Rabu, 19 Desember 2007

Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol

Ditulis pada 14 September 2005, tulisan yang judul lengkapnya Adab Politikus dan Birokrat Bolmong: ‘Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap beberapa pemberitaan di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).


‘’Ceritakan bagaimana dia mati…’’
‘’Aku akan menceritakan bagaimana dia hidup!’’

(Dialog Kaisar Meiji dan Nathan Algren, The Last Samurai, 2003)

POLITIKUS di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) memang layak jadi bintang komedi; atau tepatnya badut sirkus. Mereka makin lucu-lucu dan menggemaskan, juga menjengkelkan, paling tidak demikianlah yang terbaca dari pemberitaan di Harian Manado Post (MP) pekan lalu (Jumat, 9 September dan Sabtu, 10 September 2005) dan awal pekan ini (Senin, 12 September dan Selasa, 13 September).

Pertama, pernyataan Ketua DPR Bolmong, Soenardi Sumantha berkaitan dengan berbagai protes terhadap pengadaan 40 mobil dinas (mobnas) untuk DPR Bolmong (MP, Jumat, 9 September). Saya kutipkan, menurut Sumantha, ‘’Saya kira mereka terlalu dini menuding kami mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan. Asal mereka tahu, permohonan mobnas merupakan aspirasi yang sudah lama disampaikan anggota DPRD.’’

Pernyataan itu, andai kutipannya sebagaimana yang diucapkan Sumatha, sungguh-sungguh picik dan menunjukkan kualitas ‘’rakus’’ anggota DPR Bolmong.

Mana yang lebih penting, aspirasi anggota DPR atau rakyat banyak? Lebih penting perbaikan jalan di jalur Selatan Bolmong; sekolah-sekolah di pelosok yang rusak; serta insfrastruktur dan fasilitas publik lain yang saat ini kondisinya amat menyedihkan; atau meng-entertain ego anggota DPR yang menginginkan mobil? Sementara PAD Bolmong cuma beberapa miliar rupiah; dan DPR serta Bupatinya tergolong doyan pelesir ke mana-mana dengan alasan lobi dan studi banding (yang hasilnya hampir seluruhnya cuma ole-ole dan cerita wisata).

Seakan keluhan bertahun-tahun masyarakat di jalur Selatan Bolmong; jalan-jalan rusak dan tanpa marka yang tersebar di seantero kabupaten; atau irigasi yang amburadul di mana-mana (padahal Bolmong ‘’katanya’’ adalah lumbung beras), tidak cukup penting bagi DPR untuk sedikit mengorbankan keinginan mengendarai mobnas.

Saya kira, bengkoknya logika pimpinan DPR Bolmong, apalagi berkaitan dengan mobil, sejak lama sudah diketahui dan dipergunjingan publik. Termasuk pula salah satu Wakil Ketua DPR yang tanpa tahu malu meminta gonta-ganti mobil dari Innova menjadi Ford Escape; padahal sebelumnya dengan gagah menyatakan tidak akan berubah sikap setelah menerima Innova.

Hal tak kurang penting: Mengapa harus 40, bukan 37 mobnas? Bukankah tiga pimpinan DPRD sudah mendapatkan mobil sebelumnya? Atau anggota DPR Bolmong memang sedang belajar menjadi kolektor mobil?

Itu sebabnya, pernyataan Ketua DPR Bolmong bahwa ‘’kami tidak sejelek itu’’ saya sanggah. Sesungguhnya mereka justru lebih jelek dari itu! Apa pun yang diartikan dan dipahami sebagai ‘’itu’’.

Kedua, Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan tiba-tiba bermanuver mengganti nama RS Datoe Binangkang yang akan direlokasi ke Pobundayan menjadi RS Abraham Sugeha. Betapa terperanjatnya membaca hal itu di MP, Sabtu 10 September (Pembangunan RS Datoe Binangkan Telan 7 M).

Penggantian nama RS Datoe Binangkang itu sekaligus menyadarkan saya, betapa berbahayanya bila politikus tanpa adab dan pengetahuan memadai diberi kekuasaan. Politikus jenis ini bukan hanya cenderung merusak diri sendiri (karena hanya mengedepankan pribadi dan golongannya), tetapi juga hajat hidup, keyakinan, tradisi, dan budaya baik orang banyak.

Tentu Bupati Marlina Moha-Siahaan tidak tahu bahwa Datoe Binangkang bukan hanya sekadar seorang Raja yang pernah memimpin Bolaang Mongondow; tetapi juga seorang dukun (dokter pada masa itu) handal; karena itu namanya amat sangat layak diabadikan sebagai nama RS. Bukankah tradisi di kalangan medis di Indonesia, dan di banyak pelosok dunia, mengkonvensikan nama RS biasanya diambil dari nama tempat berdirinya; atau seorang tokoh kesehatan yang dianggap mampu mewakili spirit sebuah RS.

Kalau Datoe Binangkang yang ‘’cuma’’ dokter tradisional harus diganti; mengapa yang dipilih bukan dr Djelantik asal Bali, yang konon adalah dokter modern pertama yang menginjakkan kaki di Bolmong. Atau, mengapa bukan pula Mantri Latief yang meninggal di Arab Saudi saat mendampingi jemaah haji asal Bolmong di Tanah Suci?

Nama mereka lebih layak dan konkrit ditahbiskan sebagai nama RS di Bolmong.

Akan halnya Abraham Sugeha? Siapakah dia? Seorang raja ‘’antara’’ (raja pinonigad) yang sejarah ‘’kehebatannya’’ pun masih bisa diperdebatkan dengan serius saat ini. Kecuali, mengingat klaim-klaim keluarga yang sudah ketinggalan zaman (semacam romantisme sejarah keluarga yang buta), Bupati mungkin memang ingin mengabadikan nama kakek buyutnya karena mumpung bisa melakukan saat ini. Soalnya masih Bupati, toh?

Perilaku Bupati Bolmong itu mengingatkan saya pada pengantar novel Sang Alkemis yang ditulis sastrawan Brasil peraih Nobel, Paulo Colho, yang bercerita tentang Narsius (sang pemuja diri sendiri); di mana Colho menggambarkan bahwa pada akhirnya siapa pun punya kecenderungan narsis, terutama bila punya kesempatan untuk itu.

Saya tidak sembarangan menuduh. Lihatlah bagaimana Lapangan Kotamobagu diubah menjadi Lapangan Boki Hotinimbang (siapa pula ini? Dan apakah benar dia seorang Boki?); Taman Tilawatil Al Qur’an yang dibangun sebagai monumen bahwa Bolmong pernah menjadi tuan rumah event religi ini, tiba-tiba berganti nama jadi Taman Marlina; lalu RS Datoe Binangkang berubah menjadi RS Abraham Sugeha.

Jangan-jangan kita juga sudah harus menyiapkan diri agar tidak kaget bila mendadak Bukit Ilongkow berubah jadi Bukit Moha atau Gelora Ambang menjadi Gelora Siahaan. Dan agar kita tidak pula kaget bila akhirnya di perbatasan Bolmong dengan daerah lain yang terpampang bukan lagi ‘’Selamat Datang di Kabupaten Bolaang Mongondow’’; melainkan ‘’Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol’’!

Dengan Bupati yang ‘’bicara dulu baru mikir’’, tidak tertutup perubahan nama Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi ‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’ bisa terwujud dalam waktu dekat.

Ketiga, pernyataan Kabag Humas Pemkab Bolmong, Yudha Rantung, bahwa dipilihnya Abraham Sugeha karena dilihat dari ketokohannya (MP, Senin 12 September); dan ditegaskan lagi pada MP, Selasa, 13 September, bahwa Abraham Sugeha adalah penggerak ide-ide kesehatan, serta dekat dengan masyarakat.

Sebagai Humas apakah Yudha Rantung bekerja untuk Pemkab Bolmong, yang melayani seluruh masyarakat Bolmong? Atau bekerja pada Bupati Marlina Moha-Siahaan semata, dengan mengesampingkan segala akal sehat?

Di mata saya adalah benar-benar lucu apabila sosok seperti Yudha Rantung yang pernah memimpin KNPI Bolmong tidak paham konteks sejarah Bolmong; apalagi meletakkan posisi Abraham Sugeha secara historis di atas ketokohan Datoe Binangkang. Pernyataan yang selama dua hari berturut dikutip MP itu bukan hanya menunjukkan kontradiksi satu sama lain; tetapi mengkonfirmasi bahwa adab dan pengetahuan dasar politikus dan birokrasi di Bolmong sudah luar biasanya parahnya.

Begitu parahnya hingga hajat hidup orang banyak pun diprivatisasi dan diperlakukan seakan adalah kekayaan dan budel satu keluarga saja! Dan sejarah pun dimanipulasi seenak perut, seakan-akan keseluruhan orang banyak adalah para debil dan idiot.

Penghinaan Terstruktur

Bila banyak orang yang menyampaikan kemarahan dan kekecewaan sejak perubahan nama RS Datoe Binangkang dilakukan, maka saya adalah salah satunya. Dan hari ini pantas bagi orang Mongondow untuk marah.

Bahkan, mulai saat ini pantas pula bagi orang Mongondow mempertanyakan apa sumbangan riil Bupati terhadap perkembangan daerahnya; kecuali klaim-klaim yang justru makin menunjukkan bahwa Bolmong jauh tertinggal di belakang daerah lain di Sulut.

Sebagai orang Mongondow, untuk yang pertama kali pula saya malu karena memiliki Bupati yang bukan saja narsis dan suka mengedepankan egonya; tetapi karena tidak ada satu pun orang-orang Mongondow di sekitar Bupati yang berani menyatakan salah sebagai salah dan benar sebagai benar. Muak rasanya membaca MP yang mewartakan setelah Bupati mengumumkan perubahan nama RS Datoe Binangkang, dengan bangga hadirin bertepuk-tangan.

Tidak sadarkah kita bahwa tepuk-tangan itu mengaminkan penghinaan terstruktur yang dilakukan bergerombol oleh Bupati dan orang-orang yang menghamba padanya? Saya kira memang sudah waktunya orang Mongondow memilih pemimpin yang lebih baik.***