Minggu, 06 April 2008

Inimbalu’ in Politik (I)

Pertama

BERHARI-HARI saya menelisik macam-macam buku tentang politik dan penyakit, mencari tahu apa nama penyakit dengan gejala berkeringat dingin, pusing-pusing (beberapa diiringi gemetar), lemas, pucat, mual, dan gatal-gatal, akibat gebyar kampanye calon Walikota dan Wakil Walikota yang kini marak di Kota Kotamobagu. Sekali pun ditambah dengan setumpuk buku psikologi, nama penyakit ajaib ini gagal saya temukan.

Mengapa saya harus menyiksa diri sendiri dengan urusan yang sebenarnya bisa dipersetankan itu? Beberapa SMS, telepon, dan email dari teman dan kerabatnya penyebabnya.

Salah seorang teman, menjelang tengah malam saat saya dalam perjalanan dari bandara ke rumah setelah penerbangan panjang, menelepon dengan nada seperti kain pel habis digunakan mengepel lantai lapangan basket. Lebih baik saya tuliskan dalam bahasa Indonesia, mengingat percakapan kami dilakukan dalam bahasa Manado campur Mongondow. Kurang lebih dia memulai dengan, ‘’Bung, Anda egois. Anda cuma bisa mengkritik, tetapi takut merasakan sendiri suasana di Kotamobagu saat ini. Kalau berani, seharusnya lebih sering pulang dan bergaul.’’

Saya nyaris naik pitam. Sungguh tuduhan yang semena-mena. Dengan menyabarkan diri, saya bertanya, ‘’Ada apa? Mengapa saya mesti takut?’’

‘’Anda takut karena memang pengecut!’’

Wah, ini namanya cari gara-gara. ‘’Apa maksudnya?’’

‘’Anda takut karena Anda tidak sekuat saya yang masih berani hadir di pesta pernikahan, khitanan, atau sekadar selamatan di Kota Kotamobagu, yang saat ini lebih banyak dipenuhi nyanyi-nyanyi kampanye calon Walikota dan Wawali dari pada doa atau permohonan berkat dan keselamatan dari-Nya.’’

O, masih urusan politik rupanya? Tak urung, walau pun lebih tepat disebut ‘’nyengir’’, saya merasa bibir saya tersenyum lebar. ‘’Bukankah teman-teman dan kerabat di Kota Kotamobagu bisa menikmati aksi a la Indonesian Idol atau Dangdut Mania itu? Bahkan banyak yang menyukainya?’’

Saya mendengar gigi menggeretak di kejauhan sana, kemudian dengan nada jengkel kawan itu menukas, ‘’Siapa bilang? Terakhir kali, saya keluar dari pesta dengan keringat dingin, kepala pusing, lemas, dan mual. Yang pertama terlintas, jangan-jangan saya keracunan makanan seperti yang banyak diberitakan. Apalagi sampai di rumah, orang rumah bilang wajah saya pucat….’’

Saya memotong dengan cepat, ‘’Seperti inimbalu’?’’

‘’Persis! Persis betul!’’

‘’Iya, tapi apa pasal? Jangan-jangan benar itu inimbalu’?’’

‘’Sama sekali bukan. Saya kira karena apa yang saya saksikan dari totumba’an (kata ini sulit saya terjemahkan ke bahasa Indonesia) para calon Walikota dan Wakil Walikota itu sama sekali tidak masuk akal. Konyol! Lagipula, kalau inimbalu’, setelah ilolok, pasti sembuh. Atau kalau keracunan, cukup dengan CTM, urusan selesai. Ternyata tidak, sebab di pesta yang lain, dan yang lain lagi, saya juga pulang dengan kesengsaraan yang sama setelah mendengar pidato dan nyanyi-nyanyi dari para calon Walikota dan Wakil Walikota,’’ katanya, seperti rentetan tembakan M16.

Lama saya tercenung. Akhirnya penyakit yang menyeramkan, yang pernah saya gambarkan lewat posting Musim Politik pun Tiba, bisa dinamai. Namanya: Inimbalu’ in Politik.

Kedua

Bagi orang Mongondow, terutama yang berpendidikan tinggi, inimbalu’ barangkali adalah fenomena mistik yang perlu dikikis habis, karena cenderung tidak masuk akal. Gara-gara berteriak-teriak dan tertawa riuh-redah di bawah pohon beringin, atau dekat batu besar di kompleks kuburan, lalu mendadak kita berkeringat dingin, pusing-pusing, gemetar, lemas, pucat, dan mual-mual. Dan ajaibnya, penyakit ini cukup diobati dengan mengosokkan pisau atau parang dengan batu asah (bahasa Mongondownya tolisad atau pitow), kemudian menggosokkan ke punggung sang penderita diiringi sejumlah kalimat. Hasilnya, beberapa saat kemudian sang pengidap sehat wal afiat.

Dengan nama yang berbeda (dan kerap tidak persis sama), masyarakat dari kebudayaan berbeda mengenal kesambet; yang maksud dan manifestasinya mirip dengan inimbalu’. Yang jelas, inimbalu’ bukan kerasukan; bukan pula akibat santet.

Mengenang kembali masa kecil di Jalan Amal –dulu masyarakat Mogolaing menyebutnya ‘’Panang’’—, saya tak bisa meniadakan bahwa saya percaya pada fenomena itu. Bahkan setelah mencicipi Perguruan Tinggi, kemudian melanglang melihat dunia di luar yang modern dan canggih, sebagai orang Mongondow inimbalu’ tetap ada di alam sadar dan bawah sadar saya.

Panang tempoe doeloe adalah tempat yang dikesankan ‘’menyeramkan’’. Ada legenda roh gentayangan; ada tangis bayi yang setiap malam Jumat pas pukul 12 teng melintas di samping rumah orangtua saya (ini merindingkan bulu kuduk kami anak-anak, sekaligus penanda waktu sudah tengah malam); dan sepeda motor yang melaju di atas saluran irigasi ke sawah Nenek yang bunyinya terdengar tetapi sepeda motornya tak ada. Pokoknya, lebih menantang dari film Ghost Rider.

Urban legend itu masih ditambah dengan rimbunan bambu yang menutupi cahaya bulan dekat jembatan di jantung Jalan Amal yang ''katanya'' didiami mangkubi'; pohon kapuk tua sepelukan empat orang dewasa dekat rumah orangtua saya yang dihuni jin; ratusan tulang-belulang yang tersebar di Base Camp (sekarang Jalan Cendana); dan hamparan sawah yang di malam tanpa bulan hanya menyajikan kegelapan pekat.

Pokoknya Panang di masa kanak-kanak saya adalah tempat ideal untuk menguji nyali! Melintasi Jalan Amal dari ujung ke ujung di malam Jumat, tanggal 13, Kliwon pula, bisa membuktikan apakah seorang laki-laki adalah laki-laki atau bukan.***