Sabtu, 22 November 2008

Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan (Komentar untuk Salim Landjar) ini pernah dipublikasi di Harian Komentar pada Sabtu, 17 November 2007; Senin, 19 November 2007; dan Selasa, 20 November 2007.


’Apa yang tak tersembuhkan harus terus dipikul.’’
(Antonio Skarmeta, Il Postino, Miramax Book, 1995)

LEBIH tiga tahun lampau di Bolmong beredar t-shirt bertuliskan ’’seburuk-buruk pekerjaan adalah menjilat Bupati’’. Tulisan di t-shirt ini tak hanya membetot atensi banyak orang yang berbondong mengenakan; tapi mengundang kemarahan sejumlah pihak (entah dengan alasan apa). Bahkan juga ikut campurnya Polres Bolmong menyelidik asal muasalnya –termasuk ‘’menginterogasi’’ pemakainya (yang ajaibnya entah dengan alasan apa pula).

Saat itu, akhir 2004, Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan sudah memasuki tiga tahun masa pemerintahan. Dan makin nyata memimpin Bolmong seperti apa; di kelilingi orang-orang seperti apa.

Tulisan Salim Landjar di Harian Komentar , Kamis (8/11) dan Jumat (9/11) November 2007 (Mengomentari Sukses APP: Antara Kecerdikan Bunda MMS dan Kecerdasan BKG), adalah contoh terkini ‘’orang-orang seperti apa’’ yang ada di sekitar Bupati Bolmong. Bahkan juga kebudayaan berpikir macam apa yang mewabah di daerah ini.

Menjilat, sebagaimana pepatah yang dikutip Antonio Skarmeta, mungkin memang sudah jadi penyakit yang harus dipikul generasi Bolmong cukup lama. Bahkan bagi kebanyakan mereka yang terlanjur mengidap, bisa jadi tak pernah tersembuhkan lagi.

Sebagai obyek yang dikupas-tuntas oleh tulisan Landjar, kendati malas menanggapi (sebab tong aspal, dengan difinisi apa pun, tetaplah tong aspal) dan juga karena capek tertawa, terpaksa harus saya respons. Paling tidak agar yang bersangkutan bisa punya gambaran mana fakta dan mana imajinasi; sekali pun saya pasimis Landjar bisa membedakan keduanya dengan baik.

Pertama, hanya dengan membaca dua aline pertama, bisa disimpulkan penulis artikel itu bukanlah Salim Landjar. Penulis yang sesungguhnya terbiasa menulis, paling tidak sejenis liputan berita. Namun, penggunaan kata, alur kalimat, serta logikanya yang tidak linier, menunjukkan sang penulis hanya pantas mendapat angka paling tinggi 3,5 dari skor 10. Kalau dia wartawan, pasti wartawan yang sangat buruk. Cuma bisa menulis berita penuh puja-puji dan kutipan yang dimanipulasi. Kalau dia penulis fiksi, paling jauh, ya, cerita mesum picisan.

Kedua, saya kagum dengan klaimnya sebagai pemerhati, bahkan pengamat, kritik-kritik yang saya lontarkan—yang seluruhnya dipublikasi di Harian Manado Post dan terakhir Posko-- ke pemerintah, birokrat, dan politikus (bukan Marlina Moha-Siahaan pribadi) di Bolmong. Pembaca yang mengikuti isu-isu yang dirujuk, tahu persis tidak ada perang pena. Yang ada adalah kritik dibalas dengan serangan pribadi terhadap pengkritik. Lagipula, bagaimana mungkin kelinci perang melawan gajah?

Lebih tepatnya, sejumlah orang berperang dengan kuntilanak yang mereka ciptakan di satu sisi; dan saya mengomentari kengawuran mereka (sambil tertawa-tawa) di sisi lain.

Kekaguman lain adalah keluangan waktu yang dimiliki penulis di belakang Landjar dan pentingnya memperhatikan dan mengamati Katamsi Ginano; melebihi kepentingan memperhatikan dan mengamati fakta-fakta sosial, ekonomi, dan budaya di Bolmong. Bahwa, misalnya, berkaitan dengan isu-isu yang mengemuka: Boki Hotinimbang hanya bu’a; Abraham Sugeha hanya raja antara; dan boki kolano inta nolintak kon totabuan adalah gelar karangan yang bisa berarti ’’banci’’; juga patung berhias gambar Bupati Bolmong adalah proyek (yang konon bernilai Rp 500 juta) yang pendiriannya di luar akal sehat.

Memperhatikan dan mengamati ’’cara berpikir’’ Katamsi Ginano juga lebih penting dari ‘’centang-perenangnya’’ pembangunan di Bolmong, termasuk APBD-nya yang sungguh ‘’ajaib’’. Lebih penting dari memperhatikan dan menganalisis perbandingan penggunaan anggaran negara, milik orang banyak, untuk mobil dinas birokrat dan DPR dengan subsidi terhadap rumah tangga sangat miskin (RTSM). Lebih penting dari, misalnya, memperhatikan dan mengamati bahwa anggaran pemeliharaan mobil dinas Bupati bisa senilai Rp 900 juta sementara subsidi harga obat untuk kalangan tidak mampu hanya Rp 8 juta.

Mengagumkan pula bahwa yang habis-habisan ditelisik hanyalah soal ’’kecerdasan’’ Katamsi Ginano. Lalu mana kecerdikan MMS? Apakah yang dimaksud cerdik adalah mengerahkan polisi untuk mengusut t-shirt olok-olok; memobilisasi orang-orang yang menulis serangan pribadi dan bukan substansi; konferensi pers dari petinggi partai untuk menyerang pribadi; hingga gertakan dan ancaman fisik? Kalau itu disebut cerdik, seperti apa yang namanya bodoh?

Kalau saya ikut menyerang pribadi, misalnya mempersoalkan hidung pesek versus hidung mancung hasil operasi plastik, mungkinkah bisa masuk kategori cerdik?

Penulis di belakang tulisan Landjar sungguh-sungguh minim refensi hingga terlalu jauh meracau, mencampur-aduk kebodohan dan kebebalan yang dibungkus penyalahgunaan kekuasan; dengan kecerdasan strategi publikasi atau sejenisnya. Sama dengan pengandaian komentator tidak perlu ditanggapi oleh yang dikomentari. Pikiran kok disamakan dengan kontes sepakbola?

Komentator yang masuk di tengah lalu-lintas ide yang sedang diwacanakan adalah juga ’’pemain’’. Berkilah bahwa mengomentari ’’pemain’’ lain adalah buang energi, jelas alasan yang tidak genah.

Namun, di atas semua itu, saya kagum karena penulis dengan lugas menunjuk hidung Hatta Sugeha, ZA Lantong, Yahya Fasa, Herson Mayulu, Sumardiah Modeong, Bachruddin Marto, hingga Jenli Taturu sebagai ’’penjilat’’ Bupati Bolmong. Pun bahwa anggota DPR Bolmong lebih suka bergosip saat sidang daripada membahas nasib rakyat. Saya panasaran, apa reaksi orang-orang ini nantinya, ya?

Ketiga, bahwa kritik saya membantu mempublikasikan kekonyolan pemerintah dan politikus Bolmong. Wah, di antara semua analisis ngawur, ini yang cukup mendekati kebenaran. Buktinya di Pilkada lalu MMS kalah di tiga dari empat kecamatan yang kini masuk Kota Kotamobagu. Artinya, di komunitas terdidik dan membaca koran, publik tahu persis sikap yang harus diambil. Bahkan sekali pun setahun sebelum Pilkada saya sama sekali berhenti menulis di media massa di Sulut.

Sayang, analisis itu dikacaukan dengan pernyataan bahwa kritik-kritik yang saya sampaikan tidak mendapat dukungan. Penulis di belakang Landjar perlu menelepon Harian Manado Post dan Posko untuk mendapat data akurat. Setahu saya, dua harian ini, tempat polemik antara saya dan pro Bupati Bolmong dilakukan, berupaya mengikuti standar etika umum: yang diserang bukan kritik atau ide saya, tetapi saya pribadi, maka sayalah yang harus menjawab. Tidak perlu dukungan pihak lain, yang secara pribadi sama sekali tidak terkait.

Lagipula dalam perkara tulis-menulis dan tukar ide, tidak ada urusan dukung-mendukung. Ini bukan kampanye pemilihan RT, kepala desa, atau bupati dan walikota. Sekali pun saya dengan gampang meminta para sahabat untuk menulis dukungan (dan mereka dengan gratis dan senang hati melakukan); atau yang terburuk meminjam nama orang lain seperti nama Salim Landjar, misalnya.

Keempat, penulis di belakang Landjar juga terjebak pada manipulasi dan khayalannya sendiri, terutama sejarah Abraham Sugeha; dikaitkan dengan tokoh-tokoh Bolmong seperti Oe. N. Mokoagow, J. A. Damopolii, Jenderal Mokoginta, atau sederet nama lain yang disebutkan dalam tulisannya. Polemik saya dengan saudara Hatta Sugeha (yang dilakukan di Harian Manado Post) berkenaan dengan penggantian nama RS Datoe Binangkang tidak pernah mengkonklusi bahwa tokoh-tokoh itu adalah anak-temurun (langsung) Abraham Sugeha.

Dari bintang dan planet mana penulis di belakang Landjar memetik khayalan itu?

Yang tertulis dan terdokumentasi saja dimanipulasi; apalagi yang tidak. Namun, saya tidak heran, sebab tampaknya para pro Bupati Bolmong memang punya kecenderungan yang sama: gemar berhalusinasi.

Kelima, geli rasanya membaca ajakan mempopuler singkatan nama saya. Ajakan itu dapat ditafsir sebagai ejekan, atau bisa pula pujian –yang rasanya terlampau berlebihan hingga terjerambab menjadi penjilatan. Saya tidak butuh popularitas; sebagaimana kebanyakan pejabat publik dan politikus saat ini yang kian gemar menyingkat nama agar ’’aneh’’ dan keren’’ serta memajang poster wajahnya di banyak tempat, sekadar supaya merasa populer. Lagipula inisial ’’KG’’ bukanlah hal baru; sebab saya sudah menggunakan bertahun-tahun yang lalu saat masih menjadi jurnalis. Hingga, meminjam kalimat ’’anak baru gede’’: ’’Ke mana aja ente?’’

Yang terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan pernyataan Samuel Johnson yang dinukil Thomas A Stewart (Intellectual Capital: The New Wealth of Organizations, Doubleday, 1997), yang mengemukakan: ’’Pengetahuan ada dua macam. Kita sudah tahu subyeknya, atau kita tahu di mana kita mendapat informasi tentang subyek itu’’.

Saya tahu siapa Bupati Bolmong; orang-orang di sekitarnya; termasuk Salim Landjar dan penulis di belakangnya. Dan saya juga tahu di mana mendapatkan informasi tentang mereka.***