Rabu, 31 Desember 2008

Ada Apa dengan MUI Sulut?

Ditulis pada 2 November 2008, tulisan yang judul lengkapnya Ada Apa dengan MUI Sulut? ini ditulis karena setelah menunggu sekian lama MUI Sulut belum juga mengeluarkan tanggapan berkaitan dengan sholat Id Bupati Bolmong, sebagaimana yang saya tanyakan lewat artikel Surat Terbuka untuk MUI Sulut: Sombongkah Bupati Bolmong di hadapan-Nya? yang dipublikasi Harian Posko Manado. Namun artikel Ada Apa dengan MUI Sulut? ini tak pernah diterbitkan oleh Harian Posko Manado.


DI TENGAH wilayah Afrika Barat, tepatnya di Brong Ahafo, Ghana, Sabtu (1 November 2008), saya menerima beberapa pesan pendek. Malam baru saja separuh terlewati. Perbedaan waktu membuat pesan pendek yang dikirim pagi atau siang hari dari Kotamobagu atau Manado, biasanya saya tarima saat tengah tertidur pulas.

Salah satu dari pesan pendek yang mengusik saya adalah ‘’pernyataan’’ bahwa Majelis Ulama (MUI) Sulut tampaknya tidak akan memberikan tanggapan –apalagi fatwa— terkait surat terbuka yang saya kirimkan beberapa waktu lalu. Membaca pesan itu, saya tersadar: Astaga! Ternyata Idul Fitri 1429 sudah satu bulan berlalu. Artinya, Sholat Id yang dilakukan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan, yang saya pertanyakan boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, ke MUI Sulut juga telah sebulan berlalu.

Benar adanya bila surat terbuka saya, yang dipublikasi oleh Harian Posko, hingga kini tak jelas apakah bakal ditanggapi atau tidak. Yang saya tahu terakhir MUI Sulut masih mengundang semua ulama anggota Komisi Fatwa untuk berembuk (lagi). Itu pun, sebagaimana beberapa pernyataan dari anggota MUI Sulut yang juga dipublikasi Harian Posko, bukanlah fatwa yang akan dikeluarkan, apalagi menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya sampaikan secara terbuka, melainkan hanya tentang tata cara pelaksanaan sholat.

Mari kita kembalikan masalah pada proporsinya.

Pertama, saya menulis surat terbuka ke MUI Sulut dengan keyakinan bahwa sholat Id a la Bupati Bolmong adalah soal keagamaan yang menjadi wilayah MUI untuk berpendapat dan mewasiti. Mengapa ke MUI Sulut? Sebab MUI Bolmong –juga Departemen Agama dan institusi lain di Bolmong—sudah membiarkan hal itu berlangsung sejak Idul Fitri 1428.

Kedua, saya percaya bahwa MUI Sulut bisa menjadi institusi yang menjaga pemahaman dan praktek beragama (Islam) bagi pemeluknya di Sulut sebagaimana seharusnya; dengan mengedepankan kepentingan umat tanpa memperdulikan aspek-aspek yang bersifat politis. Artinya, mau yang membuat kekeliruan adalah Gubernur, Walikota, Bupati, atau rakyat kebanyakan; MUI dapat dengan tegas menyatakan yang keliru adalah keliru. Sebaliknya pula, kalau yang dilakukan benar, sekali pun itu oleh orang biasa yang bukan siapa-siapa, maka nyatakanlah benar adanya.

Ketiga, syarat, rukun, hukum, dan tata cara sholat, menurut saya adalah salah satu pelajaran paling dasar yang A-B-C-D-nya terang-benderang diketahui para pemeluk Islam, apalagi oleh ulama-ulama yang terpilih menjadi anggota MUI. Karenanya, sejak mula saya berkeyakinan bahwa hanya memerlukan sedikit waktu bagi MUI Sulut untuk berembuk dan bersikap. Entah fatwa, entah sekadar pernyataan, koreksi, atau himbauan, yang penting sesegera mungkin untuk menghindari dijadikannya masalah ini spekulasi dan fitnah beranak-pinak.

Nyatanya, dengan tidak kunjung jelasnya sikap MUI Sulut, bahkan hingga Syawal terlewati, saya jadi bertanya-tanya: Apa dengan MUI Sulut? Pertanyaan ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan lain:

Pertama, apakah masalah yang saya pertanyakan kualitasnya begitu sulit hingga memerlukan cermatan dan penelitian khusus yang memakan waktu lama? Kalau demikian adanya, mohon diinformasikan agar saya bisa mempermudah dengan mengirimkan surat yang sama ke MUI Pusat, NU, Muhammadiyah, dan ke sejumlah intitusi Islam lainnya, dan dengan demikian jawaban sederhana yang diharapkan dapat sesegera mungkin diketahui.

Kedua, apakah karena masalah yang saya perhadapkan melibatkan pejabat tinggi publik (untuk level provinsi jabatan Bupati jelas masuk di jajaran elit), lalu kemudian MUI Sulut menjadi ekstra hati-hati? Tapi bila demikian adanya, saya patut mempertanyakan independensi MUI Sulut. Lebih jauh lagi, bahkan mengingatkan bahwa para ulama –termasuk guru mengaji saya—mengajarkan: Menyatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah, di depan penguasa (apalagi dia lalim) adalah salah satu bentuk jihad.

Sejalan dengan itu, dengan mengulur-ulur waktu, saya menangkap kesan bahwa MUI Sulut membiarkan masyarakat berspekulasi dan menghakimi Bupati Bolmong (dan juga saya sebagai orang yang mengangkat masalah), sesuai dengan pengetahuan, pemahaman, dan persepsi keagamaannya masing-masing. Padahal bila dengan segera MUI Sulut menyampaikan sikapnya, benar atau salah bukanlah masalah: Yang terpenting adalah ada jawaban yang jelas. Toh tidak ada sanksi atau hukuman yang diminta, sebab diterima atau tidaknya ibadah seseorang atau satu kaum, pada akhirnya menjadi hak mutlak Allah Yang Maha Tinggi. Manusia hanya berikhtiar semampu dan sekuat yang dia bisa.

Bila saya yang ternyata keliru, maka saya akan meminta maaf dan sebagai pemeluk Islam akan belajar lebih keras lagi memahami ajaran dan tata cara ibadah dalam Islam.

Ketiga, apakah karena hanya seorang anggota masyarakat biasanya yang menyampaikan konsernnya lalu MUI Sulut merasa hal itu bukan prioritas? Namun, dengan demikian saya juga boleh menanyakan lagi, kemanakah ajaran bersikap adil, tidak membeda-bedakan manusia berdasar pangkat, kedudukan, bahkan warna kulit dan usia, yang selama ini dijunjung oleh pemeluk Islam; dan terutama tiap saat diingatkan kembali oleh para ulama?

Sikap adil yang dimaksudkan bahkan bukan hanya terhadap saya sebagai anggota masyarakat biasa, yang bahkan sudah memanen berbagai fitnah dan spekulasi karena dianggap hanya mencari-cari persoalan dengan Bupati Bolmong (termasuk pula pertanyaan dan tuduhan bahwa saya ditunggangi kepentingan dan kelompok tertentu). Melainkan juga terhadap Bupati Bolmong yang seharusnya dijaga kehormatan dan ibadahnya dengan nasihat yang benar oleh para ulama. Dan, yang lebih utama, masyarakat yang selama ini menjadikan umarah (pemerintah) dan ulama sebagai panduan bagi kehidupan kesehariannya.

Keempat (dan yang paling menguatirkan saya), apakah bagi MUI Sulut sholat Id yang dipraktekkan Bupati Bolmong hanyalah kreativitas menginterpretasikan kegembiraan dan syukur Idul Fitri; juga penghormatan terhadap pejabat publik; dan karenanya tidak usah dipersoalkan lebih jauh. Biarkanlah perlahan terlupa atau menjadi dark number dalam ingatan masyarakat.

Dengan berbaik sangka saya mengharapkan (dan berkeyakinan) MUI Sulut dapat sesegera mungkin menyatakan pendapatnya; dalam bentuk apa pun. Dan mengingat masalah yang saya tanyakan berkaitan dengan pejabat publik, di lakukan di tengah publik, dengan melibatkan publik, maka selayaknya apa pun jawaban dari MUI Sulut harus diketahui secara terbuka agar konklusinya jelas dan tuntas bagi orang ramai.

Namun, bila ada keraguan menyatakan sikap sebab alasan di luar masalah boleh-tidaknya; pantas-tidaknya; benar-tidaknya, dari sisi murni ajaran Islam; semisal pertimbangan stabilitas, nama baik, atau apa pun itu, mohon MUI Sulut menyampaikan secara terbuka pula. Dengan demikian saya dan siapa pun yang tetap berkeinginan mendapat jawaban yang jelas dan tuntas, tidak berharap-harap dan menunggu terlampau lama tapi mungkin bisa menanyakan institusi lain seminal MUI Pusat atau bahkan ke Pusat Studi Islam di Universitas Al Azhar di Kairo.***