Sabtu, 22 November 2008

Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong ini pernah dipublikasi di Harian Manado Post pada Selasa, 20 November 2007 dan Rabu, 21 November 2007.


HAMPIR sepekan setelah Idul Fitri, 1 Syawal 1428 H, seorang ustad (arti harfiahnya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia –KUBI—adalah guru, tapi umum memaknai sebagai ‘’orang yang memahami agama (Islam) lebih dari kalangan awam’’) berceramah di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu –yang baru saja dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Di hadapan orang ramai Pak Ustad tiba-tiba melontarkan kritik terhadap salah satu ucapan selamat Idul Fitri yang dipajang di kain rentang di beberapa bagian kota.

Ucapan Idul Fitri itu kurang lebih berbunyi: ‘’Selamat Idul Fitri 1 Syawal1428 H. Mohon maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat.’’

Sayalah yang memasang kain rentang tersebut.

Satu kalimat, apalagi yang berkaitan dengan peristiwa keagamaan sakral (bagi umat Islam), tentu bukan perkara main-main. Penodaan agama bukan hanya tindak pidana, tetapi bisa jadi pengingkaran terhadap Allah SWT. Dan saya, dengan segala keterbatasan sebagai pemeluk Islam, gemetar membayangkan dianggap menista Tuhan, Rasul, dan agama sendiri.

Masalahnya, adakah bagian permintaan maaf itu yang salah dari sisi syariat Islam? Bukankah manusia adalah ciptaan yang sempurna dalam pengertian fisik, akal, dan nafsu; yang diperintahkan menjadi khalifah di muka bumi; tetapi sekaligus juga terus-menerus membawa potensi kerusakan. Agama (mana pun, terutama agama-agama langit) mengajarkan bahwa setiap saat, setiap detik, manusia bisa melakukan kesalahan; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak. Sebaliknya manusia juga berpotensi melakukan kesalehan dan kebaikan setiap saat, setiap detik; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak.

Pak Ustad yang mulia itu tentu lebih hafal isi Al Qur’an dan hadits ketimbang saya. Lebih paham pula bahwa meminta maaf karena menyadari manusia yang mudah tergelincir dan salah, adalah lebih baik dibanding sudah pasti salah tetapi enggan meminta maaf seperti yang kita saksikan di Bolmong umumnya.

Sebagai manusia yang menyadari kelemahan, saya merasa wajib meminta maaf untuk perbuatan (yang disengaja atau tidak, disadari atau tidak) di masa datang. Nabi Besar Muhammad SAW pun, yang dijamin ke-maksum-annya tetap meminta ampun pada Allah SWT dan sesama manusia.

Berapa banyak politikus dan birokrat, yang mengurus hajat hidup orang banyak, yang –menurut kitab suci—pasti diminta pertanggungjawabannya, yang bersedia meminta maaf? Padahal di keseharian mereka bukan hanya melakukan kesalahan dengan berbohong, mencuri, dan menelikung hak publik secara tidak sengaja; melainkan melakukan dengan sadar dan berjamaah.

Padahal pula ada tiga kata paling sakti dalam peradaban manusia yang tidak sulit diucapkan, juga dipraktekkan, dengan tulus: Tolong (dalam bahasa Inggris ’’please’’, bukan ’’help’’), maaf, dan terima kasih. Berapa seringkah kita mendengar tiga kata ini datang dari para pemimpin, birokrat, dan politisi, yang saat ini memimpin rejim pemerintahan, birokrasi, dan politik di Bolmong?

Mungkin ada dua kata yang sering kita dengar: ’’tolong’’, di saat para pemimpin dan politikus membutuhkan suara warga untuk memilih mereka menjadi bupati, wakil bupati, atau anggota DPR. Dan ’’terima kasih’’, karena rakyat tidak menjungkalkan mereka dari kursi, kendati terbukti gagal amanah dan hanya memperkaya diri dan keluarga dengan menjarah sebanyak-banyaknya dengan segala cara.

Pernahkah Pak Ustad mendengar para pemimpin daerah di Bolmong meminta maaf atas kebijakan konyol yang mereka ambil, yang akhirnya hanya membuang-buang uang rakyat? Apakah Pak Ustad pernah mendengar anggota DPR meminta maaf karena gagal mengawasi pemerintah dan mesin birokrasinya? Adakah pejabat publik yang meminta maaf dan mundur hanya karena terbukti mengelembungkan anggaran sebesar 1,1 juta yen (setara Rp 90 juta –hanya Rp 90 juta!) sebagaimana yang dilakukan Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang, Takehiko Endo, September 2007 lalu. Saat mundur Endo baru menduduki jabatannya kurang dari dua pekan dan skandal yang melibatnya terjadi pada 1999.

Betapa maaf adalah harga diri membuat Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang sebelum Endo, Toshikatsu Matsuako, pada 28 Mei 2007 lalu harakiri karena malu akibat terkuaknya skandal pembukuan di kementeriannya. Bahkan Perdana Menteri Shinzo Abe pun akhirnya mundur dari jabatan setelah serangkaian skandal keuangan mencuat di bawah pemerintahannya. Skandal yang sesungguhnya berakar dari pemerintahan sebelumnya.

Maka saya tidak habis pikir dan mengerti kenapa permintaan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat, bisa jadi persoalan? Tidakkah Pak Ustad yang terhormat melihat bahwa ada pasal yang lebih gawat yang sedang berlangsung di Bolmong, yang sungguh-sungguh membutuhkan konsern bersama, terutama oleh kalangan arif-bijaksana.

Harian Manado Post, Kamis, 25 Oktober 2007 (APBD 2006 se-Sulut Bermasalah: Hasil Temuan BPK, Manado 48 M Keluar Tanpa SPM, MaMi Tomohon Ditemukan), misalnya, khusus untuk Bolmong mengungkapkan ada miliaran rupiah dana APBD yang tak jelas penggunaannya. Di halaman lain, di hari yang sama (BPK Beber Temuan di Bolmong: Diduga Terjadi Penyimpangan), secara spesifik disebutkan untuk APBD 2005-2006 BPK menemukan tak kurang dari 21 kasus penyimpangan.

Sepintas temuan BPK yang dibeber media hanya deretan angka. Tapi tidakkah kita menyadari bahwa setiap angka itu berarti berkaitan dengan hak rakyat, yang mestinya dikelola dengan sangat hati-hati dan penuh tanggungjawab?

Selang lima hari, Harian Manado Post, Selasa, 30 Oktober 2007 (7.142 Rumah Tangga Miskin Terima PKH: November Dipastikan Cair) merilis lagi berita yang menyatakan 7.142 rumah tangga di Bolmong, BolmongUtara, dan Kota Kotamobagu masuk kategori Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM); dan karenanya harus disentuh Program Keluarga Harapan (PKH).

Di harian lain, Komentar (Selasa, 30 Oktober 2007), merilis berita Pendapatan Rp 455 Miliar, belanja Rp 463 Miliar: Empat Fraksi Setuju Bahas APBD 2008. Tak jelas benar rinciannya, kecuali disebutkan sepintas bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) diproyeksi sekitar lebih sedikit dari Rp 11 miliar.

Dari sebuah lembaga yang aktif memantau penyusunan anggaran daerah di Bolmong, saya mendapat informasi bahwa anggaran untuk pos pendidikan yang diproyeksikan di 2008 turun dari sekitar Rp 40 miliar-an menjadi hanya sekitar Rp 25 miliar-an. Penyebab turunnya anggaran tersebut karena dipindahkannya sekitar Rp 17 miliar-an (yang biasanya dialokasikan untuk Persibom) ke pos Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).

Semoga informasi itu bias dan tak akurat. Sebab bila benar adanya, sungguh mengiriskan hati, karena selain anggaran pendidikan yang dipangkas demi sepakbola; proyeksi PAD ternyata sebagian besar (sekitar Rp 2 miliar-an) berasal dari sektor kesehatan. Dan proyeksi ini ternyata bukan hanya untuk 2008. PAD untuk 2007, yang diproyeksi sekitar Rp 9 miliar-an, pemasukan terbesarnya juga berasal dari sektor kesehatan.

Kenyataan itu membuat saya mengurut dada.

Di pekan yang sama, Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, yang dengan predikat cum laude meraih gelar doktor di UGM pada Sabtu, 27 Oktober 2007, lewat disertasi berjudul ’’Signifikansi Peran Daerah’’, menegaskan: ’’Kinerja seorang kepala daerah minimal harus mampu meningkatkan perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan.’’

Temuan BPK, angka RTSM, perbandingan pendapatan dan pengeluaran APBD Bolmong, dan pos-pos anggarannya, mencerminkan tak ada satu indikator pun yang disampaikan Fadel, yang didekati oleh rezim yang berkuasa di Bolmong. Memangkas sepertiga anggaran pendidikan untuk sepakbola, menunjukkan komitmen seperti apa yang mereka letakkan. Demikian pula, dengan PAD terbesar dari sektor kesehatan, tak beda dengan memeras orang sakit sampai kering-kerontang. Sudah sakit, sengsara pula karena dibebani target PAD.

Khusus angka RTSM yang mendapat bantuan, sungguh mengiriskan. Di saat media mempublikasi mobil dinas baru para kepala dinas, fasilitas DPR, bahkan juga patung senilai Rp 500 juta yang ditegakkan di pusat kota Kotamobagu; angka RTSM itu hanya memiliki satu arti: ada yang foya-foya dan ada yang kembang-kempis hampir kehabisan nafas.

Temuan BPK akhirnya menegaskan semua kabar buruk itu: ada yang salah! Bahkan sekali pun kalau itu baru dugaan, 21 temuan –dengan kilah bahwa sekadar administratif saja—lebih dari cukup bagi masyarakat untuk mempertanyakan profesionalisme, kompetensi, dan pemihakan rezim pemerintahan, politik, dan birokrasi yang sedang berkuasa di Bolmong.

Administrasi yang sudah menjadi ’’makanan’’ sehari-hari kalangan birokrat; dengan kebijakan dan instruksi dari para pemimpinnya; dan kontrol politik dari lembaga legislatif saja bisa sangat amburadul; tidak mengherankan bila rezim ini tak memiliki strategi terhadap kesejahteraan orang banyak.

Pertanyaan terpentingnya: Adakah pemimpin, politikus, atau birokrat di Bolmong yang sudah minta maaf pada orang banyak atas kondisi centeng-perenang itu? Adakah ustad atau pemuka agama yang berdiri di podium, di tengah ribuan hadirin dan hadirat, mengecam para pemimpin yang tak kompeten, korup, dan hanya memikirkan diri sendiri?

Sayangnya tidak! Padahal umat Islam percaya bahwa mengingatkan pemimpin yang lalim dan lupa diri adalah salah satu bentuk jihad. Mungkin karena kuman di seberang lautan lebih mudah dilihat oleh mereka yang menggunakan kacamata setebal pantat botol, ketimbang gajah yang sedang menari-nari di pelupuk.***