.

Bukan sesuatu yang mengada-ada, bahkan akan diterima dengan penuh penghormatan, bila Herson Mayulu datang dan mengetuk rumah Wabup Mokoagow dan menyampaikan permintaan maafnya? Bukankah ‘’musibah’’ yang dialami Wabup berakar dari masalah pribadi Herson Mayulu, yang sesungguhnya memalukan bila diumbar ke tengah masyarakat Bolmong?

Memahami adab dan adat Mongondow, bahkan sebelum menutup telepon malam itu, saya sudah gemetar. Dari impresi yang saya tangkap, permintaan maaf Herson Mayulu yang hanya lewat media massa, bukannya menjadi penyejuk, justru bagai menambah panas api yang sedang bergolak dalam sekam.

Mungkin impresi itu berlebihan. Namun dengan tiba-tiba saling berkontak dan berkumpulnya anak-temurun Mokoagow, yang bahkan dalam waktu dekat akan meresmikan Sekretariat Keluarga Besar Mokoagow –kabar terakhir akan diresmikan di Bungko--, menjadi petanda yang mestinya menunjukkan bahwa setiap pelanggaran norma sosial dan masyarakat harus dibayar oleh pelakunya dengan harga yang tak murah.

Berpolitik Tanpa Berpikir

Apa pelajaran penting yang dipetik khalayak ramai, khususnya masyarakat Bolmong dari rangkaian peristiwa yang menimpa Wabup? Stanley Bing, penulis 100 Bullshit Job …And How to Get Them (HarperCollins, 2006), menggambarkan para politikus dengan menukil Napoleon Bonaparte, bahwa, ‘’In politics, stupidity is not a handicap.’’ Benar, bagi para politikus –salah satu profesi ‘’bullshit’’ menurut Stanley Bing--, terutama di Bolmong, apa yang diingatkan oleh Napoleon tepat mengenai sasaran.

Sesungguhnya, ada dua cara pandang terhadap peristiwa yang dialami Wabup Bolmong tersebut. Pertama, hukum positif (tata Negara dan aturan-aturan lainnya, terutama berkaitan dengan tanggungjawab, wewenang, dan hak DPR). Kedua, hukum sosial yang berlaku normatif, yaitu etika dan budaya yang berlaku umum.

Pelanggaran profesional apa yang dilakukan oleh Wabup hingga dia layak diperlakukan dengan kasar dan tidak beradab oleh DPR Bolmong? Mengusir dan mengusulkan pemakzulan seorang pejabat publik dapat dilakukan, tetapi dengan dasar yang teramat kuat; dan terbukti yang bersangkutan melanggar hukum-hukum yang mengatur tanggungjawab yang diemban dan hak yang menyertainya sebagai pejabat publik. Kalau tidak, boleh dibilang DPR ekspresi sombong dan sekadar kalap belaka.

Hampir semua anggota DPR Bolmong tak terbebas dari ‘’dosa’’ sombong dan kalap itu. Mereka yang menjadi inisiator pengusiran dan mosi pemakzulan tak berbeda dengan anggota lain yang tidak melakukan upaya apapun; kecuali satu-dua orang seperti Jemmy Tjia yang menolak meneken mosi pemakzulan, atau juru bicara Fraksi PAN, Syamsudin Akub, yang menolak pengusiran Wabup dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan.

Sejalan dengan itu, pelanggaran hukum sosial apa yang dilakukan oleh Wabup hingga secara sosial dia layak mendapat hukuman sejahat pengusiran sebagaimana yang dilakukan oleh anggota DPR Bolmong, padahal yang bersangkutan diundang resmi hadir di gedung yang terhormat itu? Kalau semata hanya karena menyebut Herson Mayulu sebagai anggota DPR (dan DPR umumnya) asal malontok, saya kira alasan yang bukan hanya kekanak-kanakkan, tapi menunjukkan rendahnya ketinggian langit berpikir anggota DPR Bolmong.

Alasan ketersinggungan Herson Mayulu, yang memang dikenal tinggi hati, bukan sebab dia merasa tidak asal malontok; melainkan karena Wabup dengan tepat menunjukkan bahwa kualitas Wakil Ketua DPR Bolmong memang cuma sebatas asal malontok.

Namun titik krusial masalahnya justru tidak berhenti pada keluarnya Wabup dari Rapat Paripurna Pembahasan APBD Perubahan atau mosi pemakzulan dari DPR; tetapi pada solidaritas sosial berdasarkan budaya Mongondow. Tidakkah terlintas di benak Soenardi Soemantha, Herson Mayulu, Yusuf Mooduto, atau Tony Datu, bahwa dengan membawa masalah ketersinggungan pribadi ke ruang publik bisa berarti mereka dengan terbuka menantang publik melakukan hal yang sama? Tidakkah mereka sadar bahwa menghina Wabup dalam konteks pribadi, padahal kapasitasnya adalah pejabat publik, sama artinya dengan mengundang relasi pribadinya (kerabat, kawan, sanak-keluarga) ikut campur?

Dengan kata lain, dalam budaya Mongondow, adalah benar dan absah bila Keluarga Mokoagow dan cabang-cabangnya kini memutuskan untuk menjadikan orang-orang tersebut sebagai musuh bersama: dicoret sebagai warga Mongondow dan diusir. Yang paling ringan tidak perlu diundang ke hajat apapun; tidak perlu dihadiri hajatnya; dan bahkan bila mereka hadir di kedukaan sekali pun, adalah wajib hukumnya untuk diusir.

Dari sisi budaya Mongondow, apa yang dilakukan oleh DPR Bolmong terhadap Wabup adalah provokasi yang mengancam lebih dari stabilitas sosial. Untunglah situasinya terjadi pada bulan Ramadhan, di mana orang-orang yang lebih waras dan sabar mampu menahan diri.

Keruntuhan Wibawa Partai?

Fakta lain yang menyertai ‘’musibah’’ yang dialami Wabup Sehan Mokoagow adalah bukti gagalnya Partai Golkar Bolmong menjaga kewibawaannya. Pengusiran dan mosi pemakzulan Wabup yang dimotori Fraksi PG, jelas menjadi sikap PG sebagai partai. Anak SD pun tahu bahwa fraksi di DPR adalah perpanjangan tangan partai. Ketua PG Bolmong sekaligus adalah Bupati Bolmong; dan partai inilah yang mengusung Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati dan Wabub.

Hampir mustahil aksi yang dilakukan Fraksi PG tidak diketahui oleh Ketua PG. Apalagi, masyarakat tahu persis bagaimana berkuasanya Ketua PG yang juga Bupati, bahkan hingga anggota DPR seperti Herson Mayulu bisa menebalkan muka dan menyatakan akan membela Bupati sekali pun dengan nyawa sebagai taruhan.

Lalu di manakah wibawa PG sebagai fraksi yang mengontrol Fraksi PG di DPR Bolmong? Apakah wibawa partai yang menguasai kursi terbanyak ini diletakkan di pundak orang-orang yang bertindak seenaknya atas nama ketersinggungan pribadi satu orang?

Kalau jawabannya ‘’tidak’’, artinya Ketua DPR dan Wakilnya yang berasal dari PG; juga anggota Fraksi PG DPR Bolmong, dengan gilang-gemilang sukses ‘’mengentuti’’ Ketua PG yang juga Bupati Bolmong; sekaligus juga melepeh Bupati dan Wabup yang justru mereka dukung mati-matian di Pilkada.

Partai yang menghormati konstituennya, yang dijalankan secara modern dan profesional, semestinya mengambil tindakan tegas dengan memecat anggota DPR-nya yang bertingkah bukan hanya memalukan; tetapi menginjak-nginjak wibawa dan harga diri partai.

Lain soal kalau ternyata Ketua PG dan jajarannya memang merestui tindakan yang dilakukan Fraksi PG terhadap Wabup. Hanya saja, komplikasinya adalah wajar bila masyarakat juga berhak ‘’mengentuti’’ Ketua PG Bolmong dan jajarannya. Politik yang mereka praktekkan benar-benar dangkal dan amatiran.

Anarki Masyarakat

Di luar silang pendapat dan kecaman yang kini diam-diam masih menggelora di tengah orang ramai –terutama di kalangan marga Mokoagow-- terhadap apa yang dialami Wabup Bolmong, termasuk yang tersalurkan di media massa, aparat yang berwenang terhadap keamanan dan stabilitas semestinya sudah meningkatkan kewaspadan. Menurut hemat saya, kasus ini tidak akan berhenti sampai pada ketidak-puasan terpendam; tetapi berpotensi menjadi tindakan yang boleh jadi anarki.

Sudah menjadi rahasia umum, yang dipercakapkan di mana-mana, sejumlah orang di DPR Bolmong bukan hanya senang main kuasa, tetapi nyaris tak tersentuh tangan hukum; termasuk hukuman sosial. Sebagai pribadi, orang-orang yang berada di garda depan ‘’musibah’’ yang dialami Wabup telah lama diketahui terlibat macam-macam kasus: mulai dari Kredit Usaha Tani (KUT) yang sekarang mulai ditelusuri kembali oleh kejaksaan, gemar gonta-ganti istri, tukang bohong dan menyalah-gunakan kekuasaan, hingga judi –tertangkap tangan pula.

Masyarakat, sesabar apa pun, berpotensi lepas kendali; apalagi bila terus-menerus menyaksikan ketidak-adilan merajalela. Repotnya lagi, bila pada akhirnya masyarakat melakukan upaya sendiri dalam menuntut keadilan –dalam pengertian sangat normatif--, institusi berwenang pasti akan tersudut. Alasannya sederhana: bila tindakan anggota DPR di Bolmong, baik sebagai institusi maupun pribadi, tak dijangkau tangan hukum; mengapa masyarakat harus?

Mengutip Bang Napi dari tayangan berita kriminal salah satu stasiun televisi, nasihat untuk para anggota DPR Bolmong dan institusi yang berwenang terhadap keamanan dan stabilitas, adalah: Waspada… Waspadalah!***