Kamis, 25 Desember 2008

Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a

Ditulis pada 5 Oktober 2008, tulisan yang judul lengkapnya Surat Terbuka untuk Masyarakat Bolmong: Ambe-da’ Totok Don Mokalakuang-a ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


TABI bo tanob ko’i monimu komintan kon Mongondow.

Surat terbuka ini ditulis didahului istigfar berkali-kali dan mohon ampun pada Allah Yang Maha Tinggi. Andai ada salah, keliru, alpa, dan khilaf di dalamnya, semata karena sebagai manusia biasa saya hanya mahluk bodoh, dhoif, dan lemah. Mahluk yang tak lebih dari setitik debu di hadapan-Nya.

Hanya kepada-Nya seluruh takut dihaturkan; bukan pada manusia. Apalagi hanya Bupati Bolaang Mongondow, Marlina Moha-Siahaan.

Saya menulis surat ini dengan amarah menggelegak seorang pemeluk Islam –yang sejujurnya masih amat jauh dari taat— dan orang Mongondow yang terluka hati dan jiwanya. Terlampau lama rasanya kebanyakan orang Mongondow mendiamkan atau menutup mata dari segala yang dilakukan Bupati sebagai pribadi maupun pejabat publik. Tapi tidak untuk peristiwa yang melukai lebih dari sekadar harga diri manusia.

Foto yang dipublikasi Harian Manado Post, Jumat (3 Oktober 2008), di mana Bupati menunaikan sholat Idhul Fitri 1429 di atas panggung dengan lindungan kanopi di halaman Kantor Bupati Bolmong, terpisah dari makmum yang lain, sungguh sesuatu yang tak bisa dibiarkan begitu saja. Sulit dianggap kekhilafan atau sekadar ketidak-tahuan awam terhadap agama. Bagi saya, apa yang dilakukan Bupati Bolmong ini bukan hanya melecehkan agama; tetapi deklarasi kesombongan diri di hadapan Allah Yang Maha Besar.

Senyum lebar Bupati Bolmong yang ditangkap kamera fotografer Manado Post melahirkan tanda-tanya besar di benak saya: Masih adakah alim ulama, uztad, atau yang mengerti agama Islam di Bolmong saat ini? Kalau masih ada, mengapa tidak ada satu pun yang membuka mulut, menyampaikan pada Bupati, bahwa sholat berjamaah punya syarat dan rukun yang tidak bisa diterjemahkan dan dibengkokkan seenak perut, sebagaimana para politikus menerjemahkan dan membengkokkan Perda atau undang-undang sesukanya. Bahwa sebagai makmun, seorang Imam Besar dari Al Azhar atau Presiden sekali pun, tidak berbeda dengan makmun yang lain.

Kemanakah organisasi-organisasi keagamaan Islam yang hiruk-pikuk menganjurkan ketaatan beragama, yang dengan lantang mengkhotbahkan bahwa Islam adalah agama orang-orang yang saling mengingatkan di jalan Allah? Masih ada Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, NU, Remaja Mesjid, sekadar kelompok pengajian, atau bahkan Front Pembela Islam (FPI) –terakhir dengan gagah berani diproklamirkan di Kotamobagu demi menegakkan syariat Islam-- di Bolmong?

Bila mereka semua masih ada, mengapa pelecehan terhadap syarat dan rukun dasar ibadah seperti sholat (menurut cerita yang saya dapatkan sudah berlangsung sejak Idul Fitri dan Idul Adha tahun silam, namun baru kali ini terbukti dari foto yang dirilis Manado Post), dibiarkan begitu saja? Apakah para pemimpin agama dan cerdik-pandainya di Bolmong sudah lebih takut pada Bupati ketimbang pada ajaran agama, tuntunan Nabi, dan Allah-nya?

Apakah pernyataan yang setiap kali saya dengar dari para imam saat sholat berjamaah untuk ‘’merapatkan dan meluruskan shaf demi kesempurnaan sholat’’ hanya berlaku untuk makmum yang rakyat biasa? Tidak untuk Bupati karena derajatnya lebih tinggi dari rakyatnya atau bahkan Nabi Besar Muhamad Rasulullah --yang sepanjang pengetahuan saya tidak pernah mengistimewakan dirinya dengan membangun mihrab atau panggung sholat sendiri.

Sejarah Islam yang diajarkan sejak saya masih kanak hingga usia yang sudah lewat 40 tahun ini, dengan tegas dan jelas menggambarkan betapa rendah-hatinya Muhammad Rasulullah, yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi di lantai yang sama di semua mesjid dan makmum di mana dia sholat berjamaah. Begitu pula para khalifah, imam besar, para pemikir dan pemimpin Islam yang menjadi legenda peradaban –semisal Khalifah Harun Al Rasyid yang menjadikan Baghdad pusat pengetahuan dunia di zamannya atau Salahudin Al Ayubi yang mengembalikan harga diri Islam di Yerusalem.

Sejauh yang saya tahu, Muhammad Rasullah dan orang-orang besar yang jadi panutan peradaban Islam hanya berdiri di tempat yang berbeda saat mereka menjadi iman; tapi tidak ketika berada di tempat makmum. Mereka ada di tengah, duduk beradu paha, berdiri beradu pundak, dengan sesama makmum yang lain.

Bukankah Allah Yang Maha Mengetahui sudah menyatakan bahwa yang berbeda di hadapan-Nya hanyalah keimanan; bukan pangkat, bukan kedudukan, bukan kekayaan. Dan adalah hak-Nya menentukan tingkat ketinggian keimanan umatnya. Bukan klaim, apalagi hanya oleh Bupati Bupati yang tidak berbeda dengan saya yang bodoh, dhoif, dan lemah ini di hadapan Kebesaran-Nya.

Mengingat apa yang dilakukan Bupati Bolmong bukan yang pertama kali, saya benar-benar geram dengan orang-orang yang paham ajaran Islam yang ada di sekitarnya –bahkan Kabag Humas pun seingat saya disapa dengan panggilan ‘’uztad’’--, yang membabi-buta menghambakan diri, termasuk membenarkan pembengkokkan ajaran agama. Begitu takutkah orang-orang itu sehingga ajaran dan tuntunan agamanya pun diabaikan begitu saja?

Subhanallah! Benar atau salah apa yang dilakukan oleh manusia, penilaiannnya adalah hak mutlak Allah SWT. Tapi Islam sebagai ajaran dan tuntunan mengajarkan kewajiban pribadi (fardu ain) dan kewajiban sosial (fardu kifayah). Kewajiban pribadi adalah urusan manusia dengan Penciptanya; akan halnya kewajiban sosial adalah urusan manusia dengan manusia, sekaligus dengan Penciptanya. Mengingatkan Bupati yang membengkokkan aturan agamanya bukan hanya kewajiban antara manusia dengan sesamanya, tetapi juga antara manusia dengan Penciptanya.

Mereka yang dengan bangga menyandang panggilan ‘’kiai’’, ‘’uztad’’, atau ‘’imam’’, tahu persis bahwa bila tak ada satu pun umat Islam yang menggerakkan hati dan dirinya saat dituntut harus menegakkan fardu kifayah, maka laknat yang dijatuhkan Yang Maha Kuasa bukan hanya ditujukan pada orang per orang. Dengan kata lain, bila tak ada satu pun yang membuka mulut mengingatkan Bupati Bolmong, maka kita tahu bersama bahwa ancaman laknat dari Allah SWT bukan hanya ditujukan pada yang bersangkutan, tetapi pada seluruh masyarakat Bolmong.

Dengan surat terbuka ini saya mengingatkan Bupati Bolmong; dan berdoa semoga Allah membuka pintu ampunannya.

Saya sungguh serius mendoakan Bupati Bolmong, apalagi kabar terakhir yang saya terima menyatakan bahwa yang bersangkutan ‘’menolak’’ pula bersilahturrahmi dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur, Hamdan Datunsolang, dan jajarannya (termasuk Raja Bintauna dan Raja Kaidipang) yang datang berkunjung pada Jumat, 3 Oktober 2008, di Rumah Jabatan, Bukit Ilongkow. Lebih tiga jam Bupati Bolmut dan rombongan menunggu Bupati Bolmong yang tak kunjung keluar menemui tamunya, sebelumnya akhirnya mereka meninggalkan tempat.

Tak ada yang bisa menduga seberapa dalam hati manusia. Namun, dengan menempatkan diri di posisi Hamdan Datunsolang, saya bisa merasakan betapa sakitnya tidak dihormati seperti itu; bahkan sekadar menunjukkan wajah, berjabat tangan, kemudian balik kanan dengan alasan sakit kepala, kurang sehat, atau apa kek.

Ayah saya mengajarkan: Tidaklah lengkap hubungan manusia dengan Penciptanya bila hubungannya dengan sesama tidak lengkap. Dan bahwa tamu adalah rahmat. Mengabaikan tamu bukan hanya menyombongkan diri di hadapan mereka, tetapi juga di hadapan-Nya.

Semoga Allah Maha Besar mengampuni kita semua.***