Sabtu, 22 November 2008

Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Tentang Maaf dan Lain-Lainnya di Bolmong ini pernah dipublikasi di Harian Manado Post pada Selasa, 20 November 2007 dan Rabu, 21 November 2007.


HAMPIR sepekan setelah Idul Fitri, 1 Syawal 1428 H, seorang ustad (arti harfiahnya menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia –KUBI—adalah guru, tapi umum memaknai sebagai ‘’orang yang memahami agama (Islam) lebih dari kalangan awam’’) berceramah di salah satu kelurahan di Kota Kotamobagu –yang baru saja dimekarkan dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Di hadapan orang ramai Pak Ustad tiba-tiba melontarkan kritik terhadap salah satu ucapan selamat Idul Fitri yang dipajang di kain rentang di beberapa bagian kota.

Ucapan Idul Fitri itu kurang lebih berbunyi: ‘’Selamat Idul Fitri 1 Syawal1428 H. Mohon maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat.’’

Sayalah yang memasang kain rentang tersebut.

Satu kalimat, apalagi yang berkaitan dengan peristiwa keagamaan sakral (bagi umat Islam), tentu bukan perkara main-main. Penodaan agama bukan hanya tindak pidana, tetapi bisa jadi pengingkaran terhadap Allah SWT. Dan saya, dengan segala keterbatasan sebagai pemeluk Islam, gemetar membayangkan dianggap menista Tuhan, Rasul, dan agama sendiri.

Masalahnya, adakah bagian permintaan maaf itu yang salah dari sisi syariat Islam? Bukankah manusia adalah ciptaan yang sempurna dalam pengertian fisik, akal, dan nafsu; yang diperintahkan menjadi khalifah di muka bumi; tetapi sekaligus juga terus-menerus membawa potensi kerusakan. Agama (mana pun, terutama agama-agama langit) mengajarkan bahwa setiap saat, setiap detik, manusia bisa melakukan kesalahan; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak. Sebaliknya manusia juga berpotensi melakukan kesalehan dan kebaikan setiap saat, setiap detik; disadari maupun tidak, disengaja maupun tidak.

Pak Ustad yang mulia itu tentu lebih hafal isi Al Qur’an dan hadits ketimbang saya. Lebih paham pula bahwa meminta maaf karena menyadari manusia yang mudah tergelincir dan salah, adalah lebih baik dibanding sudah pasti salah tetapi enggan meminta maaf seperti yang kita saksikan di Bolmong umumnya.

Sebagai manusia yang menyadari kelemahan, saya merasa wajib meminta maaf untuk perbuatan (yang disengaja atau tidak, disadari atau tidak) di masa datang. Nabi Besar Muhammad SAW pun, yang dijamin ke-maksum-annya tetap meminta ampun pada Allah SWT dan sesama manusia.

Berapa banyak politikus dan birokrat, yang mengurus hajat hidup orang banyak, yang –menurut kitab suci—pasti diminta pertanggungjawabannya, yang bersedia meminta maaf? Padahal di keseharian mereka bukan hanya melakukan kesalahan dengan berbohong, mencuri, dan menelikung hak publik secara tidak sengaja; melainkan melakukan dengan sadar dan berjamaah.

Padahal pula ada tiga kata paling sakti dalam peradaban manusia yang tidak sulit diucapkan, juga dipraktekkan, dengan tulus: Tolong (dalam bahasa Inggris ’’please’’, bukan ’’help’’), maaf, dan terima kasih. Berapa seringkah kita mendengar tiga kata ini datang dari para pemimpin, birokrat, dan politisi, yang saat ini memimpin rejim pemerintahan, birokrasi, dan politik di Bolmong?

Mungkin ada dua kata yang sering kita dengar: ’’tolong’’, di saat para pemimpin dan politikus membutuhkan suara warga untuk memilih mereka menjadi bupati, wakil bupati, atau anggota DPR. Dan ’’terima kasih’’, karena rakyat tidak menjungkalkan mereka dari kursi, kendati terbukti gagal amanah dan hanya memperkaya diri dan keluarga dengan menjarah sebanyak-banyaknya dengan segala cara.

Pernahkah Pak Ustad mendengar para pemimpin daerah di Bolmong meminta maaf atas kebijakan konyol yang mereka ambil, yang akhirnya hanya membuang-buang uang rakyat? Apakah Pak Ustad pernah mendengar anggota DPR meminta maaf karena gagal mengawasi pemerintah dan mesin birokrasinya? Adakah pejabat publik yang meminta maaf dan mundur hanya karena terbukti mengelembungkan anggaran sebesar 1,1 juta yen (setara Rp 90 juta –hanya Rp 90 juta!) sebagaimana yang dilakukan Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang, Takehiko Endo, September 2007 lalu. Saat mundur Endo baru menduduki jabatannya kurang dari dua pekan dan skandal yang melibatnya terjadi pada 1999.

Betapa maaf adalah harga diri membuat Menteri Pertanian, kehutanan, dan Perikanan Jepang sebelum Endo, Toshikatsu Matsuako, pada 28 Mei 2007 lalu harakiri karena malu akibat terkuaknya skandal pembukuan di kementeriannya. Bahkan Perdana Menteri Shinzo Abe pun akhirnya mundur dari jabatan setelah serangkaian skandal keuangan mencuat di bawah pemerintahannya. Skandal yang sesungguhnya berakar dari pemerintahan sebelumnya.

Maka saya tidak habis pikir dan mengerti kenapa permintaan maaf atas kesalahan yang pernah dibuat dan yang akan dibuat, bisa jadi persoalan? Tidakkah Pak Ustad yang terhormat melihat bahwa ada pasal yang lebih gawat yang sedang berlangsung di Bolmong, yang sungguh-sungguh membutuhkan konsern bersama, terutama oleh kalangan arif-bijaksana.

Harian Manado Post, Kamis, 25 Oktober 2007 (APBD 2006 se-Sulut Bermasalah: Hasil Temuan BPK, Manado 48 M Keluar Tanpa SPM, MaMi Tomohon Ditemukan), misalnya, khusus untuk Bolmong mengungkapkan ada miliaran rupiah dana APBD yang tak jelas penggunaannya. Di halaman lain, di hari yang sama (BPK Beber Temuan di Bolmong: Diduga Terjadi Penyimpangan), secara spesifik disebutkan untuk APBD 2005-2006 BPK menemukan tak kurang dari 21 kasus penyimpangan.

Sepintas temuan BPK yang dibeber media hanya deretan angka. Tapi tidakkah kita menyadari bahwa setiap angka itu berarti berkaitan dengan hak rakyat, yang mestinya dikelola dengan sangat hati-hati dan penuh tanggungjawab?

Selang lima hari, Harian Manado Post, Selasa, 30 Oktober 2007 (7.142 Rumah Tangga Miskin Terima PKH: November Dipastikan Cair) merilis lagi berita yang menyatakan 7.142 rumah tangga di Bolmong, BolmongUtara, dan Kota Kotamobagu masuk kategori Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM); dan karenanya harus disentuh Program Keluarga Harapan (PKH).

Di harian lain, Komentar (Selasa, 30 Oktober 2007), merilis berita Pendapatan Rp 455 Miliar, belanja Rp 463 Miliar: Empat Fraksi Setuju Bahas APBD 2008. Tak jelas benar rinciannya, kecuali disebutkan sepintas bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) diproyeksi sekitar lebih sedikit dari Rp 11 miliar.

Dari sebuah lembaga yang aktif memantau penyusunan anggaran daerah di Bolmong, saya mendapat informasi bahwa anggaran untuk pos pendidikan yang diproyeksikan di 2008 turun dari sekitar Rp 40 miliar-an menjadi hanya sekitar Rp 25 miliar-an. Penyebab turunnya anggaran tersebut karena dipindahkannya sekitar Rp 17 miliar-an (yang biasanya dialokasikan untuk Persibom) ke pos Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora).

Semoga informasi itu bias dan tak akurat. Sebab bila benar adanya, sungguh mengiriskan hati, karena selain anggaran pendidikan yang dipangkas demi sepakbola; proyeksi PAD ternyata sebagian besar (sekitar Rp 2 miliar-an) berasal dari sektor kesehatan. Dan proyeksi ini ternyata bukan hanya untuk 2008. PAD untuk 2007, yang diproyeksi sekitar Rp 9 miliar-an, pemasukan terbesarnya juga berasal dari sektor kesehatan.

Kenyataan itu membuat saya mengurut dada.

Di pekan yang sama, Gubernur Gorontalo, Fadel Muhammad, yang dengan predikat cum laude meraih gelar doktor di UGM pada Sabtu, 27 Oktober 2007, lewat disertasi berjudul ’’Signifikansi Peran Daerah’’, menegaskan: ’’Kinerja seorang kepala daerah minimal harus mampu meningkatkan perekonomian daerah dan meningkatkan kualitas pendidikan serta kesehatan.’’

Temuan BPK, angka RTSM, perbandingan pendapatan dan pengeluaran APBD Bolmong, dan pos-pos anggarannya, mencerminkan tak ada satu indikator pun yang disampaikan Fadel, yang didekati oleh rezim yang berkuasa di Bolmong. Memangkas sepertiga anggaran pendidikan untuk sepakbola, menunjukkan komitmen seperti apa yang mereka letakkan. Demikian pula, dengan PAD terbesar dari sektor kesehatan, tak beda dengan memeras orang sakit sampai kering-kerontang. Sudah sakit, sengsara pula karena dibebani target PAD.

Khusus angka RTSM yang mendapat bantuan, sungguh mengiriskan. Di saat media mempublikasi mobil dinas baru para kepala dinas, fasilitas DPR, bahkan juga patung senilai Rp 500 juta yang ditegakkan di pusat kota Kotamobagu; angka RTSM itu hanya memiliki satu arti: ada yang foya-foya dan ada yang kembang-kempis hampir kehabisan nafas.

Temuan BPK akhirnya menegaskan semua kabar buruk itu: ada yang salah! Bahkan sekali pun kalau itu baru dugaan, 21 temuan –dengan kilah bahwa sekadar administratif saja—lebih dari cukup bagi masyarakat untuk mempertanyakan profesionalisme, kompetensi, dan pemihakan rezim pemerintahan, politik, dan birokrasi yang sedang berkuasa di Bolmong.

Administrasi yang sudah menjadi ’’makanan’’ sehari-hari kalangan birokrat; dengan kebijakan dan instruksi dari para pemimpinnya; dan kontrol politik dari lembaga legislatif saja bisa sangat amburadul; tidak mengherankan bila rezim ini tak memiliki strategi terhadap kesejahteraan orang banyak.

Pertanyaan terpentingnya: Adakah pemimpin, politikus, atau birokrat di Bolmong yang sudah minta maaf pada orang banyak atas kondisi centeng-perenang itu? Adakah ustad atau pemuka agama yang berdiri di podium, di tengah ribuan hadirin dan hadirat, mengecam para pemimpin yang tak kompeten, korup, dan hanya memikirkan diri sendiri?

Sayangnya tidak! Padahal umat Islam percaya bahwa mengingatkan pemimpin yang lalim dan lupa diri adalah salah satu bentuk jihad. Mungkin karena kuman di seberang lautan lebih mudah dilihat oleh mereka yang menggunakan kacamata setebal pantat botol, ketimbang gajah yang sedang menari-nari di pelupuk.***

Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan

Ditulis pada 20 November 2007, tulisan yang judul lengkapnya Halusinasi dan Penyakit Tak Tersembuhkan (Komentar untuk Salim Landjar) ini pernah dipublikasi di Harian Komentar pada Sabtu, 17 November 2007; Senin, 19 November 2007; dan Selasa, 20 November 2007.


’Apa yang tak tersembuhkan harus terus dipikul.’’
(Antonio Skarmeta, Il Postino, Miramax Book, 1995)

LEBIH tiga tahun lampau di Bolmong beredar t-shirt bertuliskan ’’seburuk-buruk pekerjaan adalah menjilat Bupati’’. Tulisan di t-shirt ini tak hanya membetot atensi banyak orang yang berbondong mengenakan; tapi mengundang kemarahan sejumlah pihak (entah dengan alasan apa). Bahkan juga ikut campurnya Polres Bolmong menyelidik asal muasalnya –termasuk ‘’menginterogasi’’ pemakainya (yang ajaibnya entah dengan alasan apa pula).

Saat itu, akhir 2004, Bupati Bolmong Marlina Moha-Siahaan sudah memasuki tiga tahun masa pemerintahan. Dan makin nyata memimpin Bolmong seperti apa; di kelilingi orang-orang seperti apa.

Tulisan Salim Landjar di Harian Komentar , Kamis (8/11) dan Jumat (9/11) November 2007 (Mengomentari Sukses APP: Antara Kecerdikan Bunda MMS dan Kecerdasan BKG), adalah contoh terkini ‘’orang-orang seperti apa’’ yang ada di sekitar Bupati Bolmong. Bahkan juga kebudayaan berpikir macam apa yang mewabah di daerah ini.

Menjilat, sebagaimana pepatah yang dikutip Antonio Skarmeta, mungkin memang sudah jadi penyakit yang harus dipikul generasi Bolmong cukup lama. Bahkan bagi kebanyakan mereka yang terlanjur mengidap, bisa jadi tak pernah tersembuhkan lagi.

Sebagai obyek yang dikupas-tuntas oleh tulisan Landjar, kendati malas menanggapi (sebab tong aspal, dengan difinisi apa pun, tetaplah tong aspal) dan juga karena capek tertawa, terpaksa harus saya respons. Paling tidak agar yang bersangkutan bisa punya gambaran mana fakta dan mana imajinasi; sekali pun saya pasimis Landjar bisa membedakan keduanya dengan baik.

Pertama, hanya dengan membaca dua aline pertama, bisa disimpulkan penulis artikel itu bukanlah Salim Landjar. Penulis yang sesungguhnya terbiasa menulis, paling tidak sejenis liputan berita. Namun, penggunaan kata, alur kalimat, serta logikanya yang tidak linier, menunjukkan sang penulis hanya pantas mendapat angka paling tinggi 3,5 dari skor 10. Kalau dia wartawan, pasti wartawan yang sangat buruk. Cuma bisa menulis berita penuh puja-puji dan kutipan yang dimanipulasi. Kalau dia penulis fiksi, paling jauh, ya, cerita mesum picisan.

Kedua, saya kagum dengan klaimnya sebagai pemerhati, bahkan pengamat, kritik-kritik yang saya lontarkan—yang seluruhnya dipublikasi di Harian Manado Post dan terakhir Posko-- ke pemerintah, birokrat, dan politikus (bukan Marlina Moha-Siahaan pribadi) di Bolmong. Pembaca yang mengikuti isu-isu yang dirujuk, tahu persis tidak ada perang pena. Yang ada adalah kritik dibalas dengan serangan pribadi terhadap pengkritik. Lagipula, bagaimana mungkin kelinci perang melawan gajah?

Lebih tepatnya, sejumlah orang berperang dengan kuntilanak yang mereka ciptakan di satu sisi; dan saya mengomentari kengawuran mereka (sambil tertawa-tawa) di sisi lain.

Kekaguman lain adalah keluangan waktu yang dimiliki penulis di belakang Landjar dan pentingnya memperhatikan dan mengamati Katamsi Ginano; melebihi kepentingan memperhatikan dan mengamati fakta-fakta sosial, ekonomi, dan budaya di Bolmong. Bahwa, misalnya, berkaitan dengan isu-isu yang mengemuka: Boki Hotinimbang hanya bu’a; Abraham Sugeha hanya raja antara; dan boki kolano inta nolintak kon totabuan adalah gelar karangan yang bisa berarti ’’banci’’; juga patung berhias gambar Bupati Bolmong adalah proyek (yang konon bernilai Rp 500 juta) yang pendiriannya di luar akal sehat.

Memperhatikan dan mengamati ’’cara berpikir’’ Katamsi Ginano juga lebih penting dari ‘’centang-perenangnya’’ pembangunan di Bolmong, termasuk APBD-nya yang sungguh ‘’ajaib’’. Lebih penting dari memperhatikan dan menganalisis perbandingan penggunaan anggaran negara, milik orang banyak, untuk mobil dinas birokrat dan DPR dengan subsidi terhadap rumah tangga sangat miskin (RTSM). Lebih penting dari, misalnya, memperhatikan dan mengamati bahwa anggaran pemeliharaan mobil dinas Bupati bisa senilai Rp 900 juta sementara subsidi harga obat untuk kalangan tidak mampu hanya Rp 8 juta.

Mengagumkan pula bahwa yang habis-habisan ditelisik hanyalah soal ’’kecerdasan’’ Katamsi Ginano. Lalu mana kecerdikan MMS? Apakah yang dimaksud cerdik adalah mengerahkan polisi untuk mengusut t-shirt olok-olok; memobilisasi orang-orang yang menulis serangan pribadi dan bukan substansi; konferensi pers dari petinggi partai untuk menyerang pribadi; hingga gertakan dan ancaman fisik? Kalau itu disebut cerdik, seperti apa yang namanya bodoh?

Kalau saya ikut menyerang pribadi, misalnya mempersoalkan hidung pesek versus hidung mancung hasil operasi plastik, mungkinkah bisa masuk kategori cerdik?

Penulis di belakang tulisan Landjar sungguh-sungguh minim refensi hingga terlalu jauh meracau, mencampur-aduk kebodohan dan kebebalan yang dibungkus penyalahgunaan kekuasan; dengan kecerdasan strategi publikasi atau sejenisnya. Sama dengan pengandaian komentator tidak perlu ditanggapi oleh yang dikomentari. Pikiran kok disamakan dengan kontes sepakbola?

Komentator yang masuk di tengah lalu-lintas ide yang sedang diwacanakan adalah juga ’’pemain’’. Berkilah bahwa mengomentari ’’pemain’’ lain adalah buang energi, jelas alasan yang tidak genah.

Namun, di atas semua itu, saya kagum karena penulis dengan lugas menunjuk hidung Hatta Sugeha, ZA Lantong, Yahya Fasa, Herson Mayulu, Sumardiah Modeong, Bachruddin Marto, hingga Jenli Taturu sebagai ’’penjilat’’ Bupati Bolmong. Pun bahwa anggota DPR Bolmong lebih suka bergosip saat sidang daripada membahas nasib rakyat. Saya panasaran, apa reaksi orang-orang ini nantinya, ya?

Ketiga, bahwa kritik saya membantu mempublikasikan kekonyolan pemerintah dan politikus Bolmong. Wah, di antara semua analisis ngawur, ini yang cukup mendekati kebenaran. Buktinya di Pilkada lalu MMS kalah di tiga dari empat kecamatan yang kini masuk Kota Kotamobagu. Artinya, di komunitas terdidik dan membaca koran, publik tahu persis sikap yang harus diambil. Bahkan sekali pun setahun sebelum Pilkada saya sama sekali berhenti menulis di media massa di Sulut.

Sayang, analisis itu dikacaukan dengan pernyataan bahwa kritik-kritik yang saya sampaikan tidak mendapat dukungan. Penulis di belakang Landjar perlu menelepon Harian Manado Post dan Posko untuk mendapat data akurat. Setahu saya, dua harian ini, tempat polemik antara saya dan pro Bupati Bolmong dilakukan, berupaya mengikuti standar etika umum: yang diserang bukan kritik atau ide saya, tetapi saya pribadi, maka sayalah yang harus menjawab. Tidak perlu dukungan pihak lain, yang secara pribadi sama sekali tidak terkait.

Lagipula dalam perkara tulis-menulis dan tukar ide, tidak ada urusan dukung-mendukung. Ini bukan kampanye pemilihan RT, kepala desa, atau bupati dan walikota. Sekali pun saya dengan gampang meminta para sahabat untuk menulis dukungan (dan mereka dengan gratis dan senang hati melakukan); atau yang terburuk meminjam nama orang lain seperti nama Salim Landjar, misalnya.

Keempat, penulis di belakang Landjar juga terjebak pada manipulasi dan khayalannya sendiri, terutama sejarah Abraham Sugeha; dikaitkan dengan tokoh-tokoh Bolmong seperti Oe. N. Mokoagow, J. A. Damopolii, Jenderal Mokoginta, atau sederet nama lain yang disebutkan dalam tulisannya. Polemik saya dengan saudara Hatta Sugeha (yang dilakukan di Harian Manado Post) berkenaan dengan penggantian nama RS Datoe Binangkang tidak pernah mengkonklusi bahwa tokoh-tokoh itu adalah anak-temurun (langsung) Abraham Sugeha.

Dari bintang dan planet mana penulis di belakang Landjar memetik khayalan itu?

Yang tertulis dan terdokumentasi saja dimanipulasi; apalagi yang tidak. Namun, saya tidak heran, sebab tampaknya para pro Bupati Bolmong memang punya kecenderungan yang sama: gemar berhalusinasi.

Kelima, geli rasanya membaca ajakan mempopuler singkatan nama saya. Ajakan itu dapat ditafsir sebagai ejekan, atau bisa pula pujian –yang rasanya terlampau berlebihan hingga terjerambab menjadi penjilatan. Saya tidak butuh popularitas; sebagaimana kebanyakan pejabat publik dan politikus saat ini yang kian gemar menyingkat nama agar ’’aneh’’ dan keren’’ serta memajang poster wajahnya di banyak tempat, sekadar supaya merasa populer. Lagipula inisial ’’KG’’ bukanlah hal baru; sebab saya sudah menggunakan bertahun-tahun yang lalu saat masih menjadi jurnalis. Hingga, meminjam kalimat ’’anak baru gede’’: ’’Ke mana aja ente?’’

Yang terakhir, saya ingin menutup tulisan ini dengan pernyataan Samuel Johnson yang dinukil Thomas A Stewart (Intellectual Capital: The New Wealth of Organizations, Doubleday, 1997), yang mengemukakan: ’’Pengetahuan ada dua macam. Kita sudah tahu subyeknya, atau kita tahu di mana kita mendapat informasi tentang subyek itu’’.

Saya tahu siapa Bupati Bolmong; orang-orang di sekitarnya; termasuk Salim Landjar dan penulis di belakangnya. Dan saya juga tahu di mana mendapatkan informasi tentang mereka.***

Sabtu, 15 November 2008

Fitnah dan Penjilatan Berjamaah

Ditulis pada 29 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Fitnah dan Penjilatan Berjamaah (Masih tentang Pantung Berhias Gambar Bupati Bolmong) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


MENAKJUBKAN betul kekerasan hati (kalau bukan kebebalan) beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolaang Mongondow (Bolmong), yang membabi-buta mencakar bayangan yang mereka ciptakan. Termasuk oleh Bachruddin Marto (Isu Patung, Politik ’’Kacang Tore’’) yang dipublikasi Posko, Senin 29 Oktober 2007, menanggapi isu patung berhias gambar Bupati yang sudah bergulir lebih sepekan.

Siapa pun yang melontarkan kritik –entah itu gondoruwo, liliput, atau bahkan mahluk Mars--, asal ada kata ’’Bupati Bolmong’’, pasti adalah musuh politik dan sosial. Pantas dikeroyok dan diserang secara pribadi. Tidak peduli kritik yang dilontarkan bahkan tidak ditujukan pada Bupati.

Maka, membaca tanggapan Marto di Posko, setelah terbahak-bahak –menyenangkan betul menonton para badut bermunculan--, saya harus berpikir keras: Apakah saya yang dungu atau memang kebanyakan mereka yang mengaku tokoh di Bolmong mengalami problem dengan fungsi otaknya?

Mungkin sahabat saya, dr Taufik Pasiak, yang sudah bertahun-tahun melakukan studi tentang otak perlu menelisik, disfungsi otak macam apa yang sedang terjadi di kalangan beberapa orang yang mengaku tokoh di Bolmong, yang tampaknya mengalami kesulitan membedakan kritik terhadap pejabat dan kebijakan publik; dan penyerangan pribadi. Wabah apa yang menyerang otak mereka hingga sudah tak bisa membedakan mana akar, pokok, dan daun.

Marto, sebagaimana beberapa orang lain yang menanggapi kritik saya, sama sekali tidak menyentuh subtansi. Yang diutak-atik adalah saya sebagai pribadi; yang kali ini bahkan ditambahi lagi dengan fitnah.

Baiklah, tanggapan Saudara Marto –yang mengaku tokoh pemuda (saya yakin ini hanya perasaan dan klaim yang bersangkutan)--, bersedia saya tanggapi lagi –sekali pun saya sungguh-sungguh paham mustahil mengajari bebek agar tak berkoek dan membebek. Sekali pun sejumlah orang juga menelepon agar saya tak usah menanggapi beo; sebab cuma buang energi dan kontra produktif.

Pertama, analogi ’’kacang tore’’ tentu teori yang entah diraup dari mana. Tolong belajar tentang analogi dulu, deh. Siapa yang peduli pada orang yang makan kacang tore dan berbunyi ’’krak krak krak’’? Yang jadi problem adalah kalau makan kacang tore tanpa bunyi ’’krak krak krak’’; artinya saudara Marto tentu ompong total. Kalau pun bunyi ’’kacang tore’’ saya mampir di kuping Anda, jangan sirik dong. Siapa suruh Anda ompong total?

Kedua, kalau ancaman dan sikap emosional dianggap wajar, ya, sudah. Apa mau dikata, kita memang beda peradaban dan beda ’’langit’’. Kritik yang ditanggapi dengan ancaman dan sikap emosional, secara sosiologis dan antropologis (mudah-mudahan dua kata ini tidak terlalu berat bagi Marto) menunjukkan di level mana orang atau komunitas tersebut berada.

Dengan kewajaran sedemikian itu maka absah pula perilaku totaliter yang makin jadi budaya di Bolmong, terutama di kalangan elitnya. Hanya saja, jangan sampai burung dara menjadi pengancam elang; atau ikan cupang menantang kelahi hiu macan.

Ketiga, analogi lebah yang dikemukan justru memperjelas kritik saya sejak awal; bahwa jangan-jangan Bupati Bolmong hanya dikerumuni para ’’yes mam’’ yang melantunkan puja-puji dan kidung sorga. Lebah adalah salah satu jenis hewan terbaik dalam soal loyalitas; tetapi tentu dengan kapasitas otak lebah yang hanya seperjuta sekian kapasitas otak manusia.

Lebah bertindak berdasar insting (Marto bisa menonton pelajaran tentang lebah lebih lengkap di National Geographic Channel atau Discovery Channel). Manusia berdasar akal dan pikiran,juga hati kecil. Mendudukkan kelas manusia hanya setara lebah, betul-betul cara berpikir yang bukan hanya ceroboh tetapi juga batil.

Keempat, konsep tentang loyalitas yang saya kenal, bahkan dalam terminologi agama, bukanlah patuh tanpa mikir. Membela sesuatu, apalagi pengkultusan individu dengan membuta-tuli, tak berbeda dengan menjilat, bahkan juga pemberhalaan (Marto perlu membuka Kamus Umum Bahasa Indonesia --KUBI-- agar tahu apa beda kata ’’berhala’’; ’’memberhalakan’’; dan ’’pemberhalaan’’).

Dalam konteks itu, saya ingin mengulang kembali (mirip mengajari anak ’’play group’’ membedakan permen coklat dan batangan coklat), bahwa yang saya kritik adalah pengkultusan; pemberhalaan. Dengan kata lain: orang seperti Andalah yang saya tuju, bukan Bupati Bolmong.

Saya juga ingin bertanya, sudahkah pernah saudara Marto (yang setahu saya saat ini PNS di Bolmong) bekerja di perusahaan; dan sudah berapa kalikah pindah perusahaan, hingga merasa pantas mengajari saya apa itu loyalitas di dunia kerja profesional? Loyalitas, bagi kami, adalah kepatuhan pada profesi, etika, norma, sistem, aturan, dan standar-standar baku lainnya. Di dunia saya, pemimpin yang tak kompeten, tanpa perlu dikritik bagai menghardik keledai, akan terpental dengan sendirinya.

Kelima, salah satu problem dari loyalitas membabi-buta adalah pembenaran yang keterlaluan, termasuk dengan fitnah. Dan itu ditujukkan oleh Marto dengan fitnah bahwa saya hanya melontarkan kritik setiap kali musim Pilkada datang. Bung, saya bukan seperti Anda yang tiap kali cerewet di depan publik (termasuk di media), selalu ada maunya, sebagaimana yang Anda tunjukkan saat meng-komplein Kapolres Bolmong beberapa waktu lalu. Yang juga keterlaluan adalah klaim bahwa saya pernah menanggapi tulisan yang bersangkutan, dengan tujuan pembunuhan karakter.

Imajinasi Marto sungguh kaya. Begitu kayanya sampai-sampai sulit bagi saya menyimpulkan yang bersangkutan hanya meracau agar dianggap penting –dan sudah membela pemimpin yang dipuja-pujinya setengah mati-- atau mengingau karena demam tinggi.

Seingat saya, saya pernah menulis tentang sekelompok orang yang mengatas-namakan satu kelompok massa, yang petantang-petenteng seolah-olah yang paling berjasa terhadap negeri ini pada Agustus 2005. Artinya, lebih satu tahun sebelum Pilkada berlangsung di Bolmong. Dan kalau Anda tak paham isinya, mari saya beritahu: tulisan itu, yang bertajuk ’’Kami Bukan KBA Kasiang’’, itu bukan sekadar sindiran, tapi ejekan untuk ikan cupang yang bertingkah seolah-olah hiu macan. Dan setahu saya ikan cupang itu adalah Anda.

Saya juga hakul yakin satu tahun sebelum Pilkda Bolmong berlangsung saya sama sekali tidak menulis di media massa di Sulut. Sama halnya dengan isu patung berhias gambar Bupati yang kini mengemuka. Saya tidak menulis karena menjelang Pilkada Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara. Jangankan Pilkada, anggota DPR Kota Kotamobagu dan Bolmong Utara saja belum dilantik. Jadi apa relevansinya?

Sepanjang track record saya, rasanya belum pernah saya menjadi ’’antek’’ atau anjing penjaga yang menggonggong hanya karena diperintah tuannya.

Jangan karena mata Anda yang picek lalu pelukis potret Anda yang dihukum mati.

Keenam, untuk apa saya perlu aktualisasi diri di Bolmong, di tempat saya lahir dan dibesarkan? Popularitas, sebagaimana yang saya rasakan sejak lama, lebih banyak merepotkan ketimbang menenangkan. Lagipula saya bukan jenis orang yang senang dijilat dengan puja-puji; apalagi oleh orang-orang yang lidahnya bercabang dan bersuara mendesis. Berjamaah pula.

Kritik saya terhadap Bolmong adalah bagian dari tanggung jawab warga negara, yang lahir di Bolmong. Tidak lebih dan tidak kurang.

Kalau soal mencalonkan diri sebagai Walikota Kota Kotamobagu, siapa yang boleh melarang. Saya orang Mongondow! Mereka yang bukan orang Mongondow saja dipersilahkan dengan sopan dan penuh hormat, apalagi saya. Dengan cara apa saya menarik simpati masyarakat, tentu tak perlu penasehat semacam Marto yang pasti lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.

Yang terakhir, karena Anda mengutip ustad, saya juga ingin mengutip kiai saya, yang mengatakan: ’’Lebih baik jadi orang benar, pintar, dan berani; daripada hanya jadi orang benar tapi tidak pintar; atau orang pintar tapi tidak benar; apalagi sudah tidak pintar, tidak benar, berani pula’’.***

Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul

Ditulis pada 25 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Membeda Ubun-Ubun dan Dengkul (Catatan atas Kritik Terhadap Patung Bergambar Bupati) ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


GUNCANGLAH sesemakan, Anda akan tahu mahluk seperti apa yang berhamburan keluar. Boleh jadi yang berserabutan burung atau kupu-kupu, bisa pula ular dan biawak, atau cuma semut, laba-laba, dan kecoak.

Kritik saya terhadap patung berhias gambar Bupati Bolmong, kurang-lebih, bagai menguncang sesemakan. Apalagi sebagaimana yang dimuat Posko, Kamis 25 Oktober 2007 (Dianggap Menghina Bupati: FKPPI Bolmong Tetapkan Ginano sebagai ’’TO’’), komentar, kecaman (juga ancaman) yang berhamburan sama sekali lepas dari konteks dan subtansi isu, tetapi sudah menyerang pribadi.

Reaksi pertama saya saat mengetahui kecaman (dan terutama ancaman) yang menyerang pribadi itu adalah terbahak-bahak. Saya patut berterima kasih pada mereka yang telah berkomentar. Anda membuat hari saya lebih cerah dengan lelucon segar. Dan memang begitulah kelakuan beberapa elit Bolmong: kekanak-kanakan, emosional, dan keluar konteks.

Saya harus mengingatkan lagi: tolong baca dengan hati-hati apa yang saya tuliskan di Posko, Senin, 22 Oktober 2007 (Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong) berkenaan dengan pendirian patung berhias gambar (bukan relief –kecuali memang di Bolmong sudah tak ada lagi yang dapat membedakan gambar dan relief) Bupati. Di manakah klausal penghinaan terhadap Bupati adanya? Lain soal kalau Anda tidak membaca tulisan itu, tetapi hanya mendengarkan dari bisik-bisik dan spekulasi. Atau Anda adalah kelompok yang saya sebut ’’segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga’’.

Yang saya kritik adalah kepatutan yang seharusnya secara normatif tidak perlu diperdebatkan lagi.

Terhadap penyerangan terhadap saya pribadi, galibnya kata-kata, layak pula dibalas dengan kata-kata. Tentu dimulai dengan saudara Herson Mayulu yang menghina saya (eksplisit) sebagai ’’bukan apa-apa’’ dan menantang untuk kembali ke Bolmong melakukan sesuatu.

Komentar yang layak disampaikan terhadap pernyataan itu adalah: Memangnya saudara Herson Mayulu ada apa-apanya? Saat saya jadi ’’langganan’’ dimintai keterangan oleh aparat keamanan di zaman Orba, setahu saya saudara Herson adalah PNS yang ’’baik’’, yang kemudian bersulih profesi menjadi anggota DPR Bolmong. Itu saja. Prestasi lain? Bagi saya, cukup dijawab dengan senyum lebar.

Akan halnya saya? Sesekali cobalah browsing dengan Google atau Yahoo. Nama saya tak kurang tercatat di 498 entry. Sedangkan Anda hanya 9 entry, itu pun seluruhnya berita di koran lokal yang menyebutkan nama Anda sepintas saja.

Dengan teknologi Internet Anda juga akan tahu sedikit rekam jejak saya, yang bukan hanya untuk Mongondow, tetapi untuk negeri ini. Mungkin amat sangat sedikit, tetapi tentu masih jauh lebih banyak daripada sekadar cerewet di kampung halaman, mirip katak yang menganggap rumah tempurungnya sebagai jagad utama.

Kalau kemudian saya di tantang kembali ke Bolmong untuk melakukan sesuatu, bagaimana kalau saya tantang Herson Mayulu untuk keluar dari ’’tempurungnya’’ ke lapangan global di luar sini? Apa yang Anda bisa di dunia yang menurut Friedman ’’telah menjadi datar’’? Tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya adalah pemain global di bidang saya, yang dibuktikan dengan mampu survive di level bukan hanya provinsi atau nasional.

Saudara Herson, tegasnya saya mau bilang: Andalah yang tidak ada apa-apanya. Termasuk tidak bisa membedakan mana ubun-ubun dan dengkul. Wong yang saya kritik patung berhias gambar Bupati, yang Anda hantam adalah pribadi saya.

Saya tertawa sampai menetaskan airmata ketika tiba dialinea dari Sumardiah Modeong yang menuduh saya ’’tidak pintar tetapi gila’’. Orang gila seharusnya di RSJ; tidak perlu ditanggapi, apalagi oleh Bendahara PG Bolmong.

Apa relevansi kritik saya terhadap tuduhan gila? Modeong boleh bersyukur: saya sama sekali tidak berminat mengadukan tuduhan gila ini sebagai pencemaran nama baik. Toh, orang banyak tahu, di tengah ketidak-warasan, yang waras-lah yang justru dianggap menyimpang.

Kecaman (dan ancaman) yang tak kurang lucunya disampaikan oleh Jendli Taturu yang menyatakan saya sebagai ’’TO’’ FKPPI.

Saudara Jendli, bertahun-tahun lamanya –sejak akhir 1980-an, saya mengenal amat sangat baik salah seorang pendiri FKPPI, almarhum Yoseano Waas. Dari dialah saya mendapatkan buku sejarah berdirinya FKPPI dan banyak inside story di belakang riwayat organisasi ini. Saya respek terhadap FKPPI; dan karenanya heran mengapa tidak-tiba ada orang yang berani-beraninya menyeret organisasi ini memperhadapkan dengan saya, hanya karena persoalan sepele: kritik terhadap patung berhias gambar Bupati?

Begitu hebatnyakah dampak kritikan saya terhadap stabilitas negeri ini hingga nama besar FKPPI harus dibawa-bawa?

Sepengetahuan saya FKPPI tidak punya kebijakan menjadi organisasi yang mengancam warga negara yang tidak merongrong Pancasila, UUD 45, dan kemaslahatan hidup orang banyak. FKPPI belum pula mengambil alih tugas polisi, tentara, jaksa, atau Badan Intelejen Negara (BIN), yang memang berhak menetapkan seseorang sebagai ’’TO’’.

Maka saya percaya ancaman itu hanya datang dari Jendli Taturu, bukan dari FKPPI. Dan karena ancaman patut diwaspadai, tentu saya sungguh-sungguh harus berhati-hati. Termasuk melapor ke polisi sebagai aparat yang berwenang menangani segala sesuatu yang mengancam keselamatan seorang warga negara. Sebaliknya, saudara Jendli juga patut berhati-hati, sebab kaki mudah terantuk di batu, kepala gampang terbentur, dan badan mungkin saja tanpa sengaja tersenggol.

Pengalaman saya di beberapa wilayah yang pernah membara oleh perang (saya hadir secara fisik di tempat-tempat seperti itu), mengajarkan bahwa setiap orang punya teman. Teman yang tak hanya berkawan karena sekadar jabatan, uang, atau pengaruh. Dan hanya mereka yang telah berjalan sangat jauhlah yang memiliki teman terbanyak. Sudahkah Jendli Taturu berjalan sejauh saya dan berteman sebanyak yang saya punya?

Terakhir, untuk saudara Kuji Moha. Terima kasih atas kearifan Anda. Namun saya harus mengoreksi bahwa telah menjadi tugas seorang Bupati, sebagai pejabat publik, untuk mengayomi masyarakatnya. Dan tugas publik itu mestinya tidak dicampur adukkan dengan menjadikan area publik sebagai wilayah pribadi.

Sebagai warga Mongondow saya senang diayomi oleh pejabat publik yang benar; sebaliknya saya juga tak segan mengkritik siapa pun pejabat publik yang bengkok, termasuk bengkok logika. Namun kalau kritik warga masyarakat dianggap sebagai kenakalan dan harus dicubit, bagaimana dengan kelakuan pejabat publik yang di luar kepatutan? Harus dianggap apa oleh masyarakat dan sang pejabat harus diperlakukan seperti apa?

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan apresiasi pada penjelasan mengapa patung berhias gambar Bupati itu harus dibangun, yang juga dipublikasi Posko (Jadi Polemik: Asisten III Luruskan Soal Lukisan Bupati). Bahwa penjelasan itu amat sangat terlambat dan tidak menjawab substansi kritik yang saya sampaikan, adalah soal lain yang bisa diperdebatkan nanti.***

Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong

Ditulis pada 21 Oktober 2007, tulisan yang judul lengkapnya Politik Narsis dan Penjilatan di Bolmong ini pernah dipublikasi oleh Harian Posko pada Kamis, 25 Oktober 2007.


MENGKRITIK patung berhias gambar Bupati, di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) –induk--, ternyata perkara gawat. Tak kurang dari Kepala Hubungan Masyarakat (Kahumas) Pemkab Bolmong, Yahya Fasa, bahkan harus memberikan tanggapan (Soal Lukisan Butet, Posko, 20 Oktober 2007).

Biar urusan patung dan gambar itu tidak berketiak ular –terutama sebab tanggapan Kahumas Pemkab Bolmong--, saya ingin menjelaskan subtansi kritik saya yang dimuat Posko, 19 Oktober 2007, adalah:

Pertama, patung sebagai bagian dari lanskap sebuah kota (di negara-negara dan kota yang sudah makmur) tidaklah perlu diperdebatkan eksistensinya. Tapi di Bolmong, apalagi menghiasi fondasinya dengan gambar Bupati (bukan ornamen), tentu konyol dan mungkin baru pertama di seantero jagad.

Apa relevansinya dengan pembangunan di Bolmong? Di saat jalan-jalan hancur dan berlobang, fasilitas pendidikan, kesehatan, dan pertanian jauh dari sempurna, serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) hanya miliran rupiah, membuang ratusan juta untuk sebuah patung berhias gambar Bupati sungguh logika yang sulit dicerna.

Kedua, dengan meletakkan gambar Bupati di fasilitas publik yang permanen, tak beda dengan menyandingkan Bupati dengan artis-artis yang berpose untuk iklan sabun, pasta gigi, atau obat anti bau badan.

Ketiga, bila alasannya agar warga mengingat sejarah dan jasa-jasanya (walau difinisi jasa ini masih dengan tanda tanya besar), apa tidak lebih baik ditulis saja dalam bentuk buku? Bukankah buku lebih edukatif, cerdas, dan bermartabat?

Keempat, patung dan gambar itu dibangun di areal publik, dengan uang Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Wajar belaka kalau masyarakat mempertanyakan peruntukkan, biaya, dan pertanggungjawaban normatif lainnya. Sebab kalau bukan dengan APBD, lalu mengapa dibangun di areal publik?

Masyarakat tentu tak akan cerewet bila patung dan gambar itu dibangun di halaman rumah pribadi Bupati dengan uang dari kantongnya sendiri. Mau sebesar kandang gajah kek, seukuran layar lebar bioskop kek, siapa peduli. Paling-paling orang hanya akan mempergunjingkan kesehatan jiwanya.

Alasan bahwa di kota-kota yang lain juga ada patung tokoh, tidaklah serta merta membenarkan logika bengkok yang sedang berlangsung di Bolmong. Patung Sam Ratulangi tidak dibangun oleh Sam Ratulangi sendiri. Atau mau lebih ekstrim lagi, Presiden Soekarno adalah tokoh yang paling banyak membangun patung di Indonesia, tetapi tidak satu pun patung tentang dirinya.

Akan halnya Presiden Soeharto yang berkuasa di negeri ini tak kurang dari 30 tahun, setahu saya tidak pernah memerintahkan pembuatan patung pribadinya. Kalau pun ada relief yang menggambarkan Soeharto, seperti di Monumen Adipura Kencana di Kota Manado, saya sepenuhnya yakin: itu bukan permintaan Soeharto, tetapi apresiasi dan kreativitas Pemkab Kota Manado.

Tokoh yang membangun patung pribadi di saat berkuasa, semisal Saddam Husein, tak lebih dan tak kurang: patungnya dihancurkan sesaat setelah kekuasaannya berakhir.

Karena substansi seperti itulah saya tak habis kagum dengan Kahumas (sekaligus juru bicara Bupati Bolmong). Alih-alih menjelaskan alasan pendirian patung berhias gambar Bupati itu, Kahumas justru merembet ke persoalan mempertanyakan (kurang lebihnya) apa yang saya perbuat untuk Bolmong.

Saudara Kahumas, tugas Anda adalah menjelaskan kebijakan pemerintahan dan pembangunan serta relevansi di Bolmong. Untuk tugas yang satu ini saja Anda belepotan, apalagi memasuki areal yang lain.

Apa yang saya lakukan sebagai warga negara yang lahir di Bolmong adalah menaati undang-undang dan aturan lainnya, termasuk membayar pajak. Saya kira, sebagai warga negara, saya memenuhi kriteria warga yang baik (saya sudah bertahun-tahun memiliki NPWP pribadi dan saya tidak yakin Kahumas Pemkab Bolmong punya itu). Selebihnya, bukan urusan Kahumas mempertanyakan apa yang saya perbuat untuk masyarakat saya.

Saya justru ingin menanyakan (sebagai bagian dari hak warga negara), selain memperpanjang-panjang lidah ke atasan, apa yang sudah diperbuat oleh Kahumas (dan juga saudara Irwan Thalib) terhadap Bolmong? Bukankah sebagai abdi masyarakat dan pelayan publik, saudara Kahumas wajib mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan untuk orang banyak. Anda digaji oleh negara. Saya tidak!

Saya memperhatikan setiap kali ada yang melontarkan kritik –salah satu hak hakiki warga negara adalah mengkritik pemerintahnya—di Bolmong, kata kunci yang dilontarkan kalangan birokrat dan politisi adalah: ’’Jangan hanya mengkritik, tetapi harus berbuat.’’ Kalimat ini seolah-olah menunjukkan bahwa hanya merekalah yang melakukan segala-galanya; dan orang banyak cuma makan, tidur, dan bicara saja.

Apalagi kemudian diimbuhi ’’isu ini jangan dipolemikkan’’. Apa yang salah dari polemik? Menguji sebuah kebijakan publik dengan polemik dan perdebatan adalah cara sehat di tengah masyarakat demokratis yang beradab. Pemerintah dan politikus bukanlah sumber kebenaran utama; bahkan merekalah justru yang harus sangat dikritisi karena mengurusi hajat hidup orang banyak atas biaya orang banyak pula.

Menghimbau orang banyak jangan mempolemikkan sebuah isu publik –apalagi soal patung berhias gambar Bupati-- adalah sikap narsis dan menunjukkan bahwa siapa pun itu (dengan segala maaf dan hormat) hanya bertujuan menjilat. Namun, memahami Bolmong kontemporer membuat saya sama sekali tak heran: apa yang diharapkan dari pemimpin yang hanya suka mendengarkan suara dan melihat wajahnya sendiri, kecuali segerombolan orang yang siap melantunkan puja-puji dan kidung sorga?***