Minggu, 06 April 2008

Inimbalu’ in Politik (II)

Ketiga

Di masa itu, sebagai bocah yang ‘’manis-baik’’, saya menjadi langganan ilolok dari almarhum Nenek (Ibu dari ayah). Kesukaan terhadap memancing, mencari obatog, mencuri langsat, mangga, atau manggis milik orang di sekitar Panang, membawa saya ke tempat-tempat yang diyakini punya ‘’penunggu’’.

Entah karena terlambat makan, terlampau capek, atau karena takut dijewer Ibu, beberapa kali saya pulang dengan kondisi bagai kangkung layu: berkeringat dingin, pusing-pusing, gemetar, lemas, pucat, dan mual-mual. Di saat seperti itu, diiringi repetan kesal, almarhum Nenek dengan singgap mengambil pisau, mengadu dengan batu asah, dan mengusap-usapkan ke pundak saya ---lengkap dengan serenteng kalimat dalam bahasa Mongondow. Percaya atau tidak, beberapa saat kemudian, saya merasa bugar lagi.

Tentu mu'jizat ilolok tidak berlaku untuk fenomena yang bukan diakibatkan oleh inimbalu’. Dan itu terjadi satu hari, ketika entah –-saya tidak ingat persis alasannya—bersama adik dan beberapa sepupu saya membakar biji malacai (beberapa tahun kemudian saya baru tahu persis malacai ternyata adalah jarak yang minyak bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar). Seingat saya, ada seorang kawan yang mengatakan bahwa biji malacai bakar bisa bikin stone (di zaman itu kata ini berarti ‘’melayang enak’’).

Bayangkan tentang stone itulah yang membuat biji malacai bakar ini kemudian kami makan beramai-ramai. Rasanya mirip kacang mete. Untuk lidah dan leher remaja zaman itu, boleh dibilang: sedaaapppp! Apalagi ada janji stone-nya.

Setelah beberapa biji malacai masuk perut, tak lebih dari 30 menit, efek jahanam itu datang. Memang melayang, tetapi sengsara. Efek yang pertama menyerbu adalah mual, kemudian pusing, lemas, gemetar, berkeringat dingin, dan tentu saja pucat pasi.

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila segerombolan cucu pulang terhuyung-huyung. Nenek saya yang naik darah langsung bertanya, kemana cucu-cucunya seharian? Pertanyaan yang salah, apalagi kami dengan sembrono nongkrong di rimbunan pohon sagu dekat sawah Nenek, yang dianggap sebagai salah satu sarang demit di Jalan Amal.

Simpulannya, cucu-cucu sialan itu inimbalu’. Salah tempat di jam yang salah menyebabkan demit dan sedulurnya marah dan memberikan teguran keras.

Maka senjata pamungkas, pisau dan batu asah, pun dikeluarkan. Bahkan setelah punggung saya memerah karena berulang kali digosok dengan pisau, sengsara itu belum juga hilang. Malah muntah yang datang bagai badai. Nenek tak kehilangan akal. Pisau tidak mempan, parang yang keluar. Tak mempan pula, justru batu asah yang menipis. Parang diganti dengan goraka (jahe). Tak mempan juga. Goraka diganti rica Jawa (merica). Juga gagal total.

Jelas tak mempan, karena cuma roh halus atau demit tak waras yang mau berumah di biji malacai.

Untunglah siksaan biji malacai itu berakhir dengan turun-tangannya ayah saya, yang dengan tepat mendiagnosa bahwa anak dan keponakannya mabuk makanan. Obatnya sederhana: dimandikan, diberi makan, teh panas, dan perintah tegas penuh ancaman untuk naik ke tempat tidur. Setelah beberapa lama dihempas kiri-kanan, atas-bawah, oleh tempat tempat tidur yang bertingkah seperti kuda liar gila, akhirnya kami tertidur.

Bangun pagi adalah tantangan yang lain. Efek biji malacai bakar itu lebih biadab dari segentong bir. Kepala berat dan sakit bagai dipalu! Sejak itu pula saya bertekad tak akan menyentuh biji malacai bakar terkutuk itu.

Keempat

Merenungkan penyakit inimbalu’ in politik yang diidap kawan itu –dan juga sejumlah orang yang berkeluh-kesah ke saya dengan gejala yang sama--, saya kira pengobatannya membutuhkan dua pendekatan. Pertama, yang harus pinololok adalah para politikus yang saat ini di-inimbalu’ oleh setan politiknya. Dan caranya mudah, tidak perlu dengan pisau dan batu asah; parang, goraka, atau bahkan merica.

Menyadarkan mereka dari inimbalu’ in politik cukup dengan tempelengan keras sambil dibisiki ‘’ba kaca dulu’’; tak usah dihiraukan; atau yang lebih sopan: tak perlu diundang ke pesta pernikahan, khitanan, bahkan sekadar baca doa untuk perayaan 1 Muharram.

Kedua, cepat-cepatlah pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di lakukan. Saya jamin, bersama dengan berakhirnya Pilkada, banyak orang yang lebih lega menghadiri dan pulang dari pesta apapun. Bisa pula tidur lebih pulas dan bangun dengan segar-bugar.

Kalau toh masih juga merasa mual, pusing, lemas, gemetar, berkeringat dingin, dan wajah pucat pasi, tinggal dicek saja apakah kandidat yang dia dukung menang atau kalah; dan apakah dia tim sukses yang sudah menerima janji-janji sorga dari para kandidat.

Kalau kekalahan kandidatnya adalah penyebab, obat mujarabnya mungkin cuma ilolok dengan chain saw.***