Jumat, 21 Maret 2008

Larangan di Singapura, Penghematan di Bolmong?

HUJAN mengguyur Singapura, Kamis pagi, 20 Maret 2008. Di Cafe Goerge, Le Meridien Hotel, Orchard Road, saya tak bisa menahan gelak membaca headline Harian The Straits Times.

Koran terkemuka ini memajang judul ''Ministry wants doctors to stop 'aesthetic' treatments" dengan mengutip pernyataan Direktur Regulasi Kementerian Kesehatan Singapura, Dr Tan Chor Hiang. Bersama judul provokatif itu, disertakan ilustrasi bertuliskan "Skin Whitening", "Mesotherapy", dan "Colon Cleansing" dibubuhi tanda X merah besar; yang berarti dilarang.

Pernyataan Dr Tan mendapat dukungan dari Ketua Komite Kesehatan Parlemen Singapura, Ny Halimah Yacob. Apalagi Dr Tan juga menegaskan, "Tanpa pembuktian ilmiah yang memadai, tidak akan diketahui apakah praktek pengobatan estetik itu akan menimbulkan bahaya jangka menengah atau panjang."

Bagi Singapura, negara yang hanya mengandalkan "kelangsungan hidupnya" dari bisnis (terutama jasa), larangan itu berdampak tidak sederhana. Untuk jasa kesehatan estetik saja, diprediksi uang yang berputar tak kurang dari 200 juta dolar per tahun (paling tidak jumlah ini yang resmi terdata); dengan melibatkan lebih dari 1.000 dokter umum dan dokter ahli yang menjajakan layanan ini.

Melarang praktek jasa kesehatan estetik, bagi Singapura, adalah menghalangi perputaran duit dalam jumlah besar; sekaligus mereduksi kesempatan kerja bagi ribuan orang yang terlibat di dalamnya.

Tapi di balik itu, tindakan Kementerian Kesehatan justru amat sangat patut dipuji. Bahwa, di atas aspek bisnis (yang berarti keuntungan finansial), ada tanggungjawab moral dan etik yang ditegakkan. Menjadi cantik, berhidung mancung (dengan --maaf-- dada montok), kulit putih dan kencang, serta tubuh yang "sempurna" tidaklah haram; tetapi tidak dengan jalan pintas; apalagi dengan metode medis yang secara ilmiah tidak teruji ketat.

Namun, yang membuat saya tergelak --sekaligus membingungkan dua kolega yang pagi itu sarapan bersama-- adalah membayangkan dampak larangan Menteri Kesehatan itu pada ribuan perempuan di Indonesia, utamanya mereka yang jadi pelanggan imej muda dan "cantik", dan terlebih khusus untuk sejumlah perempuan di Bolmong.

Apa hubungannya?

Saya teringat pemberitaan Harian Posko Manado beberapa bulan lalu, berkaitan dengan perawatan kesehatan estetik; dimana ada sejumlah "orang penting" di Bolmong yang jadi pelanggannya. Ya, tentu saja tak jauh dari permak hidung, bikin putih kulit, menghilangkan kerutan di dahi dan pelupuk mata, hingga menegakkan kembali payudara yang sudah kendor (sebenarnya sejalan dengan usia masalah ini alamiah belaka).

Kebanyakan konsumen perawatan kesehatan estetik dari Bolmong memang adalah pelanggan dokter (atau salon kecantikan yang membuka layanan ini) di Jakarta. Tapi, ada sejumlah orang yang punya duit (terutama yang bersangkutan --atau suaminya-- punya posisi politik atau birokrasi "basah"), yang berlangganan di Singapura.

Yang lucu dari perawatan kesehatan estetik adalah: konon (karena saya belum pernah mencoba dan tidak pernah ingin istri saya mencobanya) prosesnya harus terus-menerus dilakukan. Kalau tidak, bisa saja hidung mancungnya bisa perlahan-lahan bengkok; kulit yang sudah putih jadi hitam lagi; kerutan kembali di dahi dan pelupuk mata; atau yang sebelumnya kendor, kembali kendor dan bahkan bisa lebih buruk lagi.

Larangan perawatan kesehatan estetik oleh Kementrian Kesehatan Singapura (walau masih diimbuhi yang keabsahan ilmiahnya belum teruji), tentu jadi kabar buruk. Menjadi ancaman serius terhadap kecantikan para pelanggannya yang berkonsekwensi pada tergoresnya harga diri. Apa kata dunia kalau yang sekarang tampak "cantik" dan sempurna satu-dua bulan ke depan tiba-tiba kempot dan berantakan, gara-gara kebijakan stop total perawatan kesehatan estetik itu?

Memang perawatan sejenis mungkin saja dialihkan ke Jakarta, misalnya. Tapi saya yakin cepat atau lambat pelarangan oleh Singapura akan berdampak ke dokter dan klinik sejenis di Indonesia. Ini berkaitan dengan suplai peralatan atau bahan baku yang digunakan, yang bukan rahasia lagi umumnya didatangkan dari Singapura.

Kecuali kalau dokter atau salon di Indonesia (dengan etika, moral, dan standar yang biasanya longgar dan payah) yang masih mempratekkan perawatan yang dilarang di Singapura, mengalihkan supplay chain-nya ke Cina, misalnya. Namun, bila itu terjadi, para konsumen pantas waspada, sebab permen Cina saja banyak yang mengandung bahan kimia berbahaya, apalagi sekadar bahan baku perawatan kesehatan estetik yang tidak sangat penting bagi penyelamatan jiwa manusia (kecuali karena sekadar ingin penampilannya sempurna di mata orang lain). Bisa-bisa niat jadi cantik malah mempercepat tiket ke dunia lain.

Lalu apa skenario terbaiknya?

Pertama, berhenti berlanggan perawatan kesehatan estetik yang tidak masuk diakal itu. Ini tentu menjadi kabar baik, karena sekaligus menghemat anggaran yang seharusnya tidak perlu (apalagi kalau biayanya hasil korupsi atau memalak kontraktor proyek-proyek pemerintah di daerah).

Anggap saja langkah ini adalah bagian dari keprihatinan terhadap kondisi ekonomi negeri ini. Atau, kalau mau lebih heroik, mendukung kampanye anti korupsi dan penghematan nasional.

Konsekwensinya memang agak menyakitkan hati bagi pelanggan yang bersangkutan: Pasti perlahan-lahan tak tampak elok lagi, dan seterusnya tentu mengundang gunjingan dan tanda-tanya orang sekitar. Malunya itu yang tentu tak kuat ditanggung.

Kedua, dan ini sejalan dengan yang pertama, yaitu: Bagaimana kalau pakai saja baju tertutup, lengkap dengan cadar? Dengan begitu hidung yang jadi miring atau kulit kisut dan hitam karena tak dirawat lagi, pasti tak akan nampak.

Orang tentu tak akan mempertanyakan. Paling-paling mereka berspekulasi yang bersangkutan menjadi lebih fundamentalis dalam beragama.

Tak apa, bukan? Sebab bukankah agama memang suka dijadikan kedok selama ini, termasuk di Bolmong.***