Rabu, 02 April 2008

Ahmad Alheid: Meladani Keledai

Ahmad Alheid kembali mengomentari komentar Kurniawan S Basol dan posting saya, kali ini lewat email ahmad_attar73@.... Tentu komentarnya amat patut di-posting di blog ini. Bukan karena komentar itu menguntungkan saya, melainkan sebagai penghormatan terhadap dialog yang terbuka, bernas, dan saling mencerahkan.

Apakah Perlu Katamsi Meladeni Keledai?

Saya kira, Katamsi terlalu larut menanggapi “seekor keledai” --sebab hanya keledai yang suka terperosok ke lubang yang sama lebih dari satu kali karena kedunguannya. Walau, mungkin, tanggapan Katamsi tersebut akan jadi pembelajaran bagi banyak kedunguan yang tersebar di Kotamobagu.

Apa yang salah dari mengkritik? Apalagi yang dikritik merupakan perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pun penyampaiannya tidak dimaksudkan untuk menghujat, melainkan mempertanyakan secara kritis apa konsepsi yang hendak ditawarkan oleh orang yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin pemerintahan di Kotamobagu.

Bagi Katamsi, yang merupakan salah seorang warga Kotamobagu dan hampir semua sanak-keluarganya bermukim di Kotamobagu, adalah hal yang wajar jika melontarkan kritikan seperti artikel opini berjudul “Kota Bukan Ini, Bukan Itu”, yang dimuat di Radar Bolmong, Edisi II, Minggu I Maret 2008. Bahwa yang dikritik membicarakan nasib banyak orang yang punya ikatan darah dan emosional dengan dirinya, maka wajar dia memberikan reaksi kritis.

Menyorot para politisi yang bergentayangan di Kotamobagu saat ini adalah hak setiap orang dalam konteks demokrasi. Bahkan, demokrasi yang sehat membutuhkan sikap demikian. Kalau tidak ada lagi yang kritis, maka tidak ada lagi proses pendidikan politik untuk membawa masyarakat lebih rasional.

Bila masyarakat tidak dibangunkan dari “kesadaran naif” untuk memilih pemimpin secara kritis, maka komunikasi politik akan berjalan monolog. Komunikasi politik akan tersumbat oleh retorika dan propaganda yang justru tidak menolong kepentingan masyarakat secara substansial. Alasan inilah, saya kira, yang mendorong Katamsi mempertanyakan konsepsi yang bisa dipertanggungjawabkan dari “igauan” seorang bakal calon walikota -–atau bakal calon wakil walikota-- tentang “ekonomi kerakyatan”.

Bila memang teman-teman di Kotamobagu peduli dengan daerahnya, apa yang telah mereka lakukan untuk mendorong masyarakat bersikap kritis? Yang kita saksikan saat ini di Kotamobagu hanya tempik dan histeris pada hujatan dan tempelan kharisma. Hanya keriuhan pada slogan dan program yang tidak punya landasan konseptual yang kokoh. Sementara, kita tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Kotamobagu dan nasib masyarakatnya di masa datang dari tengah kegaduhan jelang pilkada tersebut.

Euforia dan emosi massa lebih dominan dan menenggelamkan harapan yang diinginkan dari semestinya kenapa pemekaran daerah itu dilahirkan. Yang saya maksudkan dengan harapan tersebut adalah pelayanan publik, penataan kota, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan daerah untuk pembangunan Kotamobagu secara berkelanjutan.

Mungkin, memang, keledai-keledai yang hadir di depan Katamsi harus ditanggapi semuanya. Biar mata mereka melek dan bisa membangunkan keledai-keledai lain di samping mereka. Barangkali, keledai di samping mereka ada juga yang siap-siap jadi calon walikota karena dirasuki narsisme yang akut.***