Sabtu, 26 April 2008

Sayur Paku di Timur, Kelapa Biji di Selatan

‘’Berikan kekuasaan pada orang bodoh, dan masalah Anda akan datang dengan segera.’’

(Anonymous)

MEMBACA Harian Manado Post, 9 April 2008, tentang konsep ekonomi salah seorang calon kandidat Walikota Kotamobagu, yang mendapat dukungan seorang alumni Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), saya terbahak-bahak. Untunglah yang berkomentar bukan pengamat ekonomi, tetapi sekadar masyarakat biasa (yang mendukung kandidatnya).

Lain halnya bila sang komentator adalah pengamat ekonomi atau birokrat yang mengurusi perencanaan kota dan ekonominya; pasti saya sudah menangis dan bergulingan di lantai. Konsep yang didukung ngawur; apalagi komentar yang mendukungnya.

Konsep yang diajukan kurang lebih adalah agar ekonomi Kota Kotamobagu (KK) menggeliat, maka perlu dilakukan pemecahan keramaian (demikian yang ditulis Harian Manado Post). Pemecahan keramaian itu dicontohkan dengan pasar sayur-mayur didirikan di Kotamobagu Timur; sedangkan pasar hasil (komoditas) perkebunan di Kotamobagu Selatan –lanjutannya mungkin pasar ikan sebaiknya dibangun di Kotamobagu Barat dan pasar daging di Kotamobagu Utara.

Saya membayangkan penentang pertama konsep yang dianggap jenial itu adalah para ibu dan remaja putri yang bertugas di bagian penataan boga di seluruh keluarga yang tersebar di Kota Kotamobagu. Anggap saja jarak tiap pasar hanya 2-2,5 km; atau bahkan 500-750 meter. Kebiasaan para ibu dan remaja putri berbelanja, kurang-lebih adalah memulai dari urusan ikan, daging ayam, daging sapi, rempah-rempah dan sayur mayur, kemudian hasil perkebunan.

Anda bisa membayangkan Ibu saya yang sudah berusia lebih dari 60 tahun harus belanja lebih dulu di pasar ikan di Kotamobagu Barat; kemudian ‘’melesat’’ dengan bentor ke pasar daging di Kotamobagu Utara untuk membeli daging sapi; lalu ‘’terbang’’ –dengan bentor lagi— ke pasar sayur di Kotamobagu Timur membeli sayur paku; dan akhirnya ‘’meloncat’’ –lagi-lagi dengan bentor— ke pasar hasil perkebunan di Kotamobagu Selatan membeli buah kepala (kelapa adalah komoditas perkebunan) untuk menyantan sayur paku.

Kalau hal itu yang terjadi, saya yakin pemecahan keramaian yang dimaksud oleh calon kandidat Walikota dan alumnus FE UDK yang mendukung konsep itu, akan terjadi dengan meriah. Ibu saya –dan ibu-ibu mana pun serta remaja putri mereka— akan merepet sepanjang jalan; dan sekembalinya ke rumah bukan memasak melainkan memanggil tukang pijat refleksi karena tangan, punggung, dan kaki pegal tak karuan.

Saya yakin pula cepat atau lambat mereka akan menyumpah-serapahi siapa pun yang punya konsep ‘’jenius’’ itu! Bisa dibayangkan pula betapa ramainya lalu-lalang orang dan barang yang bergegas. Maklum, cakalang dan malalugis harus disegerakan penanganannya. Bila tidak, alamat melek dan urusannya adalah mesti menegak CTM sehari tiga kali.

Namun, tentu ekonomi akan bergulir cepat, terutama di kalangan para ‘’pilot dan penerbang’’ bentor. Dan, produsen balsem, minyak gosok, dan panimbur (campuran antara minyak kelapa panas dan bawang merah) yang menjadi senjata andalan para tukang urut.

Sekali lagi, dengan monografi dan geografi KK, tidak usahlah bicara konsep ekonomi yang sekadar dipetik dari awan dan bintang-bintang. Pasar komoditas perkebunan misalnya, apa pemahamannya? Apakah model pasar komoditas tradisional di mana ada komoditas yang dikumpulkan kemudian ditransportasikan? Atau model jual beli komoditas dalam pengertian modern, yang melibatkan teknologi tinggi dan pengetahuan khusus seperti pasar-pasar komoditas modern di kota-kota besar dunia seperti Singapura atau New York?

Kalau komoditas yang dimaksud sekadar untuk keperluan rumah tangga, ya, satu-dua biji kelapa untuk menyantan sayur paku; dua-tiga kg kopi untuk seduhan harian; atau tiga-empat karung langsat dari kopandakan; jual sajalah di Pasar 23 Maret. Tidak perlulah repot-repot membangun pasar baru yang pada akhirnya sebagian besar anggarannya cuma habis untuk fee dan keuntungan kontraktor.

Tetapi, anggap saja pasar komoditas (perkebunan) yang dimaksud berskala besar dan mampu menstimulasi ekonomi KK. Untuk model tradisional, di mana KK akan membangun pergudangan dan poin-poin distribusinya? Apa dibangun di Mongkonai seluas 250 hektar (apa ada tanah sebesar ini yang tersedia di Mongkonai), kemudian diangkut dengan truk ke Pelabuhan Bitung, sebelum dikapalkan ke wilayah-wilayah yang membutuhkan? Kalau pun ini pengertiannya, apakah komoditas perkebunan di KK dan daerah sekitarnya cukup tersedia untuk memenuhi pergudangan yang dibangun, agar syarat ekonomisnya terpenuhi?

Akan halnya model pasar komoditas modern, anak semester III Fakultas Ekonomi yang belajar ‘’setengah rajin’’ saja pasti akan terkaing-kaing kegelian membayangkan imajinasi ini.

Jadi, demikianlah, makin tinggi suhu politik menjelang Pikwako KK, kian banyak ide ajaib dan tak masuk akal yang disemburkan ke tengah publik oleh para calon kandidat dan pendukung-pendukungnya. Dan karena itu, percayalah, saya berani bertaruh, omong kosong hasilnya adalah omong kosong pula.***