Jumat, 15 Februari 2008

Jangan Datang atau Titip Salam

Ditulis pada 11 November 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


STABILITAS politik dan pemerintahan apa yang mungkin terganggu sebab dipicu silaturahmi Idhul Fitri? Bisakah sekumpulan orang berbaju terbaik, semerbak wangi, di hadapan minuman dan panganan enak, menyempatkan diri memikirkan penggulingan pemerintahan?

Belum pernah ada kejadian binarundak (nasi jaha, nasi jahe) jadi musabab tindak subversif; atau kue mentega dan minuman ringan mendorong orang berkonspirasi melawan rezim yang berkuasa. Sepengalaman saya, kalau toh silaturahmi Idhul Fitri membawa akibat buruk, tak lebih karena leher dan selera yang tak kuat menahan goda dan akhirnya merembet ke instabilitas perut dan ‘’saluran belakang’’.

Di Idhul Fitri, di saat setiap Muslim membuka pintu lebar-lebar bagi tetamu, menampakkan senyum semanis mungkin, menyajikan panganan dan minuman terbaik, persetan dengan urusan perbedaan sikap politik. Bahkan orang-orang yang di hari-hari sebelumnya saling mengacungkan kepal; mungkin pula sudah mengasah parang dan menetapkan niat; mestinya menyudahi segala amarah, sakit hati, dan dendam.

Itu sebabnya pemberitaan Manado Post (MP), Rabu 9 November 2005, yang mengutip ‘’omelan’’ Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) pada para pejabat di jajarannya (Bupati ‘Protek’ Pejabat, Larang Kunjungi Lawan Politik), saya maknai sebagai sikap paranoid, kekanak-kanakan, dan anti silaturahmi. MP tentu tidak main-main dengan kutipan yang isinya cukup ‘’seram’’ itu, karena Bupati implisit mengatakan: ‘’Biar kita nyanda tunjuk muka, mar kita tahu siapa yang datang ke rumah JM.’’

Konteks pernyataan Bupati itu karena ada dua kepala dinas (Kadis) yang ‘’konon’’ berkunjung ke rumah lawan politiknya pada Idhul Fitri lalu.

Eh, esoknya Kahumas Pemkab Bolmong ‘’meralat’’ pernyataan Bupati (Yuda: Bupati Tidak Melarang, MP, Kamis 10 November 2005). Katanya: ‘’Bupati tidak pernah melarang siapa pun untuk mengunjungi atau bersilaturahmi dengan siapa saja. Bupati hanya menekankan agar PNS tetap menjaga netralitas tidak memihak siapapun.’’

Dua pernyataan itu implisit dan eksplisit bertentangan satu dengan yang lain. Apakah mengunjungi seseorang di Idhul Fitri, lawan politik sekali pun, bisa menjadi indikator seorang PNS tidak lagi berada di posisi netral sebagai birokrat?

Saya tidak peduli siapa yang diberi inisial JM itu. Yang menjadi konsern saya adalah ajaib benar bila kunjungan silaturahmi Idhul Fitri seseorang yang kebetulan seorang Kadis pada seseorang (bukan kerabat sekali pun) yang politikus dan berseberangan dengan Bupati, menjadi indikator ketidak-netralan, kesalahan, atau ketidak-loyalan; seolah yang dikunjungi bakal menularkan bibit kusta atau flu burung dan karenanya mengancam stabilitas politik dan pemerintahan di Bolmong.

Andai saya Kadis dan kebetulan hadir di siapa pun yang inisial namanya adalah JM, mendapat ‘’omelan’’ seperti itu, saya akan unjuk tangan. Saya bukan hanya akan mengakui hadir dan bersilaturahmi, tetapi juga mempertanyakan apa maksudnya seorang Bupati harus mengangkat isu itu?

Loyalitas seorang birokrat adalah pada Tuhan, Negara dan Bangsa, serta profesionalismenya. Tidak peduli siapa pun Bupatinya! Loyalitas seorang birokrat bukan pada Bupati sebagai pribadi; tetapi Bupati sebagai pejabat publik. Di luar urusan itu, Bupati tidak punya hak. Sebab bila ruang publik dan pribadi dicampur aduk, bisa-bisa Bupati pun bakal mengatur seorang Kadis harus bermukim di kampung mana, bertetangga dengan siapa, makan di warung mana, boleh berfamili dengan siapa, bahkan hingga boleh pakai sarung atau tidak di rumah.

Walau demikian, saya tetap menaruh hormat pada birokrat teras yang pada akhirnya harus takluk pada ketakutan tak masuk akal dianggap tak loyal karena berhubungan dengan orang-orang yang ‘’tidak disukai Bupati’’. Sikap itu adalah pilihan sadar, lepas dari baik atau buruk dari pandangan orang lain. Itu sebabnya pula di Idhul Fitri lalu saya terpaksa tak kerkunjung ke satu pun kerabat birokrat, agar mereka ‘’terbebas’’ dari kemungkinan stigma berkomplot.

Apalagi, beberapa hari sebelum Idhul Fitri teman dan kenalan yang birokrat di Bolmong sudah mengirim signal agar saya (yang sudah distempel sebagai salah satu yang aktif menentang Bupati –pada kenyataannya saya tidak pernah merasa memusuhi dan menentang siapa pun) jangan mengunjungi mereka karena bisa membahayakan karir dan stabilitas kursinya di kantor. Salah seorang di antaranya, sembari tertawa pahit, bahkan memohon dengan mengutip sepotong syair lagu populer: ‘’Jangan datang atau titip salam/(sebab)hanya menambah luka di hati.…’’

Memahami Mongondow, saya mafhum dan memaafkan.***