Sabtu, 26 April 2008

Berpolitik Tanpa Investasi Politik (I)

JUMAT, 25 April 2008, saya membuka-buka situs media terbitan Manado dan menemukan serangkaian berita menarik dan memprihatinkan berkaitan dengan Pemilihan Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK).

Menarik karena Ketua DPD I Partai Golkar (PG) Sulut (partai yang menguasa mayoritas kursi DPR KK), Jimmy Rimba Rogi, ‘’mengumumkan’’ bahwa dari hasil jajak pendapat partainya sudah memutuskan mencalonkan Syarial Damopolii sebagai Calon Walikota KK. Patut diacungkan dua jempol untuk Syarial Damopolii yang juga Ketua DPR Sulut, yang --sepengetahuan saya— hampir 1,5 tahun terakhir gigih mengkampanyekan diri sebagai Calon Walikota KK.

Lepas dari sejumlah kritik yang semestinya dilontarkan terhadap Syarial Damopolii, saya mengucapkan selamat. Apa yang ditanam, itulah yang dipetik. Suka atau tidak, Syarial Damopolii telah bekerja keras --dengan segala kelebihan dan kekurangannya— agar warga KK bersedia mendukung pencalonannya sebagai Walikota.

Sebagai orang Mongondow yang bukan simpatisan, apalagi anggota PG (saya yakin PG tidak akan menerima saya sebagai anggota partai, sebagaimana PKS --ketika itu masih bernama PK—menolak dengan tegas keinginan saya untuk menjadi anggota), saya harus mengakui bahwa sebagai partai –-dalam konteks pencalonan Walikota KK-- PG mampu bersikap tegas. Lebih penting lagi, menunjukkan penghargaan terhadap kader dan kerja kerasnya.

Berbanding terbalik dengan PG, justru saya terkaget-kaget dan tak percaya membaca bahwa Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Sulut menyatakan pihaknya tidak akan menanda-tangani calon yang diajukan bila bukan Djelantik Mokodompit sebagai calon Walikota dan Hamdi Paputungan sebagai calon Wakil Walikota. Semoga pernyataan ini sekadar ‘’keseleo lidah’’; bahkan salah kutip belaka (bukan rahasia lagi kalau banyak berita di media cetak Sulut tak lain cuma imajinasi wartawannya); atau cuma gambaran panic mode sesaat karena PAN Sulut tak tahu langkah apa yang harus diambil berkaitan dengan Pilwako KK.

Sungguh saya berharap pernyataan itu tidaklah keluar dari mulut Ketua DPW PAN Sulut.

Pertama, sejak era kepemimpinan Ketua DPW I PAN Sulut saat ini, saya jatuh hati dengan langkah dan gerak partai ini. Utamanya sebab tampilnya anak-anak muda sebagai pemimpin di hampir semua DPD II PAN. Dan juga kaum perempuan. Hal ini, harus diakui, sedikit-banyak dipengaruhi pula oleh Ketua DPW-nya yang seorang perempuan sekaligus berusia muda.

Di mata saya tampilnya anak-anak muda di pucuk pimpinan PAN di Sulut, apalagi umumnya punya riwayat ‘’bersih’’ dalam berpolitik, adalah kabar baik untuk arah politik yang lebih kreatif, yang ‘’bergaya baru’’, di tengah begitu banyaknya kabar buruk perpolitikan di provinsi ini. Dan fakta ini harus diapresiasi setinggi-tingginya.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para politisi tua yang bangkotan di partai dan legislatif, bukanlah harapan yang patut dioptimisi selama ini. Dengan otak, kreativitas, dan perilaku ‘’gaya lama’’ yang mereka terapkan dalam berpolitik; perubahan mencolok yang terjadi hanyalah mereka punya rumah lebih besar, mobil lebih banyak dan mewah, perut lebih gendut, dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang makin amburadul.

Kedua, karena para pemimpin PAN di Sulut umumnya anak muda yang berpendidikan cukup tinggi, harusnya mereka tahu bahwa partai yang kokoh adalah yang mampu merumuskan sistem dan proses pengkaderan yang sehat. Pula, bahwa sistem politik di negeri ini centang-perenang salah satunya diakibatkan oleh sistem dan proses pengkaderan yang tak sehat. Hanya karena target jangka pendek, semisal menang di Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Bupati (Pilbub), atau Pilwako, kamudian yang ditempuh adalah jalan potong: pragmatis dengan menjagokan kader dari partai lain dengan mengorbankan kader sendiri, bahkan juga nilai tawar dan harga diri partai.

Ketiga, sejalan dengan dua alasan di atas, saya menaruh harapan besar bahwa dengan dipimpin oleh kalangan muda yang terdidik, PAN di Sulut harusnya memahami bahwa politik adalah proses panjang; di mana dibutuhkan ‘’investasi politik’’ yang setelah diuji oleh waktu dan konsistensi akan mengedukasi konstituen mengapa mereka harus memilih partai tertentu sebagai saluran aspirasi politiknya.***