Sabtu, 06 Desember 2008

Anggota Bathil di DPR Bolmong!

Ditulis pada 12 September 2008, tulisan yang judul lengkapnya Anggota Bathil di DPR Bolmong ini pernah dipublikasi di Harian Tribun Totabuan. Hari dan tanggalnya sedang ditelusuri kembali.


PANAS nian ‘’balas pantun’’ antara Wakil Bupati Bolaang Mongondow (Wabup Bolmong), Sehang Mokoagow, dan Wakil Ketua DPR, Herson Mayulu. Tensi tinggi hubungan keduanya (yang sekarang merembet menjadi anggota DPR Bolmong, utamanya PG, melawan Wabup) mewarnai hampir semua media massa cetak Sulut dalam dua pekan terakhir.

Muasal saling serang dan kecam antara keduanya adalah dugaan ‘’memblenya’’ PAD Bolmong, yang menurut Mayulu tak lain kesalahan Wakil Bupati yang tidak mengerti dan melaksanakan tugas dengan baik. Sebab itu, Wabup Mokoagow mundur. Reaksi Wabup tak kurang pedas, yang menyuruh Mayulu membaca aturan sebelum buka mulut, supaya tak kelihatan ‘’asal malontok’’ semata,

Saya kira berkaitan dengan serangan yang dimotori Mayulu terhadap Wabup Mokoagow; yang harusnya tahu diri adalah Herson Mayulu. Penanggungjawab utama pemerintahan dan birokrasi di Bolmong adalah Bupati, Marlina Moha-Siahaan, bukan Sehang Mokoagow yang hanya Wakil. Karenanya, bila ada yang salah, keliru, miring, atau bengkok, yang pertama dimintai tanggungjawab adalah Bupati, bukan Wakil Bupati. Kecuali kalau yang meminta pertanggungjawab sejenis anggota DPR yang bengkok pengetahuan dan cara berfikir seperti Mayulu.

Menurut hemat saya, karena Mayulu tak punya nyali menegur, menjewer, atau menyuruh mundur Bupati Bolmong yang tidak becus mengurusi bawahannya, termasuk Wabup; maka yang ‘’dianiaya’’ adalah Wabup yang memang punya posisi tawar sangat rendah (bukan pimpinan Parpol, punya koneksi politik ‘’wah’’, atau saudara pejabat ‘’anu’’ yang lebih tinggi pangkat dan pengaruhnya). Perilaku yang sungguh bathil.

Negeri Semak-Belukar

Di luar silang-pendapatnya dengan Wabup Mokoagow, saya pribadi sudah hampir tiga pekan terakhir menyimpan keinginan menuntut Herson Mayulu mempertanggungjawabkan ‘’satu perkara’’ yang juga berkaitan dengan kebathilan mulut besarnya yang asal ‘’malontok’’. Keinginan itu bermula pada Jumat malam (22 Agustus 2008), saat saya menerima pesan singkat (short massage) berisi pertanyaan: ‘’Apa maksud Anda menyatakan Pinolosian adalah negeri semak-belukar?’’

Pesan singkat itu mungkin salah tujuan. Sejauh ingatan saya, yang sama sekali belum pikun, saya tidak pernah menulis, menyatakan, atau mengomentari Pinolosian seperti itu.
Namun, sepanjang Sabtu (23 Agustus 2008), pesan bernada sama –beberapa diantaranya bahkan lebih ‘’galak’’— dari orang-orang berbeda, menyusul saya terima. Makin memeras ingatan, saya semakin heran dan penasaran: Apakah pernyataan itu pernah saya sampaikan, sadar atau tidak, mabuk atau sedang waras, serius atau sekadar bercanda?

Keheranan dan rasa penasaran saya baru terjawab tatkala seorang kawan menelepon dan sembari tertawa-tawa menceritakan bahwa di hadapan 160 pegawai negeri sipil (PNS) peserta Pelatihan Pra Jabatan PNS Bolmong di SKB Gogagoman, Kamis (21 Agustus 2008), saat menyampaikan materi ‘’Etika Organisasi Pemerintah’’, anggota DPR Bolmong, Herson Mayulu, menyatakan (kurang lebih) bahwa, ‘’Menurut Katamsi Ginano, Pinolosian adalah negeri semak-belukar….’’

Kawan itu mendengar dari beberapa peserta Pelatihan Pra Jabatan, yang tidak mengenal saya, tapi ingin tahu kapan dan di mana saya pernah melontarkan ‘’sinisme’’ itu. Hanya memerlukan beberapa panggilan telepon pada beberapa orang yang dengan takut (bahkan ada yang memohon ‘’tolong jangan dipersoalkan karena akan berdampak pada kami’’), saya mendapat konfirmasi bahwa Mayulu memang mengemukakan bahwa ‘’Pinolosian adalah negeri semak-belukar’’ tak lain pernyataan dari Katamsi Ginano.

Kapan, di mana, dan dalam kesempatan apa pernyataan yang dikutip itu pernah saya sampaikan? Bahkan hingga pegal menggali-gali memori, saya gagal menemukan pernah menulis atau mengucapkan kalimat yang dikutip Mayulu itu.

Pernyataan Perang

Apa motif saudara Mayulu membawa-bawa nama saya? Sekadar keseleo lidah? Cuma bumbu agar peserta Pra Jabatan tidak menggantuk? Atau fitnah karena ada yang belum selesai antara kami berdua?

Telah berbilang tahun saya dan yang bersangkutan tidak bertemu atau saling menelepon. Memang terakhir ada polemik berkaitan dengan patung berhias gambar Bupati Bolmong, Oktober 2007, yang melibatkan saya dan segerombolan orang –antaranya Herson Mayulu. Kita semua tahu seperti apa akhir polemik itu.

Filsuf Inggris yang menjadi salah satu tokoh perintis Zaman Pencerahan, John Locke (1632-1704), mendefinisikan ‘’Keadaan perang adalah keadaan permusuhan dan penghancuran.’’ Fitnah tentang saya yang disampaikan Mayulu di hadapan 160 peserta Pelatihan Pra Jabatan PNS Bolmong itu, dapat diterjemahkan sebagai bentuk permusuhan dengan tujuan menghancurkan saya. Merusak kehormatan dan harga diri saya.

Lain halnya bila saya memang benar pernah menuliskan atau mengucapkan pernyataan itu. Saya harus mampu bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan.

Apa yang semestinya saya lakukan? Terhadap keadaan permusuhan dan penghancuran, kata John Locke, ‘’Adil dan masuk akallah bahwa saya harus mempunyai hak untuk menghancurkan apa yang mengancam akan menghancurkan saya.’’

Menjijikkan

Perlukah saya membawa fitnah yang dilontarkan Mayulu itu ke ruang publik, untuk membela diri, misalnya? Atau untuk entertain ego sekadar ‘’unjuk jago’’?

Secara pribadi, saya sebetulnya tidak ambil peduli dengan dicatutnya nama saya oleh Mayulu. Namun dalam konteks yang lebih luas, isu ini menjadi penting karena dapat menjadi bukti bagaimana gemarnya orang-orang tertentu di Bolmong merusak orang lain dengan fitnah, kasak-kusuk, dan segala jenis ocehan busuk di belakang punggung.

Boleh jadi dan patut dicurigai cukup banyak orang yang dengan diam-diam telah disengsarakan dengan modus sama; tanpa pernah tahu-menahu, apalagi membela diri. Dalam konteks ini, saya lebih memilih ‘’praduga bersalah’’ ketimbang ‘’praduga tidak bersalah’’.

Lebih buruk lagi, Herson Mayulu adalah tokoh publik; anggota DPR yang terhormat; dengan kedudukan penting di partai politik yang berkuasa di Bolmong; dan sosok yang –suka atau tidak-- memiliki pengaruh di tengah komunitasnya. Apa yang disampaikan –benar atau salah— sangat mungkin diterima sebagai sesuatu yang memang benar adanya. Lagipula, masak sih tokoh yang seharusnya jadi panutan punya kegemaran dusta dan fitnah?

Nyatanya, saya mengalami pencatutan sekaligus fitnah dari saudara yang semestinya terhormat itu. Dan itu menjijikkan, kendati saya tahu persis bahwa kebanyakan politikus belumlah ‘’khatam’’ kalau tidak pernah berdusta, menciptakan konflik, memecah-belah demi kepentingan sendiri, atau bahkan mengkreasi fitnah. Bagi umumnya politikus dengan moral dan etika alas sandal, tujuan adalah hal terpenting, apa dan bagaimana pun caranya.

Paham tidak berarti toleran. Bisa dibayangkan apa dampak yang harus ditanggung seorang kepala dinas, misalnya, kalau ada politikus elit partai dan DPR seperti Herson Mayulu membisikkan ‘’fitnah’’ pada Bupati? Katakanlah, bisikan beracun itu mengatakan, ‘’Si A tidak loyal dan suka mengatai-ngatai Anda sebagai Bupati yang tidak kompeten.’’

Bahkan bila kisikan seperti itu sebenarnya hanya bumbu percakapan politik, yang sifatnya lebih spekulatif ketimbang empirik, dengan kebanyakan elit politik yang gemar merasa benar sendiri dan sempurna lahir-bathin –utamanya di Bolmong--, saya yakin sang kepala dinas tak akan bertahan lama di kursinya. Nasibnya boleh jadi tak lebih baik dibanding balon besar yang disundut dengan puntung rokoh.

Patut Diludahi

Maka masyarakat memang harus tahu siapa sesungguhnya sosok yang mereka tokohkan. Apakah politikus dengan standar moral dan etika yang pantas dipanuti; atau cuma kelas tukang fitnah, kasak-kusuk, dan gossip, yang lebih banyak membawa kesengsaraan ketimbang manfaat bagi khalayak luas.

Dengan tahu ‘’tokoh’’ macam apa anggota DPR yang terhormat seperti Herson Mayulu, saya kira masyarakat yang waras tahu persis kualitas orang sejenis ini hanya cocok diperlakukan sebagai badut. Sama sekali tak pantas dipilih jadi anggota DPR; apalagi nara sumber ‘’Etika Organisasi Pemerintah’’. Inginkah kita para birokrat yang seharusnya menjadi ‘’penerang’’ untuk orang banyak justru dipandu cuma jadi tukang fitnah dan spekulasi.

Bagi saya pribadi, mengingat fitnah itu disampaikan di ruang publik, di tengah para pelayan masyarakat, apabila saudara Herson Mayulu tidak meminta maaf di ruang publik pula, maka yang bersangkutan memang berniat sungguh-sungguh mengobarkan perang. Tanpa takut dan segan saya menyatakan: Bila bertemu, kapan dan di mana saja, saya akan ludahi wajahnya! Dan bila ingin ‘’perang’’ fisik, saya yakin, percaya, dan senang hati, sungguh-sungguh ingin menjotos wajahnya.

Sudah terlampau banyak kerusakan yang diakibatkan orang seperti yang bersangkutan di tanah kelahiran saya.***