Rabu, 19 Desember 2007

Mael Fans Club

Ditulis pada 16September 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


ADA kerinduan laten tiap kali menginjakkan kaki di Kotamobagu dan membayangkan masa SMP, dulu.

Ketika itu hampir setiap pagi saya menelusuri Jalan Amal-Adampe Dolot hingga Biga-lalu belok kanan, ke SMP Negeri 1 Kotamobagu. Hampir sepanjang rute ini, di kawasan Kelurahan Mongolaing, pohon-pohon sirsak memayungi jalanan.

Tak banyak papan reklame dan kain rentang (spanduk) yang kini justru pikuk dan melelahkan mata. Udara masih diharumi daun sirsak; dan makin wangi tatkala musim berputiknya tiba. Samar-samar menyebar aroma segar.

Kerinduan adalah nostalgi yang basah. Dan makin berarti hari-hari ini sebab pohon-pohon sirsak itu sudah lama ditumbangkan. Kini hampir seluruh ruas jalan di Kotamobagu berhias macam-macam reklame: rokok, cat, susu, kopi, makanan kecil, pembalut wanita, dan bahkan kelompok penggemar (fans club) tokoh politik.

Masa lalu tampaknya tak punya tempat lagi. Lagipula, siapa yang butuh? Toh kenangan tak bisa memberi makan, apalagi kursi politik, jabatan birokrasi, atau rumah mewah dan duit melimpah?

Kenangan tak bisa dipajang untuk gagah-gagahan. Kenangan tak pula bisa dicetak di papan besar; dibangunkan Posko; atau dicantumkan penuh warna di t-shirt agar seluruh rakyat awas dan mencatat.

Tapi tetap saja dia datang membadai, begitu saja, ketika menyaksikan di hampir seluruh ruas jalan di Kotamobagu (dan sekarang menular hingga ke pelosok) bagai jamur tumbuh reklame fans club. Beberapa dilengkapi Posko.

Menyaksikan itu, yang terbayang di benak adalah beberapa teman di masa kecil yang bersama-sama diajari seorang Paman, bahwa obatog (ulat sagu) panggang adalah makanan lezat dan bergizi tinggi. Pengetahuan itu melahirkan ‘’klub pemburu obatog’’ yang beranggota beberapa anak; yang akhirnya kapok karena sering kena rotan di pantat akibat pulang menjelang magrib berlumur lumpur.

Klub yang benar-benar ‘’fans club’’ barulah terasa di akhir masa SD dan SMP begitu mengenal bacaan Lima Sekawan, Sapta Siaga, Tintin, serta Asterix dan Obelix. Sadar atau tidak, bersama kawan-kawan seusia kami bergabung dalam ‘’Enid Blyton Fans Club’’, ‘’Tintin Fans Club’’, dan ‘’Asterix dan Obelix Fans Club’’. Sekadar keisengan tanpa sadar, semata karena kagum pada Enid Blyton, juga pada Tintin (yang bisa ke bulan), serta Asterix dan Obelix yang mau bertualang ke penjuru bumi dengan syarat ‘’ada Romawi yang bisa dikepruk dan celeng panggang’’.

Klub dan fans club galib belaka, bahkan yang paling aneh sekali pun (misalnya Klub Penyayang Bunga Tai Ayam atau Boomer –ini nama anjing-- Fans Club). Tapi fans club untuk tokoh politik hingga ke kampung di pelosok, apalagi hanya sekelas Bupati, benar-benar di luar akal sehat. Tapi fenomena di luar akal sehat ini pula yang saya saksikan bertebaran di Kotamobagu hingga ke pelosok; yang ditandai dengan papan besar dan mencolok –mirip reklame produk pembalut wanita.

Petanda apakah itu? Latah-latahan, epigon buruk dari teknik menjual yang sukses sebelumnya (dibuktikan oleh SBY-Kalla), atau petanda bahwa evolusi kesadaran manusia (di Bolmong) justru tidak menuju proses yang sempurna? Apalagi sang tokoh yang ber-fans club itu tidaklah istimewa dan memiliki kelebihan (minimal karya riil) agar yang bersangkutan layak dipatronkan.

Bisa dibayangkan bila tokoh-tokoh politik dan birokrasi di Bolmong ramai-ramai menggagas fans club pula; bahkan hingga ke tingkat sangadi dan tokoh adat di kampung? Berapa banyak papan dan Posko yang akan berdiri? Berapa banyak pula psikolog dan psikiater yang harus praktek di Bolmong, karena pasti para pengidap sakit jiwa bisa ditemukan dengan mudah?

Saya sendiri lebih suka bergabung di Mael Fans Club. Paling tidak Mael sudah terbukti tak pernah korupsi dan menyalahgunakan jabatan!***

Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol

Ditulis pada 14 September 2005, tulisan yang judul lengkapnya Adab Politikus dan Birokrat Bolmong: ‘Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap beberapa pemberitaan di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).


‘’Ceritakan bagaimana dia mati…’’
‘’Aku akan menceritakan bagaimana dia hidup!’’

(Dialog Kaisar Meiji dan Nathan Algren, The Last Samurai, 2003)

POLITIKUS di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) memang layak jadi bintang komedi; atau tepatnya badut sirkus. Mereka makin lucu-lucu dan menggemaskan, juga menjengkelkan, paling tidak demikianlah yang terbaca dari pemberitaan di Harian Manado Post (MP) pekan lalu (Jumat, 9 September dan Sabtu, 10 September 2005) dan awal pekan ini (Senin, 12 September dan Selasa, 13 September).

Pertama, pernyataan Ketua DPR Bolmong, Soenardi Sumantha berkaitan dengan berbagai protes terhadap pengadaan 40 mobil dinas (mobnas) untuk DPR Bolmong (MP, Jumat, 9 September). Saya kutipkan, menurut Sumantha, ‘’Saya kira mereka terlalu dini menuding kami mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan. Asal mereka tahu, permohonan mobnas merupakan aspirasi yang sudah lama disampaikan anggota DPRD.’’

Pernyataan itu, andai kutipannya sebagaimana yang diucapkan Sumatha, sungguh-sungguh picik dan menunjukkan kualitas ‘’rakus’’ anggota DPR Bolmong.

Mana yang lebih penting, aspirasi anggota DPR atau rakyat banyak? Lebih penting perbaikan jalan di jalur Selatan Bolmong; sekolah-sekolah di pelosok yang rusak; serta insfrastruktur dan fasilitas publik lain yang saat ini kondisinya amat menyedihkan; atau meng-entertain ego anggota DPR yang menginginkan mobil? Sementara PAD Bolmong cuma beberapa miliar rupiah; dan DPR serta Bupatinya tergolong doyan pelesir ke mana-mana dengan alasan lobi dan studi banding (yang hasilnya hampir seluruhnya cuma ole-ole dan cerita wisata).

Seakan keluhan bertahun-tahun masyarakat di jalur Selatan Bolmong; jalan-jalan rusak dan tanpa marka yang tersebar di seantero kabupaten; atau irigasi yang amburadul di mana-mana (padahal Bolmong ‘’katanya’’ adalah lumbung beras), tidak cukup penting bagi DPR untuk sedikit mengorbankan keinginan mengendarai mobnas.

Saya kira, bengkoknya logika pimpinan DPR Bolmong, apalagi berkaitan dengan mobil, sejak lama sudah diketahui dan dipergunjingan publik. Termasuk pula salah satu Wakil Ketua DPR yang tanpa tahu malu meminta gonta-ganti mobil dari Innova menjadi Ford Escape; padahal sebelumnya dengan gagah menyatakan tidak akan berubah sikap setelah menerima Innova.

Hal tak kurang penting: Mengapa harus 40, bukan 37 mobnas? Bukankah tiga pimpinan DPRD sudah mendapatkan mobil sebelumnya? Atau anggota DPR Bolmong memang sedang belajar menjadi kolektor mobil?

Itu sebabnya, pernyataan Ketua DPR Bolmong bahwa ‘’kami tidak sejelek itu’’ saya sanggah. Sesungguhnya mereka justru lebih jelek dari itu! Apa pun yang diartikan dan dipahami sebagai ‘’itu’’.

Kedua, Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan tiba-tiba bermanuver mengganti nama RS Datoe Binangkang yang akan direlokasi ke Pobundayan menjadi RS Abraham Sugeha. Betapa terperanjatnya membaca hal itu di MP, Sabtu 10 September (Pembangunan RS Datoe Binangkan Telan 7 M).

Penggantian nama RS Datoe Binangkang itu sekaligus menyadarkan saya, betapa berbahayanya bila politikus tanpa adab dan pengetahuan memadai diberi kekuasaan. Politikus jenis ini bukan hanya cenderung merusak diri sendiri (karena hanya mengedepankan pribadi dan golongannya), tetapi juga hajat hidup, keyakinan, tradisi, dan budaya baik orang banyak.

Tentu Bupati Marlina Moha-Siahaan tidak tahu bahwa Datoe Binangkang bukan hanya sekadar seorang Raja yang pernah memimpin Bolaang Mongondow; tetapi juga seorang dukun (dokter pada masa itu) handal; karena itu namanya amat sangat layak diabadikan sebagai nama RS. Bukankah tradisi di kalangan medis di Indonesia, dan di banyak pelosok dunia, mengkonvensikan nama RS biasanya diambil dari nama tempat berdirinya; atau seorang tokoh kesehatan yang dianggap mampu mewakili spirit sebuah RS.

Kalau Datoe Binangkang yang ‘’cuma’’ dokter tradisional harus diganti; mengapa yang dipilih bukan dr Djelantik asal Bali, yang konon adalah dokter modern pertama yang menginjakkan kaki di Bolmong. Atau, mengapa bukan pula Mantri Latief yang meninggal di Arab Saudi saat mendampingi jemaah haji asal Bolmong di Tanah Suci?

Nama mereka lebih layak dan konkrit ditahbiskan sebagai nama RS di Bolmong.

Akan halnya Abraham Sugeha? Siapakah dia? Seorang raja ‘’antara’’ (raja pinonigad) yang sejarah ‘’kehebatannya’’ pun masih bisa diperdebatkan dengan serius saat ini. Kecuali, mengingat klaim-klaim keluarga yang sudah ketinggalan zaman (semacam romantisme sejarah keluarga yang buta), Bupati mungkin memang ingin mengabadikan nama kakek buyutnya karena mumpung bisa melakukan saat ini. Soalnya masih Bupati, toh?

Perilaku Bupati Bolmong itu mengingatkan saya pada pengantar novel Sang Alkemis yang ditulis sastrawan Brasil peraih Nobel, Paulo Colho, yang bercerita tentang Narsius (sang pemuja diri sendiri); di mana Colho menggambarkan bahwa pada akhirnya siapa pun punya kecenderungan narsis, terutama bila punya kesempatan untuk itu.

Saya tidak sembarangan menuduh. Lihatlah bagaimana Lapangan Kotamobagu diubah menjadi Lapangan Boki Hotinimbang (siapa pula ini? Dan apakah benar dia seorang Boki?); Taman Tilawatil Al Qur’an yang dibangun sebagai monumen bahwa Bolmong pernah menjadi tuan rumah event religi ini, tiba-tiba berganti nama jadi Taman Marlina; lalu RS Datoe Binangkang berubah menjadi RS Abraham Sugeha.

Jangan-jangan kita juga sudah harus menyiapkan diri agar tidak kaget bila mendadak Bukit Ilongkow berubah jadi Bukit Moha atau Gelora Ambang menjadi Gelora Siahaan. Dan agar kita tidak pula kaget bila akhirnya di perbatasan Bolmong dengan daerah lain yang terpampang bukan lagi ‘’Selamat Datang di Kabupaten Bolaang Mongondow’’; melainkan ‘’Selamat Datang di Kabupaten Ongol-Ongol’’!

Dengan Bupati yang ‘’bicara dulu baru mikir’’, tidak tertutup perubahan nama Kabupaten Bolaang Mongondow menjadi ‘’Kabupaten Ongol-Ongol’’ bisa terwujud dalam waktu dekat.

Ketiga, pernyataan Kabag Humas Pemkab Bolmong, Yudha Rantung, bahwa dipilihnya Abraham Sugeha karena dilihat dari ketokohannya (MP, Senin 12 September); dan ditegaskan lagi pada MP, Selasa, 13 September, bahwa Abraham Sugeha adalah penggerak ide-ide kesehatan, serta dekat dengan masyarakat.

Sebagai Humas apakah Yudha Rantung bekerja untuk Pemkab Bolmong, yang melayani seluruh masyarakat Bolmong? Atau bekerja pada Bupati Marlina Moha-Siahaan semata, dengan mengesampingkan segala akal sehat?

Di mata saya adalah benar-benar lucu apabila sosok seperti Yudha Rantung yang pernah memimpin KNPI Bolmong tidak paham konteks sejarah Bolmong; apalagi meletakkan posisi Abraham Sugeha secara historis di atas ketokohan Datoe Binangkang. Pernyataan yang selama dua hari berturut dikutip MP itu bukan hanya menunjukkan kontradiksi satu sama lain; tetapi mengkonfirmasi bahwa adab dan pengetahuan dasar politikus dan birokrasi di Bolmong sudah luar biasanya parahnya.

Begitu parahnya hingga hajat hidup orang banyak pun diprivatisasi dan diperlakukan seakan adalah kekayaan dan budel satu keluarga saja! Dan sejarah pun dimanipulasi seenak perut, seakan-akan keseluruhan orang banyak adalah para debil dan idiot.

Penghinaan Terstruktur

Bila banyak orang yang menyampaikan kemarahan dan kekecewaan sejak perubahan nama RS Datoe Binangkang dilakukan, maka saya adalah salah satunya. Dan hari ini pantas bagi orang Mongondow untuk marah.

Bahkan, mulai saat ini pantas pula bagi orang Mongondow mempertanyakan apa sumbangan riil Bupati terhadap perkembangan daerahnya; kecuali klaim-klaim yang justru makin menunjukkan bahwa Bolmong jauh tertinggal di belakang daerah lain di Sulut.

Sebagai orang Mongondow, untuk yang pertama kali pula saya malu karena memiliki Bupati yang bukan saja narsis dan suka mengedepankan egonya; tetapi karena tidak ada satu pun orang-orang Mongondow di sekitar Bupati yang berani menyatakan salah sebagai salah dan benar sebagai benar. Muak rasanya membaca MP yang mewartakan setelah Bupati mengumumkan perubahan nama RS Datoe Binangkang, dengan bangga hadirin bertepuk-tangan.

Tidak sadarkah kita bahwa tepuk-tangan itu mengaminkan penghinaan terstruktur yang dilakukan bergerombol oleh Bupati dan orang-orang yang menghamba padanya? Saya kira memang sudah waktunya orang Mongondow memilih pemimpin yang lebih baik.***

Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir

Ditulis pada 14 Agustus 2005, tulisan yang judul lengkapnya Tanggapan atas Tanggapan Pemberitaan Korupsi Bolmong: Tragedi Sesat Teori Sesat Pikir ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan Wakil Ketua DPR Bolaang Mongondow, Syamsuddin Kudji Moha (Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan: Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) yang dimuat di harian yang sama.


BERNARD BERELSON tidak sedang mengingau ketika menulis Content Analysis in Communication Researc (The Free Press, New York) pada 1952. Para analis media yang menggunakan content analysis (analisis isi) sebagai alat bedah tahu persis A-B-C-D teori ini. Pengecualiannya tentu adalah mereka yang sok tahu belaka; atau sok paham content analysis.

Apa kata Berelson tentang content analysis? Lewat definisi klasik yang dia bakukan lebih 30 tahun silam, Berelson bilang: ‘’Content analysis is a research technique for the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of communication.’’ Harap dicatat, ada empat varibel terpenting yang dikemukakan Berelson, yaitu objective, systematic, quantitative, dan manifest content.

Supaya ‘’makluk’’ content analysis ini bisa lebih dimengerti, tentu akar sejarahnya pun perlu dipahami. Adalah Harold Lasswell sesungguhnya yang pertama mengintroduksi metodologi ini pada 1927 untuk melakukan studi terhadap propaganda. Dan sebagai metodologi, penggunaannya untuk pendekatan studi tumbuh pesat setelah itu, terutama untuk mengukur pesan-pesan yang dikomunikasikan dalam film (pada 1930-an) dan kemudian teve (1950-an, sejak teve mulai diperkenalkan sebagai media komunikasi dan ruang publik).

Berelson tidak sendirian dalam mendefinisikan apa yang disebut sebagai content analysis. Dalam perkembangannya lebih selusin pakar telah merumuskan definisi dengan isi yang kurang lebih sama. Tidak mengherankan bila Kimberley A. Neuendrof (penulis The Content Analysis Guidebook, Thausand Oak, 2002) mengemukakan: ‘’Content analysis is the primary massage-centred methodology.’’ Serta L. Yale dan M. C. Gill (1988) serta D. Riffed dan A. Freitag (1997) yang kemudian menambahkan, ‘’In the field of mass communication research, content analysis has been the fastest-growing technique over the past 20 years or so.’’

Lobang Hitam Kekeliruan

Memahami content analysis dan penggunaannya membuat saya terkejut-kejut membaca Ombudsman Harian Manado Post, Kamis 11 Agustus 2005, Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong), yang ditulis oleh Pimpinan –tidak disebutkan Ketua, Wakil Ketua, atau apa, tetapi pokoknya ‘’pimpinan’’-- DPRD Kabupaten Bolaang Mongondow, Syamsuddin Kudji Moha.

Keterkejutan pertama karena isu yang ditanggapi adalah tentang tiga (hanya tiga) pemberitaan tentang korupsi di Bolmong, yang didekati dengan pemahaman jurnalistik. Kejutan kedua, karena dalam bangun tulisan disebutkan bahwa pemberitaan itu dianalisis dengan menggunakan content analysis. Keterkejutan ketiga karena tulisan itu implisit mewakili sikap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Keterkejutan keempat, sebab tulisan itu justru –mengutip tulisannya sendiri—menggandung ‘’contradictio in terminus et contradictio substantio’’ karena dengan sendirinya ‘’membenarkan’’ isu yang diangkat Manado Post.

Serial terkejut-kejut itu masih berlanjut setelah saya melakukan analisis terhadap ide, struktur tulisan, pilihan bahasa, bahkan penggunaan titik-koma (lengkap dengan kesalahan-kesalahan fundamentalnya). Dari analisis itu saya menyimpulkan: tulisan tersebut dikerjakan oleh ghost writer yang bukan saja kelewat sok tahu, tapi juga menjerumuskan ‘’pemilik nama yang dicantumkan sebagai penulis’’ ke dalam lobang hitam kekeliruan yang luar biasa fatalnya.

Lucunya, ibarat burung onta, penulis sebenarnya hanya menyembunyikan kepalanya, tetapi tubuh dan pantat terang-benderang menuding langit. Saran saya: keluarkan kepala dan mari mendudukkan masalah pada porsinya agar diskursus dan perbaikan media –sebaik yang diharapkan oleh konsumen media—menjadi sehat dan bermartabat.

Agar yang gelap jadi terang dan terang tidak digelap-gelapkan, di tulisan ini saya sekaligus menjawab banyak pesan pendek (SMS) dan telepon yang diterima hari itu berkaitan dengan tulisan tersebut. Umumnya pesan pendek dan telepon yang saya terima menanyakan: Siapakah ghost writer tulisan itu? Bahkan cukup banyak –maaf sebesar-besarnya— yang menyebut nama Reiner Ointoe. Jawaban saya: dengan keyakinan 100 persen, ghost writer-nya bukan Reiner Ointoe. Reiner tidak cukup naïf untuk berkeliru se-keliru-kelirunya, apalagi dengan metodologi yang sudah berumur 78 tahun seperti content analysis.

Saya tahu siapa ghost writer-nya, tetapi etika pribadi melarang saya membuka ke hadapan publik. Karenanya, mari kita lanjutkan saja tanggapan terhadap tulisan Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong).

Pertama, harus ditegaskan: sebab content analysis mensyaratkan kuantitas, maka tanggapan terhadap tiga berita di Manado Post dengan metodologi tersebut yang menyimpulkan bahwa ada ‘’upaya pembunuhan karakter terhadap Bupati Bolmong’’, jelas kengawuran teoritis yang berdampak pula pada kengawuran pikir dan hasilnya.

Bagaimana bila tiga pemberitaan itu dibandingkan dengan pemberitaan Manado Post selama enam bulan terakhir berkaitan dengan Bupati Bolmong, yang biasanya dipenuhi puja-puji dan kutipan pernyatan ‘’positif’’? Saya yakin analis profesional dan objektif akan menemukan fakta yang sama sekali berbeda. Bahkan, bila tiga berita itu yang disandingkan sebagai satu rangkaian utuh, awam pun mudah menemukan bahwa pernyataan Bupati Bolmong mendapat porsi cukup dominan.

Kedua, tulisan tanggapan itu menyebutkan Manado Post gagal menjaga sisi emotif wartawannya hingga terlalu menggebu dan bersemangat dalam menulis kasus korupsi yang diduga terjadi di Bolmong, yang tercermin dalam pemilihan kata yang digunakan. Apa dasar tanggapan ini? Sekadar satu-dua kata yang memang bombastis atau satu-dua kalimat yang hiperbolik?

Pertanyaan itu patut dikemukakan sebab contoh yang digunakan sebagaimana yang ada di alinea keenam tulisan Dugaan Korupsi atau Korupsi Dugaan (Tanggapan Atas Pemberitaan Korupsi Bolmong) justru adalah pemelintiran logika berita. Dengan kata lain, setiap alinea dari satu berita dianggap lepas satu dengan yang lain.

Sebaliknya, yang terbaca dari tulisan tersebut justru penulisnya-lah yang gagal menjaga sisi emotifnya hingga tidak saja menggunakan kata dan kalimat bombastis, tapi juga sangat reaktif dan emosional. Mau bukti? Contoh paling gampangnya adalah frasa ‘’Bupati jelas menyatakan tidak gentar dengan dugaan itu, tetapi citra negatif jelas harus saya luruskan. Kini saya minta Manado Post bertanggungjawab untuk itu lewat mekanisme ombudsman lewat penempatan tulisan ini.’’

Tidakkah frasa itu bombastis dan emosional? Sebagai pembaca, orang per orang tentu punya saran, kritik, dan kemarahan terhadap apa yang disajikan media massa. Tapi memaksa permintaan pertanggungjawaban jurnalistik dengan dasar yang lemah bukankah juga amat kelewatan? Bahkan Dewan Pers pun tidak melakukan pemaksaan, sebab itu adalah wilayah milik pengadilan dan para hakim.

Itu sebabnya saya harus mengkritik keras Manado Post yang meloloskan tulisan tersebut dan memperlakukan ‘’seolah-olah’’ sebagai hak jawab. Begitu rendahnya-kah standar jurnalistik Manado Post sampai-sampai yang tidak layak pun harus dilayak-layakkan?

Ketiga, ghost writer yang menulis tanggapan itu juga tidak mampu membedakan mana syarat berita (5W + 1H), elemen jurnalisme (sebagai anutan para wartawan), dan pesan dalam berita.

Secara umum syarat berita sudah dipenuhi oleh Manado Post. Termasuk kredibilitas sumber. Bagi yang paham benar jurnalistik tentu tahu bahwa yang disebut sumber dalam konteks pemberitaan tersebut bukan hanya Denny Mokodompit atau Rizal Damopolii, tetapi dokumen yang menyertai pernyataan mereka. Bila Denny dan Rizal dianggap tidak kredibel, tetapi dokumen sebagai pembuktian adanya kasus korupsi lengkap dan kredibel, buat apa media takut memberitakan?

Kesalahan Manado Post mungkin hanyalah pada ilustrasi foto yang menyertai dua dari tiga pemberitaannya. Namun, itu pun bisa terbantahkan mengingat elemen-elemen jurnalisme yang umum dianut menyepakati dibolehkannya pengertian implisit dalam media massa.

Agar pembaca tidak bingung, elemen jurnalisme yang saya kemukakan adalah yang diformulasi oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect) yang diterbitkan pertama kali oleh Crown Publisher, New York, pada 2001. Kovach dan Rosenstiel mengemukakan: 1) Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. 2) Loyalitas pertama jurnalis kepada warga. 3) Intisari jurnalisme adalah disiplin verifikasi. 4) Para praktisi harus menjaga independensi terhadap sumber berita. 5) Jurnalisme harus berlaku sebagai pemantau kekuasaan. 6) Jurnalisme harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga. 7) Jurnalisme harus berupaya membuat hal penting, menarik, dan relevan. 8)Jurnalisme harus menjaga agar berita komprehensif dan proporsional. Dan 9) Para praktisinya harus diperbolehkan mengikuti nurani mereka.

Apakah pencantuman foto Bupati Bolmong dan Persibom relevan? Saya menjawab: ya! Relevan sebagai ‘’pesan berita’’ bahwa yang bertanggungjawab dalam seluruh proses birokrasi dan politik di Bolmong adalah Bupati; dan bahwa korupsi itu menyentuh semua elemen, termasuk Persibom.

Namun, Bupati dan Persibom tentu tidak boleh pula disemena-menai. Karena Manado Post awalnya abai dalam menjaga beritanya komprehensif dan proposional, dua pihak ini amat sangat berhak melakukan komplein. Syaratnya: Yang harus melakukan adalah Bupati sendiri dan Persibom! Ini baru praktek yang benar.

Keempat, ada dua hal substantif yang mestinya dijawab oleh siapa saja yang mengaku menganalisis media atau pemberitaannya. Yaitu, mana yang lebih penting, cara menyampaikan satu isu atau isunya sendiri? Dan, dalam konteks tanggapan terhadap pemberitaan Manado Post, apakah ada atau tidak korupsi sebagaimana yang didugakan?

Dua substansi pokok itu tidak saya temukan dalam tanggapan tersebut, sekali pun mata sudah capek membaca alinea per alinea. Isu yang dikemukakan Manado Post dengan mengutip sumbernya adalah korupsi! Dengan penyampaikan yang sungguh membuat hati panas buat beberapa orang. Tetapi memperdebatkan cara penyampaian ketimbang isunya sendiri jelas-jelas buang umur belaka.

Dan kelima, tulisan tanggapan pemberitaan itu juga ‘’mencurigai’’ aktor-aktor di Manado Post memiliki agenda tertentu berkenaan dengan pemberitaan kasus korupsi di Bolmong. Tudingan ini bisa jadi benar, bisa pula tidak.

Tapi bila dilakukan analisis terhadap konteks tulisan tanggapan pemberitaan itu, saya juga berkesimpulan bahwa sang ghost writer punya agenda tertentu yang bahkan lebih dari sekadar kritik terhadap media. Agendanya bisa saja pembunuhan karakter terhadap Syamsuddin Kudji Moha dan juga Bupati Bolmong.

Dengan menulis tanggapan berdasar teori ngawur, publik yang paham duduk soal tentu mudah memandang remeh salah seorang Pimpinan DPRD Bolmong itu. Dan dengan memposisikan salah satu Pimpinan DPRD Bolmong sebagai pembela Bupati, bukankah menunjukkan bahwa Bupati Bolmong tidak memiliki staf yang kapabel. Lebih celaka lagi kalau masyarakat sampai pada penilaian bahwa orang-orang di sekitar Bupati memang bermaksud ‘’mencelakakan’’ posisinya sebagai Bupati.

Bila tulisan tanggapan itu dimaksudkan sebagai perjernihan, maka yang terjadi sebaliknya. Isu sesungguhnya bukan saja makin keruh, tetapi tulisan itu membuat wajah Syamsuddin Kudji Moha sebagai salah seorang Pimpinan DPRD Bolmong jadi coreng- moreng; sekaligus juga memperburuk citra Bupati.

Sebagai orang yang mengenal keduanya secara pribadi –walau bagaimana pun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mereka adalah orang-orang yang saat ini memimpin Bolmong--, saya hanya bisa bersedih dan menyesal.

Konklusi

Mengkritik media adalah keniscayaan bagi para pembacanya. Pembaca yang kritis mendorong media menjadi profesional dan memenuhi hak serta kewajibannya sebagai ruang publik. Namun, sebaliknya, kritik yang jauh dari proposional dan objektif juga bisa menjerumuskan media pada perang opini tak perlu yang bisa berujung pada pembodohan massal.

Sebab itu, menurut hemat saya, mari kita abaikan saja tulisan atas nama Syamsuddin Kudji Moha yang sudah terlanjur dipublikasikan itu. Secara pribadi, terhadap yang bersangkutan –dengan rasa hormat yang dalam—saya mengajurkan: Bila sang ghost writer adalah staf, penasihat, atau sekadar tukang bisik, sebaiknya yang bersangkutan ditendang sejauh mungkin. Tulisannya bukan hanya menjerumuskan, tetapi dari sisi pencitraan dan komunikasikan dengan masyarakat, sungguh sesat dan menyesatkan.***

Kami Bukan KBA ‘’Kasiang’’

Ditulis pada 10 Agustus 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Isinya berkaitan dengan dua tulisan yang di harian yang sama sebelumnya, yang mengupas, mengomentari, menganalisis sebuah peristiwa yang terjadi di Kotamobagu (sekarang, setelah dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow pada 2007, menjadi Kota Kotamobagu).


MENARIK benar mengikuti persahutan antara Hairil Paputungan (‘’Kentut Persibom’’, Manado Post, 8 Agustus 2005) dan Bachruddin Marto (‘’KBA Ala Hairil’’, Manado Post, 10 Agustus 2007), terutama karena subtansinya yang melebar dan meluber ke mana-mana.

Muasal dari ‘’pingpong’’ wacana antara keduanya adalah perilaku banal sekelompok orang yang merusak Kantor Biro Manado Post di Bolmong; dan karena ada sekelompok orang yang peduli (katakanlah itu kebetulan berasal dari Keluarga Besar ABRI –KBA), yang sebab peduli kemudian menggelar pertemuan –disebut dengan gagah sebagai ‘’rapat’’—di Polres dan merilis pernyataan. Substansinya kurang lebih demikian; bumbunya yang mungkin terlampau pedas, atau mungkin ada yang tak perlu tetapi terlanjur diikutkan.

Substansi masalahnya terang-benderang sudah: yang merusak Kantor Biro Manado Post (dan belakangan rumah Ketua PKS Bolmong) jelas makluk primitif, hanya cocok untuk meseum. Akan halnya konsern dari banyak pihak, justru adalah bentuk solidaritas sosial yang mestinya dilestarikan.

Nah, pokok soalnya kemudian adalah mengapa menyerempet KBA?

Hairil Paputungan mungkin terlampau ekstrim dalam simpulannya, hingga terpeleset ‘’menguburkan KBA’’ bersama Orde Baru. Karenanya, saya sependapat dengan Bachruddin Marto untuk musabab itu.

Namun, Bachruddin juga, menurut hemat saya, terpeleset bahkan terlampau jauh hingga seolah-olah tanpa KBA negeri ini tak pernah merdeka. Seolah-olah hanya tentara dan polisi-lah kaum yang berjuang, memikul bedil, hingga negara ini bisa dimerdekakan. Saya kutipkan pernyataannya: ‘’Bukankah kemerdekaan ini lahir karena KBA (Keluarga Besar ABRI) yang sekarang TNI-Polri.’’

Klaim itu tentu saja ‘’so talebe-lebe’’, sebab sejarah tidak mengatakan seperti itu. Akan kita taruh di mana para orang berpendidikan yang berjuang di jalur politik, para pedagang yang membantu membiayai revolusi, para petani yang menyediakan logistik, atau para gerilyawan revolusi yang sama sekali tidak berlatar militer? Mereka yang jumlahnya lebih besar dan banyak, tetapi tak populis karena belum ada –atau tak pernah terpikirkan-- organisasi Keluarga Besar Politikus; Keluarga Besar Pedagang; bahkan juga Keluarga Besar Petani atau Keluarga Besar Peternak Itik yang juga menyumbang hampir segala-galanya untuk kemerdekaan, yang menghidup-hidupkan romantisme ‘’perjuangannya di zaman pergolakan’’.

Harus diingatkan pula bahwa klaim itu bisa seperti ‘’menepuk air di dulang tepercik di wajah sendiri’’, karena hampir tidak ada satu organisasi pun (termasuk KBA) yang tidak pernah menyatakan kebulatan tekad mendukung Soeharto di masa keemasannya. Apa itu harus dipertanggungjawabkan juga saat ini? Di titik ini, saya setuju dengan Hairil, bahwa KBA dalam perspektif Orde Baru memang seharusnya sudah lama dikuburkan.

‘’Penguburan’’ itu dilakukan agar cara-cara Orde Baru seperti abuse of power (penyalah-gunaan kekuasaan) atau abuse of relationship (penyalah-gunaan hubungan) tidak lagi dilestarikan. Seperti apa jenis penyalahgunaan itu? Rapat oleh organisasi anak polisi di Kantor Polres, misalnya, bukankah bisa diterjemahkan sebagai abuse of relationship? Sebab organisasi anak peternak ayam atau organisasi anak pedagang kangkung tentu amat sangat sulit mendapatkan kesempatan yang sama. Jangankan rapat di Polres, mendekati Polres saja saya yakin sudah bikin tengkuk merinding (jujur saja: siapa yang sudi berurusan dengan polisi dengan sukarela bahkan demi SIM atau Surat Keterangan Kelakuan Baik sekalipun?)

Akhirnya, siapapun yang peduli terhadap apapun tentu harus diapresiasi dengan baik. Tetapi peduli dengan tatacara berlebihan, apalagi dengan klaim karena kami adalah anak serdadu atau anak polisi, yang sudah rapat di Kodim dan Polres sebelum memberi pernyataan, tentu juga terlampau berlebihan. Terlebih bila membawa-bawa nama Surya Paloh, Yoseano Waas, Edwin Kawilarang dan lain-lain, seakan-akan dengan mereka tersinggung maka langit di atas negeri ini akan runtuh besok pagi.***