Sabtu, 15 November 2008

Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong

Ditulis pada 21 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko pada Kamis, 25 Oktober 2007.


MENGKRITIK patung berhias gambar Bupati, di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) –induk--, ternyata perkara gawat. Tak kurang dari Kepala Hubungan Masyarakat (Kahumas) Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, bahkan harus memberikan tanggapan (Soal Lukisan Butet, Posko, 20 Oktober 2007).

Biar urusan patung dan gambar itu tidak berketiak ular –terutama sebab tanggapan Kahumas Pemkab Bolmong--, saya ingin menjelaskan subtansi kritik saya yang dimuat Posko, 19 Oktober 2007, adalah:

Pertama, patung sebagai bagian dari lanskap sebuah kota (di negara-negara dan kota yang sudah makmur) tidaklah perlu diperdebatkan eksistensinya. Tapi di Bolmong, apalagi menghiasi fondasinya dengan gambar Bupati (bukan ornamen), tentu konyol dan mungkin baru pertama di seantero jagad.

Apa relevansinya dengan pembangunan di Bolmong? Di saat jalan-jalan hancur dan berlobang, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pertanian jauh dari sempurna, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya miliran rupiah, membuang ratusan juta untuk sebuah patung berhias gambar Bupati sungguh logika yang sulit dicerna.

Kedua, dengan meletakkan gambar Bupati di fasilitas publik yang permanen, tak beda dengan menyandingkan Bupati dengan artis-artis yang berpose untuk iklan sabun, pasta gigi, atau obat anti bau badan.

Ketiga, bila alasannya agar warga mengingat sejarah dan jasa-jasanya (walau difinisi jasa ini masih dengan tanda tanya besar), apa tidak lebih baik ditulis saja dalam bentuk buku? Bukankah buku lebih edukatif, cerdas, dan bermartabat?

Keempat, patung dan gambar itu dibangun di areal publik, dengan uang Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Wajar belaka kalau masyarakat mempertanyakan peruntukkan, biaya, dan pertanggungjawaban normatif lainnya. Sebab kalau bukan dengan APBD, lalu mengapa dibangun di areal publik?

Masyarakat tentu tak akan cerewet bila patung dan gambar itu dibangun di halaman rumah pribadi Bupati dengan uang dari kantongnya sendiri. Mau sebesar kandang gajah kek, seukuran layar lebar bioskop kek, siapa peduli. Paling-paling orang hanya akan mempergunjingkan kesehatan jiwanya.

Alasan bahwa di kota-kota yang lain juga ada patung tokoh, tidaklah serta merta membenarkan logika bengkok yang sedang berlangsung di Bolmong. Patung Sam Ratulangi tidak dibangun oleh Sam Ratulangi sendiri. Atau mau lebih ekstrim lagi, Presiden Soekarno adalah tokoh yang paling banyak membangun patung di Indonesia, tetapi tidak satu pun patung tentang dirinya.

Akan halnya Presiden Soeharto yang berkuasa di negeri ini tak kurang dari 30 tahun, setahu saya tidak pernah memerintahkan pembuatan patung pribadinya. Kalau pun ada relief yang menggambarkan Soeharto, seperti di Monumen Adipura Kencana di Kota Manado, saya sepenuhnya yakin: itu bukan permintaan Soeharto, tetapi apresiasi dan kreativitas Pemkab Kota Manado.

Tokoh yang membangun patung pribadi di saat berkuasa, semisal Saddam Husein, tak lebih dan tak kurang: patungnya dihancurkan sesaat setelah kekuasaannya berakhir.

Karena substansi seperti itulah saya tak habis kagum dengan Kahumas (sekaligus juru bicara Bupati Bolmong). Alih-alih menjelaskan alasan pendirian patung berhias gambar Bupati itu, Kahumas justru merembet ke persoalan mempertanyakan (kurang lebihnya) apa yang saya perbuat untuk Bolmong.

Saudara Kahumas, tugas Anda adalah menjelaskan kebijakan pemerintahan dan pembangunan serta relevansi di Bolmong. Untuk tugas yang satu ini saja Anda belepotan, apalagi memasuki areal yang lain.

Apa yang saya lakukan sebagai warga negara yang lahir di Bolmong adalah menaati undang-undang dan aturan lainnya, termasuk membayar pajak. Saya kira, sebagai warga negara, saya memenuhi kriteria warga yang baik (saya sudah bertahun-tahun memiliki NPWP pribadi dan saya tidak yakin Kahumas Pemkab Bolmong punya itu). Selebihnya, bukan urusan Kahumas mempertanyakan apa yang saya perbuat untuk masyarakat saya.

Saya justru ingin menanyakan (sebagai bagian dari hak warga negara), selain memperpanjang-panjang lidah ke atasan, apa yang sudah diperbuat oleh Kahumas (dan juga saudara Irwan Thalib) terhadap Bolmong? Bukankah sebagai abdi masyarakat dan pelayan publik, saudara Kahumas wajib mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan untuk orang banyak. Anda digaji oleh negara. Saya tidak!

Saya memperhatikan setiap kali ada yang melontarkan kritik –salah satu hak hakiki warga negara adalah mengkritik pemerintahnya—di Bolmong, kata kunci yang dilontarkan kalangan birokrat dan politisi adalah: ’’Jangan hanya mengkritik, tetapi harus berbuat.’’ Kalimat ini seolah-olah menunjukkan bahwa hanya merekalah yang melakukan segala-galanya; dan orang banyak cuma makan, tidur, dan bicara saja.

Apalagi kemudian diimbuhi ’’isu ini jangan dipolemikkan’’. Apa yang salah dari polemik? Menguji sebuah kebijakan publik dengan polemik dan perdebatan adalah cara sehat di tengah masyarakat demokratis yang beradab. Pemerintah dan politikus bukanlah sumber kebenaran utama; bahkan merekalah justru yang harus sangat dikritisi karena mengurusi hajat hidup orang banyak atas biaya orang banyak pula.

Menghimbau orang banyak jangan mempolemikkan sebuah isu publik –apalagi soal patung berhias gambar Bupati-- adalah sikap narsis dan menunjukkan bahwa siapa pun itu (dengan segala maaf dan hormat) hanya bertujuan menjilat. Namun, memahami Bolmong kontemporer membuat saya sama sekali tak heran: apa yang diharapkan dari pemimpin yang hanya suka mendengarkan suara dan melihat wajahnya sendiri, kecuali segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga?***