Sabtu, 26 April 2008

Berpolitik Tanpa Investasi Politik (II)

PERNYATAAN Ketua DPW PAN Sulut yang tidak akan menanda-tangani pencalonan Walikota dan Wakil Walikota KK bila bukan Djelantik Mokodompit dan Hamdi Paputungan, sungguh berlawanan dengan tiga konsern di atas. Mendadak, saya merasa kecewa pada PAN Sulut. Bukan kekecewaan seperti ditolak cewek yang ditaksir; tapi sejenis nelangsa karena ada harapan yang mati sebelum tumbuh.

Harapan seperti apa? PAN KK, yang memiliki satu fraksi utuh di DPR KK, seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan tak hanya mencalonkan calon Walikota dan Wakil Walikota tanpa berkoalisi dengan partai lain. Di atas target jangka pendek ‘’sepele’’ itu, partai ini harusnya mampu mencontohkan ‘’gaya politik baru’’ yang lebih segar --sebagaimana yang sudah dilakukan dengan mengumumkan kandidatnya beberapa waktu lalu--; sekaligus mengedepankan kader-kader sendiri sebagai investasi politik jangka panjang.

Apakah pernyataan saya ini kontrakdiktif dengan sikap saya di posting sebelumnya yang memuji langkah DPD PAN KK?

Tidak! Bahwa PAN KK sebelumnya mengumumkan calonnya dengan memasukkan nama-nama politikus (termasuk dari partai lain), birokrat, dan tokoh independen, sebagai langkah strategis yang menunjukkan kebesaran jiwa kadernya; harus dipisahkan dengan langkah strategis lain berkaitan dengan keberlangsungan hidup partai ini untuk jangka panjang. Menurut hemat saya, dalam konteks strategi jangka panjang itu pula, pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN sebagaimana yang saya baca (sekali lagi bila pernyataan itu demikian adanya, bukan keseleo lidah atau salah kutip), menunjukkan bahwa visi ke depan partai ini di Sulut memang bukan disiapkan untuk para pemenang. Cuma sekadar partai yang puas menjadi partai (tentu saja tingkatnya kelas 2 saja), dengan kader-kader yang puas mendapat ‘’remah-remah’’ politik dan kekuasaan (serta uang) yang mengikutinya.

Pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN itu pada akhirnya harus diterjemahkan bukan lagi kebesaran jiwa; tetapi inferioritas berpolitik.

Pertama, dua calon yang mendapatkan jaminan penuh Ketua DPW adalah kader PG. Djelantik Mokodompit adalah anggota DPR RI dari PG, sedangkan Hamdi Paputungan adalah salah satu pengurus teras DPD I PG Sulut. Dengan logika politik paling sederhana, bila akhirnya mereka terpilih, kendati ada ‘’ancaman pemecatan’’ karena keluar dari garis partai, kita semua tahu di ujung hari PG akan berkompromi. Ini sudah terbukti dengan tetap duduknya Djelantik Mokodompit (yang dicalonkan PAN dan beberapa partai lain) sebagai anggota DPR RI setelah kalah melawan Marlina Moha-Siahaan dalam Pilkada Bolmong beberapa waktu lalu.

Kalah saja tetap dimaafkan, apalagi menang. Skenario terburuk, kalau PAN tetap mengusung Djelantik Mokodompit-Hamdi Paputunga dan mereka kalah, tidak ada problem politik apa-apa buat PG, yang bisa saja dengan segera dan ‘’darah dingin’’ memecat keduanya dari partai. Konsekwensi terbesar justru berada di sisi PAN KK khususnya dan PAN Sulut, yang menjadi pecundang untuk target jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Kedua, kalau pun PAN Sulut harus bersikap pragmatis karena tidak memiliki kader yang layak dicalonkan sebagai Walikota; mengapa calon Wakil Walikotanya bukan kader, atau minimal simpatisan PAN, yang untuk jangka panjang memang serius berkomitmen bergabung dan membesarkan partai ini?

Ketiga, sadarkah Ketua DPW PAN Sulut bahwa dengan ‘’terburu-buru’’ mencalonkan dua kandidat itu, sama artinya dengan meniadakan investasi politik yang sudah mulai ditanam dengan serius oleh sebagian besar kader PAN di KK saat ini? Ini juga menunjukkan betapa PAN sebenarnya tidak menganggap kader-kadernya punya capaian apa-apa di KK. Termasuk satu fraksi di DPR KK adalah nothing belaka.

Keempat, mengapa pragmatisme Ketua DPW cuma setengah hati dengan mencalonkan kader PG sebagai Walikota dan Wakil Walikota? Mengapa tidak sepenuh hati saja dengan membangun koalisasi antara PG KK dan PAN KK?

Pada akhirnya, saya menulis posting ini dengan kecintaan pada orang-orang muda yang saat ini sedang membangun karir politiknya di PAN KK khususnya dan PAN Sulut umumnya. Jangan sampai hanya karena keputusan terburu-buru lalu mind set para kader ini berubah menjadi: Memang lebih baik bergabung ke PG sekali pun mulai dari level cacing, toh di saat ada kompetisi untuk jabatan politik, partai-partai ‘’kelas 2’’ (termasuk PAN) akan berebut dan menjadikan sang cacing ular besar.***