Kamis, 25 Desember 2008

Ironi Dusta di Bolmong

Ditulis pada 8 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Ironi Dusta di Bolmong ini ditulis sebagai tanggapan atas tanggapan Kabag Humas Pemkab Bolmong terhadap artikel Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a yang dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Namun artikel ini tidak diterbitkan oleh Harian Tribun Totabuan.


APA yang lucu –sekaligus maha serius-- dari dusta?

Sekali Anda berdusta, maka Anda akan terus-menerus berdusta untuk menutupi dusta sebelumnya. Dan itulah yang dilakukan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat (Kabag Humas) Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, berkenaan dengan apa yang dilakukan Bupati Bolmong pada saat sholat Id Idul Fitri 1429 di halaman Kantor Bupati.

Menanggapi surat terbuka saya di Tribun Totabuan (Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a, Selasa, 7 Oktober 2008), alih-alih menjernihkan duduk-soalnya, Kabag Humas justru menambah daftar masalah dengan dusta yang terus-terang. Atau, kalau ingin memperhalus, bolehlah disebut sebagai ‘’manipulasi yang tidak elegan’’.

Menjawab surat terbuka saya, lewat Tribun Totabuan, Rabu, 8 Oktober 2008 (Fasa: Bukan Panggung Atau Kanopi Tapi Hanya Hiasan Kubah), Kabag Humas Pemkab Bolmong paling tidak menyatakan lima hal: Pertama, apa yang saya sampaikan harus diluruskan dan diklarifikasi, karena tidak tepat dan jauh dari kenyataan. Kedua, tempat Bupati duduk saat sholat Id bukanlah panggung dinaungi kanopi; melainkan hiasan kubah. Ketiga, Bupati tidak duduk terpisah, tetapi ada di shaf pertama perempuan. Keempat, jangan menerima informasi apapun dengan buruk sangka, melainkan dikaji dan diteliti lebih dahulu sebelum disikapi. Dan kelima, jangan hanya mengkritik, tatapi harus ada solusi konstruktif untuk membangun Bolmong yang sejahtera.

Simpulan dari pelurusan dan klarifikasi Kabag Humas, bila disederhanakan adalah, saya keliru, mencari-cari masalah saja, tidak mengkaji dan meneliti pokok-soal yang dikritik, serta tidak punya solusi kontruktif. Lucunya, di bawah berita yang memuat pernyataan Kabag Humas, Tribun Totabuan memasang foto Bupati Bolmong saat sholat Id; bahkan bukan hanya di atas panggung dinaungi kanopi, tetapi juga dipayungi oleh ajudan dengan busana kerja resmi.

Tahulah kita semua siapa yang sebenarnya keliru, bahkan berdusta.

Saudara Yahya Fasa, saya amat bersimpati pada Anda dan pekerjaan Anda, yang begitu pentingnya sampai membuat Anda ‘’tega’’ dan bersedia mengingkari aqidah dan keyakinan agama sendiri. Foto yang dipajang Manado Post --kemudian juga Tribun Totabuan—serta kesaksian puluhan orang yang sholat bersama Bupati, tegas menyatakan bahwa Bupati sholat di atas panggung di bawah lindungan kanopi –tambahannya: dipayungi pula oleh ajudan yang juga tertangkap kamera fotografer Manado Post dan Tribun Totabuan. Lalu Anda masih menyatakan saya, foto-foto itu, dan para saksi mata seluruhnya keliru?

Mari saya ingatkan bahwa sepengetahuan saya saudara Yahya Fasa selain dikenal sebagai uztad, telah pula berhaji dan menyandang gelar Haji. Tentu dia tahu bahwa sholat berjamaah punya syarat dan rukun yang harus ditaati oleh setiap pemeluk Islam.

Karenanya, saya justru ingin bertanya pada saudara Yahya Fasa: Apakah areal tersendiri yang khusus dibuat lebih tinggi dari permukaan tanah tempat makmum yang lain duduk bukan panggung namanya? Apakah pula atap yang melindungi tempat itu namanya bukan kanopi? Dan apakah Bupati berada dalam satu shaf dengan makmum perempuan yang lain bila jarak kiri-kanannya cukup jauh, sehingga jangankan bersentuhan bahu, ujung mukena pun sama sekali tidak?

Apakah Bupati Bolmong begitu tinggi kedudukannya di hadapan makmum yang lain hingga harus diekslusifkan seperti itu? Takutkah yang bersangkutan bersentuhan dengan rakyat biasa, dan kemudian tertulari ‘’penyakit rakyat biasa’’? Atau Bupati Bolmong takut ketinggian kedudukannya berkurang karena menular ke makmum yang rakyat biasa?

Tegasnya: Dengan fakta seperti itu, apakah sholat Bupati Bolmong sesuai dengan syarat dan rukun sholat berjamaah?

Saya haqul yakin saudara Yahya Fasa tahu persis apa itu ‘’memisahkan diri’’ atau mufaroqah saat sholat berjamaah; yang dilakukan apabila makmum ragu atau tidak percaya pada imam yang sedang memimpin. Memisahkan diri dan melaksanakan sholat terpisah dari imam dan jamaah yang lain, dibolehkan tetapi dengan syarat-syarat yang ketat.

Yang dilakukan Bupati Bolmong saat sholat Id itu jelas bukan mufaroqah. Bahkan saya ingin tahu apakah mufaroqah dibolehkan atau tidak untuk sholat Id?

Akan halnya ajudan yang memayungi Bupati Bolmong, bagi saya menjadi bukti lain kesombongan di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Bila sang ajudan adalah pemeluk Islam, apakah dia memayungi sampai sholat Id selesai? Subhanallah, dengan kata lain dia terpaksa tidak menunaikan sholat Id. Dan kalau ini benar, sungguh jauh dari beradab, sebab budak sekali pun memiliki hak yang sama dengan tuannya saat waktu bersujud kehadapan-Nya tiba.

Sejujurnya, semakin memikirkan apa yang dilakukan Bupati Bolmong saat sholat Id itu, saya kian takut. Yang terus-menerus berkelindang di kepala adalah sejumlah pelajaran dasar Islam yang saya serap sejak masa kanak. Salah satu yang tak lekang –Insya Allah akan terus menjagakan kewarasan saya— adalah perintah bila melihat kemungkaran, kesalahan, atau kekeliruan, wajib bagi setiap pemeluk Islam untuk melarang dengan tangannya (atau tindakan). Bila dengan tangan (atau tindakan) tak kuasa, maka dengan mulut. Bila tidak dengan mulut, maka berdoalah; tetapi itu sama artinya dengan selemah-lemahnya iman.

Dalam konteks kekeliruan –untuk tidak mengatakan kesengajaan menyombongkan diri di hadapan sesama manusia dan pada Allah Yang Maha Besar—yang dilakukan Bupati Bolmong; dengan tak ada satu pun sesama pemeluk Islam –bahkan imam sholat—yang mengingatkan dengan tindakan, kata-kata, atau bahkan doa –kemudian pindah sholat ke tempat lain—; saya kuatir sholat Id di halaman Kantor Bupati Bolmong itu sia-sia belaka. Menurut hemat saya –tanpa sama sekali menyombongkan diri merampas hak Allah untuk menilai umatnya—dengan tidak ada sesiapa pun yang melakukan apa-apa untuk mengoreksi Bupati, sama artinya dengan menyatakan bahwa orang-orang yang sholat berjamaah saat itu bahkan lebih dari hanya selemah-lemahnya iman.

Kalau hanya sholat Id Bupati yang tidak diterima Allah Yang Maha Pemaaf, saya tidak ambil pusing. Tapi bagaimana dengan ratusan orang lain, yang mungkin sama sekali tidak sadar atau terpaksa menutup mulut sebab berbagai alasan dan ketakutan?

Saya ingin menegaskan kembali, kritik dan koreksi yang saya sampaikan pada Bupati Bolmong, dan juga orang-orang di sekitarnya, menjadi bagian dari apa yang diajarkan oleh Islam. Saya tidak cukup punya kuasa melarang dengan tindakan, hanya punya suara. Dan saya akan terus bersuara, sebab dengan demikian saya tidak mendustai masyarakat Bolmong umumnya, khususnya para pemeluk Islam, dan yang lebih penting lagi tidak mendustai ajaran Islam.

Membenar-benarkan satu perilaku yang dalam agama sudah jelas syarat, rukun, dan hukumnya, tidak beda dengan mendustai agama. Dan bila yang menjadi penyeru pendustaan terhadap agama itu adalah orang-orang yang seharusnya menjadi panutan dan penuntun, saya hanya bisa ber-istigfar memohon ampun pada Allah Yang Maha Tahu.

Agar tidak hanya sekadar mengkritik, sekaligus menjawab tantangan solusi konstruktif dari Kabag Humas, menurut hemat saya Bupati Bolmong cukup melakukan hal sederhana yang tidak menggores harga dirinya di depan rakyat: Sujud mohon ampun pada Allah yang Maha Tinggi, meminta maaf pada masyarakat karena memberikan contoh yang keliru, dan tidak lagi mengulang hal yang sama di masa mendatang.

Untuk para penasehat, pembisik, dan para pemuja yang mendorong, menyarankan, atau bahkan memfasilitasi Bupati Bolmong mengekspresikan kesombongan di hadapan sesama manusia dan bahkan Allah SWT, terserah Bupati Bolmong mau diapakan. Yang jelas, saya pribadi sudah memaafkan dengan tulus. Mereka lebih pantas dikasihani ketimbang dibenci.***