Senin, 07 April 2008

Ahmad Alheid: Bukan pada Teknik Menulisnya

Komentar yang dikirimkan Ahmad Alheid lewat email ahmad_attar73@.... ini masih sinambung dengan debat antara saya dan Kurniawan S Basol. Email yang saya posting-kan ini sekaligus menutup topik ini, mengingat seluruh subtansi yang diperselisihkan sudah terang-benderang. Selain itu, saya juga risih karena makin banyak SMS dan telepon yang mengkomplein dan menyesalkan mengapa saya harus capek-capek menanggapi Kurniawan S Basol. Mereka rata-rata menyatakan masih banyak isu lebih penting yang perlu mendapat perhatian. Namun, di atas semua lalu-lintas wacana yang sudah terjadi, saya berharap Kurniawan S Basol terus belajar dan kelak menjadi salah satu anak Mongondow yang tetap kritis, independen, dan bermartabat.

Saya heran, Kurniawan mengaitkan kepiawaian Katamsi menulis dengan latar belakangnya yang pernah jadi wartawan. Barangkali ada sedikit benarnya. Tapi, tidak sepenuhnya benar.

Motif Kurniawan, kurang lebihnya, agar ketikbecusannya menulis dimafhumi karena dia bukan wartawan. Ini sikap apologis yang tidak bertanggung jawab dan harus diluruskan.

Barangkali yang dipahami oleh Kurniawan sebagai wartawan adalah mereka yang berprofesi sebagai reporter atau pemburu berita di media massa, lebih khusus lagi media cetak. Mereka yang kerjanya berkaitan dengan tulis-menulis berita.

Saya perlu katakan, setahu saya banyak sekali para reporter (wartawan) yang tidak becus menulis. Menulis dalam kerangka bercerita atau menyampaikan opini terhadap suatu masalah. Apalagi reporter-reporter yang bekerja di media cetak lokal. Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai reporter, namun tidak memiliki kemampuan menuliskan laporan jurnalistik yang deskriptif dan efisien. Bukan cuma itu, termasuk juga menggunakan tanda baca dengan benar.

Bung, problematika menulis pada seseorang bukan pada kemampuan teknis dan penguasaan diksi semata. Namun, yang menjadikan suatu tulisan menjadi menarik untuk disimak adalah pada penyajian informasi dan penggiringan imajinasi pembaca. Jadi, masalah utama menulis adalah pada kemampuan berpikir seseorang. Kalau tidak bisa mikir, tidak bisa nulis.

Media-media massa besar biasanya mencari atau menerima penulis (wartawan) yang sudah jadi. Yang dibutuhkan kemudian adalah mengasah mereka menjadi wartawan yang handal. Mereka yang berhasil diterima sebagai wartawan di media cetak terkemuka pastilah orang tekun belajar dan giat dalam aktivitas tulis-menulis.

Para mahasiswa yang seusai kuliah menjadi wartawan --di media cetak terkemuka tentunya-- biasanya adalah pengelola majalah kampus dan semacam itu. Mereka juga sudah terbiasa menulis di media massa berupa artikel opini, karya sastra, dan sebagainya. Mungkin malahan sudah menerbitkan karya berupa buku sebelum bergabung dengan media tertentu.

Nah, kenapa mereka yang tidak bisa menulis bisa bekerja sebagai reporter? Di media cetak itu ada redaktur halaman, redaktur bahasa, dan sebagainya. Mereka yang disebut editor inilah yang menuliskan ulang laporan dari reporter ke bentuk berita yang lebih ringkas dan dimengerti.

Contohnya begini, Bung. Kalimat seperti "Katamsi menyurat kepada Kurniawan" oleh editor diringkas menjadi "Katamsi menyurati Kurniawan". Jumlah katanya berkurang, tetapi maknanya tidak berubah. Dan banyak lagi yang Anda bisa lakukan dengan kalimat bila tekun berlatih dan mengasah pikiran.***