Sabtu, 16 Februari 2008

Kota Bukan Ini, Bukan Itu

SEORANG birokrat asal Bolmong yang berkarir di daerah lain mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota atau Wakil Walikota Kota Kotamobagu. Demi pencalonan itu, dengan percaya diri sang calon kandidat mengusung konsep ekonomi kerakyatan.

Melalui konsep itu, katanya (yang saya baca di edisi online satu harian yang terbit di Manado), Kota Kotamobagu akan dibangun demi kesejahteraan masyarakatnya.

Collapse: How Societies Choose to Fail or Survive dari Jared Diamond (Peguin Books, 2005) yang ada di panggkuan saya nyaris jatuh membaca pernyataan itu. Masa depan orang banyak di Kota Kotamobagu diselamatkan dengan ekonomi kerakyatan? Dari mana pikiran ajaib itu mampir di kepala yang mulia calon kandidat? Apakah yang bersangkutan sekadar keseleo lidah? Latah ber-ekonomi kerakyat-an karena dua kata ini kedengaran keren dan kerap diucapkan di mana-mana? Sekadar jualan politik? Atau karena yang bersangkutan memang paham benar apa itu ekonomi kerakyatan?

Sederetan pertanyaan itu dengan segera membentuk geografi dan monografi Kota Kotamobagu di benak saya. Tersuruk di tengah lembah Bolaang Mongondow, tanpa lapangan terbang dan pelabuhan laut, kota yang baru seumur jangung ini hanya terdiri dari empat kecematan; tak lebih dari 30 kelurahan dan desa; dengan wilayah –yang meminjang istilah adik saya—‘’cukup untuk rute gerak jalan 17 Agustusan’’; dan berpenduduk cukup padat –berkisar kurang 150.000 jiwa.

Apa sumber ekonomi utama Kota Kotamobagu? Pertanian? Komoditasnya apa dan lahannya di mana? Usaha kecil dan menengah? Selain kacang goyang dan Kopi Kotamobagu, apakah ada usaha skala kecil-menengah lain yang bisa kita sebutkan? Jasa? Jasa apa?

Jadi, menurut hemat saya, yang mulia calon kandidat barangkali sekadar salah makan dan keracunan ikan lolosi saat diwawancarai wartawan. Sebab saya juga tidak yakin kalau yang bersangkutan paham apa itu konsep ekonomi kerakyatan.

Apakah pula ekonomi kerakyatan yang dimaksud adalah konsep ekonomi yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat (apapun bentuk praktisnya); atau konsep ekonomi yang bertumpu pada kemampuan dasar rakyat di satu wilayah tertentu, yang akan didorong dan dikembangkan hingga menjadi kekuatan utama penopang kesejahteraan mereka?

Asal bicara konsep ekonomi kerakyatan itu, menurut saya, sama ngawurnya dengan cita-cita yang dicanangkan Pjs Walikota Kota Kotamobagu beberapa waktu lalu, yang akan menjadikan kota ini sebagai kota pendidikan dan jasa. Dari berbagai sisi dan sudut, cita-cita itu bukan sekadar mimpi di siang bolong; tetapi lamunan yang keterlaluan.

Apa pra syarat sebuah kota, apalagi sekecil Kota kotamobagu, bisa didorong menjadi kota pendidikan dan jasa? Bukan sekadar infrastruktur, yang dengan kapital besar bisa segera dibangun dalam beberapa tahun ke depan; atau sumber daya manusia (SDM) yang bisa dibajak atau disediakan dengan mengirim sebanyak mungkin ‘’orang Kota’’ studi S2 dan S3. Ada hal yang lebih filosofis dan subtantif, yang bisa disederhanakan dengan pertanyaan: apakah kultural masyarakat Kota Kotamobagu secara historis menyiapkan dirinya untuk menjadikan kotanya kota pendidikan?

Pendidikan bukanlah sebuah proses belajar-mengajar saja; melainkan atmosfir utuh, yang mencakup dan melingkupi seluruh proses dan jejaringnya. Dengan SD kualitas kota kecil, SMP dan SMU yang kurang lebih sama; satu akademi swasta; dan dua Perguruan Tinggi (PT) swasta yang lebih sibuk bersikutat dengan dana operasional, apa yang diharapkan? Belum lagi pra syarat normatif lain sebagaimana yang lazim dibutuhkan oleh komunitas terdidik dan ingin terdidik semisal meseum, galeri, teater, laboratorium, dan tentu toko buku yang lengkap. Termasuk pula jaringan koneksi internet cepat, mengingat pendidikan dan teknologi di zaman ini adalah kembar siam yang tidak bisa dipisahkan lagi.

Mungkin Kota Kotamobagu memang bisa jadi kota pendidikan, tetapi di era entah kapan; pun di saat itu anggap saja Singapura sudah habis ditelan tsunami, Yogyakarta tidak ada lagi, atau yang paling terdekat Manado sudah menutup semua PT dan universitas yang ada.

Lalu kota jasa? Sekali lagi, jasa apa? Kalau kita bicara jasa yang paling cepat mampu membangkitkan ekonomi sebuah kota, maka jasa keuangan dan moneterlah itu. Berapa banyak bank yang ada di Kota Kotamobagu? Dengan jumlah uang berapa yang berputar? Kalau mau lebih disederhanakan lagi, apakah ada pakar ekonomi dan keuangan yang mau mengorbankan dirinya untuk datang ke Kota Kotamobagu untuk memulai karir dan usahanya?

Dengan ekonomi yang kurang lebih bertumpu hanya pada anggaran pemerintah (terutama gaji PNS dan proyek-proyek pemerintah), retail skala kecil, dan jasa transportasi rakyat (hitung saja berapa besar jumlah bentor yang beroperasi), sungguh dibutuhkan akal sehat dan kewarasan untuk membangun Kota Kotamobagu. Dua hal inilah yang tidak saya lihat hari-hari terakhir ini, di saat begitu banyak orang yang berkeinginan menjadi pemimpin di kota ini. Yang saya kuatir, alih-alih menjadi pemimpin, mereka yang sibuk menebar poster dan stiker bergambar sosok dengan jas atau jaket kulit mengkilap, hanya akan membawa masyarakat menjadi gerombolan pemimpi.

Galibnya pengkritik, bagaimana bila saya dikritik dan ditanyai konsep membangun Kota Kotamobagu? Tentu pengkritik yang baik harus punya solusi. Sayangnya saya tidak akan mengubar konsep dan solusi itu, mengingat ada budaya buruk lain yang berkembang di kalangan mereka yang menganggap dirinya layak jadi pemimpin di Bolaang Mongondow: meniru tanpa berpikir, yang hasilnya bahkan lebih buruk dari yang ditiru.

Buktinya, karena di Pilkada sebelumnya di permukaan poster, stiker, bagi-bagi hadiah dan uang, serta menyanyi di pesta pernikahan adalah cara kampanya yang dianggap efektif; semua calon kandidat di Pilwako Kota Kotamobagu kini beramai-ramai melakukan hal yang sama. Tanpa inovasi, modifikasi, atau sentuhan kreatif.

Apa iya kota ini harus dibangun dengan cara yang tidak kreatif, sementara modal terbesar peradaban manusia saat ini justru adalah kekayaan intelektual?***

Musim Politik pun Tiba

EMAIL itu tiba subuh hari ini, Sabtu, 16 Februari 2008. Dan menjadi email pertama yang menerobos BlackBerry saya di pagi yang dingin. Pengirimnya, adik ketiga yang kini berkeluarga, bekerja, dan bermukim di Perancis.

Bagi khalayak di luar perkakak-beradikkan kami, isi email-nya tentu sama sekali tak berguna. Tidak pula ada relevansinya dengan sosio-ekonomi-politik kontemporer; apalagi hajat hidup orang banyak. Sebab isinya cuma tukar-kisah dan rindu-merindui antar keluarga. Sejauh apapun dia dan keluarga Perancis-nya (adik saya menikah dengan perempuan Perancis dan kini mereka punya dua anak hasil kolaborasi Mongondow-Perancis –yang artinya: putih, bermata coklat-kebiruan, rambut pirang, dan Alhamdulillah berhidung Mongondow yang mirip tomat), kabar kecil selalu menjadi pembicaraan panjang-pendek.

Kali ini cerita yang dipertukarkan adalah musim muntah. Apakah gerangan? Apa orang di Perancis, khususnya di kota tempat mereka bermukim, tak punya hobi lain hingga muntah dijadikan musim? Bukankah lebih baik kalau ada musim makan-makan; musim ketawa; musim banyak duit; atau sejenisnya, ketimbang musim muntah; apalagi musim tidak punya duit. Kesengsaraanlah yang terbayang-bayang.

Apa musabab musim aneh itu, entahlah, karena saya masih menunggu email berikutnya yang berisi penjelasan scientific dan mustahak dari perkara musim muntah ini. Yang jelas menurut email-nya, mereka anak-beranak, para tetangga, dan orang sekota, tidak asing dengan musim muntah ini di bulan-bulan tertentu.

Namun, email itu menyadarkan saya pada satu musim yang sekarang sedang berlangsung di Kota Kotamobagu: musim politik; yang dimanifestasikan lewat tim sukses, spanduk, poster, stiker, lagu, pidato, pos komando (Posko), dan fans club; yang celakanya bagi orang-orang tertentu diiringi komplikasi berat seperti terkaget-kaget, mudah naik darah, rasa muntah, sakit mata, sakit kepala, dan gatal-gatal yang tak terpetakan.

Begitu hebatnya fenomena seperti spanduk, stiker, dan Posko, sampai-sampai hanya sekitar lima tempatlah yang mungkin tidak dijamah oleh alat kampanye politik ini: patung di taman samping BRI, mesjid, gereja, pura (setahu saya ada satu pura di Jalan Amal), dan kuburan. Bahkan patung Bogani di Kotabangon pun sudah dilekati stiker para politikus dan mereka yang merasa pantas jadi calon Walikota dan Wakil Walikota Kota Kotamobagu.

Saya ikut menyumbang musim ini lewat meng-iyakan beberapa spanduk berkaitan dengan Pilwakot Kota Kotamobagu. Untunglah, setelah istigfar, saya sadar untuk tidak membuat orang lain sengsara karena ke-ge er-an saya ikut-ikutan meramaikan musim politik di Kota Kotamobagu. Maka, dengan kesadaran penuh, saya memutuskan meminta adik-adik dan sedulur berhenti membuat spanduk; apalagi poster, stiker, Posko, atau fans club. Malu rasanya merasa penting di saat semua orang merasa lebih penting, lebih mampu, mampuni, ganteng, gagah, cerdas, dan kapabel.

Walau, sesungguhnya dibanding semua yang punya perasaan itu; rasanya saya tidak kurang penting –paling tidak untuk sanak-kerabat dan kawan-kawan--, mampu (toh saya bukan pemain kandang), mampuni (bisalah diuji dengan debat serta fit and proper test), ganteng (setidaknya saya masih muda dan sedang segar-segarnya), gagah (cobalah foto saya disandingkan dengan Brad Pitt, kurang lebih sama gagahnya); cerdas (yang satu ini, percayalah, hanya perasaan dan klaim pribadi), dan tentu kapabel (memimpin masyarakat Kota Kotamobagu yang umumnya terdidik, tidak membutuhkan lebih dari niat baik, kejujuran, dan tim yang solid).

Ge er (lengkapnya gede rasa, yang artinya ‘’perasaan penting semata’’) boleh-boleh saja, tetapi ke-ge er-an tentu harus dikontrol dengan kesadaran dan rasa malu.

Namun, kesadaran dan rasa malu itu pulalah yang membuat saya tergolong orang yang terkena komplikasi terkaget-kaget, mudah naik darah, rasa muntah, sakit mata, sakit kepala, dan gatal-gatal. Saya terkaget-kaget melihat begitu banyak orang yang merasa pantas, mampu, dan harus jadi calon Walikota dan Wawali. Yang dengan gagah berani maju (lengkap dengan menyebar SMS untuk dukungan), tanpa menakar apakah keinginan itu pantas dan patut.

Saya jadi mudah naik darah, karena spanduk, poster, stiker, poster dan segala pernak-pernik musim politik itu berisi kalimat dan gambar yang rasanya aneh dan ajaib. Apa lucunya melihat para politikus dengan aneka pose terpampang di mana-mana? Saya merasa ingin muntah karena klaim-klaim yang bersiliweran sesungguhnya jauh dari konteks keinginan membangun Kota Kotamobagu. Sebaliknya, menunjukkan bahwa sejumlah orang yang ge er itu memang mengejar kursi semata.

Dan segala spanduk, poster, dan stiker, ya Allah, benar-benar menyakiti mata. Demikian pula, lagu-lagu dan pidato yang dikumandangkan –bahkan di upacara kematian— sungguh membuat kepala berdenyut-denyut. Pun, akibat dari bersemangatnya pada calon kandidat, tim sukses, fans club, dan simpatisan, membuat tak cukup rasanya hanya menggaruk kepala, dada, tangan, atau kaki.

Rupa-rupa sengsara itu sungguh menyakitkan.

Itu sebabnya, mungkin memang lebih baik musim muntah saja seperti yang dialami adik saya; ketimbang musim politik seperti di Kota Kotamobagu saat ini. Terus-terang, diam-diam saya iri padanya.***

Jumat, 15 Februari 2008

Jangan Datang atau Titip Salam

Ditulis pada 11 November 2005, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


STABILITAS politik dan pemerintahan apa yang mungkin terganggu sebab dipicu silaturahmi Idhul Fitri? Bisakah sekumpulan orang berbaju terbaik, semerbak wangi, di hadapan minuman dan panganan enak, menyempatkan diri memikirkan penggulingan pemerintahan?

Belum pernah ada kejadian binarundak (nasi jaha, nasi jahe) jadi musabab tindak subversif; atau kue mentega dan minuman ringan mendorong orang berkonspirasi melawan rezim yang berkuasa. Sepengalaman saya, kalau toh silaturahmi Idhul Fitri membawa akibat buruk, tak lebih karena leher dan selera yang tak kuat menahan goda dan akhirnya merembet ke instabilitas perut dan ‘’saluran belakang’’.

Di Idhul Fitri, di saat setiap Muslim membuka pintu lebar-lebar bagi tetamu, menampakkan senyum semanis mungkin, menyajikan panganan dan minuman terbaik, persetan dengan urusan perbedaan sikap politik. Bahkan orang-orang yang di hari-hari sebelumnya saling mengacungkan kepal; mungkin pula sudah mengasah parang dan menetapkan niat; mestinya menyudahi segala amarah, sakit hati, dan dendam.

Itu sebabnya pemberitaan Manado Post (MP), Rabu 9 November 2005, yang mengutip ‘’omelan’’ Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) pada para pejabat di jajarannya (Bupati ‘Protek’ Pejabat, Larang Kunjungi Lawan Politik), saya maknai sebagai sikap paranoid, kekanak-kanakan, dan anti silaturahmi. MP tentu tidak main-main dengan kutipan yang isinya cukup ‘’seram’’ itu, karena Bupati implisit mengatakan: ‘’Biar kita nyanda tunjuk muka, mar kita tahu siapa yang datang ke rumah JM.’’

Konteks pernyataan Bupati itu karena ada dua kepala dinas (Kadis) yang ‘’konon’’ berkunjung ke rumah lawan politiknya pada Idhul Fitri lalu.

Eh, esoknya Kahumas Pemkab Bolmong ‘’meralat’’ pernyataan Bupati (Yuda: Bupati Tidak Melarang, MP, Kamis 10 November 2005). Katanya: ‘’Bupati tidak pernah melarang siapa pun untuk mengunjungi atau bersilaturahmi dengan siapa saja. Bupati hanya menekankan agar PNS tetap menjaga netralitas tidak memihak siapapun.’’

Dua pernyataan itu implisit dan eksplisit bertentangan satu dengan yang lain. Apakah mengunjungi seseorang di Idhul Fitri, lawan politik sekali pun, bisa menjadi indikator seorang PNS tidak lagi berada di posisi netral sebagai birokrat?

Saya tidak peduli siapa yang diberi inisial JM itu. Yang menjadi konsern saya adalah ajaib benar bila kunjungan silaturahmi Idhul Fitri seseorang yang kebetulan seorang Kadis pada seseorang (bukan kerabat sekali pun) yang politikus dan berseberangan dengan Bupati, menjadi indikator ketidak-netralan, kesalahan, atau ketidak-loyalan; seolah yang dikunjungi bakal menularkan bibit kusta atau flu burung dan karenanya mengancam stabilitas politik dan pemerintahan di Bolmong.

Andai saya Kadis dan kebetulan hadir di siapa pun yang inisial namanya adalah JM, mendapat ‘’omelan’’ seperti itu, saya akan unjuk tangan. Saya bukan hanya akan mengakui hadir dan bersilaturahmi, tetapi juga mempertanyakan apa maksudnya seorang Bupati harus mengangkat isu itu?

Loyalitas seorang birokrat adalah pada Tuhan, Negara dan Bangsa, serta profesionalismenya. Tidak peduli siapa pun Bupatinya! Loyalitas seorang birokrat bukan pada Bupati sebagai pribadi; tetapi Bupati sebagai pejabat publik. Di luar urusan itu, Bupati tidak punya hak. Sebab bila ruang publik dan pribadi dicampur aduk, bisa-bisa Bupati pun bakal mengatur seorang Kadis harus bermukim di kampung mana, bertetangga dengan siapa, makan di warung mana, boleh berfamili dengan siapa, bahkan hingga boleh pakai sarung atau tidak di rumah.

Walau demikian, saya tetap menaruh hormat pada birokrat teras yang pada akhirnya harus takluk pada ketakutan tak masuk akal dianggap tak loyal karena berhubungan dengan orang-orang yang ‘’tidak disukai Bupati’’. Sikap itu adalah pilihan sadar, lepas dari baik atau buruk dari pandangan orang lain. Itu sebabnya pula di Idhul Fitri lalu saya terpaksa tak kerkunjung ke satu pun kerabat birokrat, agar mereka ‘’terbebas’’ dari kemungkinan stigma berkomplot.

Apalagi, beberapa hari sebelum Idhul Fitri teman dan kenalan yang birokrat di Bolmong sudah mengirim signal agar saya (yang sudah distempel sebagai salah satu yang aktif menentang Bupati –pada kenyataannya saya tidak pernah merasa memusuhi dan menentang siapa pun) jangan mengunjungi mereka karena bisa membahayakan karir dan stabilitas kursinya di kantor. Salah seorang di antaranya, sembari tertawa pahit, bahkan memohon dengan mengutip sepotong syair lagu populer: ‘’Jangan datang atau titip salam/(sebab)hanya menambah luka di hati.…’’

Memahami Mongondow, saya mafhum dan memaafkan.***

''De'eman Tonga' Tarepak Bo Monarepak''

Ditulis pada 28 Oktober 2005, tulisan yang judul lengkapnya Tanggapan atas Tanggapan: ’'De’eman Tonga’ Tarepak Bo Monarepak’’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah lanjutan polemik dengan Hatta L Sugeha di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).


ARTIKEL Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine, Manado Post (MP), Rabu, 26 Oktober 2005, membuat saya menggeleng-nggeleng. Bukan karena serangan pribadi dari penulisnya; tapi sebab masalahnya makin jauh dari substansi yang sejak awal dikedepankan, yaitu: ruang publik yang diprivatisasi.

Terjebak atau menjebakkan diri membawa ruang publik ke wilayah pribadi tentu tidak akan saya layani.

Sejak awal, kritik saya terhadap perilaku birokrat dan politikus di Bolaang Mongondow (lewat artikel ‘’Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol’’ dan ‘’Adat Dia’ Ko Ada-adat’’) tidak berkaitan dengan pribadi seorang Bupati atau siapapun; melainkan Bupati dan siapapun sebagai pejabat publik yang memperlakukan ruang publik sesuka-sukanya, seakan-akan itu milik pribadi, keluarga, dan golongan.

Tiga contoh yang saya kemukakan, perubahan nama Lapangan Kotamobagu menjadi Lapangan Boki’ Hotinimbang; Taman Tilawatil Qur’an menjadi Taman Marlina; dan RS Datoe Binangkang menjadi RS Abraham Sugeha; adalah ruang publik. Demikian pula pelekatan Boki’ pada Bua’ Hotinimbang Manoppo, juga berkaitan dengan kepentingan publik, karena boki’ dan bua’ adalah pengakuan budaya yang tentu sungguh memalukan bila tempatnya diputar-balikkan. Atau, bahkan dengan sengaja diada-adakan.

Dan ada pula contoh paling baru, yaitu penggunaan kompleks Bobakidan sebagai kawasan pasar senggol; yang menunjukkan bukan hanya pemerintah Bolmong tidak memiliki konsep jelas, melainkan dengan sengaja menodai persepsi sosial-budaya yang melekat pada gedung tersebut. Bila Kompleks Gedung Bobakidan bisa diubah menjadi kawasan pasar; saya tidak heran bila Kantor Bupati pun lama-lama menjadi teater komedi dan Rumah Jabatan entah jadi apa?

Sebaliknya, Hatta Sugeha yang sejak awal menempatkan diri menjadi wakil Keluarga Sugeha, mensemena-menai saya dengan terus-menerus menyerang ruang pribadi saya (baca kembali ‘’Tantangan Buat Sdr Katamsi Ginano’’ dan ‘’Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine’’). Bukan cuma memberi gelar ajaib macam ‘’angkuh, tinggi hati, pongah dan sombong, merasa diri paling pinter, tau segala-segalanya, merasa paling benar, dan menganggap orang lain bodoh dan tidak mengerti apa-apa’’, tapi juga ancaman dan tantangan.

Pengibaratannya, bila pejabat publik (katakanlah Bupati) menginjak kepala orang, dia menjadi sah dengan alasan ‘’karena Bupati’’ dan karena kewenangan. Tapi bila yang diinjak balas mencubit, dipersalahkan karena melanggar adat, tatanan, tidak hormat, dan bisa jadi berakhir dengan tuduhan pidana dan kriminal. Lebih aneh lagi, yang gusar dan keberatan justru bukan sang pejabat publik, melainkan orang lain yang sama sekali di luar wilayah tersebut.

Tentu publik bisa menilai siapa yang sedang menyerang pribadi dan berniat merusak karakter seseorang. Akan halnya pertanyaan dan pendapat saya terhadap privatisasi ruang publik, sejauh ini tidak seorang pun yang saya seret menjadi suporter. Setiap warga negara, sendiri atau bersama-sama, berhak dan wajib mempertanyakan hajat hidup orang banyak.

Apabila ada tudingan kritik saya berkaitan dengan dekatnya suksesi Bupati dan Wakil Bupati Bolmong; tolong baca kembali MP dalam empat tahun terakhir. Kritik, dari yang sindiran sampai terang-terangan, sudah berulang kali saya tulis. Problemnya, barangkali, karena selama itu kritik saya dimaknai sebagai kritik terhadap pohon poke-poke (terong) belaka; bukan pada pejabat publik yang bertanggungjawab terhadap seluruh masyarakat Bolmong.

Apa yang Diperdebatkan?

Konteks kritik saya terhadap pilihan pelekatan nama Abraham Sugeha menggantikan Datoe Binangkang sebagai nama RS Pemerintah di Bolmong, sesungguhnya dikuatkan oleh Hatta Sugeha, bahwa: memang tidak ada alasan yang absah dan masuk akal, kecuali alasan pribadi pejabat publik yang sedang berkuasa.

Ditilik dari sudut mana pun, Abraham Sugeha adalah Raja Pononigad (asal kata dari ‘’sigad’’, yang berarti ‘’antara’’, ‘’batas’’, atau ‘’ganjal’’). Benar bahwa ‘’Pononigad’’ dan ‘’Pinonigad’’ berbeda arti; tetapi bagi orang Mongondow yang paham benar arti dua kata itu, mudah mahfum mengapa saya lebih memilih pononigad ketimbang pinonigad.

Artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine juga membenarkan posisi Abraham Sugeha sebagai ‘’Raja Antara’’ atau ‘’carateker’’; dengan mengungkapkan secara eksplisit bahwa penggantinya bukanlah anak temurunnya, melainkan anak temurun Manoppo yang sebelumnya berkuasa sebagai Raja Bolaang Mongondow.

Akan halnya penyebaran Islam di Bolmong, saya sarankan tampaknya pihak yang berpolemik dengan saya harus membaca dengan cermat sejarah Indonesia. Sebagai gambaran, A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (Palgrave, 2001) yang ditulis M. C. Ricklefs (buku ini adalah salah satu literatur utama dalam memahami sejarah Indonesia), menulis bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia sejak 1200. Di Indonesia Timur, di banyak literatur (terutama berkaitan dengan kolonialisme dan pengkabaran Injil), disebutkan bahwa Kerajaan Bolmong sudah berdiri 1500-an dan bersentuhan dengan Ternate (yang Islam) pada 1600-an.

Sebagai penyebar Islam, Abraham Sugeha hanya salah satu dari banyak penyebar lain. Lagipula, puncak kejayaan penyebaran Islam di Bolmong, harus diakui, justru karena peran Sarikat Islam (SI) –ini dibuktikan dengan jejak-jejak sejarah organisasi ini yang masih tersebar di mana-mana di Bolmong.

Dengan kata lain, ada klaim-klaim sejarah Abraham Sugeha yang juga harus diverifikasi dengan serius agar sejalan dengan sejarah objektif di sekitarnya. Lain soal kalau sosoknya dijadikan sentral dan subyek utama. Bila itu yang diinginkan, saya tidak ambil pusing. Anak temurun Abraham Sugeha berhak dan wajib bangga terhadap leluhurnya; tapi tentu dengan tidak mengabaikan penghormatan terhadap pelaku sejarah yang lain; dan itu adalah keniscayaan bagi orang Mongondow yang paham mo o’aheran.

Sebab kalau semata perkara kebesaran sejarah, katakanlah dengan mengesampingkan Datoe Binangkang, mengapa bukan nama Tadohe yang dijadikan pengganti Datoe Binangkang. Bukankah sejarah Tudu in (Passi) Bakid sungguh besar dan menggetarkan; yang bukan hanya mengajari orang Bolmong bagaimana penghormatan antara pemimpin dan yang dipimpin sebagai dua subyek independen; tetapi juga memperlihatkan kearifan para pemimpin dalam mengemban amanah dan tanggungjawab.

Terhadap peran Belanda dalam proses pengangkatan raja-raja Bolmong, terutama di abad 19 dan 20, memang tidak terbantahkan. Sama tidak terbantahkan bahwa di zaman Abraham Sugeha-lah (karena perjanjiannya dengan Belanda) tentara Kerajaan Bolmong dilikuidasi. Itu artinya: sejak zaman Abraham Sugeha Kerajaan Bolmong tidak memiliki ‘’alat pembelaan diri’’ dan semata-mata100 persen tergantung pada Belanda.

Sejarah yang benar harus dipahami dengan jernih; dan diakui.

Perkara Bahasa

Saya terusik betul dengan frasa ‘’Hotinimbang: Apakah dia seorang Boki atau Bua? dalam buku W. Dunnebier tidak ditemukan seperti ketentuan yang dimaksud oleh Katamsi Ginano, tetapi dari keluarga dan beberapa penulis sejarah Kontemporer Bolaang Mongondow, bersepakat bahwa tidak ada perbedaan Boki’ ataupun Bua’.’’

Keterusikan saya karena frasa itu memperkuat fakta bahwa pelekatan boki’ pada Hotinimbang Manoppo memang sekadar klaim dan ‘’selera’’ keluarga dan (kalau benar) beberapa penulis sejarah kontemporer Bolmong (saya kasihan betul pada sejarawan itu, yang arti kata boki’ saja tidak tahu lalu berani-beraninya bicara tentang sejarah Bolmong yang lebih besar dan kompleks).

Harap dicatat bahwa Bahasa Mongondow hingga kini masih umum digunakan sebagai bahasa keseharian di Bolmong, selain Bahasa Indonesia dan Melayu Manado. Jadi bohong besar kalau boki’ dan bua’ adalah dua kata yang mirip dua sisi dari satu mata uang. Lagipula, Dunnebier memang tidak membahas kata boki’ dan bua’; tetapi dia juga membuat kamus Mongondow-Belanda yang mestinya bisa dibuka-buka kembali sebagai referensi, itu pun kalau kita tidak lagi mempercayai penutur asli yang jumlahnya puluhan ribu di Bolmong.

Mungkin lebih mudah bila saya mencontohkan bagaimana kayanya bahasa Mongondow. Orang Mongondow mengenal pipit (anak ayam), tulug (ayam jantan), dan manuk (ayam). Pipit adalah manuk; tetapi jelas bukan tulug. Tulug adalah manuk pula; tapi sudah bukan pipit. Sedangkan pipit dan tulug, tentu absah saja disebut manuk.

Nah, boki’ adalah permasuri, istri raja; sedangkan bua’ adalah putri bangsawan, bukan hanya raja tetapi keturunan dari bangsawan umumnya (demikian pula dengan abo’ untuk kaum lelaki). Seorang boki’ bisa jadi adalah bua’ pula; karena dia anak bangsawan yang diperistri oleh raja. Seorang bua’ belum tentu bisa menjadi boki’. Dan seorang boki’, yang bukan keturunan bangsawan, tentu saja bukan bua’.

Saya kira, duduk soal boki’ dan bua’ itu jelas belaka (sebab artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine juga sebenarnya sudah menggambarkan dengan baik, walau bertentangan dengan frasa dari alinea yang lain). Bila tidak juga, saya kira bahasa Mongondow yang pantas adalah: ‘’Tuntulan kabi’ in da’un in bango’ to goba’, yo aka nomom pungit yo pungit bi doman’’ (Walau diterangi dengan unggun daun kelapa satu kebun, bila sengaja digelapkan maka tetap saja gelap).

Pelekatan boki’ pada Hotinimbang Manoppo yang hanya bua’, jelas karang-karangan saja. Karangan yang dalam konteks adat Mongondow adalah pelanggaran kelas berat yang dapat disebut: moko oya’ sin dia’ don ko oya-oya’ (memalukan karena tak lagi memiliki malu).

Dalam konteks bahasa pula, saya ingin mengoreksi judul artikel Dia’ Ko Adat Dega’ Ki Ine, yang dalam tata bahasa Mongondow sungguh keliru besar. Kalimat yang seharusnya adalah: ‘’Ki Ine Dega’ In Dia’ Ko Adat’’. Tapi mengingat membedakan boki’ dan bua’ saja sulit, maka kesalahan fatal tata bahasa Mongondow itu kita maafkan saja. Sebab bisa jadi yang menulis artikel itu juga ghost writer yang berlatar bukan Mongondow.

Kembali ke Ruang Publik

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan tetap menagih hutang maaf Hatta Sugeha terhadap saya dan nenek moyang saya; karena ruang pribadi itu sudah dibawa ke depan publik; dan saya sudah menjawab lewat tulisan ‘’Adat Dia’ Ko Ada-adat’’. Pengakuan ketidaktahuan dari bersangkutan bukanlah permintaan maaf!

Juga, bahwa saya menolak berdialog langsung, karena substansi masalahnya bukanlah urusan Keluarga Sugeha dengan saya; tetapi urusan saya sebagai orang Mongondow dengan pejabat publik dan ruang publik di Mongondow. Dengan tetap menghormati semua pihak yang konsern, saya tegaskan: yang saya kritik adalah Bupati sebagai pejabat publik yang memprivatisasi kebijakan publik terhadap ruang publik.

Pangkal soal silsilah keluarga, termasuk siapa yang sukses menjadi ini-itu, saya hormati dengan absahkan saja. Toh, misalnya saja saya dengan bangga mencantumkan Nabi Adam sebagai kakek-moyang saya, dan Presiden Mesir almarhum Anwar Sadat adalah saudara jauh saya, tidak ada pula yang ambil pusing (walau pun paham Teori Darwin, bahwa manusia adalah makluk yang berevolusi dari monyet, saya lebih suka tetap menyakini sebagai keturunan Nabi Adam saja). Lain soal kalau Nabi Adam juga saya bawa-bawa sebagai ‘’cap’’ saat berurusan dengan kepentingan orang banyak. Keturunan Nabi Adam yang lain tentu amat pantas melayangkan komplein dan keberatan.

Berkenaan dengan kepentingan publik di Bolmong, maaf saja, Hatta Sugeha tentu bukan pihak yang kompeten; sebab dia bukan pejabat publik yang dimaksud. Sekadar bertemu atau minum kopi dan mempercakapkan tentang soal-soal keseharian, akan saya sambut hangat, apabila ada waktu dan kesempatan. Lagipula, kalau yang bersangkutan cermat membaca tulisan saya, seluruh masalah sudah terang-benderang; yang bahkan pendapat saya langsung atau tidak sudah pula dikuatkan oleh Hatta Sugeha.

Lain soal kalau Bupati Bolaang Mongondow dan jajarannya; atau DPRD Bolmong, yang meminta saya bertemu dan saling menumpahkan uneg-uneg agar Bolmong menjadi lebih baik di masa depan. Dengan senang hati saya akan melayani, tanpa perlu meminta honor duduk atau uang dengar dan bicara.

Syaratnya, tentu bukan sekadar monarepak (dari asal kata ‘’tarepak’’ --arti harfiahnya: tai –ampas—minyak kelapa--, yang dahulu dimaknai pula sebagai ‘’beromong kosong’’) belaka. Terlalu sayang dan sedih bila hajat hidup orang banyak dilayani hanya dengan omong kosong.***

''Adat Dia' Ko Ada-Adat''

Ditulis pada 4 Oktober 2005, tulisan yang judul lengkapnya Mongondow Kontemporer, Sebuah Pertanggungjawaban:‘’Adat Dia’ Ko Ada-Adat’’ ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan terhadap tanggapan Hatta L Sugeha terhadap tulisan Adab Politikus dan Birokrat Bolmong: ‘Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol’ di harian yang sama, yang menyoroti perilaku para politikus dan birokrat di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong).

LENGKAP sudah comedy of error di Bolaang Mongondow (Bolmong) tatkala membaca ‘’tantangan’’ dari Hatta L Sugeha (Tantangan Buat Sdr Katamsi Ginano, Manado Pos (MP), Kamis, 29 dan Jumat, 30 September 2005). Tulisan dalam bentuk surat pembaca itu adalah respons terhadap tulisan Selamat Datang di Kabupaten Ongol-ongol (MP, Kamis, 22 dan Jumat, 23 September 2005).

Surat pembaca yang ditutup dengan permintaan agar dengan jantan bertanggungjawab, menuntut saya untuk menulis tulisan ini. Supaya, sebagaimana para orangtua Mongondow selalu berkata: Bain dia’ mo poko’oya’ sin andon sinon’ tulug yo noketet bi’ (Agar tidak memalukan karena sudah dijadikan ayam jantan tapi malah berkotet).

Agar pertanggungjawaban ini mudah dipahami, sebagaimana yang juga dituntut oleh Jibran Sugeha –lengkap dengan ancaman ‘’Anda berhadapan dengan seluruh Keluarga Sugeha’’, lewat telp pada Senin pagi, 26 September 2005, saya akan mengikuti kronologi selayaknya yang ditulis dalam surat pembaca yang isinya –meminjam ujar-ujar Anak Baru Gede (ABG)-- ‘’seram kali’’ itu.

Raja, Boki’, dan Bua’

Pertama, siapakah Abraham Sugeha? Dia adalah Raja (Datu’, Tuang Raja) ke-21 yang memerintah 1880-1892; yang dalam semua versi sejarah Bolaang Mongondow disebut sebagai Raja Pononigad (raja antara atau caretaker). Tentang Raja Pononigad, penulis-penulis sejarah Bolmong dari yang paling tua seperti misionaris Belanda W. Dunnebier hingga yang kontemporer seperti Dr Hasyim Mokoginta, bersepakat demikian adanya.

Bahkan, Dunnebier yang hampir menjadi satu-satunya rujukan sejarah Bolmong tertulis, jelas menyebut Abraham Sugeha sebagai Raja Pononigad, yang salah satu versi sejarahnya menyebutkan beristrikan Inalot C Manoppo; dan sejarah yang lain mengungkapkan dia beristri Inalot C Manoppo dan Bulawan Manoppo. Apakah dia diangkat oleh Belanda atau atas pengakuan rakyat Bolaang Mongondow, bisa disimak dari banyak catatan sejarah, termasuk yang kini tersimpan di Belanda..

Apa prestasi besarnya saat memerintah? Itu yang justru harus dijawab, apalagi berkaitan dengan akan ditahbiskannya nama Abraham Sugeha sebagai nama Rumah Sakit Pemerintah di Bolmong menggantikan nama Datoe Binangkang.

Kedua, kontroversi apakah Hotinimbang seorang bua’ (putri bangsawan) atau boki’ (permasuri)? Orang Mongondow yang benar-benar Mongondow tentu bisa membedakan apa arti bua’ dan boki’ dengan baik. Tegasnya: perkara ini jelas dan terang-benderang: Hotinimbang Manoppo adalalah seorang Bua’, bukan Boki’.

Hotinimbang menyandang gelar bua’ karena dia adalah putri dari Raja Egenus Manoppo. Alangkah anehnya bila kemudian Bua’ Hotinimbang Manoppo diubah menjadi Boki’ Hotinimbang Manoppo. Apakah itu bukan pemelintiran sejarah yang dilakukan dengan sengaja?

Bagi saya, anak ‘’kemarin sore’’ yang ghirah belajar sejarah nenek moyangnya, pertanyaan terbesar adalah: Kalau demikian istri dari Raja Bolaang Mongondow yang mana dan keberapakah Boki Hotinimbang itu?

Hatta L Sugeha tentu lebih bisa mengungkapkan dengan baik. Bahkan mungkin lebih baik dari Bua’ Emmy C Waworoentoe-Manoppo, cucu Raja Bolaang Mongondow ke-23, Datuela Cornelis Manoppo; anak dari Raja ke 24, Laurens Manoppo; dan adik kandung dari raja ke-25, Henny Junus Cornelis Manoppo; yang saat ini masih hidup dan bermukim di Kobo. Mungkin pula lebih baik dari Dr Hasyim Mokoginta yang sudah menjabarkan sebagian sejarah para Raja Bolang Mongondow kontemporer dalam Bolaang Mongondow, Etnik, Budaya dan Perubahan (Yayasan Bogani Karya-Pemda Kabupaten Bolaang Mongondow, 1996).

Bobahasaan bo O’a-heran

Tentang bobahasaan bo o’a-heran (komunikasi dan tenggang rasa –saling menghargai), tentu menjadi salah satu pilar tradisi dan kebudayaan Mongondow. Tuduhan Hatta L Sugeha, bahwa: ‘’… kalimat-kalimat yang muncul dari tulisan Bung Katamsi Ginano yang mengaku orang Mongondow yang begitu luar biasa vulgar dan kasarnya, seakan tidak pernah dididik soal adat istiadat Bobahasaan bo’ O’aheran…’’, bagi saya sungguh menunjukkan siapa yang sesungguhnya tidak dididik menjadi ‘’beradat dan berbudaya’’.

Apakah ada bobahasaan ketika Lapangan Kotamobagu diubah menjadi Lapangan Boki Hotinimbang? Apakah pula ada bobahasaan ketika Taman Tilawatil Qur’an menjadi Taman Marlina? Dan yang terakhir RS Datoe Binangkang menjadi RS Abraham Sugeha? Tidak ada!

Apakah pula ada o’a-heran? Tidak! Bolaang Mongondow bukanlah milik satu marga atau klan; dan penamaan terhadap ‘’sesuatu’’ yang ada di atas bumi Mongondow bukanlah hak prerogatif seseorang; walau dia Bupati sekalipun, apalagi kalau itu dengan sengaja dilakukan untuk kultus individu terhadap orang-orang yang berada dalam satu garis darah.

Anak-temurun Mokoagow, Damopolii, Mokoginta, Manoppo, dan marga Mongondow yang lain berhak untuk mendapatkan kehormatan yang sama, dan disapakati secara budaya dan sosial berdasarkan indikator-indikator objektif. Dan itu sudah dibuktikan oleh bupati-bupati Bolmong sebelumnya. Mokoagow tidak mengubah nama apapun ketika dia menjabat sebagai Bupati; demikian pula dengan Dampolii; atau Paputungan; Mokoginta (padahal Mokoginta punya pahlawan nasional Jenderal Mokoginta).

Mereka menjunjung apa yang dengan bangga ditanamkan dalam diri setiap orang Mongondow yang sadar terhadap indentitas budaya dan sosialnya: Mo o’a-heran.

Para Nenek Moyang

Tantang terhadap saya juga berkenaan dengan kontribusi saya dan nenek moyang saya terhadap Mongondow. Kutipannya: ‘’… tapi maaf sampai saat ini Saya belum pernah mengetahui ataupun mendengar kontribusi serta prestasi apa yang sudah diberikan oleh sdr Katamsi Ginano dan leluhurnya terhadap masyarakat Bolaang mongondow.’’

Untuk perkara itu, dengan bangga saya mengungkapkan, kalau Abraham Sugeha membuat kontrak dengan Belanda; maka kakek saya Ginano Mokoagow (yang hidup semasa dengan Abraham Sugeha dan bermukim di Bilalang) dibuang ke Aceh karena melawan Belanda.

Alhamdulillah, kakek moyang saya memberikan contoh bagaimana menjadi orang Mongondow yang berani. Nenek moyang saya mungkin ‘’hanya’’ memberikan jiwa dan raganya untuk Mongondow. Tidak lebih dan tidak kurang! Dan itu sudah cukup bagi anak-temurunnya.

Siapa Ginano Mokoagow? Hatta L Sugeha tentu tidak tahu; dan itu menurut saya berkaitan dengan tinggi-rendahnya ‘’langit pengetahuan sejarahnya’’. Sekali pun demikian, bagi anak-temurun Ginano Mokoagow, namanya tak perlu diabadikan jadi nama lapangan (apalagi ditambahani gelar Datu’ atau Abo’ Ginano Mokoagow) misalnya. Kenangan dan penghormatan cukup dengan menjadikan namanya sebagai cabang marga Mokoagow.

Ginano Mokoagow menurunkan Sinalaan Ginano (yang menyandang nama itu karena lahir bersamaan dengan pembuangan ayahnya ke Aceh oleh Belanda), yang bagi sebagian besar orang Mongondow dikenal dengan nama Ki O’. Ki O’ adalah kakek saya, ayah dari ayah saya.

Bagi orang Mongondow, sumbangsih klan Mokoagow dan cabang-cabangnya seperti Mokodompit dan Manoppo dalam sejarah Bolaang Mongondow, bisa dengan mudah dibuktikan dari catatan sejarah dan jejak-jejaknya yang hingga hari ini masih ditemui di mana-mana.

Pejabat Publik dan Ruang Publik

Akan halnya ketersingungan mengapa penggantian nama RS Datoe Binangkang menjadi Abraham Sugeha mesti dipersoalkan; juga posisi bupati sebagai pemangku adat (Bobato) in Bolaang Mongondow; menurut hemat saya mempertegas bahwa beberapa orang di Bolmong yang kini berada di kursi kekuasaan justru dengan sadar memprivatisasi hajat hidup orang banyak sesuka-sukanya.

Siapa pun berhak mempertanyakan alasan penggantian nama itu, karena fasilitas itu adalah milik publik yang didanai dengan dana milik publik (lewat APBN atau APBD); bukan dari kantong bupati dan keluarganya. Lain soal kalau bupati sebagai pribadi membangun RS dengan duitnya (tentu saja bukan duit hasil korupsi).

Dengan membandingkan penggantian nama RS Datoe Binangkan dengan GOR Senayan menjadi Gelora Bung Karno, Ujungpandang jadi Makassar, atau RS Wenang jadi RS Kandow, menunjukkan pula betapa sempit cara pandang orang yang bersangkutan. Itu sama artinya dengan membandingkan buah kelapa dan onde-onde.

Sedang soal bupati sebagai bobato in Bolaang Mongondow, justru karena itulah dia harus dikritik dengan tajam. Bupati adalah pejabat publik; demikian pula dengan bobato yang juga adalah pemangku kepentingan publik. Bagaimana mungkin seseorang pejabat publik dan juga pemangku kepentingan publik (dalam konteks adat) dibiarkan melakukan pelanggaran adat dan adab yang serius, dan semua orang Mongondow mendiamkan? Pelekatan boki’ terhadap Hotinimbang yang hanya bua’ lebih dari sekadar pemutaran balikan sejarah. Itu adalah pelanggaran adat super serius yang hukumannya bahkan lebih dari hanya mengompat kon lipu’.

Apakah pula pantas seorang bobato in Bolaang Mongondow dibiarkan melecehkan Datoe Binangkang, yang namanya ‘’ditiadakan’’ begitu saja tanpa pemberitahuan; tanpa permintaan izin; hanya karena yang bersangkutan memiliki kuasa? Kuasa yang bahkan dengan sengaja menginjak-injak adat Mongondow yang mengedepankan musyawarah (dan karenanya kita mengenal bakid dan mo bakid).

Siapa Melecehkan Siapa

Olehnya, siapakah yang sesungguhnya mengamuk bagai banteng terluka? Saya kira, sebagai warga Indonesia dan orang Mongondow yang merdeka dan bebas –juga dididik beradat dan beradab oleh orangtua--, saya hanya mempertanyakan dan berpendapat. Masalahnya, kalau kemudian pertanyaan dan pendapat itu dianggap sebagai pelecahan (terhadap bupati dan keluarganya); tidakkah itu terbalik?

Sebab itu, saya tidak tersinggung terhadap ‘’tantangan’’ yang dilontarkan Hatta L Sugeha atas nama Keluarga Besar Sugeha. Yang saya tidak paham, ibarat jari telunjuk yang tertuding, yang bersangkutan sadar atau tidak justru menusukkan ke lobang hidung sendiri. Bukan saya yang mempertanyakan dan berpendapat yang harus digugat oleh Keluarga Besar Sugeha; tetapi Bupati Bolmong yang membawa-bawa nama keluarga dan memutar-balikkan sejarahnya, yang harus diseret ke depan pengadilan keluarga dan adat.

Dan saya juga harus mengingatkan pada saudara Hatta L Sugeha, bahwa yang bersangkutan dan yang dia atas namakan berhutang bukan hanya pada saya dan keluarga besar klan Mokoagow; tetapi juga pada seluruh rakyat Bolmong. Pertama, hutang untuk menjawab dan meluruskan sejarah Hotinimbang, apakah dia boki’ atau bua’? Kedua, sejarah Abraham Sugeha sebagai raja dan prestasinya; hingga ‘’dianggap’’ lebih besar dan layak dibanding Datoe Binangkan. Hutang ketiga, dan ini yang terpenting, permintaan maaf dan penjelasan seberapa besar dia paham siapa nenek moyang saya dan temurunnya.

Demi kehormatan masing-masing pihak, tiga hutang itu tentu harus dilunasi. Saya sendiri, kurang atau lebih, sudah mempertanggungjawabkan pertanyaan, pendapat, dan sikap saya dengan menulis tulisan ini.***