Sabtu, 15 November 2008

Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul

Ditulis pada 25 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul (Catatan atas Kritik Terhadap Patung Bergambar Bupati) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


GUNCANGLAH sesemakan, Anda akan tahu mahluk seperti apa yang berhamburan keluar. Boleh jadi yang berserabutan burung atau kupu-kupu, bisa pula ular dan biawak, atau cuma semut, laba-laba, dan kecoak.

Kritik saya terhadap patung berhias gambar Bupati Bolmong, kurang-lebih, bagai menguncang sesemakan. Apalagi sebagaimana yang dimuat Posko, Kamis 25 Oktober 2007 (Dianggap Menghina Bupati: FKPPI Bolmong Tetapkan Ginano sebagai ’’TO’’), komentar, kecaman (juga ancaman) yang berhamburan sama sekali lepas dari konteks dan subtansi isu, tetapi sudah menyerang pribadi.

Reaksi pertama saya saat mengetahui kecaman (dan terutama ancaman) yang menyerang pribadi itu adalah terbahak-bahak. Saya patut berterima kasih pada mereka yang telah berkomentar. Anda membuat hari saya lebih cerah dengan lelucon segar. Dan memang begitulah kelakuan beberapa elit Bolmong: kekanak-kanakan, emosional, dan keluar konteks.

Saya harus mengingatkan lagi: tolong baca dengan hati-hati apa yang saya tuliskan di Posko, Senin, 22 Oktober 2007 (Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong) berkenaan dengan pendirian patung berhias gambar (bukan relief –kecuali memang di Bolmong sudah tak ada lagi yang dapat membedakan gambar dan relief) Bupati. Di manakah klausal penghinaan terhadap Bupati adanya? Lain soal kalau Anda tidak membaca tulisan itu, tetapi hanya mendengarkan dari bisik-bisik dan spekulasi. Atau Anda adalah kelompok yang saya sebut ’’segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga’’.

Yang saya kritik adalah kepatutan yang seharusnya secara normatif tidak perlu diperdebatkan lagi.

Terhadap penyerangan terhadap saya pribadi, galibnya kata-kata, layak pula dibalas dengan kata-kata. Tentu dimulai dengan saudara Herson Mayulu yang menghina saya (eksplisit) sebagai ’’bukan apa-apa’’ dan menantang untuk kembali ke Bolmong melakukan sesuatu.

Komentar yang layak disampaikan terhadap pernyataan itu adalah: Memangnya saudara Herson Mayulu ada apa-apanya? Saat saya jadi ’’langganan’’ dimintai keterangan oleh aparat keamanan di zaman Orba, setahu saya saudara Herson adalah PNS yang ’’baik’’, yang kemudian bersulih profesi menjadi anggota DPR Bolmong. Itu saja. Prestasi lain? Bagi saya, cukup dijawab dengan senyum lebar.

Akan halnya saya? Sesekali cobalah browsing dengan Google atau Yahoo. Nama saya tak kurang tercatat di 498 entry. Sedangkan Anda hanya 9 entry, itu pun seluruhnya berita di koran lokal yang menyebutkan nama Anda sepintas saja.

Dengan teknologi Internet Anda juga akan tahu sedikit rekam jejak saya, yang bukan hanya untuk Mongondow, tetapi untuk negeri ini. Mungkin amat sangat sedikit, tetapi tentu masih jauh lebih banyak daripada sekadar cerewet di kampung halaman, mirip katak yang menganggap rumah tempurungnya sebagai jagad utama.

Kalau kemudian saya di tantang kembali ke Bolmong untuk melakukan sesuatu, bagaimana kalau saya tantang Herson Mayulu untuk keluar dari ’’tempurungnya’’ ke lapangan global di luar sini? Apa yang Anda bisa di dunia yang menurut Friedman ’’telah menjadi datar’’? Tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya adalah pemain global di bidang saya, yang dibuktikan dengan mampu survive di level bukan hanya provinsi atau nasional.

Saudara Herson, tegasnya saya mau bilang: Andalah yang tidak ada apa-apanya. Termasuk tidak bisa membedakan mana ubun-ubun dan dengkul. Wong yang saya kritik patung berhias gambar Bupati, yang Anda hantam adalah pribadi saya.

Saya tertawa sampai menetaskan airmata ketika tiba dialinea dari Sumardiah Modeong yang menuduh saya ’’tidak pintar tetapi gila’’. Orang gila seharusnya di RSJ; tidak perlu ditanggapi, apalagi oleh Bendahara PG Bolmong.

Apa relevansi kritik saya terhadap tuduhan gila? Modeong boleh bersyukur: saya sama sekali tidak berminat mengadukan tuduhan gila ini sebagai pencemaran nama baik. Toh, orang banyak tahu, di tengah ketidak-warasan, yang waras-lah yang justru dianggap menyimpang.

Kecaman (dan ancaman) yang tak kurang lucunya disampaikan oleh Jendli Taturu yang menyatakan saya sebagai ’’TO’’ FKPPI.

Saudara Jendli, bertahun-tahun lamanya –sejak akhir 1980-an, saya mengenal amat sangat baik salah seorang pendiri FKPPI, almarhum Yoseano Waas. Dari dialah saya mendapatkan buku sejarah berdirinya FKPPI dan banyak inside story di belakang riwayat organisasi ini. Saya respek terhadap FKPPI; dan karenanya heran mengapa tidak-tiba ada orang yang berani-beraninya menyeret organisasi ini memperhadapkan dengan saya, hanya karena persoalan sepele: kritik terhadap patung berhias gambar Bupati?

Begitu hebatnyakah dampak kritikan saya terhadap stabilitas negeri ini hingga nama besar FKPPI harus dibawa-bawa?

Sepengetahuan saya FKPPI tidak punya kebijakan menjadi organisasi yang mengancam warga negara yang tidak merongrong Pancasila, UUD 45, dan kemaslahatan hidup orang banyak. FKPPI belum pula mengambil alih tugas polisi, tentara, jaksa, atau Badan Intelejen Negara (BIN), yang memang berhak menetapkan seseorang sebagai ’’TO’’.

Maka saya percaya ancaman itu hanya datang dari Jendli Taturu, bukan dari FKPPI. Dan karena ancaman patut diwaspadai, tentu saya sungguh-sungguh harus berhati-hati. Termasuk melapor ke polisi sebagai aparat yang berwenang menangani segala sesuatu yang mengancam keselamatan seorang warga negara. Sebaliknya, saudara Jendli juga patut berhati-hati, sebab kaki mudah terantuk di batu, kepala gampang terbentur, dan badan mungkin saja tanpa sengaja tersenggol.

Pengalaman saya di beberapa wilayah yang pernah membara oleh perang (saya hadir secara fisik di tempat-tempat seperti itu), mengajarkan bahwa setiap orang punya teman. Teman yang tak hanya berkawan karena sekadar jabatan, uang, atau pengaruh. Dan hanya mereka yang telah berjalan sangat jauhlah yang memiliki teman terbanyak. Sudahkah Jendli Taturu berjalan sejauh saya dan berteman sebanyak yang saya punya?

Terakhir, untuk saudara Kuji Moha. Terima kasih atas kearifan Anda. Namun saya harus mengoreksi bahwa telah menjadi tugas seorang Bupati, sebagai pejabat publik, untuk mengayomi masyarakatnya. Dan tugas publik itu mestinya tidak dicampur adukkan dengan menjadikan area publik sebagai wilayah pribadi.

Sebagai warga Mongondow saya senang diayomi oleh pejabat publik yang benar; sebaliknya saya juga tak segan mengkritik siapa pun pejabat publik yang bengkok, termasuk bengkok logika. Namun kalau kritik warga masyarakat dianggap sebagai kenakalan dan harus dicubit, bagaimana dengan kelakuan pejabat publik yang di luar kepatutan? Harus dianggap apa oleh masyarakat dan sang pejabat harus diperlakukan seperti apa?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan apresiasi pada penjelasan mengapa patung berhias gambar Bupati itu harus dibangun, yang juga dipublikasi Posko (Jadi Polemik: Asisten III Luruskan Soal Lukisan Bupati). Bahwa penjelasan itu amat sangat terlambat dan tidak menjawab substansi kritik yang saya sampaikan, adalah soal lain yang bisa diperdebatkan nanti.***