Rabu, 02 April 2008

Kurniawan S Basol Ternyata Baru Telur Kodok

HARUS diakui, ternyata saya cukup sabar meladeni Kurniawan S Basol. Dan saya akan tetap sabar. Walau saya mulai menguatirkan jangan-jangan saya benar terlibat debat dengan orang yang ''tidak genap''.

Berdebat dengan orang ''meheng'' bukanlah dosa. Kalau pun ada kerugian, ya, waktu yang terbuang dan rasa malu. Saya bisa membayangkan orang-orang akan mengatakan: ''Masak Anda begitu bodohnya meladeni orang miring?''

Lagi pula, saya pikir, sampai pada posting Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu, saya akan berhenti. Tak tega rasanya ‘’mempermainkan’’ sang calon sarjana. Walau bagaimana pun, saya pernah di usianya; dan sah-sah saja orang muda melakukan kekeliruan.

Namun, membaca email-nya terakhirnya mendorong saya untuk terus merespons. Betapa berbahaya membiarkan ada orang muda yang mulai bertingkah seenak perut, benar sendiri, tetapi dengan pengetahun yang yang hanya setinggi pohon tomat. Lain soal kalau yang bersangkutan jenial dan jenius. Saya mungkin akan lebih toleran.

Di atas semua itu, toh blog ini milik saya; dan yang tidak lagi tertarik membaca, boleh-boleh saja melewatkan.

Tuan calon sarjana, saya tak habis terkagum-kagum menelisik kekeliruan Anda. Bukan hanya bahasa Anda yang makin kacau, tetapi subtansi (ingat kata ini?) yang ingin disampaikan kian tidak karu-karuan. Lebih parah lagi, dikaitkan dengan ‘’penemuan’’ beberapa kata baru yang dituliskan (sayangnya penempatannya keliru) –-contohnya kata ‘konotasi’’, yang seharusnya ‘’konotatif’’--, saya tidak heran bila Ahmad Alheid sampai pada simpulan bahwa saya berhadapan dengan keledai.

Sekali Lagi, Bahasa!

Seperti dua posting terdahulu, saya mulai dengan mengoreksi bahasa Indonesia yang Anda gunakan (anggap saja ini pelajaran menulis –-sebab ternyata di Perguruan Tinggi di mana Anda menimbah ilmu, yang katanya bukan untuk cari kerja, belajar bahasa saja Anda luput).

Pertama, kata ‘’penisbahan’’. Tuan calon sarjana, Anda pernah dengar ada buku yang namanya Kamus Besar Bahasa Indonesia? Atau buku lain yang namanya Kamus Umum Bahasa Indonesia? Baca dua buku itu dan cari di entry ‘’nisbah’’; Anda pasti tahu judul email (atau latihan tulisan yang Anda kirim) keliru besar.

Kedua, kata ''memotifasi''. Ini juga kekeliruan yang ampun --bisa membuat guru bahasa Indonesia saya mengerutkan kening berlipat-lipat. Tuan calon sarjana dengan bahasa Indonesia yang buruk, kata yang benar adalah ''memotivasi''. Kalau Anda tidak percaya, anggap saja PR baru, datangilah dosen bahasa Indonesia dan tanyakan soal kedunguan Anda ini.

Ketiga, kata ‘’konotasi’’ yang Anda gunakan untuk menjelaskan apa yang ditulis di Radar Bolmong, seharusnya bukan ‘’konotasi’’ tetapi konotatif. Tidak percaya, tanya dosen bahasa Indonesia Anda.

Dengan tiga contoh kekeliruan penting itu, apa yang diharapkan dari cara berbahasa; apalagi berpikir Anda? Apakah saya harus menurunkan derajat konotatif Anda dari berudu menjadi telur kodok, yang hanya jadi makanan nyamuk? Ayolah, percaya diri, sombong, dan besar ego, perlu ditopang oleh lebih dari sekadar nekad.

Tuan calon sarjana, bahasa yang baik, benar, dan tepat, bukan sekadar penting; tapi induk dari pengertian. Atau jangan-jangan Anda tidak paham apa yang saya sampaikan karena ''jurang pemahaman bahasa'' di antara kita? Bahwa yang saya tulis sebagai otak, Anda tangkap dan pahami sebagai dengkul, karena memang Anda sama sekali tidak paham bahasa yang saya gunakan? Bila itu yang terjadi, sungguh menyedihkan, sebab bahasa Indonesia yang saya gunakan menulis tergolong sederhana dan mudah dimengerti.

Sekali Lagi, Subtansi!

Berikut, apa subtansi yang Anda ingin sampaikan? Sekadar ingin berbantah dan berlatih menulis? Kalau untuk hal yang satu ini, saya akan dengan senang hati merekomendasi Anda ikut sekolah di Pena Indonesia atau Jakarta School (ini bukan nama dua jenis makanan, tetapi sekolah menulis dan berpikir kreatif). Saya jamin Anda akan lebih baik berbahasa Indonesia, menulis dengan baik, dan yang terpenting: lebih punya logika yang masuk akal.

Alasan bahwa menanggapi saya (termasuk dengan email) adalah latihan menulis, sungguh kekanak-kanakan. Kemana saja Anda selama ini? Kalau menulis (pelajaran paling dasar di sekolah formal) saja masih tertatih-tatih, bagaimana dengan cara berpikir benar?

Pun, kalau sekadar menyatakan bahwa saya lebih pintar menggombal, lebih berusia tua, dan bahwa tulisan saya –termasuk gelar-gelar ajaib yang saya sematkan untuk beberapa badut di Bolmong tidak ada gunanya sama sekali--, itu tidak menjawab substansi yang Anda gulirkan. Lagipula, saya memang tidak peduli apakah yang saya tulis berdampak atau tidak. Tapi faktanya, tidak ada yang bisa membantah dengan landasan dan argumen yang kokoh.

Perkara menggombal, untuk hal sederhana seperti gombal saja Anda tidak bisa, lalu apa yang dipelajari selama ini? Anda tahu, di negeri ini gombal adalah sesuatu yang ampuh, dan bahkan bisa jadi modal penting. Gombal pula yang membuat kebanyakan masyarakat kita gagal memilih pemimpin, karena modal mereka cuma gombal! Dan celakanya kebanyakan rakyat kita tak bisa membedakan mana gombal dan mana yang bukan; bahkan yang sudah sekolah di Perguruan Tinggi seperti Anda, misalnya.

Maka pertanyaan subtansial ke Anda adalah: Sadarkah Anda bahwa semakin Anda mencari-cari cara untuk membela diri, Anda makin terjerat? Bahwa Anda tidak menjawab -–apalagi meminta maaf—terhadap masalah subtansial, di mana Anda melekatkan ‘’Komedian Kasino’’ ke saya tanpa landasan dan argumentasi yang kokoh?

Sekali Lagi, Dungu!

Yang paling menggelisahkan saya (ekspresi yang lebih jujur adalah campuran antara geli dan haru karena membaca kebebalan), Anda juga memelintir satu rangkaian kalimat dengan menggunakan asumsi yang keliru. Premis mayor dan minor menurut definisi Anda. Ampun, sebegitu cupetnya-kah otak Anda hingga masalah yang terang-benderang menjadi amat sangat sukar dipahami?

Luar biasa benar tuan calon sarjana kita ini; yang mencoba mengajari saya bagaimana berpikir dengan logika yang benar.

Anda mau bukti? Kecupetan itu terbukti dari simpulan bahwa saya buaya tidur, yang karenanya tak paham sama sekali masalah di Kotamobagu. Ada dua hal yang sangat keliru, tuan calon sarjana. Pertama, buaya yang saya tuliskan dalam konteks mengingatkan Anda. Kedua, apa dasar dari generalisasi yang Anda simpulkan itu?

Sekadar mengingatkan kembali, saya sudah menuliskan ‘’kodok’’ dan kemudian ‘’berudu’’ untuk menggambarkan cara berpikir Anda, tuan calon sarjana. Apa makna konotatif ini harus saya jabarkan lagi? Masak untuk hal sesederhana ini Anda tidak ‘’nangkap’’ juga.

Akan halnya saya paham atau tidak problematika di Kota Kotamobagu, justru seharusnya itu menjadi pertanyaan untuk Anda: Apakah modal berpikir Anda sudah cukup untuk memahami problematika di Kota Kotamobagu? Sebab problem bahasa dan logika saja Anda sudah gagap, apalagi masalah ‘’tinggi’’ yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Sekali Lagi, Akhirnya!

Akhirnya, dengan penuh simpati dan empati saya menutup posting ini dengan kembali mengingatkan, bahwa saya tidak keberatan terus-menerus meladeni Anda. Bagi saya, ini kerja sosial agar satu anak Mongondow lagi bisa dilepaskan dari ‘’zaman kegelapan’’ yang melingkupi kepalanya. Bahkan kalau pada akhirnya saya ternyata memang berdebat dengan ''orang yang kurang genap'', anggap saja lalu-lintas wacana ini terapi untuk Anda.

Tetapi, simpati dan empati ini dibarengi dengan peringatan: Saat saya menulis posting ini, hati saya sedang riang. Banyak yang saya maafkan, sebab email Anda yang juga saya posting-kan cukup menjadi penjelas siapa di antara kita yang keledai dan siapa yang pawang keledai.

Sebab itu, mari kita tutup posting ini dengan harapan saya tidak sedang menulis untuk pohon kelapa atau pohon pisang. Sebab kalau Anda tidak paham juga, Anda harus saya tuliskan seperti apa lagi setelah kodok, berudu, telur kodok, dan keledai –- sebutan yang satu ini datang dari Ahmad Alheid?

Bukankah sungguh merepotkan bila seluruh flora dan fauna di National Geographic harus saya tuliskan satu per satu untuk menggambarkan cara berpikir Anda?***