Sabtu, 26 April 2008

Berpolitik Tanpa Investasi Politik (II)

PERNYATAAN Ketua DPW PAN Sulut yang tidak akan menanda-tangani pencalonan Walikota dan Wakil Walikota KK bila bukan Djelantik Mokodompit dan Hamdi Paputungan, sungguh berlawanan dengan tiga konsern di atas. Mendadak, saya merasa kecewa pada PAN Sulut. Bukan kekecewaan seperti ditolak cewek yang ditaksir; tapi sejenis nelangsa karena ada harapan yang mati sebelum tumbuh.

Harapan seperti apa? PAN KK, yang memiliki satu fraksi utuh di DPR KK, seharusnya menyadari bahwa mereka memiliki kesempatan tak hanya mencalonkan calon Walikota dan Wakil Walikota tanpa berkoalisi dengan partai lain. Di atas target jangka pendek ‘’sepele’’ itu, partai ini harusnya mampu mencontohkan ‘’gaya politik baru’’ yang lebih segar --sebagaimana yang sudah dilakukan dengan mengumumkan kandidatnya beberapa waktu lalu--; sekaligus mengedepankan kader-kader sendiri sebagai investasi politik jangka panjang.

Apakah pernyataan saya ini kontrakdiktif dengan sikap saya di posting sebelumnya yang memuji langkah DPD PAN KK?

Tidak! Bahwa PAN KK sebelumnya mengumumkan calonnya dengan memasukkan nama-nama politikus (termasuk dari partai lain), birokrat, dan tokoh independen, sebagai langkah strategis yang menunjukkan kebesaran jiwa kadernya; harus dipisahkan dengan langkah strategis lain berkaitan dengan keberlangsungan hidup partai ini untuk jangka panjang. Menurut hemat saya, dalam konteks strategi jangka panjang itu pula, pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN sebagaimana yang saya baca (sekali lagi bila pernyataan itu demikian adanya, bukan keseleo lidah atau salah kutip), menunjukkan bahwa visi ke depan partai ini di Sulut memang bukan disiapkan untuk para pemenang. Cuma sekadar partai yang puas menjadi partai (tentu saja tingkatnya kelas 2 saja), dengan kader-kader yang puas mendapat ‘’remah-remah’’ politik dan kekuasaan (serta uang) yang mengikutinya.

Pernyataan ‘’terburu-buru’’ Ketua DPW PAN itu pada akhirnya harus diterjemahkan bukan lagi kebesaran jiwa; tetapi inferioritas berpolitik.

Pertama, dua calon yang mendapatkan jaminan penuh Ketua DPW adalah kader PG. Djelantik Mokodompit adalah anggota DPR RI dari PG, sedangkan Hamdi Paputungan adalah salah satu pengurus teras DPD I PG Sulut. Dengan logika politik paling sederhana, bila akhirnya mereka terpilih, kendati ada ‘’ancaman pemecatan’’ karena keluar dari garis partai, kita semua tahu di ujung hari PG akan berkompromi. Ini sudah terbukti dengan tetap duduknya Djelantik Mokodompit (yang dicalonkan PAN dan beberapa partai lain) sebagai anggota DPR RI setelah kalah melawan Marlina Moha-Siahaan dalam Pilkada Bolmong beberapa waktu lalu.

Kalah saja tetap dimaafkan, apalagi menang. Skenario terburuk, kalau PAN tetap mengusung Djelantik Mokodompit-Hamdi Paputunga dan mereka kalah, tidak ada problem politik apa-apa buat PG, yang bisa saja dengan segera dan ‘’darah dingin’’ memecat keduanya dari partai. Konsekwensi terbesar justru berada di sisi PAN KK khususnya dan PAN Sulut, yang menjadi pecundang untuk target jangka pendek sekaligus jangka panjang.

Kedua, kalau pun PAN Sulut harus bersikap pragmatis karena tidak memiliki kader yang layak dicalonkan sebagai Walikota; mengapa calon Wakil Walikotanya bukan kader, atau minimal simpatisan PAN, yang untuk jangka panjang memang serius berkomitmen bergabung dan membesarkan partai ini?

Ketiga, sadarkah Ketua DPW PAN Sulut bahwa dengan ‘’terburu-buru’’ mencalonkan dua kandidat itu, sama artinya dengan meniadakan investasi politik yang sudah mulai ditanam dengan serius oleh sebagian besar kader PAN di KK saat ini? Ini juga menunjukkan betapa PAN sebenarnya tidak menganggap kader-kadernya punya capaian apa-apa di KK. Termasuk satu fraksi di DPR KK adalah nothing belaka.

Keempat, mengapa pragmatisme Ketua DPW cuma setengah hati dengan mencalonkan kader PG sebagai Walikota dan Wakil Walikota? Mengapa tidak sepenuh hati saja dengan membangun koalisasi antara PG KK dan PAN KK?

Pada akhirnya, saya menulis posting ini dengan kecintaan pada orang-orang muda yang saat ini sedang membangun karir politiknya di PAN KK khususnya dan PAN Sulut umumnya. Jangan sampai hanya karena keputusan terburu-buru lalu mind set para kader ini berubah menjadi: Memang lebih baik bergabung ke PG sekali pun mulai dari level cacing, toh di saat ada kompetisi untuk jabatan politik, partai-partai ‘’kelas 2’’ (termasuk PAN) akan berebut dan menjadikan sang cacing ular besar.***

Berpolitik Tanpa Investasi Politik (I)

JUMAT, 25 April 2008, saya membuka-buka situs media terbitan Manado dan menemukan serangkaian berita menarik dan memprihatinkan berkaitan dengan Pemilihan Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK).

Menarik karena Ketua DPD I Partai Golkar (PG) Sulut (partai yang menguasa mayoritas kursi DPR KK), Jimmy Rimba Rogi, ‘’mengumumkan’’ bahwa dari hasil jajak pendapat partainya sudah memutuskan mencalonkan Syarial Damopolii sebagai Calon Walikota KK. Patut diacungkan dua jempol untuk Syarial Damopolii yang juga Ketua DPR Sulut, yang --sepengetahuan saya— hampir 1,5 tahun terakhir gigih mengkampanyekan diri sebagai Calon Walikota KK.

Lepas dari sejumlah kritik yang semestinya dilontarkan terhadap Syarial Damopolii, saya mengucapkan selamat. Apa yang ditanam, itulah yang dipetik. Suka atau tidak, Syarial Damopolii telah bekerja keras --dengan segala kelebihan dan kekurangannya— agar warga KK bersedia mendukung pencalonannya sebagai Walikota.

Sebagai orang Mongondow yang bukan simpatisan, apalagi anggota PG (saya yakin PG tidak akan menerima saya sebagai anggota partai, sebagaimana PKS --ketika itu masih bernama PK—menolak dengan tegas keinginan saya untuk menjadi anggota), saya harus mengakui bahwa sebagai partai –-dalam konteks pencalonan Walikota KK-- PG mampu bersikap tegas. Lebih penting lagi, menunjukkan penghargaan terhadap kader dan kerja kerasnya.

Berbanding terbalik dengan PG, justru saya terkaget-kaget dan tak percaya membaca bahwa Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Amanat Nasional (PAN) Sulut menyatakan pihaknya tidak akan menanda-tangani calon yang diajukan bila bukan Djelantik Mokodompit sebagai calon Walikota dan Hamdi Paputungan sebagai calon Wakil Walikota. Semoga pernyataan ini sekadar ‘’keseleo lidah’’; bahkan salah kutip belaka (bukan rahasia lagi kalau banyak berita di media cetak Sulut tak lain cuma imajinasi wartawannya); atau cuma gambaran panic mode sesaat karena PAN Sulut tak tahu langkah apa yang harus diambil berkaitan dengan Pilwako KK.

Sungguh saya berharap pernyataan itu tidaklah keluar dari mulut Ketua DPW PAN Sulut.

Pertama, sejak era kepemimpinan Ketua DPW I PAN Sulut saat ini, saya jatuh hati dengan langkah dan gerak partai ini. Utamanya sebab tampilnya anak-anak muda sebagai pemimpin di hampir semua DPD II PAN. Dan juga kaum perempuan. Hal ini, harus diakui, sedikit-banyak dipengaruhi pula oleh Ketua DPW-nya yang seorang perempuan sekaligus berusia muda.

Di mata saya tampilnya anak-anak muda di pucuk pimpinan PAN di Sulut, apalagi umumnya punya riwayat ‘’bersih’’ dalam berpolitik, adalah kabar baik untuk arah politik yang lebih kreatif, yang ‘’bergaya baru’’, di tengah begitu banyaknya kabar buruk perpolitikan di provinsi ini. Dan fakta ini harus diapresiasi setinggi-tingginya.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para politisi tua yang bangkotan di partai dan legislatif, bukanlah harapan yang patut dioptimisi selama ini. Dengan otak, kreativitas, dan perilaku ‘’gaya lama’’ yang mereka terapkan dalam berpolitik; perubahan mencolok yang terjadi hanyalah mereka punya rumah lebih besar, mobil lebih banyak dan mewah, perut lebih gendut, dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial yang makin amburadul.

Kedua, karena para pemimpin PAN di Sulut umumnya anak muda yang berpendidikan cukup tinggi, harusnya mereka tahu bahwa partai yang kokoh adalah yang mampu merumuskan sistem dan proses pengkaderan yang sehat. Pula, bahwa sistem politik di negeri ini centang-perenang salah satunya diakibatkan oleh sistem dan proses pengkaderan yang tak sehat. Hanya karena target jangka pendek, semisal menang di Pemilihan Gubernur (Pilgub), Pemilihan Bupati (Pilbub), atau Pilwako, kamudian yang ditempuh adalah jalan potong: pragmatis dengan menjagokan kader dari partai lain dengan mengorbankan kader sendiri, bahkan juga nilai tawar dan harga diri partai.

Ketiga, sejalan dengan dua alasan di atas, saya menaruh harapan besar bahwa dengan dipimpin oleh kalangan muda yang terdidik, PAN di Sulut harusnya memahami bahwa politik adalah proses panjang; di mana dibutuhkan ‘’investasi politik’’ yang setelah diuji oleh waktu dan konsistensi akan mengedukasi konstituen mengapa mereka harus memilih partai tertentu sebagai saluran aspirasi politiknya.***

Sayur Paku di Timur, Kelapa Biji di Selatan

‘’Berikan kekuasaan pada orang bodoh, dan masalah Anda akan datang dengan segera.’’

(Anonymous)

MEMBACA Harian Manado Post, 9 April 2008, tentang konsep ekonomi salah seorang calon kandidat Walikota Kotamobagu, yang mendapat dukungan seorang alumni Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), saya terbahak-bahak. Untunglah yang berkomentar bukan pengamat ekonomi, tetapi sekadar masyarakat biasa (yang mendukung kandidatnya).

Lain halnya bila sang komentator adalah pengamat ekonomi atau birokrat yang mengurusi perencanaan kota dan ekonominya; pasti saya sudah menangis dan bergulingan di lantai. Konsep yang didukung ngawur; apalagi komentar yang mendukungnya.

Konsep yang diajukan kurang lebih adalah agar ekonomi Kota Kotamobagu (KK) menggeliat, maka perlu dilakukan pemecahan keramaian (demikian yang ditulis Harian Manado Post). Pemecahan keramaian itu dicontohkan dengan pasar sayur-mayur didirikan di Kotamobagu Timur; sedangkan pasar hasil (komoditas) perkebunan di Kotamobagu Selatan –lanjutannya mungkin pasar ikan sebaiknya dibangun di Kotamobagu Barat dan pasar daging di Kotamobagu Utara.

Saya membayangkan penentang pertama konsep yang dianggap jenial itu adalah para ibu dan remaja putri yang bertugas di bagian penataan boga di seluruh keluarga yang tersebar di Kota Kotamobagu. Anggap saja jarak tiap pasar hanya 2-2,5 km; atau bahkan 500-750 meter. Kebiasaan para ibu dan remaja putri berbelanja, kurang-lebih adalah memulai dari urusan ikan, daging ayam, daging sapi, rempah-rempah dan sayur mayur, kemudian hasil perkebunan.

Anda bisa membayangkan Ibu saya yang sudah berusia lebih dari 60 tahun harus belanja lebih dulu di pasar ikan di Kotamobagu Barat; kemudian ‘’melesat’’ dengan bentor ke pasar daging di Kotamobagu Utara untuk membeli daging sapi; lalu ‘’terbang’’ –dengan bentor lagi— ke pasar sayur di Kotamobagu Timur membeli sayur paku; dan akhirnya ‘’meloncat’’ –lagi-lagi dengan bentor— ke pasar hasil perkebunan di Kotamobagu Selatan membeli buah kepala (kelapa adalah komoditas perkebunan) untuk menyantan sayur paku.

Kalau hal itu yang terjadi, saya yakin pemecahan keramaian yang dimaksud oleh calon kandidat Walikota dan alumnus FE UDK yang mendukung konsep itu, akan terjadi dengan meriah. Ibu saya –dan ibu-ibu mana pun serta remaja putri mereka— akan merepet sepanjang jalan; dan sekembalinya ke rumah bukan memasak melainkan memanggil tukang pijat refleksi karena tangan, punggung, dan kaki pegal tak karuan.

Saya yakin pula cepat atau lambat mereka akan menyumpah-serapahi siapa pun yang punya konsep ‘’jenius’’ itu! Bisa dibayangkan pula betapa ramainya lalu-lalang orang dan barang yang bergegas. Maklum, cakalang dan malalugis harus disegerakan penanganannya. Bila tidak, alamat melek dan urusannya adalah mesti menegak CTM sehari tiga kali.

Namun, tentu ekonomi akan bergulir cepat, terutama di kalangan para ‘’pilot dan penerbang’’ bentor. Dan, produsen balsem, minyak gosok, dan panimbur (campuran antara minyak kelapa panas dan bawang merah) yang menjadi senjata andalan para tukang urut.

Sekali lagi, dengan monografi dan geografi KK, tidak usahlah bicara konsep ekonomi yang sekadar dipetik dari awan dan bintang-bintang. Pasar komoditas perkebunan misalnya, apa pemahamannya? Apakah model pasar komoditas tradisional di mana ada komoditas yang dikumpulkan kemudian ditransportasikan? Atau model jual beli komoditas dalam pengertian modern, yang melibatkan teknologi tinggi dan pengetahuan khusus seperti pasar-pasar komoditas modern di kota-kota besar dunia seperti Singapura atau New York?

Kalau komoditas yang dimaksud sekadar untuk keperluan rumah tangga, ya, satu-dua biji kelapa untuk menyantan sayur paku; dua-tiga kg kopi untuk seduhan harian; atau tiga-empat karung langsat dari kopandakan; jual sajalah di Pasar 23 Maret. Tidak perlulah repot-repot membangun pasar baru yang pada akhirnya sebagian besar anggarannya cuma habis untuk fee dan keuntungan kontraktor.

Tetapi, anggap saja pasar komoditas (perkebunan) yang dimaksud berskala besar dan mampu menstimulasi ekonomi KK. Untuk model tradisional, di mana KK akan membangun pergudangan dan poin-poin distribusinya? Apa dibangun di Mongkonai seluas 250 hektar (apa ada tanah sebesar ini yang tersedia di Mongkonai), kemudian diangkut dengan truk ke Pelabuhan Bitung, sebelum dikapalkan ke wilayah-wilayah yang membutuhkan? Kalau pun ini pengertiannya, apakah komoditas perkebunan di KK dan daerah sekitarnya cukup tersedia untuk memenuhi pergudangan yang dibangun, agar syarat ekonomisnya terpenuhi?

Akan halnya model pasar komoditas modern, anak semester III Fakultas Ekonomi yang belajar ‘’setengah rajin’’ saja pasti akan terkaing-kaing kegelian membayangkan imajinasi ini.

Jadi, demikianlah, makin tinggi suhu politik menjelang Pikwako KK, kian banyak ide ajaib dan tak masuk akal yang disemburkan ke tengah publik oleh para calon kandidat dan pendukung-pendukungnya. Dan karena itu, percayalah, saya berani bertaruh, omong kosong hasilnya adalah omong kosong pula.***

Senin, 07 April 2008

Cihuiiiii, ‘’Katanya’’ Saya Jadi Kandidat Calon Wakil Walikota

MALAM masih belia ketika BlackBerry saya ‘’menjerit’’. Yang tiba adalah SMS yang memecah kesunyian lepas Mangrib. Isinya saya simak; dan tiba-tiba terasa amat serius dan berat.

Mendadak saya lemas dan agak susah menelan –-saya lupa apakah juga berkeringat dingin seperti inimbalu’ in politik yang sudah saya tuliskan di posting terdahulu. Sesungguhnya isi SMS itu bukanlah kabar menyeramkan atau sejenis urban legend yang mampu menjagakan kelopak sepanjang malam (semisal kisah tentang nomor telepon milik sorang gadis yang mati bunuh diri tapi masih terus mengirim SMS, kendati provider-nya sudah pula ‘’membunuh’’ nomor tersebut); melainkan semestinya kabar gembira bagi siapa saja orang Mongondow di Kotamobagu yang kini sedang ghirah politik.

Seorang sepupu, lewat SMS panjang, mengabarkan bahwa Minggu petang, 6 April 2008, DPD Partai Amanat Nasional (PAN) Kota Kotamobagu sudah menggelar rapat menentukan kandidat calon Walikota dan Wakil Walikota yang akan direkomendasi ke DPW PAN Sulut. Hasilnya, menurut SMS itu, untuk calon Walikota nama-nama yang direkomendasi (sesuai urutan hasil rapat) adalah: Tatong Bara, Djelantik Mokodompit, Ny Tuti Gobel-Gonibala, Syamsudin Kuji Moha, Siswa Rahmat Mokodongan, Syamsurizal Mokoagow, Syarial Damopolii, dan Hamdi Paputungan. Sedang untuk calon Wakil Walikota yang akan direkomendasi (juga sesuai urutan hasil rapat) adalah: Katamsi Ginano, Selong Paputungan, Djainuddin Damopolii, Jaya Mokoginta, Noes Mokodongan, Dhullo Affandi, Aria S Malla, Salma Mokodompit, Hardy Mokodompit, dan Sarifudin Mamonto.

Cukup lama saya tercenung. Bermacam hal yang saling kelabat dan bersimpangan di batok kepala. Yang jelas, bukan karena saya ingin menjilat dan mengagung-agungkan PAN dan pengurus DPD serta kader-kadernya; namun tak urung dua jempol saya teracung (yang kemudian buru-buru saya tarik kembali, karena mengacungkan dua jempol di kamar sendirian, bisa jadi tanda awal ada ‘’kelainan’’ yang berkaitan dengan kejiwaan seseorang).

Saya mengacungkan dua jempol untuk DPD PAN Kota Kotamobagu dengan sejumlah alasan:

Pertama, DPD PAN Kota Kotamobagu menunjukkan kualitas kearifan politik yang hingga tulisan ini dibuat tak mampu ditunjukkan oleh Parpol-Parpol lain. Lihat saja, di jejeran kandidat calon Walikota PAN hanya menempatkan satu nama, Tatong Bara, yang juga Ketua DPD Kota Kotamobago –-dari sisi political correctness ini sangat normatif dan pantas. Selebihnya, pengurus PAN dan kader-kadernya yang setahu saya rata-rata berusia muda, dengan besar hati merekomendasi nama lain di luar PAN; dan bahkan datang dari Parpol pesaing, Partai Golkar –kecuali Siswa Rahmat Mokodongan yang berlatar birokrat.

Padahal, kita tahu bersama, selain Partai Golkar, karena memiliki satu fraksi utuh di DPR, PAN adalah partai yang berhak mengusung calon Walikota dan Wakil Walikota tanpa perlu berkoalisi dengan partai lain.

DPD PAN Kota Kotamobagu, yang pimpinan dan pengurusnya umumnya anak-anak muda, lewat rekomendasinya telah mengajari para orang tua apa yang disebut sebagai ‘’mendahulukan hajat hidup khalayak ketimbang kepentingan golongan dan pribadi’’. Bagi saya, seharusnya Parpol-Parpol lain, terutama Parpol besar dengan jumlah wakil di DPR yang nyaris mendominasi, amat sangat pantas berendah hati dengan belajar pada kearifan DPD PAN Kota Kotamobagu.

Kedua, dan sesungguhnya sejalan dengan yang pertama, di jajaran kandidat calon Wakil Walikota DPD PAN Kota Kotamobagu bahkan merekomendasi nama-nama yang –kecuali Djainuddin Damopolii yang adalah mantan kader PAN—sepenuhnya datang dari kalangan independen dan birokrat. Tidak banyak Parpol di Indonesia saat ini yang mampu mencapai ‘’kesadaran’’ setingkat apa yang ditunjukkan oleh DPP PAN Kota Kotamobagu.

Ketiga, DPD PAN Kota Kotamobagu juga menunjukkan kualitas lebih yang lain lewat rekomendasinya, bahwa politik adalah keseimbangan, negosiasi, yang berlandaskan pada aspirasi banyak orang yang tujuan akhirnya juga demi kepentingan orang banyak. Apa yang ditunjukkan oleh DPD PAN ini, membuat saya optimis bahwa masa depan politik di Kota Kotamobagu masih punya harapan, sepanjang sekelompok orang muda yang ada di partai ini terus menjaga kewarasan dan integritasnya.

Akan halnya nama saya disebut, di urutan pertama pula, dengan istigfar saya menyatakan terima kasih dan penghormatan setinggi-tinggi. Sungguh, ini bukan kebanggaan, apalagi sesuatu yang harus membuat saya ge-er. Justru DPD PAN Kota Kotamobagu mengajari saya satu hal penting yang kerab kita abaikan: Bahwa harga integritas pada akhirnya adalah kehormatan manusia.

Walau demikian, saya sungguh munafik bila tidak menyambut kehormatan itu dengan syukur, atau paling tidak dengan agak narsis –sambil berbisik-- saya melontarkan kegembiraan lewat satu kata: ‘’Cihuiiii….’’

Selebihnya, saya tahu diri bahwa kehormatan yang diberikan bukanlah cek kosong. Dia adalah tiket sekali jalan yang menuntut tanggungjawab amat sangat besar. Karenanya pula, saya harus menutup tulisan ini dengan pernyataan: DPD PAN Kota Kotamobagu-lah yang pantas mendapat kehormatan, karena telah dengan lapang dada memberikan kehormatan untuk kami, semua nama yang telah disebutkan dalam rekomendasinya.***

Ahmad Alheid: Bukan pada Teknik Menulisnya

Komentar yang dikirimkan Ahmad Alheid lewat email ahmad_attar73@.... ini masih sinambung dengan debat antara saya dan Kurniawan S Basol. Email yang saya posting-kan ini sekaligus menutup topik ini, mengingat seluruh subtansi yang diperselisihkan sudah terang-benderang. Selain itu, saya juga risih karena makin banyak SMS dan telepon yang mengkomplein dan menyesalkan mengapa saya harus capek-capek menanggapi Kurniawan S Basol. Mereka rata-rata menyatakan masih banyak isu lebih penting yang perlu mendapat perhatian. Namun, di atas semua lalu-lintas wacana yang sudah terjadi, saya berharap Kurniawan S Basol terus belajar dan kelak menjadi salah satu anak Mongondow yang tetap kritis, independen, dan bermartabat.

Saya heran, Kurniawan mengaitkan kepiawaian Katamsi menulis dengan latar belakangnya yang pernah jadi wartawan. Barangkali ada sedikit benarnya. Tapi, tidak sepenuhnya benar.

Motif Kurniawan, kurang lebihnya, agar ketikbecusannya menulis dimafhumi karena dia bukan wartawan. Ini sikap apologis yang tidak bertanggung jawab dan harus diluruskan.

Barangkali yang dipahami oleh Kurniawan sebagai wartawan adalah mereka yang berprofesi sebagai reporter atau pemburu berita di media massa, lebih khusus lagi media cetak. Mereka yang kerjanya berkaitan dengan tulis-menulis berita.

Saya perlu katakan, setahu saya banyak sekali para reporter (wartawan) yang tidak becus menulis. Menulis dalam kerangka bercerita atau menyampaikan opini terhadap suatu masalah. Apalagi reporter-reporter yang bekerja di media cetak lokal. Bahkan ada yang sudah bertahun-tahun bekerja sebagai reporter, namun tidak memiliki kemampuan menuliskan laporan jurnalistik yang deskriptif dan efisien. Bukan cuma itu, termasuk juga menggunakan tanda baca dengan benar.

Bung, problematika menulis pada seseorang bukan pada kemampuan teknis dan penguasaan diksi semata. Namun, yang menjadikan suatu tulisan menjadi menarik untuk disimak adalah pada penyajian informasi dan penggiringan imajinasi pembaca. Jadi, masalah utama menulis adalah pada kemampuan berpikir seseorang. Kalau tidak bisa mikir, tidak bisa nulis.

Media-media massa besar biasanya mencari atau menerima penulis (wartawan) yang sudah jadi. Yang dibutuhkan kemudian adalah mengasah mereka menjadi wartawan yang handal. Mereka yang berhasil diterima sebagai wartawan di media cetak terkemuka pastilah orang tekun belajar dan giat dalam aktivitas tulis-menulis.

Para mahasiswa yang seusai kuliah menjadi wartawan --di media cetak terkemuka tentunya-- biasanya adalah pengelola majalah kampus dan semacam itu. Mereka juga sudah terbiasa menulis di media massa berupa artikel opini, karya sastra, dan sebagainya. Mungkin malahan sudah menerbitkan karya berupa buku sebelum bergabung dengan media tertentu.

Nah, kenapa mereka yang tidak bisa menulis bisa bekerja sebagai reporter? Di media cetak itu ada redaktur halaman, redaktur bahasa, dan sebagainya. Mereka yang disebut editor inilah yang menuliskan ulang laporan dari reporter ke bentuk berita yang lebih ringkas dan dimengerti.

Contohnya begini, Bung. Kalimat seperti "Katamsi menyurat kepada Kurniawan" oleh editor diringkas menjadi "Katamsi menyurati Kurniawan". Jumlah katanya berkurang, tetapi maknanya tidak berubah. Dan banyak lagi yang Anda bisa lakukan dengan kalimat bila tekun berlatih dan mengasah pikiran.***

Minggu, 06 April 2008

Inimbalu’ in Politik (II)

Ketiga

Di masa itu, sebagai bocah yang ‘’manis-baik’’, saya menjadi langganan ilolok dari almarhum Nenek (Ibu dari ayah). Kesukaan terhadap memancing, mencari obatog, mencuri langsat, mangga, atau manggis milik orang di sekitar Panang, membawa saya ke tempat-tempat yang diyakini punya ‘’penunggu’’.

Entah karena terlambat makan, terlampau capek, atau karena takut dijewer Ibu, beberapa kali saya pulang dengan kondisi bagai kangkung layu: berkeringat dingin, pusing-pusing, gemetar, lemas, pucat, dan mual-mual. Di saat seperti itu, diiringi repetan kesal, almarhum Nenek dengan singgap mengambil pisau, mengadu dengan batu asah, dan mengusap-usapkan ke pundak saya ---lengkap dengan serenteng kalimat dalam bahasa Mongondow. Percaya atau tidak, beberapa saat kemudian, saya merasa bugar lagi.

Tentu mu'jizat ilolok tidak berlaku untuk fenomena yang bukan diakibatkan oleh inimbalu’. Dan itu terjadi satu hari, ketika entah –-saya tidak ingat persis alasannya—bersama adik dan beberapa sepupu saya membakar biji malacai (beberapa tahun kemudian saya baru tahu persis malacai ternyata adalah jarak yang minyak bijinya bisa digunakan sebagai bahan bakar). Seingat saya, ada seorang kawan yang mengatakan bahwa biji malacai bakar bisa bikin stone (di zaman itu kata ini berarti ‘’melayang enak’’).

Bayangkan tentang stone itulah yang membuat biji malacai bakar ini kemudian kami makan beramai-ramai. Rasanya mirip kacang mete. Untuk lidah dan leher remaja zaman itu, boleh dibilang: sedaaapppp! Apalagi ada janji stone-nya.

Setelah beberapa biji malacai masuk perut, tak lebih dari 30 menit, efek jahanam itu datang. Memang melayang, tetapi sengsara. Efek yang pertama menyerbu adalah mual, kemudian pusing, lemas, gemetar, berkeringat dingin, dan tentu saja pucat pasi.

Bisa dibayangkan bagaimana jadinya bila segerombolan cucu pulang terhuyung-huyung. Nenek saya yang naik darah langsung bertanya, kemana cucu-cucunya seharian? Pertanyaan yang salah, apalagi kami dengan sembrono nongkrong di rimbunan pohon sagu dekat sawah Nenek, yang dianggap sebagai salah satu sarang demit di Jalan Amal.

Simpulannya, cucu-cucu sialan itu inimbalu’. Salah tempat di jam yang salah menyebabkan demit dan sedulurnya marah dan memberikan teguran keras.

Maka senjata pamungkas, pisau dan batu asah, pun dikeluarkan. Bahkan setelah punggung saya memerah karena berulang kali digosok dengan pisau, sengsara itu belum juga hilang. Malah muntah yang datang bagai badai. Nenek tak kehilangan akal. Pisau tidak mempan, parang yang keluar. Tak mempan pula, justru batu asah yang menipis. Parang diganti dengan goraka (jahe). Tak mempan juga. Goraka diganti rica Jawa (merica). Juga gagal total.

Jelas tak mempan, karena cuma roh halus atau demit tak waras yang mau berumah di biji malacai.

Untunglah siksaan biji malacai itu berakhir dengan turun-tangannya ayah saya, yang dengan tepat mendiagnosa bahwa anak dan keponakannya mabuk makanan. Obatnya sederhana: dimandikan, diberi makan, teh panas, dan perintah tegas penuh ancaman untuk naik ke tempat tidur. Setelah beberapa lama dihempas kiri-kanan, atas-bawah, oleh tempat tempat tidur yang bertingkah seperti kuda liar gila, akhirnya kami tertidur.

Bangun pagi adalah tantangan yang lain. Efek biji malacai bakar itu lebih biadab dari segentong bir. Kepala berat dan sakit bagai dipalu! Sejak itu pula saya bertekad tak akan menyentuh biji malacai bakar terkutuk itu.

Keempat

Merenungkan penyakit inimbalu’ in politik yang diidap kawan itu –dan juga sejumlah orang yang berkeluh-kesah ke saya dengan gejala yang sama--, saya kira pengobatannya membutuhkan dua pendekatan. Pertama, yang harus pinololok adalah para politikus yang saat ini di-inimbalu’ oleh setan politiknya. Dan caranya mudah, tidak perlu dengan pisau dan batu asah; parang, goraka, atau bahkan merica.

Menyadarkan mereka dari inimbalu’ in politik cukup dengan tempelengan keras sambil dibisiki ‘’ba kaca dulu’’; tak usah dihiraukan; atau yang lebih sopan: tak perlu diundang ke pesta pernikahan, khitanan, bahkan sekadar baca doa untuk perayaan 1 Muharram.

Kedua, cepat-cepatlah pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di lakukan. Saya jamin, bersama dengan berakhirnya Pilkada, banyak orang yang lebih lega menghadiri dan pulang dari pesta apapun. Bisa pula tidur lebih pulas dan bangun dengan segar-bugar.

Kalau toh masih juga merasa mual, pusing, lemas, gemetar, berkeringat dingin, dan wajah pucat pasi, tinggal dicek saja apakah kandidat yang dia dukung menang atau kalah; dan apakah dia tim sukses yang sudah menerima janji-janji sorga dari para kandidat.

Kalau kekalahan kandidatnya adalah penyebab, obat mujarabnya mungkin cuma ilolok dengan chain saw.***

Inimbalu’ in Politik (I)

Pertama

BERHARI-HARI saya menelisik macam-macam buku tentang politik dan penyakit, mencari tahu apa nama penyakit dengan gejala berkeringat dingin, pusing-pusing (beberapa diiringi gemetar), lemas, pucat, mual, dan gatal-gatal, akibat gebyar kampanye calon Walikota dan Wakil Walikota yang kini marak di Kota Kotamobagu. Sekali pun ditambah dengan setumpuk buku psikologi, nama penyakit ajaib ini gagal saya temukan.

Mengapa saya harus menyiksa diri sendiri dengan urusan yang sebenarnya bisa dipersetankan itu? Beberapa SMS, telepon, dan email dari teman dan kerabatnya penyebabnya.

Salah seorang teman, menjelang tengah malam saat saya dalam perjalanan dari bandara ke rumah setelah penerbangan panjang, menelepon dengan nada seperti kain pel habis digunakan mengepel lantai lapangan basket. Lebih baik saya tuliskan dalam bahasa Indonesia, mengingat percakapan kami dilakukan dalam bahasa Manado campur Mongondow. Kurang lebih dia memulai dengan, ‘’Bung, Anda egois. Anda cuma bisa mengkritik, tetapi takut merasakan sendiri suasana di Kotamobagu saat ini. Kalau berani, seharusnya lebih sering pulang dan bergaul.’’

Saya nyaris naik pitam. Sungguh tuduhan yang semena-mena. Dengan menyabarkan diri, saya bertanya, ‘’Ada apa? Mengapa saya mesti takut?’’

‘’Anda takut karena memang pengecut!’’

Wah, ini namanya cari gara-gara. ‘’Apa maksudnya?’’

‘’Anda takut karena Anda tidak sekuat saya yang masih berani hadir di pesta pernikahan, khitanan, atau sekadar selamatan di Kota Kotamobagu, yang saat ini lebih banyak dipenuhi nyanyi-nyanyi kampanye calon Walikota dan Wawali dari pada doa atau permohonan berkat dan keselamatan dari-Nya.’’

O, masih urusan politik rupanya? Tak urung, walau pun lebih tepat disebut ‘’nyengir’’, saya merasa bibir saya tersenyum lebar. ‘’Bukankah teman-teman dan kerabat di Kota Kotamobagu bisa menikmati aksi a la Indonesian Idol atau Dangdut Mania itu? Bahkan banyak yang menyukainya?’’

Saya mendengar gigi menggeretak di kejauhan sana, kemudian dengan nada jengkel kawan itu menukas, ‘’Siapa bilang? Terakhir kali, saya keluar dari pesta dengan keringat dingin, kepala pusing, lemas, dan mual. Yang pertama terlintas, jangan-jangan saya keracunan makanan seperti yang banyak diberitakan. Apalagi sampai di rumah, orang rumah bilang wajah saya pucat….’’

Saya memotong dengan cepat, ‘’Seperti inimbalu’?’’

‘’Persis! Persis betul!’’

‘’Iya, tapi apa pasal? Jangan-jangan benar itu inimbalu’?’’

‘’Sama sekali bukan. Saya kira karena apa yang saya saksikan dari totumba’an (kata ini sulit saya terjemahkan ke bahasa Indonesia) para calon Walikota dan Wakil Walikota itu sama sekali tidak masuk akal. Konyol! Lagipula, kalau inimbalu’, setelah ilolok, pasti sembuh. Atau kalau keracunan, cukup dengan CTM, urusan selesai. Ternyata tidak, sebab di pesta yang lain, dan yang lain lagi, saya juga pulang dengan kesengsaraan yang sama setelah mendengar pidato dan nyanyi-nyanyi dari para calon Walikota dan Wakil Walikota,’’ katanya, seperti rentetan tembakan M16.

Lama saya tercenung. Akhirnya penyakit yang menyeramkan, yang pernah saya gambarkan lewat posting Musim Politik pun Tiba, bisa dinamai. Namanya: Inimbalu’ in Politik.

Kedua

Bagi orang Mongondow, terutama yang berpendidikan tinggi, inimbalu’ barangkali adalah fenomena mistik yang perlu dikikis habis, karena cenderung tidak masuk akal. Gara-gara berteriak-teriak dan tertawa riuh-redah di bawah pohon beringin, atau dekat batu besar di kompleks kuburan, lalu mendadak kita berkeringat dingin, pusing-pusing, gemetar, lemas, pucat, dan mual-mual. Dan ajaibnya, penyakit ini cukup diobati dengan mengosokkan pisau atau parang dengan batu asah (bahasa Mongondownya tolisad atau pitow), kemudian menggosokkan ke punggung sang penderita diiringi sejumlah kalimat. Hasilnya, beberapa saat kemudian sang pengidap sehat wal afiat.

Dengan nama yang berbeda (dan kerap tidak persis sama), masyarakat dari kebudayaan berbeda mengenal kesambet; yang maksud dan manifestasinya mirip dengan inimbalu’. Yang jelas, inimbalu’ bukan kerasukan; bukan pula akibat santet.

Mengenang kembali masa kecil di Jalan Amal –dulu masyarakat Mogolaing menyebutnya ‘’Panang’’—, saya tak bisa meniadakan bahwa saya percaya pada fenomena itu. Bahkan setelah mencicipi Perguruan Tinggi, kemudian melanglang melihat dunia di luar yang modern dan canggih, sebagai orang Mongondow inimbalu’ tetap ada di alam sadar dan bawah sadar saya.

Panang tempoe doeloe adalah tempat yang dikesankan ‘’menyeramkan’’. Ada legenda roh gentayangan; ada tangis bayi yang setiap malam Jumat pas pukul 12 teng melintas di samping rumah orangtua saya (ini merindingkan bulu kuduk kami anak-anak, sekaligus penanda waktu sudah tengah malam); dan sepeda motor yang melaju di atas saluran irigasi ke sawah Nenek yang bunyinya terdengar tetapi sepeda motornya tak ada. Pokoknya, lebih menantang dari film Ghost Rider.

Urban legend itu masih ditambah dengan rimbunan bambu yang menutupi cahaya bulan dekat jembatan di jantung Jalan Amal yang ''katanya'' didiami mangkubi'; pohon kapuk tua sepelukan empat orang dewasa dekat rumah orangtua saya yang dihuni jin; ratusan tulang-belulang yang tersebar di Base Camp (sekarang Jalan Cendana); dan hamparan sawah yang di malam tanpa bulan hanya menyajikan kegelapan pekat.

Pokoknya Panang di masa kanak-kanak saya adalah tempat ideal untuk menguji nyali! Melintasi Jalan Amal dari ujung ke ujung di malam Jumat, tanggal 13, Kliwon pula, bisa membuktikan apakah seorang laki-laki adalah laki-laki atau bukan.***

Rabu, 02 April 2008

Kurniawan S Basol Ternyata Baru Telur Kodok

HARUS diakui, ternyata saya cukup sabar meladeni Kurniawan S Basol. Dan saya akan tetap sabar. Walau saya mulai menguatirkan jangan-jangan saya benar terlibat debat dengan orang yang ''tidak genap''.

Berdebat dengan orang ''meheng'' bukanlah dosa. Kalau pun ada kerugian, ya, waktu yang terbuang dan rasa malu. Saya bisa membayangkan orang-orang akan mengatakan: ''Masak Anda begitu bodohnya meladeni orang miring?''

Lagi pula, saya pikir, sampai pada posting Kurniawan S Basol Bukan Kodok, Tapi Berudu, saya akan berhenti. Tak tega rasanya ‘’mempermainkan’’ sang calon sarjana. Walau bagaimana pun, saya pernah di usianya; dan sah-sah saja orang muda melakukan kekeliruan.

Namun, membaca email-nya terakhirnya mendorong saya untuk terus merespons. Betapa berbahaya membiarkan ada orang muda yang mulai bertingkah seenak perut, benar sendiri, tetapi dengan pengetahun yang yang hanya setinggi pohon tomat. Lain soal kalau yang bersangkutan jenial dan jenius. Saya mungkin akan lebih toleran.

Di atas semua itu, toh blog ini milik saya; dan yang tidak lagi tertarik membaca, boleh-boleh saja melewatkan.

Tuan calon sarjana, saya tak habis terkagum-kagum menelisik kekeliruan Anda. Bukan hanya bahasa Anda yang makin kacau, tetapi subtansi (ingat kata ini?) yang ingin disampaikan kian tidak karu-karuan. Lebih parah lagi, dikaitkan dengan ‘’penemuan’’ beberapa kata baru yang dituliskan (sayangnya penempatannya keliru) –-contohnya kata ‘konotasi’’, yang seharusnya ‘’konotatif’’--, saya tidak heran bila Ahmad Alheid sampai pada simpulan bahwa saya berhadapan dengan keledai.

Sekali Lagi, Bahasa!

Seperti dua posting terdahulu, saya mulai dengan mengoreksi bahasa Indonesia yang Anda gunakan (anggap saja ini pelajaran menulis –-sebab ternyata di Perguruan Tinggi di mana Anda menimbah ilmu, yang katanya bukan untuk cari kerja, belajar bahasa saja Anda luput).

Pertama, kata ‘’penisbahan’’. Tuan calon sarjana, Anda pernah dengar ada buku yang namanya Kamus Besar Bahasa Indonesia? Atau buku lain yang namanya Kamus Umum Bahasa Indonesia? Baca dua buku itu dan cari di entry ‘’nisbah’’; Anda pasti tahu judul email (atau latihan tulisan yang Anda kirim) keliru besar.

Kedua, kata ''memotifasi''. Ini juga kekeliruan yang ampun --bisa membuat guru bahasa Indonesia saya mengerutkan kening berlipat-lipat. Tuan calon sarjana dengan bahasa Indonesia yang buruk, kata yang benar adalah ''memotivasi''. Kalau Anda tidak percaya, anggap saja PR baru, datangilah dosen bahasa Indonesia dan tanyakan soal kedunguan Anda ini.

Ketiga, kata ‘’konotasi’’ yang Anda gunakan untuk menjelaskan apa yang ditulis di Radar Bolmong, seharusnya bukan ‘’konotasi’’ tetapi konotatif. Tidak percaya, tanya dosen bahasa Indonesia Anda.

Dengan tiga contoh kekeliruan penting itu, apa yang diharapkan dari cara berbahasa; apalagi berpikir Anda? Apakah saya harus menurunkan derajat konotatif Anda dari berudu menjadi telur kodok, yang hanya jadi makanan nyamuk? Ayolah, percaya diri, sombong, dan besar ego, perlu ditopang oleh lebih dari sekadar nekad.

Tuan calon sarjana, bahasa yang baik, benar, dan tepat, bukan sekadar penting; tapi induk dari pengertian. Atau jangan-jangan Anda tidak paham apa yang saya sampaikan karena ''jurang pemahaman bahasa'' di antara kita? Bahwa yang saya tulis sebagai otak, Anda tangkap dan pahami sebagai dengkul, karena memang Anda sama sekali tidak paham bahasa yang saya gunakan? Bila itu yang terjadi, sungguh menyedihkan, sebab bahasa Indonesia yang saya gunakan menulis tergolong sederhana dan mudah dimengerti.

Sekali Lagi, Subtansi!

Berikut, apa subtansi yang Anda ingin sampaikan? Sekadar ingin berbantah dan berlatih menulis? Kalau untuk hal yang satu ini, saya akan dengan senang hati merekomendasi Anda ikut sekolah di Pena Indonesia atau Jakarta School (ini bukan nama dua jenis makanan, tetapi sekolah menulis dan berpikir kreatif). Saya jamin Anda akan lebih baik berbahasa Indonesia, menulis dengan baik, dan yang terpenting: lebih punya logika yang masuk akal.

Alasan bahwa menanggapi saya (termasuk dengan email) adalah latihan menulis, sungguh kekanak-kanakan. Kemana saja Anda selama ini? Kalau menulis (pelajaran paling dasar di sekolah formal) saja masih tertatih-tatih, bagaimana dengan cara berpikir benar?

Pun, kalau sekadar menyatakan bahwa saya lebih pintar menggombal, lebih berusia tua, dan bahwa tulisan saya –termasuk gelar-gelar ajaib yang saya sematkan untuk beberapa badut di Bolmong tidak ada gunanya sama sekali--, itu tidak menjawab substansi yang Anda gulirkan. Lagipula, saya memang tidak peduli apakah yang saya tulis berdampak atau tidak. Tapi faktanya, tidak ada yang bisa membantah dengan landasan dan argumen yang kokoh.

Perkara menggombal, untuk hal sederhana seperti gombal saja Anda tidak bisa, lalu apa yang dipelajari selama ini? Anda tahu, di negeri ini gombal adalah sesuatu yang ampuh, dan bahkan bisa jadi modal penting. Gombal pula yang membuat kebanyakan masyarakat kita gagal memilih pemimpin, karena modal mereka cuma gombal! Dan celakanya kebanyakan rakyat kita tak bisa membedakan mana gombal dan mana yang bukan; bahkan yang sudah sekolah di Perguruan Tinggi seperti Anda, misalnya.

Maka pertanyaan subtansial ke Anda adalah: Sadarkah Anda bahwa semakin Anda mencari-cari cara untuk membela diri, Anda makin terjerat? Bahwa Anda tidak menjawab -–apalagi meminta maaf—terhadap masalah subtansial, di mana Anda melekatkan ‘’Komedian Kasino’’ ke saya tanpa landasan dan argumentasi yang kokoh?

Sekali Lagi, Dungu!

Yang paling menggelisahkan saya (ekspresi yang lebih jujur adalah campuran antara geli dan haru karena membaca kebebalan), Anda juga memelintir satu rangkaian kalimat dengan menggunakan asumsi yang keliru. Premis mayor dan minor menurut definisi Anda. Ampun, sebegitu cupetnya-kah otak Anda hingga masalah yang terang-benderang menjadi amat sangat sukar dipahami?

Luar biasa benar tuan calon sarjana kita ini; yang mencoba mengajari saya bagaimana berpikir dengan logika yang benar.

Anda mau bukti? Kecupetan itu terbukti dari simpulan bahwa saya buaya tidur, yang karenanya tak paham sama sekali masalah di Kotamobagu. Ada dua hal yang sangat keliru, tuan calon sarjana. Pertama, buaya yang saya tuliskan dalam konteks mengingatkan Anda. Kedua, apa dasar dari generalisasi yang Anda simpulkan itu?

Sekadar mengingatkan kembali, saya sudah menuliskan ‘’kodok’’ dan kemudian ‘’berudu’’ untuk menggambarkan cara berpikir Anda, tuan calon sarjana. Apa makna konotatif ini harus saya jabarkan lagi? Masak untuk hal sesederhana ini Anda tidak ‘’nangkap’’ juga.

Akan halnya saya paham atau tidak problematika di Kota Kotamobagu, justru seharusnya itu menjadi pertanyaan untuk Anda: Apakah modal berpikir Anda sudah cukup untuk memahami problematika di Kota Kotamobagu? Sebab problem bahasa dan logika saja Anda sudah gagap, apalagi masalah ‘’tinggi’’ yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.

Sekali Lagi, Akhirnya!

Akhirnya, dengan penuh simpati dan empati saya menutup posting ini dengan kembali mengingatkan, bahwa saya tidak keberatan terus-menerus meladeni Anda. Bagi saya, ini kerja sosial agar satu anak Mongondow lagi bisa dilepaskan dari ‘’zaman kegelapan’’ yang melingkupi kepalanya. Bahkan kalau pada akhirnya saya ternyata memang berdebat dengan ''orang yang kurang genap'', anggap saja lalu-lintas wacana ini terapi untuk Anda.

Tetapi, simpati dan empati ini dibarengi dengan peringatan: Saat saya menulis posting ini, hati saya sedang riang. Banyak yang saya maafkan, sebab email Anda yang juga saya posting-kan cukup menjadi penjelas siapa di antara kita yang keledai dan siapa yang pawang keledai.

Sebab itu, mari kita tutup posting ini dengan harapan saya tidak sedang menulis untuk pohon kelapa atau pohon pisang. Sebab kalau Anda tidak paham juga, Anda harus saya tuliskan seperti apa lagi setelah kodok, berudu, telur kodok, dan keledai –- sebutan yang satu ini datang dari Ahmad Alheid?

Bukankah sungguh merepotkan bila seluruh flora dan fauna di National Geographic harus saya tuliskan satu per satu untuk menggambarkan cara berpikir Anda?***

Ahmad Alheid: Meladani Keledai

Ahmad Alheid kembali mengomentari komentar Kurniawan S Basol dan posting saya, kali ini lewat email ahmad_attar73@.... Tentu komentarnya amat patut di-posting di blog ini. Bukan karena komentar itu menguntungkan saya, melainkan sebagai penghormatan terhadap dialog yang terbuka, bernas, dan saling mencerahkan.

Apakah Perlu Katamsi Meladeni Keledai?

Saya kira, Katamsi terlalu larut menanggapi “seekor keledai” --sebab hanya keledai yang suka terperosok ke lubang yang sama lebih dari satu kali karena kedunguannya. Walau, mungkin, tanggapan Katamsi tersebut akan jadi pembelajaran bagi banyak kedunguan yang tersebar di Kotamobagu.

Apa yang salah dari mengkritik? Apalagi yang dikritik merupakan perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Pun penyampaiannya tidak dimaksudkan untuk menghujat, melainkan mempertanyakan secara kritis apa konsepsi yang hendak ditawarkan oleh orang yang ingin mencalonkan diri sebagai pemimpin pemerintahan di Kotamobagu.

Bagi Katamsi, yang merupakan salah seorang warga Kotamobagu dan hampir semua sanak-keluarganya bermukim di Kotamobagu, adalah hal yang wajar jika melontarkan kritikan seperti artikel opini berjudul “Kota Bukan Ini, Bukan Itu”, yang dimuat di Radar Bolmong, Edisi II, Minggu I Maret 2008. Bahwa yang dikritik membicarakan nasib banyak orang yang punya ikatan darah dan emosional dengan dirinya, maka wajar dia memberikan reaksi kritis.

Menyorot para politisi yang bergentayangan di Kotamobagu saat ini adalah hak setiap orang dalam konteks demokrasi. Bahkan, demokrasi yang sehat membutuhkan sikap demikian. Kalau tidak ada lagi yang kritis, maka tidak ada lagi proses pendidikan politik untuk membawa masyarakat lebih rasional.

Bila masyarakat tidak dibangunkan dari “kesadaran naif” untuk memilih pemimpin secara kritis, maka komunikasi politik akan berjalan monolog. Komunikasi politik akan tersumbat oleh retorika dan propaganda yang justru tidak menolong kepentingan masyarakat secara substansial. Alasan inilah, saya kira, yang mendorong Katamsi mempertanyakan konsepsi yang bisa dipertanggungjawabkan dari “igauan” seorang bakal calon walikota -–atau bakal calon wakil walikota-- tentang “ekonomi kerakyatan”.

Bila memang teman-teman di Kotamobagu peduli dengan daerahnya, apa yang telah mereka lakukan untuk mendorong masyarakat bersikap kritis? Yang kita saksikan saat ini di Kotamobagu hanya tempik dan histeris pada hujatan dan tempelan kharisma. Hanya keriuhan pada slogan dan program yang tidak punya landasan konseptual yang kokoh. Sementara, kita tidak bisa membayangkan bagaimana wajah Kotamobagu dan nasib masyarakatnya di masa datang dari tengah kegaduhan jelang pilkada tersebut.

Euforia dan emosi massa lebih dominan dan menenggelamkan harapan yang diinginkan dari semestinya kenapa pemekaran daerah itu dilahirkan. Yang saya maksudkan dengan harapan tersebut adalah pelayanan publik, penataan kota, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan daerah untuk pembangunan Kotamobagu secara berkelanjutan.

Mungkin, memang, keledai-keledai yang hadir di depan Katamsi harus ditanggapi semuanya. Biar mata mereka melek dan bisa membangunkan keledai-keledai lain di samping mereka. Barangkali, keledai di samping mereka ada juga yang siap-siap jadi calon walikota karena dirasuki narsisme yang akut.***

Email Kurniawan S Basol: Penisbahan Buaya yang Memotifasi Berudu

Sekali lagi Kurniawan S Basol menanggapi posting saya dengan mengirim email lewat ionekoranmks@.... Pembaca, demi keadilan tentu email tersebut harus di-posting di blog ini. Namun, sebagai koreksi, tuan calon sarjana yang sedang kuliah di Makassar ini sangat keliru menuliskan alamat blog saya, orangmongondow@blogspot.com. Sebab, yang seharusnya adalah http://orangmongondow.blogspot.com/ Tentu pembaca bisa menyimpulkan sendiri. Email ini sama sekali tidak diedit.

Beberapa waktu yang lalu saya sempat saling e-mail dengan abang senior sekampung saya, tiga hari saya menunggu balasan e-mail saya yang terakhir, tak kunjung dibalas. Akan tetapi tanggal 31 Maret pukul 17.05 saya mendapat telepon dari saudara saya dimanado, katanya tanggapan saya telah di posting di blogspot-nya orangmongondow@bolgspot.com. Saya cukup kaget dengan kabar tersebut. Awalnya saya mengira beliau merasa malu atau karena hanya akan "mengotori" blogspot-nya bila tulisan saya di posting, makanya yang saya kunjungi e-mail saya yang menjadi media diskusi kami. tapi ternyata ujung-ujungnya di posting juga. Alhamdulliah.

Bukan lagi menjadi sebuah rahasia bahwa yang namanya Kota Makasssar adalah kota yang digolongkan sebagai kota yang terbesar di kawasaan Indonesia timur dan terbagi menjadi sekian banyak Kecamatan dan Kelurahan, antara satu wilayah dengan wilayah lain terbentang jarak dengan ukuran tertentu, memiliki kepadatan penduduk, serta jalur transportasi yang padat, suhu cuaca yang panas serta memiliki tingkat polusi udara yang tinggi sehingga dapat dibayangkan berapa banyak energi yang akan diserap dalam tubuh kita jika jalan-jalan melintasi kota tersebut. Perintis Kemerdekaan, adalah nama jalan diwilayah bagian timur Kota Makassar tempat saya tinggal, beristirahat, serta aktivitas saya lainnya, tidak hanya sekedar melamun saja. Sementara pantai losari terdapat di bagian barat kota yang sama. jadi untuk jalan-jalan ke Pantai Losari bagi saya "sangat luar biasa". Begitupun dengan main PS, paling tidak menambah pengetahuan serta kesadaran saya terhadap perkembangan teknologi saat ini selebihnya hanya untuk kepentingan hiburan bagi saya itupun kalau lagi ingin saja. Karna saya pribadi main PS bukan hobi saya. Saya pikir anda mungkin juga pernah main PS, karma buktinya anda kenal tentang PS. Ya. Paling tidak hanya sekedar mengisi waktu santai anda dengan kerabat atau mungkin anak anda atau mungkin juga sekedar hiburan semata. Saya tidak bisa menyimpulkan karena hanya bersifat kemungkinan saja.

Banyak pihak yang menggangap bahwa kuliah orienrasinya kerja, wajar saja jika kita lekatkan dengan kultur bol-mong, sehingga banyak sarjana melongo karena bingung melihat pasar tenaga kerja yang dipenuhi antrean jutaan orang seperti anda katakan. Saya tidak heran jika anda berpandangan seperti itu kerena anda juga dari daerah tersebut. Tapi coba kita berpandangan bahwa kuliah adalah tempat untuk mencari tau apa yang belum kita ketahui, menambah wawasan, serta menggali potensi yang ada dalam diri setiap manusia, hasilnya adalah malah sebaliknya. Tidak hanya sekedar kuliah kemudian lulus, selanjutnya melamar pekerjaan, ketika tidak mendapat perkerjaaan akibat "terlambat antrean" ahirnya nganggur (KKN).

Hal yang menarik perhatian saya ketika anda membahas tentang teori, konsep dan implementsi, dimana anda mengatakan konsep seperti yang kebanyakan dikampanyekan oleh para birokrat dan politikus di Mongondow, sudah jelas terpapar saat ini. Hanya dipetik dari angan-angan sehingga hasilnya adalah sebuah wilayah yang dibangun tambal-sulam. Coba anda kaitkan dengan kalimat anda berikut ini "(…) Siapa pun perencananya harus mengumpulkan seluruh data dan aspek yang saling terkait di Kota Kotamobagu, merumuskan, menguji dengan asumsi-asumsi, dan akhirnya melahirkan konsep yang utuh".

Mari kita gunakan logika untuk membahas preposisi kedua kalimat tersebut. Coba pahami kalimat "(…) Siapa pun perencananya harus mengumpulkan seluruh data dan aspek yang saling terkait di Kota Kotamobagu, merumuskan, menguji dengan asumsi-asumsi, dan akhirnya melahirkan konsep yang utuh"
ini adalah premis mayor terhadap paragraph anda. Kalimat tersebut tentunya termasuk para birokrat dan politikus di Mongondow sebagai premis minor-nya. Artinya para birokrat dan politikus di Mongondow tentunya juga mengumpulkan seluruh data dan aspek yang saling terkait di Kota Kotamobagu, merumuskan, menguji dengan asumsi-asumsi, dan akhirnya melahirkan konsep yang utuh tidak hanya sebuah hasil petikan dari angan-angan sehingga hasilnya adalah sebuah wilayah yang dibangun tambal-sulam seperti yang anda katakan.

Sebernarnya dalam tulisan yang dimuat dalam harian radar bol-mong semuanya bermakna konotasi, wajar bila kita beda pendapat dalam pemaknaan sebuah kaliamat. Saya pikir sah-sah saja. Dari awal perdebatan yang menjadi persoalan adalah menyangkut penulisan, sementara ada juga beberapa pertanyaan yang saya sodorkan kepada Yang Mulia belum ada penanggapan. Memang harus saya akui bahwa penulisan saya tidak berbahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi bukan berarti salah, melainkan hanya baik saja atau benar saja, dan hal seperti ini sah-sah saja bila dimaknai dalam bentuk konotasi. Mengenai penulisan tentang "Komedian Kasino" harus saya akui memang tidak memiliki dasar argument yang jelas. Harusnya tidak sedemikan dramatis saya mengatakan anda seperti itu mengingat usia kita terlampau jauh. Selain itu saya juga tidak mau disamakan dengan seoranng pengecut yang tidak mau mengakui kesalahannya. Lebih baik menjadi kodok atau berudu yang secara jantan mau mengakui kekeliruannya.

Nah. Kembali lagi ke pembahasan anda, mengenai kesadaran anda yang sesadar-sadarnya bahwa tulisan anda sangat menyakitkan banyak pihak. Terutama mereka yang sudah menikmati gelar-gelar yang anda sematkan sesuka anda. Tapi, "
apakah pihak-pihak yang sakit hati itu bisa membantah dengan landasan dan argumen yang rasional? Masalahnya tidak, karena mereka memang pantas mendapatkan gelar dan sebutan itu"
-seperti itu yang anda katakan-. Harusnya secara sadar juga ternyata tulisan anda tidak memberikan efek apapun terhadap mereka, artinya eksistensi anda tidak diakui, buktinya segala macam penisbahan anda melaui tulisan anda tidak ditanggapi, ini bukan berarti mereka pantas dengan gelar-gelar yang anda samatkan, melinkan anda dianggap tidak ada, makanya tak ada juga yang harus mereka tanggapi. Seharusnya anda bersyukur karena saya menanggapi tulisan anda, itu artinya, saya mengakui eksistensi anda.

Harus saya akui anda sangat ahli dalam meraikai kalimat, sahingga sangat menarik untuk dibaca yang pada akibatnya pembaca larut dengan tulisan anda. Saya pikir itu wajar saja mengingat latar belakang anda yang dulunya seorang wartawan. Memang sangat indah bahkan sang jawara menggombal sekalipun takkan sanggup menandingi keahlian anda dalam merangkai kalimat, maka wajar saja jika tulisan saya kalah indahnya dibandaingkan tulisan anda, karena dulunya saya bukan seorang wartawan, dan saya juga bukan seorang jawara menggombal, bahkan beberapa tulisan saya sebelumnya yang sengaja saja tujukan kepada anda saya anggap sebagai latihan untuk menulis, hasilnya ternyata cukup seru.

Seperti yang anda katakan, saya hanya berudu yang masih berada di kubangan, sedangkan anda adalah buaya yang lagi tidur di muara (dengan lelapnya), sampai-sampai anda tidak paham betul apa sebenarnya problematika yang terjadi di Kota Kotamobagu saat ini, dan apa saja yang dibutuhkan Kota Kotamobagu saat ini.***