Sabtu, 15 November 2008

Fitnah dan Penjilatan Berjamaah

Ditulis pada 29 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Fitnah dan Penjilatan Berjamaah (Masih tentang Pantung Berhias Gambar Bupati Bolmong) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


MENAKJUBKAN betul kekerasan hati (kalau bukan kebebalan) beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolaang Mongondow (Bolmong), yang membabi-buta mencakar bayangan yang mereka ciptakan. Termasuk oleh Bachruddin Marto (Isu Patung, Politik ’’Kacang Tore’’) yang dipublikasi Posko, Senin 29 Oktober 2007, menanggapi isu patung berhias gambar Bupati yang sudah bergulir lebih sepekan.

Siapa pun yang melontarkan kritik –entah itu gondoruwo, liliput, atau bahkan mahluk Mars--, asal ada kata ’’Bupati Bolmong’’, pasti adalah musuh politik dan sosial. Pantas dikeroyok dan diserang secara pribadi. Tidak peduli kritik yang dilontarkan bahkan tidak ditujukan pada Bupati.

Maka, membaca tanggapan Marto di Posko, setelah terbahak-bahak –menyenangkan betul menonton para badut bermunculan--, saya harus berpikir keras: Apakah saya yang dungu atau memang kebanyakan mereka yang mengaku tokoh di Bolmong mengalami problem dengan fungsi otaknya?

Mungkin sahabat saya, dr Taufik Pasiak, yang sudah bertahun-tahun melakukan studi tentang otak perlu menelisik, disfungsi otak macam apa yang sedang terjadi di kalangan beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolmong, yang tampaknya mengalami kesulitan membedakan kritik terhadap pejabat dan kebijakan publik; dan penyerangan pribadi. Wabah apa yang menyerang otak mereka hingga sudah tak bisa membedakan mana akar, pokok, dan daun.

Marto, sebagaimana beberapa orang lain yang menanggapi kritik saya, sama sekali tidak menyentuh subtansi. Yang diutak-atik adalah saya sebagai pribadi; yang kali ini bahkan ditambahi lagi dengan fitnah.

Baiklah, tanggapan Saudara Marto –yang mengaku tokoh pemuda (saya yakin ini hanya perasaan dan klaim yang bersangkutan)--, bersedia saya tanggapi lagi –sekali pun saya sungguh-sungguh paham mustahil mengajari bebek agar tak berkoek dan membebek. Sekali pun sejumlah orang juga menelepon agar saya tak usah menanggapi beo; sebab cuma buang energi dan kontra produktif.

Pertama, analogi ’’kacang tore’’ tentu teori yang entah diraup dari mana. Tolong belajar tentang analogi dulu, deh. Siapa yang peduli pada orang yang makan kacang tore dan berbunyi ’’krak krak krak’’? Yang jadi problem adalah kalau makan kacang tore tanpa bunyi ’’krak krak krak’’; artinya saudara Marto tentu ompong total. Kalau pun bunyi ’’kacang tore’’ saya mampir di kuping Anda, jangan sirik dong. Siapa suruh Anda ompong total?

Kedua, kalau ancaman dan sikap emosional dianggap wajar, ya, sudah. Apa mau dikata, kita memang beda peradaban dan beda ’’langit’’. Kritik yang ditanggapi dengan ancaman dan sikap emosional, secara sosiologis dan antropologis (mudah-mudahan dua kata ini tidak terlalu berat bagi Marto) menunjukkan di level mana orang atau komunitas tersebut berada.

Dengan kewajaran sedemikian itu maka absah pula perilaku totaliter yang makin jadi budaya di Bolmong, terutama di kalangan elitnya. Hanya saja, jangan sampai burung dara menjadi pengancam elang; atau ikan cupang menantang kelahi hiu macan.

Ketiga, analogi lebah yang dikemukan justru memperjelas kritik saya sejak awal; bahwa jangan-jangan Bupati Bolmong hanya dikerumuni para ’’yes mam’’ yang melantunkan puja-puji dan kidung sorga. Lebah adalah salah satu jenis hewan terbaik dalam soal loyalitas; tetapi tentu dengan kapasitas otak lebah yang hanya seperjuta sekian kapasitas otak manusia.

Lebah bertindak berdasar insting (Marto bisa menonton pelajaran tentang lebah lebih lengkap di National Geographic Channel atau Discovery Channel). Manusia berdasar akal dan pikiran,juga hati kecil. Mendudukkan kelas manusia hanya setara lebah, betul-betul cara berpikir yang bukan hanya ceroboh tetapi juga batil.

Keempat, konsep tentang loyalitas yang saya kenal, bahkan dalam terminologi agama, bukanlah patuh tanpa mikir. Membela sesuatu, apalagi pengkultusan individu dengan membuta-tuli, tak berbeda dengan menjilat, bahkan juga pemberhalaan (Marto perlu membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia --KUBI-- agar tahu apa beda kata ’’berhala’’; ’’memberhalakan’’; dan ’’pemberhalaan’’).

Dalam konteks itu, saya ingin mengulang kembali (mirip mengajari anak ’’play group’’ membedakan permen coklat dan batangan coklat), bahwa yang saya kritik adalah pengkultusan; pemberhalaan. Dengan kata lain: orang seperti Andalah yang saya tuju, bukan Bupati Bolmong.

Saya juga ingin bertanya, sudahkah pernah saudara Marto (yang setahu saya saat ini PNS di Bolmong) bekerja di perusahaan; dan sudah berapa kalikah pindah perusahaan, hingga merasa pantas mengajari saya apa itu loyalitas di dunia kerja profesional? Loyalitas, bagi kami, adalah kepatuhan pada profesi, etika, norma, sistem, aturan, dan standar-standar baku lainnya. Di dunia saya, pemimpin yang tak kompeten, tanpa perlu dikritik bagai menghardik keledai, akan terpental dengan sendirinya.

Kelima, salah satu problem dari loyalitas membabi-buta adalah pembenaran yang keterlaluan, termasuk dengan fitnah. Dan itu ditujukkan oleh Marto dengan fitnah bahwa saya hanya melontarkan kritik setiap kali musim Pilkada datang. Bung, saya bukan seperti Anda yang tiap kali cerewet di depan publik (termasuk di media), selalu ada maunya, sebagaimana yang Anda tunjukkan saat meng-komplein Kapolres Bolmong beberapa waktu lalu. Yang juga keterlaluan adalah klaim bahwa saya pernah menanggapi tulisan yang bersangkutan, dengan tujuan pembunuhan karakter.

Imajinasi Marto sungguh kaya. Begitu kayanya sampai-sampai sulit bagi saya menyimpulkan yang bersangkutan hanya meracau agar dianggap penting –dan sudah membela pemimpin yang dipuja-pujinya setengah mati-- atau mengingau karena demam tinggi.

Seingat saya, saya pernah menulis tentang sekelompok orang yang mengatas-namakan satu kelompok massa, yang petantang-petenteng seolah-olah yang paling berjasa terhadap negeri ini pada Agustus 2005. Artinya, lebih satu tahun sebelum Pilkada berlangsung di Bolmong. Dan kalau Anda tak paham isinya, mari saya beritahu: tulisan itu, yang bertajuk ’’Kami Bukan KBA Kasiang’’, itu bukan sekadar sindiran, tapi ejekan untuk ikan cupang yang bertingkah seolah-olah hiu macan. Dan setahu saya ikan cupang itu adalah Anda.

Saya juga hakul yakin satu tahun sebelum Pilkda Bolmong berlangsung saya sama sekali tidak menulis di media massa di Sulut. Sama halnya dengan isu patung berhias gambar Bupati yang kini mengemuka. Saya tidak menulis karena menjelang Pilkada Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara. Jangankan Pilkada, anggota DPR Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara saja belum dilantik. Jadi apa relevansinya?

Sepanjang track record saya, rasanya belum pernah saya menjadi ’’antek’’ atau anjing penjaga yang menggonggong hanya karena diperintah tuannya.

Jangan karena mata Anda yang picek lalu pelukis potret Anda yang dihukum mati.

Keenam, untuk apa saya perlu aktualisasi diri di Bolmong, di tempat saya lahir dan dibesarkan? Popularitas, sebagaimana yang saya rasakan sejak lama, lebih banyak merepotkan ketimbang menenangkan. Lagipula saya bukan jenis orang yang senang dijilat dengan puja-puji; apalagi oleh orang-orang yang lidahnya bercabang dan bersuara mendesis. Berjamaah pula.

Kritik saya terhadap Bolmong adalah bagian dari tanggung jawab warga negara, yang lahir di Bolmong. Tidak lebih dan tidak kurang.

Kalau soal mencalonkan diri sebagai Walikota Kota Kotamobagu, siapa yang boleh melarang. Saya orang Mongondow! Mereka yang bukan orang Mongondow saja dipersilahkan dengan sopan dan penuh hormat, apalagi saya. Dengan cara apa saya menarik simpati masyarakat, tentu tak perlu penasehat semacam Marto yang pasti lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Yang terakhir, karena Anda mengutip ustad, saya juga ingin mengutip kiai saya, yang mengatakan: ’’Lebih baik jadi orang benar, pintar, dan berani; daripada hanya jadi orang benar tapi tidak pintar; atau orang pintar tapi tidak benar; apalagi sudah tidak pintar, tidak benar, berani pula’’.***