Sabtu, 29 Maret 2008

Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu (II)

Etika

Kelemahan kebanyakan anak muda yang hanya punya modal ‘’nekad’’, seperti tuan calon sarjana, adalah buta –-ini penghalusan dari ‘’tidak punya’’— etika. Aspek etika ini penting untuk mengelaborasi nama ‘’Komedian Kasino’’ yang disematkan ke saya.

Tuan Kodok (paling tidak sampai bagian ini saya masih menamai Kurniawan S Basol sebagai ‘’kodok’’), apakah Anda belajar etika sejak di TK sampai Perguruan Tinggi? Kalau Anda belajar tentang etika, maka Anda paham dan tahu persis bahwa untuk sampai pada putusan me-label-i saya sebagai ‘’Komedia Kasino’’, Anda harus membangun landasan dan argumen yang kokoh. Mana landasan dan argumen itu di tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”?

Lain soal kalau yang Anda gunakan etika jalanan. Saya tentu akan dengan senang hati menerima kesepakatan untuk menggunakan etika jalanan; di mana siapa yang paling ‘’kuat’’ dan ‘’berkuasa’’ boleh mensemena-menai yang lebih ‘’lemah’’ dan ‘’tidak punya kuasa’’. Saya hanya mengingatkan, saya paham dan mempraktekkan etika yang beradab; tetapi juga tidak asing dengan etika jalanan.

Pilihan Anda untuk menggunakan model etika yang mana? Saya selalu dengan senang hati menerima pilihan yang Anda sodorkan. Tentu, agar beradab, saya perlu memberi catatan: Etika jalanan berakibat sungguh menyakitkan! Dan saya yakin Anda tidak akan kuat menanggungnya.
Kalau label yang Anda sematkan semata-mata karena Anda mau ‘’sok jago’’, saya maafkan saja. Saya mahfum, orang muda, apalagi dengan status mahasiswa, sering merasa besar kepala sebelum lulus dan mulai melongo karena bingung melihat pasar tenaga kerja yang dipenuhi antrean jutaan orang.

Di sisi lain, saya sadar se sadar-sadarnya bahwa tulisan saya sangat menyakitkan banyak pihak. Terutama mereka yang sudah menikmati gelar-gelar yang saya sematkan sesuka saya. Tapi, apakah pihak-pihak yang sakit hati itu bisa membantah dengan landasan dan argumen yang rasional? Masalahnya tidak, karena mereka memang pantas mendapatkan gelar dan sebutan itu.

Teori, Konsep, dan Implementasinya

Di tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!” tuan calon sarjana juga mencampur-adukkan perkara teori, konsep, dan implementasinya. Kekacauan pengertian yang dituliskan itu, hampir membuat saya menyimpulkan tuan calon sarjana kita yang sekolah jauh-jauh ke Makassar ini pasti lebih banyak nongkrong main PS, jalan-jalan di Losari, atau ngelamun di tempat kost, ketimbang baca bahan kuliah dan literatur.

Teori mengatakan, kota seperti Kota Kotamobagu harus dibangun dengan pendekatan khusus, mengingat posisi geografis, jumlah penduduk, dan infrastruktur yang menopangnya. Kalau Anda masih mempertanyakan dari mana teori ini, kumpulkan saja literatur tentang perencanaan kota; atau datanglah ke Jurusan Perencanaan Kota di Universitas Hasanuddin, mereka pasti bisa memberi penjelasan yang memuaskan.

Berdasarkan teori seperti itu, harusnya dilahirkan konsep yang paling rasional, kokoh, dan dapat diuji; yang dipilih sebagai cara membangun Kota Kotamobagu menjadi wilayah yang secara ekonomi, sosial, dan budaya berkelanjutan. Untuk melahirkan konsep yang ideal itu, diperlukan lebih dari sekadar pidato atau asumsi. Siapa pun perencananya harus mengumpulkan seluruh data dan aspek yang saling terkait di Kota Kotamobagu, merumuskan, menguji dengan asumsi-asumsi, dan akhirnya melahirkan konsep yang utuh.

Bagaimana menguji konsep itu? Ah, masak Anda yang calon sarjana tidak tahu metode ilmiah? Masak pula Anda tidak tahu bahwa teramat banyak contoh sukses dan gagal dari pembangunan kawasan yang ada di seluruh permukaan bumi ini? Tapi kalau Anda tidak tahu pun, saya tidak heran. Kodok di bawan tempurung memang hanya kenal dunianya sendiri, kan?

Kalau Anda tidak buta dan tuli, hasil dari konsep yang hanya dipetik dari angan-angan seperti yang kebanyakan dikampanyekan oleh para birokrat dan politikus di Mongondow, sudah jelas terpapar saat ini. Kalau kita semua, orang Mongondow, mau jujur, hasilnya adalah sebuah wilayah yang dibangun tambal-sulam, tanpa panduan (orang pintar menyebutkan sebagai blue print) yang jelas.

Bahasa yang Baik dan Benar

Yang menarik dari tanggapan tuan calon sarjana adalah bersikukuhnya yang bersangkutan soal bahasa. Baiklah, saya akan mengajari Anda sekali lagi, sebab tampaknya Anda benar-benar miskin bacaan hingga bahasa Indonesia yang baik dan benar saja tidak becus.

Ada dua hal. Pertama, saya ingin menegaskan lagi, Anda benar-benar dungu yang percaya diri. Tanda seru (!) sebagai penegasan, dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar, tidak digunakan lebih dari satu. Kalau Anda ingin menegaskan tiga kali, dalam bahasa tertulis, bukan menggunakan tiga tanda seru (!!!), malainkan mengulang tiga kali frasa yang ingin ditegaskan. Misalnya, kalau Anda ingin menegaskan kata ‘’cukup’’ tiga kali, maka yang ditulis bukan ‘’Cukup!!!”; tetapi, misalnya, ‘’Cukup…, cukup…, cukup!’’ Atau boleh juga, ‘’Cukup! Cukup! Cukup!”

Kalau Anda tidak paham juga, pergilah ke perpustakaan kampus atau toko buku, dan bacalah buku-buku tentang berbahasa Indonesia atau menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Kedua, berkaitan dengan kata tolol dan goblok, di mana saya kutipkan pepatah Inggris yang mengatakan ‘’stupidity has no limit’’. Kalau Anda ingin memperdebatkan arti dan kaedah bahasanya, sebaiknya Anda buka kamus dan literatur bahasa Inggris. Bagi saya, itu masih kalimat yang terlalu sopan untuk Anda. Sebab saya belum menggunakan kata dummy, idiot, atau bahkan yang lebih kasar lagi untuk menggambarkan diri Anda.

Akhirnya: Ternyata Bukan Kodok, Tapi Berudu

Maka tibalah kita pada akhir posting ini. Terus-terang, setelah membaca kembali tulisan sang calon sarjana, serta dua email-nya, saya sungguh menyesal hanya me-labeli-i Kurniawan S Basol sebagai ‘’kodok’’. Sebab, sesungguhnya kodok yang rumah tempurungnya telah dibantu disingkap bisa lebih baik ketimbang sang calon sarjana kita ini.

Setelah dipikir-pikir, saya memutuskan untuk menurunkan derajat berpikirnya hanya sekelas berudu. Dan tuan calon sarjana, kalau Anda belajar bahasa Indonesia, ada pepatah yang mengatakan ‘’besar berudu di kubangan, besar buaya di lautan’’. Sesekali berkacalah, kalau sekadar berudu yang masih berada di kubangan, jangan coba-coba menjiwit buaya yang lagi tidur di muara.

Bagi buaya, kubangan cuma cukup untuk mencuci cakarnya.

Mari kita tutup posting ini dengan senyum lebar a la buaya dan tawa renyah: he he he….***

Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu (I)

Posting ini ditulis untuk menjawab beberapa hal penting berkaitan dengan artikel tanggapan dan email-email Kurniawan S Basol berkaitan dengan posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu. Sebagai catatan: Cukup banyak teman, kenalan, dan kerabat, yang mengirim SMS atau menelepon agar saya tidak menjadikan Saudara Kurniawan S Basol satu faktor penting, dengan menanggapi apa yang dia tuliskan. Namun, bagi saya, menanggapi yang bersangkutan harus dilakukan dengan niat baik agar dia tidak ''tersesat'' lebih jauh dengan kebenaran versinya sendiri, yang tanpa landasan dan argumen kokoh.

BANYAK anak muda, dengan berbagai alasan –-terutama sikap dan kebrilianan otaknya-- yang saya kagumi. Beberapa di antara mereka adalah orang Mongondow.

Dengan alasan berbeda, daftar itu bertambah lagi pekan lalu, tepatnya Minggu, 23 Maret 2008, saat membaca email dari Kurniawan S Basol. Terus-terang, saya kagum pada kegagah-beraniannya berkilah dan membenarkan kedunguan yang dibuat. Saya jarang menemukan ada orang yang sekukuh dia mempertahankan pendapat yang keliru se keliru-kelirunya, terutama bagi kalangan yang bersekolah dengan benar.

Sempat terlintas di kepala, jangan-jangan saya berbalas email dengan orang yang ‘’agak kurang genap’’. Namun, dengan berpikir positif, saya kembali merespons si Kurniawan S Basol –-yang calon sarjana-- ini, agar yang bersangkutan lebih tekun belajar supaya tidak menyia-nyiakan uang yang sudah dikucurkan orangtuanya. Bukankah sungguh memalukan bila sudah jauh-jauh disekolahkan ke Makassar dan hasilnya cuma otak yang cupet.

Saya akan menuliskan satu per satu –-dengan sejelas-jelasnya—hal-hal sederhana yang tampaknya sungguh sulit dipahami oleh sang calon sarjana ini.

Perkara Substansi

Musabab saling tanggap antara saya dan Kurniawan S Basol adalah tanggapannya atas posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu, yang dimuat di Radar Bolmong, Edisi II, Minggu I Maret 2008 (Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”). Artikel itu kemudian saya komentari dengan posting Kodok Itu Bernama Kurniawan S Basol, yang kemudian dimuat lagi oleh Radar Bolmong (sampai hari ini saya belum memegang edisi tercetaknya).

Lewat email, Kurniawan menanggapi posting itu. Dan yang bisa disimpulkan adalah: Menurut sang calon sarjana ini, saya sama sekali tidak paham substansi yang dia sampaikan lewat Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!” Sebab, menurut email-nya (saya kutipkan): ‘’Semuanya perlu di telaah secara substansial. bukan kata–perkata’’.

Baiklah. Ada sejumlah hal subtantif yang sudah saya sampaikan di posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu. Pertama, kebanyakan pejabat dan mereka yang mengaku tokoh (terutama dengan syawat politik tinggi), gemar bicara tanpa mikir. Contohnya, ya, membangun ekonomi Kota Kotamobagu dengan konsep ekonomi kerakyatan; pun menjadikan kota dengan empat kecamatan yang tersuruk di lembah Mongondow ini sebagai kota pendidikan dan jasa. Kedua, kerena bicara tanpa mikir itulah (apalagi membaca), maka jelas tidak ada telaah memadai terhadap apa yang disampaikan. Itu bukan sekadar ngelantur, tetapi mimpi yang keterlaluan. Dan ketiga, kebanyakan kita di Mongondow, karena terlampau ‘’mendewa-dewakan’’ orang –akibat ikatan kekerabatan atau semata karena segan tanpa alasan— membiarkan begitu saja kengawuran itu berlangsung, padahal hajat hidup kita semua terkait langsung.

Lalu, apa substansi yang ingin disampaikan oleh Kurniawan S Basol lewat tanggapannya, Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”?

Pertama, menghina saya dengan mengganti nama saya seenak berok neneknya sendiri dari Katamsi Ginano menjadi ‘’Komedian Kasino’’. Saya ulangi lagi, dengan dasar argumentasi apa saya diperlakukan seperti itu? Blog saya jelas mencantumkan identitas, begitu pula Radar Bolmong yang memuat tulisan itu. Dan siapa pun yang menanggapi, tahu persis yang bahwa yang menulis adalah saya.

Kedua, sang calon sarjana kini ini boleh membaca lagi tulisannya, yang sudah saya posting-kan di blog ini (saya mengetik kembali tulisannya dengan ember di samping kiri karena tak kuat menahan rasa muntah –ampun, betapa amburadulnya bahasa Indonesia tuan calon sarjana ini). Selain mengutip-ngutip dan memelintir beberapa bagian tulisan saya, apa yang ingin Anda katakan saudara Kurniawan S Basol? Teori atau sanggahan? Kita lihat nanti di bagian lain tulisan ini.

Simpulan saya, kata ‘’substansi’’ ini tampaknya baru mulai dikenal oleh tuan calon sarjana ini. Seperti bayi yang baru kenal kata ‘’Papa’’ dan ‘’Mama’’; dia sungguh tergila-gila menggunakannya, sekali pun tidak tahu persis kapan dan di mana penggunaan tepatnya. Tengok saja, di depan seorang bayi yang baru belajar bicara, semua yang laki-laki dipanggil ‘’Papa’’ dan semua perempuan disapa ‘’Mama’’, sampai matanya benar-benar terbuka dan bisa membedakan yang mana Papa dan Mama-nya; dan yang mana Papa dan Mama-nya orang lain.

Kurniawan S Basol, dengan artikel Anda yang bahasa Indonesia tidak karu-karuan, apa sebenarnya yang ingin ada sampaikan? Sebagaimana yang sudah saya tuliskan, kalau Anda paham apa itu subtansi, maka: ‘’Tuliskan substansi yang Anda maksudkan dengan dua kalimat sederhana, sebagaimana yang galib dilakukan orang-orang yang tingkat kecerdasannya terukur.’’ Tidak perlu mengutip-ngutip dan memelintir kalimat yang saya tuliskan. Percayalah, saya lebih tahu apa yang saya maksudkan; dan saya yakin begitu terang-benderannya hingga anak SMP pun tahu apa maksudnya.

Calon Walikota Kota Kotamobagu

Di tulisan tanggapan maupun email-nya tuan calon sarjana ini berulang-kali menyitir ‘’kandidat calon walikota’’. Eksplisit dan implisit yang bersangkutan menyatakan saya sama dengan beberapa orang yang syawat politiknya sedang di puncak, yang kini sedang narsis mengklaim diri mereka sebagai ‘’yang pantas dipilih’’ lewat baliho, poster, selebaran, fans club, bahkan pemberitaan di media massa yang dibayar.

Tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu sama sekali tidak mengklaim, mencantumkan, atau menempatkan diri saya sebagai kandidat calon walikota Kota Kotamobagu. Dalam konteks tulisan saya, dari mana tuan calon sarjana menyimpulkan bahwa saya adalah kandidat?

Yang terpenting lagi, apakah sudah ada kandidat calon walikota Kota Kotamobagu saat ini? Kecuali beberapa politikus, birokrat, dan pengusaha yang ge-er, setahu saya sampai saat ini belum ada satu pun yang pantas disebut kandidat calon walikota; sebab belum ada satu pun partai politik yang secara resmi menyebutkan nama.

Maka, tuan calon sarjana, pergilah ke dokter dan periksa darah, jangan-jangan Anda mengindap malaria dan apa yang Anda tuliskan adalah halusinasi akibat demam tinggi.***

Saling Email dengan Kurniawan S Basol

Sebagaimana tulisan tanggapannya, mulanya saya berpikir email-email dari Kurniawan S Basol dan email saya, tidak perlu dipublikasikan di blog ini. Tetapi, mengingat nilai pembelajarannya, saya memutuskan untuk mempublikasi, agar pembaca bisa menilai dengan objektif. Email-email yang di-posting ini tidak diedit, kecuali ada tiga catatan kecil dari saya.


Email: Kurniawan S Basol
Waktu: Minggu, 23 Maret 2008
Dari: ionekoranmks@....

9 Maret 2008, saya pulang dari Kotamobagu menuju Makassar.dua minggu kemudian saya mencari info tentang Kotamobagu melalui media internet,Saya Terkesan ketika membaca sebuah artikel yang dari sebuah blogspot yang menceritakan sebuah kodok yang bernama Kurniawan S Basol. saya bukan tersinggung malah tertawa membaca artikel tersebut. pasalnya saya tidak mengira sebelumnya ternyata tanggapanya makin aneh saja. Saya jadi khawatir, apabila nantinya ada seorang calon walikota yang ternyata sulit memahami substansi dari sebuah tanggapan, "apa kata dunia.!!!"kenapa?. Pertama, yang perlu Saudara ketahui bahwa setiap kalimat yang saya bahasakan itu (dalam celoteh di harian Radar Bolmong). Semuanya perlu di telaah secara substansial. bukan kata - perkata. Apakah seorang calom walikota hanya memahami sebuah celoteh pada wilayah kata saja?. Kedua. apabila anda merasa bukan anda, kemudian anda tidak tersinggung dsb. kenapa anda yang menaggapi celoteh dari saya?Ketiga, Seorang calon Walikota gagal memahami serta menyerap sebuah tanggapan dari seorang calon sarjana, bagaimana nanti kalau beliau menjadi seorang pimpinan? Keempat, akibat dari sebuah kegagalanya itu Sang Calon walikota ahirnya menelaah baris perbaris setiap kalimat yang saya tulis. dengan demikian sebuah kesalahan berfikirlah yang beliau utarakan ke saya.Kelima, Saya mau tanya Apa definisi Ketololan?. jangan-jangan anda juga tidak mengerti apa sebenarnya ketololan itu.

to be continue....

Email: Katamsi Ginano
Waktu:
Senin, 24 Maret 2008.-
Dari: orangmongondow@gmail.com

Ha ha ha,

Kalau begitu, bikin kalimat yang baik, dong. Bikin email saja tidak becus, bagaimana menulis, apalagi menyampaikan pikiran dengan baik?

Saya tidak keberatan mengajari orang Mongondow seperti Anda (sebagai sesama Mongondow), bagaimana menulis yang baik, kok.

Begini, Bung, bukan saya yang salah memahami. Bukan pula saya yang tidak paham substansi. Tapi apa subtansi yang mau Anda katakan? Semakin sederhana bahasa seseorang menyampaikan masalah ''tinggi'', semakin cerdas orang tersebut. Bahasa Anda yang dirumit-rumitkan, dengan entah apa yang ingin Anda katakan, jelas menunjukkan Anda memang tidak paham apa yang ingin Anda sampaikan.

Mungkin kecerdasan Anda luar biasa. Untuk itu, bolehkah Anda menyampaikan substansi yang Anda maksudkan dengan dua kalimat sederhana, sebagaimana yang galib dilakukan orang-orang yang tingkat kecerdasannya terukur? Saya yakin tidak.

Lagipula, saya belum menyentuh wilayah yang lebih jauh, soal etika. Mana ada sarjana (Anda sarjana toh? --Catatan: Ternyata yang besangkutan baru calon sarjana-- Kasian sekali Anda kalau begitu) yang menuduh seseorang ''komedian kasino'' tanpa konteks apa-apa; kecuali ingin menghina? Apa alasan Anda menyebut saya ''komedian kasino''? Apa tolok ukur dan musababnya? Kalau Anda saya sebut ''kodok'', ya, jelas belaka: Bahasa Indonesia Anda saja masih coreng-moreng, eh, sudah berani memaki orang.

Anda justru punya hutang ke saya, karena Anda harus menjelaskan mengapa saya disebut ''komedian kasino''. Perkara Anda saya sebut ''kodok'', sudah saya jelaskan toh.

Nah, maka sampailah (di email aslinya tertulis ''sampaikah'') kita pada apa definisi. Saya tidak bilang Anda tolol (ampun, membaca saja salah, apalagi mendefinisi --lihat lagi apa yang saya tulis. Dan lihat baik-baik), tetapi saya bilang ''goblok!'' (kali ini dengan tanda seru ''!''). Indikatornya juga jelas. Paling sederhana, harus kita sebut apa orang yang bahkan tidak tahu (padahal sarjana --Catatan lagi: Ternyata yang besangkutan baru calon sarjana--) berapa banyak titik dan tanda seru yang pantas digunakan dalam satu kalimat, kalau bukan ''goblok!''. Sebab tolol pasti salahnya lebih sedikit daripada goblok. Lagipula, tolol berkaitan dengan ''sesuatu yang dibawa dan melekat''; sedangkan ''goblok'' karena sudah diberitahu (formalnya: disekolahkan) tetapi ternyata tidak paham.

Akhirnya, saya mau memberitahu sedikit kegoblokan Anda yang lain: Tanya tanya (?) di akhir kalimat tidak perlu dibubuhi titik (.); sebab fungsinya sama, yaitu menjadi akhir kalimat. Sama dengan tidak perlu tiga tanda seru (!!!) untuk menekankan satu kata atau kalimat, sebab tidak ada bedanya dengan satu tanda seru (!).

Sekadar urusan tanda baca saja Anda amat sangat patut dikasihani, bagaimana mungkin Anda bisa berdebat dan bicara subtansi dengan saya? Bung, yang saya tulis, dengan segala hormat untuk Anda, terlalu tinggi untuk orang sekelas Anda. Nasihat saya, jangan mempermalukan diri Anda.

Terakhir, sesungguhnya saya sangat ingin memajang email Anda di blog saya (termasuk pula tulisan di Radar Bolmong). Tapi, sungguh saya tidak tega melihat wajah blog saya rusak karena email yang tata penulisannya tidak karu-karuan. Jadi, tolong edit dan tulis lagi dengan baik, supaya tampak elok bagi pembaca.

Maka mari kita tutup email ini dengan: He he he...

Terima kasih.

KG


Email: Kurniawan S Basol
Waktu: Senin, 24 Maret 2008.-
Dari: ionekoranmks@....

Satu hal yang harus saya akui salah dalam penulisan saya, yakni kesalahan dalam penulisan goblok menjadi tolol, akan tetapi jika saja sekiranya kedua kalimat sama pada makna substansinya berartikan tidak masalah.

"...kegoblokannya (saya akan menguraikan mengapa saya menyebut goblok, bukan bodoh)... "
"...stupidity has no limit" (kegoblokan memang tak ada batasnya)....."
perhatikan kalimat yang saya bold di atas, dalam kaedaeh bahasa inggris mana arti yang baku dalam bahasa indonesia. Anda mengatakan bukan bodoh melaikan goblok. Jika saja penafsirannya sama (baku dan nonbaku), apa bedanya dengan tolol dan goblok.

Jika sekiranya Anda tidak mampu memahami apa yang saya sampaikan, bisa anda lebih goblok dari saya, kenapa? Pertama anda mngatakan saya goblok, ini seperti anda mau mengatakn bahwa anda tidak golok, akan tetapi ketidakgoblokkan anda justru menegaskan bahwa ternyata anda goblok juga. karena anda (yang tidak golok tersebut) tidak mampu menagkap apa yang saya sampaikan dalam tulisan tersebut sementara saya anda katakan goblok.

Anda mau menaggapi tentang tanda baca dalam tulisan saya, seharusnya anda paham juga jika tanda seru sebagai tanda penegasan, mestinya anda juga harus pahami bahwa jumlah tanda seru yang berlebihan tersebut merupakan makna dari lebih dari satu kali penegasan. sebernaya anda terjabak pada wilayah kata, sementara saya menyampaikannya pada tataran makna, makanya anda sulit juga untuk memahaminya. Dan ahirnya tidak nyambunglah kita.

Tapi, ada pertanyaan yang saya kurang mengarti antara perdebatan kita ini.
Pertama, Apakah perdebatan kita ini dapat berefek terhadap perubahan di Kotamobagu?. Terutama para kalangan politisi.
Kedua, jika sekiranya perdebatan dapat membawa perubahan, maka pertanyaan saya kemudian, perubahan bagaimana yang dapat dihasilkan untuk Kotamobagu? Dari hasil perdebatan kita, apalagi saya dan anda sama-sama tidak berada di kotamobagu.

saya kurang paham maksud dari kalimat yang ada di redaksi anda yang mengatakan bahwa "membuat email tidak becus". Saya butuh penjelasan anda, biar menjadi bahan pembelajaran saya.

Tabi bo tanob, bo syukur moanto.

Artikel Kurniawan S Basol di Radar Bolmong

Posting Kota Bukan Ini, Bukan Itu, di blog ini yang kemudian dimuat di Radar Bolmong, Edisi I, ditanggapi Kurniawan S Basol di Radar Bolmong, Edisi II, Minggu Pertama Maret 2008. Mulanya saya memutuskan tidak mem-posting tanggapannya, agar pembaca blog ini tidak ''disiksa'' dengan bahasa Indonesia yang mengerikan. Tapi demi keadilan, dan agar yang tidak membaca Radar Bolmong tidak kehilangan konteks, tulisan tersebut saya putuskan untuk dipublikasi di sini. Tulisan Kurniawan S Basol ini ditampilkan apa adanya, tanpa editing sama sekali. Pembaca, Anda tentu bisa pula memberikan penilaian.


Kota Yang Bagaimana….? Jika, “Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!”

Tanggapan masyarakat atas Celoteh dari Yang Mulia –sebut saja- “KASINO” seorang calon kandidat Di salah satu daerah yang baru dimekarkan di Republik ini tentang “Kota bukan ini, Bukan itu”.

Sebuah kritikan tajam keluar dari seorang “Komedian Kasino”, dalam sebuah tanggapan tentang konsep mengaeni perencanaan pembangunan sebuah kota yang baru seumur jagung, dan konon –kata saudaranya— “cukup untuk rute gerak jalan 17 agustusan.”

Dalam celotehnya Yang Mulia mengkritik beberapa kandidat yang lain tentang konsep pembangunan yang mereka tawarkan demi kesejahteraan masyarakatnya, misalnya konsep ekonomi kerakyatan, konsep kota pendidikan dan jasa. Menurutnya konsep-konsep tersebut hanya sebuah pemikiran ajaib yang mampir di kepala dari yang mulia calon kandidat, Lucunya lagi katanya hanya sekadar keseleo lidah atau keracunan ikan lolosi “ungkapan yang sangat lucu bagi seorang pelawak yang kini terjun di dunia politik’’

“Sedikit terhibur…..” ketika Kami membaca sebuah celoteh tersebut (yang dimuat dalam sebuah harian yang terbit di kotamobagu), lahir sebuah pemikiran yang membawa kami (Pembaca) seakan larut dalam sebuah dialog lucu dari Parodi di tayangan “Republic Mimpi,” dimana seorang calon mengkrik calon yang lain melalui konsep-konsep yang ditawarkan oleh calon tersebut, seolah-olah yang mengkritik telah paham bagaimana konsep yang ditawarkan itu, sedangkan belum tentu kritikannya yang lebih baik daripada konsep yang ditawari oleh kandidat lain.

Kami fakir berdebat di wilayah konseptual itu sebenarnya hal yang sia-sia saja, kenapa..? karena pada wilayah konsep belum ada penilaian benar salah, baik atau buruk karna konsep tersebut belum diimplementasikan, artinya ini masih bersifat kemungkinan, mungkin bisa berjalan sesuai rencana, mungkin juga lari dari perencanaan, nah… konsep dari sebuah perencanaan bernilai benar atau salah, baik atau buruk, jika konsep tersebut telah dijalankan 100%. Konsep tersebut akan bernilai baik/benar apabila dia berjalan sesuai rencana, dan dia (konsep) bernilai buruk/salah apabila lari dari konsep tersebut.

Ada sebuah pertanyaan untuk yang mulia, Tentunya seorang Calon kandidat punya sebuah konsep yang akan diimplementasikan, “walaupun dia sendiri tidak mau mengubarkan konsepnya”, padahalkan itu masih dalam tataran konsep saja, entahlah,,, mungkin ada ketakutan akan sebuah counterattack yang akan membuatnya K.O. atau mungkin Masih mempelajari cara penerapannya, atau jangan-jangan Yang Mulia hanya berapologi saja, (inilah pemikiran masyarakat yang lahir akibat dari kemungkinan-kemungkinan yang belum ada penilaian). Kalaupun yang mulia mempunyai sebuah konsep, pertanyaan Kami bagi yang mulia “Kasino”, Apakah konsep yang dimiliki Yang Mulia sudah bernilai salah atau bernilai benar, baik atau buruk, tetapi belum ada implementasi di daerah yang baru dimekarkan di Republik ini….?

Setelah kami menelaah lebih dalam lagi, ternyata ada sebuah kontradiktif dalam celotehnya, dimana disatu sisi Yang Mulia Menilai bahwa konsep Kota Pendidikan dan Jasa yang sementara berjalan itu hanya merupakan “mimpi disiang bolong, dan hanya sebuah lamunan yang keterlaluan”, dalam arti kata sebuah kemustahilan dan pasimisme bahwa konsep tersebut akan terwujud, sementara disisi lain Beliau mengatakan Mungkin saja Kota tersebut bisa menjadi kota pendidikan, ini seperti halnya Yang Mulia menganalogikan “penyakit permanent yang bisa disembuhkan, atau sebuah ketiadaan yang merealitas (ada)”.

Sebagai bahan perenungan kita semua, marilah kita saling menghargai sesuatu, apapun itu, bagaimanapun bentuknya, serta dari mana datangnya, agar supaya tercipata rasa kebersamaan dalam membangun tanpa harus saling mengkritik konsep yang belum ada penilaian di dalamnya, dalam rangka membangun “Kota yang baru seumur jagung dan cukup untuk rute gerak jalan 17 agustusan serta memiliki penduduk cukup padat –berkisar 150.000” jiwa ini. (Meminjam Istilah Yang Mulia –“Kasino”).***

Jumat, 21 Maret 2008

Larangan di Singapura, Penghematan di Bolmong?

HUJAN mengguyur Singapura, Kamis pagi, 20 Maret 2008. Di Cafe Goerge, Le Meridien Hotel, Orchard Road, saya tak bisa menahan gelak membaca headline Harian The Straits Times.

Koran terkemuka ini memajang judul ''Ministry wants doctors to stop 'aesthetic' treatments" dengan mengutip pernyataan Direktur Regulasi Kementerian Kesehatan Singapura, Dr Tan Chor Hiang. Bersama judul provokatif itu, disertakan ilustrasi bertuliskan "Skin Whitening", "Mesotherapy", dan "Colon Cleansing" dibubuhi tanda X merah besar; yang berarti dilarang.

Pernyataan Dr Tan mendapat dukungan dari Ketua Komite Kesehatan Parlemen Singapura, Ny Halimah Yacob. Apalagi Dr Tan juga menegaskan, "Tanpa pembuktian ilmiah yang memadai, tidak akan diketahui apakah praktek pengobatan estetik itu akan menimbulkan bahaya jangka menengah atau panjang."

Bagi Singapura, negara yang hanya mengandalkan "kelangsungan hidupnya" dari bisnis (terutama jasa), larangan itu berdampak tidak sederhana. Untuk jasa kesehatan estetik saja, diprediksi uang yang berputar tak kurang dari 200 juta dolar per tahun (paling tidak jumlah ini yang resmi terdata); dengan melibatkan lebih dari 1.000 dokter umum dan dokter ahli yang menjajakan layanan ini.

Melarang praktek jasa kesehatan estetik, bagi Singapura, adalah menghalangi perputaran duit dalam jumlah besar; sekaligus mereduksi kesempatan kerja bagi ribuan orang yang terlibat di dalamnya.

Tapi di balik itu, tindakan Kementerian Kesehatan justru amat sangat patut dipuji. Bahwa, di atas aspek bisnis (yang berarti keuntungan finansial), ada tanggungjawab moral dan etik yang ditegakkan. Menjadi cantik, berhidung mancung (dengan --maaf-- dada montok), kulit putih dan kencang, serta tubuh yang "sempurna" tidaklah haram; tetapi tidak dengan jalan pintas; apalagi dengan metode medis yang secara ilmiah tidak teruji ketat.

Namun, yang membuat saya tergelak --sekaligus membingungkan dua kolega yang pagi itu sarapan bersama-- adalah membayangkan dampak larangan Menteri Kesehatan itu pada ribuan perempuan di Indonesia, utamanya mereka yang jadi pelanggan imej muda dan "cantik", dan terlebih khusus untuk sejumlah perempuan di Bolmong.

Apa hubungannya?

Saya teringat pemberitaan Harian Posko Manado beberapa bulan lalu, berkaitan dengan perawatan kesehatan estetik; dimana ada sejumlah "orang penting" di Bolmong yang jadi pelanggannya. Ya, tentu saja tak jauh dari permak hidung, bikin putih kulit, menghilangkan kerutan di dahi dan pelupuk mata, hingga menegakkan kembali payudara yang sudah kendor (sebenarnya sejalan dengan usia masalah ini alamiah belaka).

Kebanyakan konsumen perawatan kesehatan estetik dari Bolmong memang adalah pelanggan dokter (atau salon kecantikan yang membuka layanan ini) di Jakarta. Tapi, ada sejumlah orang yang punya duit (terutama yang bersangkutan --atau suaminya-- punya posisi politik atau birokrasi "basah"), yang berlangganan di Singapura.

Yang lucu dari perawatan kesehatan estetik adalah: konon (karena saya belum pernah mencoba dan tidak pernah ingin istri saya mencobanya) prosesnya harus terus-menerus dilakukan. Kalau tidak, bisa saja hidung mancungnya bisa perlahan-lahan bengkok; kulit yang sudah putih jadi hitam lagi; kerutan kembali di dahi dan pelupuk mata; atau yang sebelumnya kendor, kembali kendor dan bahkan bisa lebih buruk lagi.

Larangan perawatan kesehatan estetik oleh Kementrian Kesehatan Singapura (walau masih diimbuhi yang keabsahan ilmiahnya belum teruji), tentu jadi kabar buruk. Menjadi ancaman serius terhadap kecantikan para pelanggannya yang berkonsekwensi pada tergoresnya harga diri. Apa kata dunia kalau yang sekarang tampak "cantik" dan sempurna satu-dua bulan ke depan tiba-tiba kempot dan berantakan, gara-gara kebijakan stop total perawatan kesehatan estetik itu?

Memang perawatan sejenis mungkin saja dialihkan ke Jakarta, misalnya. Tapi saya yakin cepat atau lambat pelarangan oleh Singapura akan berdampak ke dokter dan klinik sejenis di Indonesia. Ini berkaitan dengan suplai peralatan atau bahan baku yang digunakan, yang bukan rahasia lagi umumnya didatangkan dari Singapura.

Kecuali kalau dokter atau salon di Indonesia (dengan etika, moral, dan standar yang biasanya longgar dan payah) yang masih mempratekkan perawatan yang dilarang di Singapura, mengalihkan supplay chain-nya ke Cina, misalnya. Namun, bila itu terjadi, para konsumen pantas waspada, sebab permen Cina saja banyak yang mengandung bahan kimia berbahaya, apalagi sekadar bahan baku perawatan kesehatan estetik yang tidak sangat penting bagi penyelamatan jiwa manusia (kecuali karena sekadar ingin penampilannya sempurna di mata orang lain). Bisa-bisa niat jadi cantik malah mempercepat tiket ke dunia lain.

Lalu apa skenario terbaiknya?

Pertama, berhenti berlanggan perawatan kesehatan estetik yang tidak masuk diakal itu. Ini tentu menjadi kabar baik, karena sekaligus menghemat anggaran yang seharusnya tidak perlu (apalagi kalau biayanya hasil korupsi atau memalak kontraktor proyek-proyek pemerintah di daerah).

Anggap saja langkah ini adalah bagian dari keprihatinan terhadap kondisi ekonomi negeri ini. Atau, kalau mau lebih heroik, mendukung kampanye anti korupsi dan penghematan nasional.

Konsekwensinya memang agak menyakitkan hati bagi pelanggan yang bersangkutan: Pasti perlahan-lahan tak tampak elok lagi, dan seterusnya tentu mengundang gunjingan dan tanda-tanya orang sekitar. Malunya itu yang tentu tak kuat ditanggung.

Kedua, dan ini sejalan dengan yang pertama, yaitu: Bagaimana kalau pakai saja baju tertutup, lengkap dengan cadar? Dengan begitu hidung yang jadi miring atau kulit kisut dan hitam karena tak dirawat lagi, pasti tak akan nampak.

Orang tentu tak akan mempertanyakan. Paling-paling mereka berspekulasi yang bersangkutan menjadi lebih fundamentalis dalam beragama.

Tak apa, bukan? Sebab bukankah agama memang suka dijadikan kedok selama ini, termasuk di Bolmong.***

Jumat, 14 Maret 2008

Ahmad Alheid: ''Yang Tak Terpikirkan''

Artikel lepas Kota Bukan Ini, Bukan Itu, yang saya posting Sabtu, 16 Februari 2008, yang dipublikasi Radar Bolmong Edisi I dan kemudian ditanggapi Kurniawan S Basol di Radar Bolmong Edisi II --dan saya tanggapi lagi dengan posting Kodok Itu Bernama Kurniawan S Basol-- ditanggapi pembaca blog ini. Adalah Ahmad Alheid yang mengirimkan email dari heid_ahmad@..., Rabu, 12 Maret 2008, yang seluruh isi lengkapnya saya cantumkan di bawah.

SAYA kira tulisan Katamsi Ginano yang menampar Kurniawan S Basol belum apa-apa untuk membangunkan banyak orang Mongondow dari kedunguan yang cenderung mewabah. Apalagi bila kedunguan itu datang dari kalangan yang merasa bisa mempengaruhi opini khalayak, intelektualitasnya di atas rata-rata awam, dan berdiri mengelilingi kandidat walikota sebagai tim penasihat bagi si calon kepala daerah.

Bayangkan, mereka dirasuki kegoblokan dan narsisme --dan secara kontras dihinggapi nafsu menjilat di saat yang bersamaan.

Apa yang bisa diharap dari semua calon yang memajang baliho di seantero Kotamobagu saat ini, selain birahi berkuasa? Kalau tiba-tiba ada yang menawarkan ekonomi kerakyatan, bukankan itu hanya pikiran romantis sok sosialis?

Saya pernah mendengar seorang pimpinan partai pidato tentang Kotamobagu yang tidak bisa bersandar dari sumber daya alam bila dibanding dengan daerah lain di sekitarnya. Menurutnya, karena itulah dibutuhkan seorang pemimpin kreatif untuk membangun kota ini.

Beberapa hari kemudian isu tentang tidak bisanya Kotamobagu bersandar dari sumber daya alam ini nongol di koran disuarakan seorang kandidat yang hadir pada acara tersebut. Saya sedih menyaksikan hal tersebut. Bayangkan, hal yang begitu sederhana bukan hanya menjadi barang "yang belum dipikirkan", namun menjadi "yang tak terpikirkan" bagi si calon walikota.

Wajar kalau Katamsi melemparkan kecurigaan pada mereka yang tengah menabur janji di Kotamobagu. Benar memang, kalau ingin melihat Kotamobagu maju beberapa tahun ke depan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya, dibutuhkan program yang melampaui dari apa yang sedang dipropagandakan di Kotamobagu saat ini.***

Selasa, 11 Maret 2008

Kodok Itu Bernama Kurniawan S Basol

MINGGU malam, 9 Maret 2008, saya, beberapa sahabat, dan sejumlah kerabat larut dalam bual-bual hangat. Dari cerita tentang ikan teri segar hingga perkembangan politik muktahir di Kota Kotamobagu.

Maklum yang berkumpul adalah orang Mongondow, yang umumnya lahir, besar dan bermukim --atau paling tidak orangtuanya masih bermukim-- di Kota Kotamobagu. Apapun yang terkait dengan tempat kelahiran dan rumah orangtua, selalu jadi topik yang bagai tak putus dipercakapkan.

Menjelang tengah malam ngalor-ngidul itu diintrupsi kedatangan salah seorang sepupu yang baru tiba dari Kotamobagu; yang sambil cengengesan meletakkan Radar Bolmong, Edisi II, Minggu Pertama Maret 2008. ‘’Ada tulisan yang harus dibaca,’’ katanya dengan senyum lebar yang menurut difinisi umum orang Manado sangat kentara ‘’setengah ba terek’’.

Ternyata yang harus dibaca adalah tulisan Kota Yang Bagaimana….? Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’ (judul tulisan ini saya kutipkan sebagaimana aslinya, termasuk jumlah titik-titik, tanda tanya, dan tanda serunya), yang ditulis Kurniawan S Basol. O, rupanya tulisan ini adalah tanggapan terhadap tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu yang di-upload di blog ini pada Sabtu, 16 Februari 2008, yang ‘’konon’’ (sebab saya tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri) dipublikasi dalam bentuk cetak di Edisi I Radar Bolmong.

Agar diketahui umum, saya tidak keberatan tulisan itu dipublikasi oleh Radar Bolmong. Apalagi kalau isinya kemudian bisa menjadi jalan masuk bagi diskusi yang lebih luas dan bernas.

Setelah Radar Bolmong Edisi II, Minggu Pertama Maret 2008 itu berpindah-pindah tangan, di mana saya cermati para pembacanya tampak sengsara dengan kerutan di kening dan gelengan kepala, akhirnya tiba juga di tangan saya. Terus-terang, saya memerlukan hampir 20 menit untuk membaca artikel pendek itu, hingga sampai lima kali diulang, untuk coba memahami pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Saya gagal memahami apa maksud artikel itu. Sahabat dan kerabat yang ada di sekitar saya, yang beberapa di antaranya adalah mantan wartawan dan penulis yang khatam, juga berterus-terang tak paham apa isinya.

Bagi saya sendiri, satu-satunya simpulan yang paling masuk akal adalah: sang penulis, Kurniawan S Basol, dengan segala kegoblokannya (saya akan menguraikan mengapa saya menyebut goblok, bukan bodoh) punya satu niatan saja, yaitu menghina isi kepalanya sendiri.

Walau tulisan itu jelas mengomentari tulisan saya Kota Bukan Ini, Bukan Itu, tapi karena nama saya sama sekali tidak disebut (melainkan diganti dengan ‘’Komedian Kasino’’), buat apa saya ambil peduli dengan tersinggung atau marah? Kalau pun ada semacam ‘’rasa’’, tidak lebih dari geli dan kasihan. Apalagi saya paham arti kalimat ‘’stupidity has no limit’’ (kegoblokan memang tak ada batasnya).

Mari kita uraikan betapa dasyatnya ketololan yang diumbar dengan gagah-berani itu.

Dari penjudulan, Kota Yang Bagaimana….? Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’, jelas penulisnya tidak paham bahasa Indonesia dan tata bahasanya (kalau yang bersangkutan seorang sarjana, maka jelas sekolahnya sia-sia belaka). Judul itu jauh dari tata bahasa Indonesia yang baik dan benar --padahal bahasa yang benar sudah menjadi indikator awal cara berfikir seseorang.

Pertama, apa fungsi titik-titik di akhir satu kalimat dan berapa banyak jumlahnya sebelum ditutup dengan tanda baca yang lain? Orang yang belajar bahasa dengan benar tahu persis bahwa titik-titik menunjukkan kalimat yang tidak selesai; yang seharusnya jumlahnya tidak boleh lebih dari tiga sebelum ditutup dengan tanda baca yang lain (semisal tanda Tanya).

Kedua, anak kalimat Jika, ‘’Bukan Ini, Bukan Itu..!!!!!’’ keliru sekeliru-kelirunya karena seharusnya kata ‘’jika’’ tidak diikuti dengan koma. Pula, untuk apa ada dua titik dan lima tanda seru setelah kata ‘’itu’’? Perkara titik-titik, tengok lagi penjelasan di atas, sedangkan tanda seru, penulis yang waras cukup membubuhkan satu tanda seru untuk menegaskan; sebab mau berapa biji tanda seru pun, artinya hanya satu: penegasan.

Ketiga, jika sang penulis cukup paham bahasa Indonesia dan tata kalimatnya; dan memiliki kemampuan berpikir linier, maka judul yang benar semestinya Kota yang Bagaimana, Jika Bukan Ini, Bukan Itu? Atau, alternatif yang lain, Jika Bukan Ini, Bukan Itu, Lalu Kota yang Bagaimana?

Nah, dengan judul yang bagai benang basah dan kusut itu, apa yang diharapkan dari isi artikelnya sendiri? Apalagi satu-satunya yang disampaikan oleh penulis dengan terang-benderang adalah penghinaan terhadap saya dengan sebutan ‘’komedian kasino’’, yang entah dengan alasan apa. Bagi saya yang punya kegemaran mengejek orang, setiap ejekan harus punya pijakan yang kuat; dan juga nilai-nilai yang lebih dari sekadar ingin mengejek, apalagi menghina.

Dengan berbaik sangka, saya kira Kurniawan S Basol dengan artikelnya yang hanya dia sendiri yang paham apa maksudnya, menjadi contoh kedua betapa berbahayanya otak yang keracunan karena salah makan; atau bahkan salah belajar dan baca buku. Atau jangan-jangan yang bersangkutan memang menulis sambil mimpi dan mengigau?

Yang menyedihkan saya, Kurniawan S Basol bisa pula menjadi salah satu contoh dari sikap kebanyakan orang (Mongondow) yang seperti kodok di bawah tempurung. Menganggap seolah-olah tempurung kelapa yang dia pilih untuk didiaminya adalah dunia luas; di mana segalanya sempurna lahir-bathin. Yang dengan demikian tidak perlu mempertimbangkan apa pun yang ada di luar tempurungnya, walau itu adalah deru bolduzer yang dengan mudah meluluh-lantakkan tempurung dan segala isinya.

Bahkan, dengan memahami perilaku kodok, lebih celaka lagi, yang bersangkutan sudah terjebak menjadi boiled frog (kodok yang mati direbus). Anda tidak percaya? Tangkaplah seekor kodok, taruh dalam panci berisi air, dan rebuslah. Bersama dengan naiknya temperatur air, suhu tubuh sang kodok yang berdarah dingin akan terus-menerus mengikuti kenaikan temperatur itu, hingga tanpa sadar dia telah matang terebus.

Orang Mongondow di Kota Kotamobagu yang tidak kuatir dengan kondisi kotanya saat ini, tak beda dengan sang kodok yang mati perlahan-lahan di air yang tengah direbus. Dan kodok yang jadi contoh ideal itu salah satunya terbukti bernama Kurniawan S Basol.***

Kamis, 06 Maret 2008

Hal Mustahak Perkara Musim Muntah

PERKARA musim muntah, jauh di Perancis sana, yang saya posting Sabtu, 16 Februari 2008, akhirnya terjawab sudah. Adik saya, yang mengabarkan musim aneh itu, menjelaskan dengan lugas. Kurang-lebihnya: rasa muntah yang dialami keluarganya, para tetangga, dan warga kota umumnya akibat mikro organisme yang bermutasi di musim-musim tertentu.

Di negara-negara empat musim, musim semi tiba setelah musim dingin yang membekukan segalanya. Bersama mencairnya salju, rumput dan bunga yang sebelumnya menguburkan biji, pepohonan yang menggugurkan daun, bahkan hewan-hewan yang berhibernasi, kembali terlihat di mana-mana.

Namun, bersamaan dengan itu, organisme yang tak terlihat dengan mata telanjang pun (makanya disebut micro organism) bisa berkembang dengan cepat.

Singkatnya, adik saya mengemukakan bahwa penyebab utama musim muntah itu adalah mutasi mikro organisme yang dengan kreatif menciptakan masalah bagi manusia. Ya, kalau di Indonesia mirip-mirip dengan musim (maaf) muntah-berak (muntaber) yang kerap mewabah saat kemarau tiba.

Aha, kalau begitu urusannya tidak jauh dari perkara kebersihan.

Memang benar, sebab menurut adik saya yang menjadi sahibul cerita, salah satu senjata ampuh menghindari cemaran mikro organisme adalah dengan mencuci tangan bersih-bersih; dan untuk anak-anak (utamanya yang berusia belia) dilarang keras menjilat sembarangan. Jangan menjilat jari tangan, mainan, meja, apalagi kursi, yang jelas sama sekali tidak bisa dijamin kebersihannya dari si mikro organisme sialan itu.

Ada dua hal penting dari penjelasan mustahak perkara penyakit muntah itu. Pertama, cuci tangan. Kedua, utamanya bagi anak-anak jangan suka menjilat sembarangan.

Saya nyaris terbahak membaca penekanannya tentang dua aspek penting itu. Sebab di Kota Kotamobagu musim politik yang mewabah saat ini penuh dengan praktek cuci tangan dan jilat-menjilat, yang akibatnya justru tidak langsung terhadap mereka yang berbuat, melainkan pada penonton dan orang banyak. Ibaratnya, seperti kata syair salah satu lagu dangdut populer, ‘’Orang lain yang berlabuh, aku yang tenggelam….’’ Orang lain yang berbuat, orang banyak yang menonton yang mual-mual dan ingin muntah.

Lihat saja, tiba-tiba para politikus dan sejumlah calon peserta ‘’Pilwako idol’’ tampak menjadi orang baik, murah hati, bersih, tanpa cacat –termasuk cacat korupsi--, dan yang tak kurang penting religius dan kuat iman. Tentu gampang disimpulkan bahwa mereka cuma ‘’cuci tangan’’ dari apa yang selama ini sudah dilakukan. Anehnya pula, cukup banyak orang (di barisan terdepan adalah para bala tentara tim sukses) yang percaya bahwa para ‘’aktor’’ itu memang manusia yang Rahmatan Lil Alamin.

Tak perlulah aib orang per orang diumbar, sebab manusia mana sih yang bebas aib? Tapi sebagai manusia biasa, harus diakui bahwa melihat Kota Kotamobagu saat ini (dan Bolaang Mongondow dalam skala yang lebih besar), rasanya dada makin tipis karena tak terhitung lagi berapa banyak kali harus diusap; dan perut makin tak kuat dengan obat maag yang mesti sering dikonsumsi untuk mengurangi rasa mual. Saya tidak tahu apakah perasaan itu menunjukkan kewarasan; atau justru ketidak-warasan.

Dan urusan melarang jilat-menjilat, di Kota Kotamobagu saat ini tak beda dengan menggarami laut. Cuma buang waktu, buang umur, dan bikin kering mulut. Begitu banyaknya periswa jilat-menjilat yang saya saksikan akhir-akhir ini, sampai-sampai tak terbayangkan lagi andai kata manifestasi akhirnya adalah penyakit, saya yakin yang diidap bukan hanya rasa muntah (seperti di Perancis sana) atau muntaber di musim kemarau di negeri ini.

Di balik itu, saya juga penasaran, kalau anak-anak usia belia dilarang menjilat aneka benda dan barang semata agar mereka tidak tercemar virus dan bakteri; maka alasan apa yang harus diajukan pada para tua Bangka agar mereka berhenti melakukan penjilatan, terutama ke pantat para politikus dan pejabat publik yang perilakunya jauh dari pantas dipanuti?

Atau mungkin sesekali saya juga perlu mempraktekkan ilmu jilat-menjilat itu. Ingin juga rasanya punya kursi empuk yang dihasilkan dari menabur omong kosong dan puja-puji.***

Pergelaran Gelar di Negeri Dongeng

Ditulis pada 22 Mei 2007, tulisan yang judul lengkapnya Pergelaran Gelar di Negeri Dongeng (Tanggapan atas Makna Gelar Kebesaran Adat ‘Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’) ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi. Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Hi Zainal Lantong, Makna Kebesaran Adat 'Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan', di harian yang sama pada 21-22 Mei 2007.


BUNGGAH hati ini membaca tulisan Hi Zainal A Lantong, Makna Gelar Kebesaran Adat ‘Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’ (Manado Post, 21-22 Mei 2007). Orang tua, yang telah bernaik haji pula dan duduk sebagai Sekretaris Umum Lembaga Adat Bolmong, Ketua AMABOM, dan anggota Dewan AMAN, tentu lebih dari layak dipercaya tutur dan tindaknya.

Itu sebabnya saya ingin berterima kasih sebesar-besarnya karena tulisan itu dengan gamblang sudah menegaskan bahwa: gelar (katanya) adat Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan yang dianugerahkan pada Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong), Marlina Moha-Siahaan, memang hanya pergelaran, tontonan wisata berlatar budaya.

Yang telah saya tuliskan di Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda (Manado Post, Rabu 16 Mei 2007), sudah dibenarkan.

Bila saya memaknai pergelaran itu sebagai tragi-komedi; sedang pihak lain, terutama Bupati, DPR, dan Lembaga Adat Bolmong bersikukuh itu teater serius, apa yang salah? Penonton layak menyimpulkan apa yang dia saksikan, apalagi bila latar kisah yang dipentaskan terang-benderang dipapar oleh para sutradara di belakangnya.

Tidak pula ada darah yang perlu tumpah karena orang ramai mengomentari satu pergelaran. Sutradara dan aktor serta aktris yang terlibat-lah yang harus merasa malu bila lakon yang menurut mereka serius, justru dimaknai sebagai tragi-komedi. Artinya, dalam segala aspek, mereka gagal meyakinkan penonton.

Cuma Atraksi Wisata

Gelar (katanya) adat untuk Bupati Bolmong itu bermula dari undangan rapat yang dipandu Kepala Dinas Pariwisata Bolmong, Dondo F Mokoginta, SH. Apa hubungannya Dinas Pariwisata dengan gelar adat, kecuali untuk konsumsi wisata budaya?

Kalau Dinas Pariwisata sudah mengurusi penganugerahan gelar yang berkaitan dengan budaya tinggi dan serius sebagaimana gelar ‘’boki’’; dan dianggap sesuatu yang sungguh-sungguh; artinya masyarakat Bolmong memang telah hidup di negeri dongeng. Bisa jadi besok-lusa Dinas Pekerjaan Umum akan lebih sibuk mengurusi sepak bola, Kantor Agama mengeluarkan fatwa konstruksi jalan raya, dan Dinas Sosial mengelolah rumah sakit.

Kekacauan itu boleh terjadi di lakon komedi (namanya juga lucu-lucuan) atau di negeri dongeng. Tidak bagi komunitas yang hajat-hidupnya diurus dengan jujur dan bermarabat.

Kita tahu bersama apa itu kejujuran; tapi apa itu martabat?

Di The Remains of The Day (1989) yang memenangkan Booker Prize, penulis Kazuo Ishiguro menggambarkan dengan baik apa yang dimaksud dengan ‘’martabat’’, yaitu: ‘’berkaitan dengan kemampuan seorang untuk tidak menanggalkan sosoknya (terutama profesionalisme) demi sosok pribadinya dengan sedikit provokasi’’.

Dengan kata lain, martabat tidak akan digadaikan hanya karena private need. Seorang birokrat yang bermartabat tidak menanggalkan kritik dan koreksinya ke Bupati hanya karena takut dicopot dari jabatan. Politikus profesional tidak akan memanjangkan lidah hanya karena takut di-Pergantian Antar Waktu-kan dari DPR. Seorang tokoh adat tidak akan menjual budaya luhur etnis atau sub-etnisnya hanya karena iming-iming uang atau ‘’permen’’ kekuasaan.

Martabat itulah yang tidak saya lihat ketika orang-orang berbondong menjerumuskan Bupati Bolmong menjadi tokoh komedi. Andai orang-orang di sekitar Bupati paham bagaimana menjaga citra Bupati sebagai tokoh utama di Bolmong, mereka mestinya mampu memberi pertimbangan, koreksi, dan kritik yang rasional.

Alih-alih dimaksudkan sebagai penghormatan, gelar (katanya) adat ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ sebagai padanan ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’ ke Bupati Bolmong justru jadi penghinaan, yang harus dipertanggungjawabkan oleh para pemberi (termasuk mereka yang mengklaim diri tokoh-tokoh adat pemberi gelar).

Dengan sepenuh hormat, saya sangat maklum bahwa di bawah rezim yang ‘’berlangit pendek’’, tiran, feodalistik, dan keras kepala, beda pendapat hukumnya bisa haram mu’akad. Namun tutup mulut dan pasrah semata-mata karena ketergantungan pada jabatan atau privilege dekat dengan Bupati, menurut saya, adalah tindakan yang sangat di luar akal sehat.

Akal sehat itulah yang mendorong saya untuk mengkritik, bahkan dengan mempertaruhkan imbasnya terhadap sejumlah keluarga dekat, termasuk adik saya (seorang PNS yang bisa setiap saat ditendang ke hutan rimba di luar sana oleh kekuasaan politik dan birokrasi), yang justru mungkin sama sekali berbeda sikap dan pandangan. Bukan rahasia lagi, di Bolmong yang berbeda pendapat dengan para elit politik dan birokrasi, bisa dianggap sebagai musuh lahir-bathin.

Mengacaukan Pengertian

Berkaitan dengan budaya, adat-istiadat, dan tradisi di Bolmong, terus-terang saya kecewa dengan para orang tua yang terlalu bersemangat membengkokkan logika, hanya untuk membenarkan kesalahan fatal yang mereka perbuat.

Sekali lagi saya ingin mengulang (walau pun saya sudah menuliskan sebelumnya di Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda, bahwa adat adalah hukum yang mengatur tata laku dan tata hidup. Dan gelar atau pernak-perniknya ‘’cuma’’ urusan tradisi. Masak untuk definisi sepele seperti ini saya harus mengajari para orang tua?

Pun, apakah saya harus mengajari bahwa hasil Seminar Adat Daerah Bolmong yang dilaksanakan pada 29-31 Juli 1997 bukanlah undang-undang yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Bolmong. Seminar hanya melahirkan rekomendasi, bukan kesepakatan publik. Orang boleh mengiyakan, boleh pula mempersetankan.

Seberapa tebal sekali pun rekomendasi seminar yang dicontohkan meliputi aspek adat perkawinan, aspek adat pakaian adat, aspek adat penjemputan tamu dan penobatan pejabat, serta aspek adat pemakaman, dia belum diputuskan sebagai panduan tunggal. Pernikahan, misalnya, bagi adat Mongondow hukumnya jelas: pihak laki-laki harus dengan sebaik-baiknya meminta anak perempuan pihak wanita. Soal mempelai menikah dengan pakaian apa, dipestakan di mana, siapa yang boleh pidato atau tidak, tidak diatur dalam wilayah yang disebut ‘’adat’’.

Kekacaun seperti itu pula yang terjadi ketika arti gelar yang disandangkan ke Bupati Bolmong dipaparkan dengan gagah berani; sekaligus membuat saya menyimpulkan bahwa orang-orang di Lembaga Adat Bolmong (sebagai pemberi gelar) mengigau saja.

Saya ingin menegaskan bahwa semua orang Mongondow yang masih bertutur dengan bahasa ibu tahu bahasa Mongondow tertentu hanya memiliki arti tertentu pula bila berdiri sendiri; tetapi multi tafsir ketika dilekatkan dengan kata yang lain; atau dengan konteks yang lain.

‘’Boki’’ dalam bahasa Mongondow dalam konteks strata sosial tidak akan pernah berarti ganda, misalnya ‘’permasuri’’ dan ‘’bunda’’. Pengertiannya tunggal: permasuri. Demikian pula dengan ‘’kolano’’ yang artinya ‘’dia laki-laki’’, yang sesungguhnya adalah sapaan dari seorang Permasuri terhadap suaminya –yang tak lain Tuang Raja atau Datu’—dan sapaan dari seorang Ibu terhadap anak laki-lakinya yang telah diangkat menjadi raja.

Sebaliknya, dalam konteks yang lain, ‘’boki’’ berarti terbelah. Misalnya, ketika orang Mongondow menyebut pisang yang terbelah secara alamiah dengan ‘’no boki’’. Akan halnya ‘’kolano’’, sesungguhnya penutur bahasa Mongondo, terutama di Passi dan Lolayan, agak enggan menggunakan kata berbau ‘’lano’’ yang berarti sangat bertendensi seksual; walau tergantung pada imbuhan apa yang ada di depannya. ‘’Kolano’’ dalam konteks strata sosial, tentu berarti sapaan untuk Raja dari Permasuri atau Ibu Kandungnya. Di luar itu, yang paling dikenal adalah ‘’molano’’ yang artinya ‘’sedap’’.

Dari mana Lembaga Adat Mongondow memungut pengertian kata ‘’kolano’’ menjadi bupati? Di zaman kekuasaan kerajaan, di mana Bolaang Mongondow adalah sebuah negeri, penguasa wilayah di bawah Raja adalah panggulu. Artinya, kurang lebih, dengan model pemerintahan Indonesia saat ini, bupati tak kurang dan tak lebih hanyalah setingkat panggulu.

Gelar ‘’Boki Kolano’’ jelas karangan yang keterlaluan. Sebab artinya tak lain: ‘’Istri raja yang laki-laki’’. Atau dalam bahasa yang terang-benderang berarti penerima gelar tersebut adalah seorang waria (wanita-pria atau she-male).

Sama kelirunya dengan peletakkan kata ‘’Totabuan’’ yang berarti sangat beragam: ‘’tanah kelahiran, tempat bermukin, daerah yang didatangi dan dimukimi’’; dan sama sekali tidak berhubungan dengan Kerajaan Bolaang Mongondow. Totabuan bagi budaya Mongondow bisa berarti di mana saja, tidak dengan Bolaang Mongondow yang berarti tunggal: wilayah yang pernah berada dalam cakupan kekuasaan Kerajaan Bolaang Mongondow.

Untuk kekeliruan kedua ini, saya maafkan saja. Tentu ‘’Totabuan’’ yang dimaksud bukanlah Bolaang Mongondow; tetapi sebuah tempat di negeri dongeng. Ya, namanya juga lakon. Yang tidak saya terima adalah karena gelar itu mengatas namakan masyarakat Bomong. Lain lain soal kalau tegas-tegas dinyatakan bahwa gelar ini versi Lembaga Adat Bolmong versi di A, B, dan C.

Pembenaran bahwa istri dari mantan Bupati Bolmong Oe. N. Mokoagow pernah diberi gelar ‘’boki’’, juga tidak valid digunakan sebagai alasan. Siapa pun yang cermat mengikuti dan mencatat sejarah Bolmong kontemporer tahu persis kontreversial yang diakibatkan oleh pemberian gelar itu.

Kontroversi itulah yang kini berulang. Bedanya, pengulangan ini terjadi karena sejumlah orang dengan pandirnya lupa belajar dan berkaca pada sejarah.

Berkaitan dengan itu pula, saya ingin bertanya dari mana dongeng bahwa Bua’ Silagondo pernah diberi gelar ‘’boki’’ dipungut? Silagondo adalah tokoh yang kemudian dikenal sebagai Bua’ Silagondo. Kalau Lembaga Adat Bolmong mau menabalkan ‘’boki’’, tentu yang dimaksud Silagondo yang lain.

Bila orang-orang tua di Lembaga Adat Bolmong mau berendah hati, saya sarankan temuilah anak Raja (yang juga adik Raja terakhir Bolmong), H Emmy Manoppo-Waworoentoe, yang kini bermukim di Poyowa Besar. Bua’ Emmy bukan hanya masih menyimpan memori sejarah budaya, adat-istiadat dan tradisi Bolmong; tetapi juga manuskrip-manuskrip tua yang bisa membuktikan betapa kelirunya gelar ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ dalam perspektif budaya Mongondow.

Lagipula, yang sangat mengherankan saya, ada apa dengan kata ‘’boki’’ hingga ada pihak yang sangat ingin menggunakan kata ini di depan namanya? Obsesi feodalistik yang ingin dipuaskan atau bukti ketidak-tahuan terhadap budaya, adat-istiadat, dan tradisi? Atau untuk menggambarkan ‘’terbelah’’ secara alamiah sebagaimana frasa ‘’no boki’’ untuk pisang yang terbelah?

Pencabutan Gelar

Dalam banyak hal saya tidak sependapat dengan Bupati Bolmong saat ini, terutama praktek politik oligarki dan feodalistik yang dijalankan selama kepemimpinannya. Tetapi saya tidak akan pernah tega untuk tidak memberitahu Bupati, bahwa gelar yang disandangnya, dalam perspektif budaya Mongondow, sungguh keliru dan justru menodai kehormatannya sebagai tokoh dan pejabat publik.

Sebagaimana pula gelar ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’ yang dipetik entah dari mana oleh DPR Bolmong, yang sama sekali tidak punya pijakan rasional. Apakah Bupati Marlina Moha-Siahaan memiliki kualitas setangguh Bupati Oe. N. Mokoagow yang membuka daerah-daerah terisolasi di pelosok Bolmong nyaris dengan tangannya sendiri (cukup banyak orang-orang tua yang masih bisa bersaksi bagaimana Bupati Mokoagow bekerja bersama rakyat, bahkan berhari-hari tidur di hutan, saat merintis jalan ke wilayah terisolir seperti Pindol)? Atau sekeras-kepala Bupati J. A. Damopolii yang mewariskan banyak sekali fasilitas publik seperti Mesjid Jami’ atau Stadion Gelora Ambang, –yang ironisnya justru makin kumuh dan paria di bawah kepemimpinan Bupati Marlina Moha-Siahaan?

Apa solusi dari silang-sangkarut gelar yang dianugerahkan pada Bupati Bolmong itu? Sederhana: Lembaga Adat dan DPR Bolmong harus mencabut gelar –‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’-- dan mengumumkan permintaan maaf pada seluruh masyarakat Bolmong. Ini pun kalau penganugerahan gelar itu dianggap sebagai satu hal yang serius, dan bukan lakon teater wisata budaya.

Bila hal ini tidak dilakukan, Lembaga Adat dan DPR tidak saja melanggar kepatutan, melainkan juga hukum adat dan adab yang dianut masyarakat Bolmong.

Hukuman terhadap pelanggaran hukum adat ini, bila masyarakat benar-benar ingin menegakkan dengan konsisten, sungguh-sungguh menggerikan: yang paling ringan adalah mogompat kon lipu’ dengan segala konsekuensinya; beramai-ramai diusir keluar dari Bolmong; atau yang terberat, dimakan sumpah-sumpah tua yang dipercaya masih makbul di atas bumi Bolmong.

Mengingat jenis hukuman ketiga itu, sekadar mengingatkan (dan dengan penuh hormat pada para orang tua, budaya, adat-istiadat, dan tradisi di Bolmong), bila gelar irasional itu tidak segera dicabut, saya menyarankan sebaiknya anggota Lembaga Adat dan DPR Bolmong bergegaslah melaksanakan mintahang –doa mohon keselamatan. Agar mereka punya pengharapan mendapat ketenangan dan diridhoi.***

Komedi ‘’Boki’’ dan Bunda

Ditulis pada 12 Mei 2008, tulisan ini pernah dipublikasi oleh Harian Manado Post --hari dan tanggalnya masih ditelusuri lagi.


TERTAWA konon bisa membuat seseorang panjang umur.

Kalau Anda cukup punya sense of humor, mau memahami konteks lokal, dan ingin tertawa tak putus-putus, maka datanglah ke Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Saya jamin akan sangat menggairahkan. Tidak kalah dengan komedi konyol Mr Bean yang dimainkan Rowan Atkinson.

Bedanya, di Bolmong komedinya boleh dibilang high level-high tension karena aktor-aktor dan artisnya tak lain para politikus lokal papan atas dan orang-orang tua yang harusnya dipanuti sebab kebijakan dan kebijaksanaanya. Mereka yang mestinya jadi mercu suar bagi akal sehat dan kewarasan.

Salah satu contoh renyah adalah pentas komedi pengukuhan gelar (katanya) adat ‘’Boki Kolano Inta Nolintak Kon Totabuan’’ pada Bupati Bolmong, Marlina Moha Siahaan, oleh (katanya lagi) Lembaga Adat Bolmong yang dihelat di Lapangan Kotamobagu, Rabu, 9 Mei 2007. Dalam perspektif orang Mongondow yang hanya sedikit memahami adat, tradisi, dan budaya Mongondow, acara itu sungguh mampu membuat saya terbahak-bahak. Apalagi setelah tahu siapa yang memberi anugerah; pun bagaimana DPR menyiapkan pula SK untuk gelar yang lain, ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’. Seram sekali!

Apanya yang lucu?

Pertama, gelar ‘’boki’’ yang dianugerahkan. Orang Mongondow yang masih menggunakan bahasa Mongondow di kesehariannya tahu persis ‘’boki’’ berarti permasuri atau istri raja. Dengan memberi gelar ‘’boki’’ maka secara otomatis mendudukkan suami sang penerima gelar sebagai ‘’tuang raja’’. Artinya, otomatis pula sesungguhnya yang berkuasa adalah ‘’Raja Syamsudin K Moha’’ yang dikenal umum sebagai suami Bupati Bolmong.

Dalam sejarah Bolmong setahu saya yang berkuasa adalah ‘’raja’’, bukan ‘’ratu’’; karena budaya Mongondow, dalam konteks kerajaan, bersifat patriaki. Untuk itu selamat untuk ‘’tuang raja’’ yang menerima daulat berkuasa! Tanpa ‘’tuang raja’’, ‘’boki’’ ibarat sandal tanpa pasangan.

Logika keliru ‘’gelar adat’’ itu mengingatkan saya pada pemberian gelar berbahasa Mongondow yang pernah dilakukan pada salah seorang tokoh penting di Sulut. Lucunya, setelah penganugerahan dilakukan barulah para pemberi sadar bahwa gelar tersebut galibnya diberikan pada sangadi (kepala desa). Agar tak menjadi aib, jalan keluarnya gelar tersebut diimbuhi kata baru yang berarti ‘’besar’’.

Andai yang menerima paham kebudayaan Mongondow, pasti tersinggung berat, sebab tetap saja artinya hanya berubah dari ‘’kepala desa’’ menjadi ‘’kepala desa besar’’.

Kejadian itu sama lucunya dengan penamaan Lapangan Kotamobagu (yang hingga kini tanpa malu belum juga dikoreksi) menjadi Boki Hotinimbang. Orang Mongondow tahu bahwa Hotinimbang bukanlah ‘’boki’’, melainkan dipaksa-paksakan menjadi ‘’boki’’ dengan kemauan dan keputusan politik dari mereka yang merasa sedang berkuasa.

Kedua, Lembaga Adat Bolmong. Ini institusi apa? Siapa yang memilih dan memutuskan bahwa orang-orang yang duduk di dalamnya adalah penjaga ‘’aturan-aturan, moral, dan etika’’ Mongondow? Saya yakin tidak ada satu pun surat atau kesepakatan yang mentahbiskan orang-orang itu sebagai representasi orang Mongondow dalam urusan peradatan, kecuali bahwa mereka ge-er dan merasa penting saja.

Tokoh adat, bagi orang Mongondow, selalu berasal dari pengakuan yang didapat bukan karena penunjukkan, melainkan proses panjang yang diuji dari kebijakan dan kebijaksaan. Tokoh adat adalah pengakuan tanpa suara. Tanpa sertifikat dan pelembagaan. Termasuk tidak diangkat dengan SK Bupati atau SK DPR. Dan, tidak berhak memberi gelar semacam ‘’boki’’.

Bahwa kemudian ada sekelompok orang yang merasa mengerti adat, mengklaim sebagai ‘’tokoh adat’’ --karena politisasi terhadap segala hal--, saya tidak ambil pusing. Tapi tolong untuk tidak mengatas-namakan orang Mongondow, apalagi untuk sesuatu yang amat sangat keliru.

Terlebih lembaga tersebut ternyata diketuai Bupati Bolmong sendiri, sang penerima gelar. Narsis betul.

Lagipula keturunan Raja Bolmong terakhir masihlah ada. Dari aspek tradisi dan budaya Mongondow, sebagai bentuk penghormatan terhadap adat mo o-aheran, pernahkah mereka ditanyai –atau minimal diinformasikan?

Ketiga, apa itu adat, tradisi, dan budaya? Tampaknya orang-orang di Lembaga Adat Bolmong mesti mengundang mahasiswa Bolmong yang studi ilmu sosial agar mereka paham apa itu adat, tradisi, dan budaya. Ini agar mereka sadar bahwa feodalisme sudah berakhir berpuluh tahun yang lalu (dan yang mengakhiri justru Raja terakhir yang dengan sukarela melepaskan hak istimewa yang diberikan oleh tradisi dan kebudayaan Mongondow). Dan bahwa gelar ‘’boki’’ atau ‘’bua’’ adalah produk budaya, tradisi yang melembaga, dan bukan adat.

Adat Mongondow yang sesungguhnya adalah menghormati kepantasan, tahu malu, tahu diri, tahu tempat, dan nilai-nilai luhur sejenis. Gelar ‘’boki’’ di zaman ketika keturunan Raja pun sudah tidak petantang-petenteng dengan darah birunya, sungguh diluar kepantasan dan hanya patut diapresiasi sebagai lakon komedi.

Yang saya takutkan –dan ini bukan dengan niat tidak beradat--, jangan-jangan yang disebut sebagai Lembaga Adat Bolmong hanya sekumpulan orang yang sedang mengingau.

Keempat, (dan ini tak kalah gawat) DPR Bolmong turut pula mengarang gelar ‘’Bunda Pembaharu Pembangunan Totabuan’’, lengkap dengan SK-nya. Rupanya para anggota DPR itu terlalu banyak menonton sinetron dan infotaiment yang banyak ditaburi bunda-bundaan --termasuk Bunda Dorce-- hingga perlu menambah satu bunda lagi di Indonesia.

Bunda memang kata yang imajinatif ketika dilekatkan pada Bunda Maria (Ibunda Nabi Isa –Yesus Kristus dalam kepercayaan Kristen) atau Bunda Teresa yang kerja sosialnya di India menjadi salah satu ekspresi kemanusiaan terbesar di abad 20. Bupati Bolmong tentu tidak sekelas dan setanding dua wanita luar biasa ini. Maka rasionalisasi satu-satunya adalah ‘’Bunda Pembaharuan Pembangunan Totabuan’’ kurang lebih sama dengan Bunda Dorce.

Coba, apa fakta yang bisa diajukan oleh DPR hingga gelar ajaib itu perlu dilegitimasi secara politik lewat SK? Apa capaian monumental dari Bupati Bolmong saat ini, kecuali memberi nama lapangan, tugu, dan menghabiskan miliaran rupiah untuk Persibom? Apa yang diperbaharui di Bolmong selama enam tahun terakhir? Kalau jalan-jalan penuh lobang, sekolah banyak yang reot dan kekurangan guru, Puskesmas-Puskesmas kumuh dan mengundang iba, dianggap sebagai pembaharu pembangunan, kenapa tidak sekalian DPR Bolmong juga memberi gelar pada Flinstone?

Kecuali kalau ukurannya adalah rumah para politikus dan pejabat yang makin mentereng serta mobil dinas mengkilap. Atau DPR Bolmong sedang ingin mengganti mobil baru dan mendapat tambahan tunjangan, seperti modus biasa yang selalu dimainkan bila sedang ‘’ada maunya’’?

Bila pemekaran yang dijadikan tolak ukur, mestinya Presiden RI dan Mendagri yang lebih pantas diberi anugerah. Toh bukan Bupati yang menanda-tangani SK pemekaran. Jangan lupa pula ‘’tragedi map kuning’’ yang pernah menjadi pengganjal upaya pemekaran yang sudah diinisiasi oleh banyak tokoh, termasuk oleh Bupati-Bupati terdahulu.

Apakah terpikirkan oleh para anggota DPR bila satu saat Bupati Bolmong ternyata pernah khilaf lalu diserat ke meja hijau, apakah gelarnya bakal direvisi?

Begitulah, saya bangga menjadi orang Mongondow karena orang-orang yang seharusnya jadi panutan dengan sekurela berperan sebagai badut. Kita pun boleh terbahak-bahak tanpa takut ancaman itu-itung (menguning seperti kunyit, menghitam bagai arang) atau sumpah-sumpah tua sejenis.

Bukankah belum ada hukum dan adat di Bolmong yang melarang orang tertawa?***